DI halaman itu, persepsi Barka mendarat. Tatapannya kosong menyaksikan senja yg mulai remang. Cahaya kekuningan yg terpampang makin membuat kalbunya serasa ditusuk-tusuk seribu sembilu. Pedih, perih, & ngilu. Sengilu jiwanya yg sangsi tak terperikan.
“Bagaimana, Bang Barka? Hanya Abang satu-satunya kesempatan kami. Abang tak kasihan melihat Amak?” Adik perempuannya menyela.
Barka termangu. Kata-kata itu bagai sayat yg tak henti-hentinya membuat dadanya tak putus dr kecamuk. Pikirannya kalut. Ditatapnya satu per satu ketiga adiknya yg duduk berjajar di hadapannya. Pandang mereka tertunduk tanda kusut pantas dirinya. Barka menghela napas panjang. Tangannya mulai menyulut sebatang rokok, & mengisapnya dalam-dalam.
Lima tahun lalu, sehabis menanti sekian lama, karenanya Barka mempunyai cukup uang untuk melamar Harsinah. Tentunya selepas percintaan panjang mereka yg berbuah cita-cita untuk segera ke pelaminan. Tapi, Harsinah harus menunggu selama tiga tahun supaya Barka mempunyai cukup duit menebus mahar yg diminta ayah gadis itu.
Itu pun dgn santunan sedikit honor minim Harsinah setiap bulannya selaku pramusaji toko milik orang Cina. Akhirnya, mereka menetapkan untuk menikah. Tak ada yg bisa Barka janjikan pada Harsinah, kecuali menyanggupi impian gadis itu mempunyai rumah mungil & sederhana selaku persinggahan di hari renta.
“Setelah menikah, kita akan tinggal di rumah kontrakan dulu, selama itu, Abang akan menyisihkan uang untuk menciptakan rumah di sebelah rumah Amak. Ada lahan kosong di sana,” ucap Barka pada Harsinah suatu ketika. “Karena menumpang di rumah bapak atau mertua yaitu suatu beban yg berat, belum lagi kalau ada pertikaian. Itu makin rumit, selain itu, gue adalah lelaki, tentu malu masih menumpang orang renta,” papar Barka berupaya meyakinkan Harsinah.
Kala itu, Harsinah menyetujui saja kata-kata kandidat suaminya itu. Ia sangat memaklumi penghasilan Barka yg cuma bekerja di salah satu pabrik camilan dgn honor yg tak seberapa itu. Ia pun hanya mampu sedikit menolong. Tak apalah, bukankah ia hanya berkeinginan, terserah Tuhan, ingin memberinya, atau tidak.
Apalagi, dgn membayangkan kehidupan keluarga kecilnya nanti, tentulah setiap bulan sebuah kondisi yg begitu sulit untuk hidup sejahtera. Tapi, Harsinah tak peduli sebagaimana halnya Barka yg pula tak peduli dgn penghasilan kurang yg membayang-bayangi hidupnya ke depan. Mereka cuma ingin menyempurnakan getar-getar cinta yg selama ini mereka pelihara.
Sesungguhnya Barka pun ragu untuk mengontrak rumah. Tentulah hal itu yaitu beban berat baginya yg hanya seorang buruh kecil. Belum lagi tagihan listrik, beli beras, beli minyak, iuran keselamatan, iuran ini, iuran itu. Banyak lagi. Tapi, lebih berat lagi bila mesti tinggal di rumah Amaknya atau di rumah keluarga Harsinah. Harga dirinya akan terasa ciut disebut-sebut laki-laki yg tak bertanggung jawab alasannya adalah tak mampu menyediakan tempat tinggal bagi sang istri.
Setelah sukar payah, tanya sana, tanya sini. Akhirnya, Barka menerima rumah kontrak dgn harga yg begitu miring. Tentunya dgn konsekuensi yg setimpal pula. Rumah itu berada di kompleks paling ujung & bersebelahan dgn tempat pembuangan sampah & got yg senantiasa menguarkan wangi tak sedap.
Dahi Harsinah sempat berkerut tatkala Barka memberikan rumah yg akan mereka tinggali itu. Tapi, akhirnya gadis itu mengangguk-angguk pula sehabis Barka berjanji akan membersihkan & melapangkan tempat sampah yg menjorok ke tempat tinggal itu. Barka pula berjanji untuk berupaya menjauhkan bau tak sedap itu dgn caranya sendiri.
Setelah pernikahan sederhana yg cuma memanggil kerabat-saudara dr kedua mempelai itu, mereka berdua pun pindah ke rumah kontrakan kecil itu. Semuanya masih lengang & kosong. Hanya ada beberapa sumbangan alat-alat rumah tangga dr keluarga mereka berupa: panci, tempat tidur, lemari usang, tikar, & beberapa barang pecah belah. Uang tabungan Barka telah banyak terkuras membayar dana kontrakan setahun sarat & sisanya ia serahkan pada Harsinah agar berbelanja kebutuhan yg dibutuhkan sekadarnya.
Sesuai dgn janjinya pada Harsinah, ia akan menyebarkan sebuah rumah cita-cita. Maka mulailah pengantin baru itu merepotkan diri dgn pekerjaan-pekerjaan sampingan, selaku tambahan penghasilan. Meskipun masih dlm masa bulan madu mereka berdua tak mau boros-boros menyedot duit. Meski dlm keadaan sulit, semuanya tetaplah indah bagi Barka & Harsinah.
“Kita mesti menangguhkan memiliki anak sebelum mempunyai rumah sendiri.”
Ada saja yg Barka ucapkan pada istrinya setiap sebelum tidur. Selalu begitu seterusnya hingga-sampai Barka kerap mendapati Harsinah sedang tersenyum sendiri. Mengingat-ingat bulan madu mereka yg hanya di samping got berair kelabu & tumpukan sampah berbau tak sedap. Kala libur simpulan pekan lazimnya Barka akan mengajak Harsinah berjalan-jalan ke tempat-tempat yg dirasa indah. Meskipun tempat itu telah kerap mereka datangi sebelum menikah, seluruhnya terasa begitu berbeda.
Adakalanya tabungan untuk rumah itu terpotong dgn harga keperluan yg tiba-tiba naik. Hal itu tentu menciptakan Barka bersedih. Sudah lima tahun mereka berdua menyisakan uang untuk menciptakan rumah harapan itu. Berbagai godaan kerap membuat mereka menahan napas, terlebih ketika menyaksikan tetangga dgn begitu mudah menerima apa yg mereka kehendaki.
Suatu malam paras Harsinah begitu sumringah. Tabungan itu telah dirasa cukup untuk membangun rumah. Tidak sia-sia rasanya mereka sukar-payah menabung untuk itu.
“Agar tak mahal, nanti akulah yg akan banyak melakukan pekerjaan sendiri membangun rumah itu,” ujar Barka seraya memasang wajah ceria.
“Halamannya akan gue tanami aneka bunga biar terlihat begitu indah,” sambung Harsinah.
“Aku akan mengecat pagar bambu rumah kita nanti dgn cat warna-warni biar belum dewasa kita riang bermain di halamannya.”
“Sebentar lagi kita akan meninggalkan rumah kontrakan lama ini,” ucap mereka bersama-sama.
Malam itu mereka berdua tidur dgn nyenyak, bermimpi memiliki rumah mungil nan indah sebagai tempat berteduh di masa renta.
Tapi, di bingkai jendela rumah Amaknya, Barka menatap jauh ke halaman. Senja sudah remang. Cahaya kekuningan yg terpampang membuat kalbunya terasa ditusuk-tusuk seribu sembilu. Pedih, perih, & ngilu. Sengilu jiwanya yg ragu-ragu tak terperikan.
Tadi siang, Harsinah menyampaikan bahwa Barka dinantikan keluarganya nanti sore di rumah Amak. Semula, Barka menerka akan diadakan program temu keluarga, tapi ganjilnya, kenapa Harsinah tak diperbolehkan turut pula?
“Duduklah, Bang,” kata adik bungsu perempuannya begitu Barka sampai di rumah warisan babahnya itu. Barka sempat terheran-heran sebab disambut dgn tampang murung oleh ketiga adiknya yg telah berjejer tak beraturan di hadapannya. Tidak biasanya mereka seserius ini kala bersua.
“Ada apa?” tanya Barka sambil menenangkan degup di dadanya. Pasti ada hal yg tak beres.
Sesungguh hati ia tak mampu memungkiri rasa cemas yg lantas merayap di dadanya. Segelas kopi panas yg terhidang di hadapannya menciptakan Barka tak tabah & lantas menyulut sebatang rokok untuk mengusir gundahnya.
“Sakit Amak kumat lagi,” jawab adik perempuannya pelan.
Barka menghela napas, matanya memandang satu per satu adik-adiknya yg telah akil balig cukup akal. Ia sudah hafal tabiat sakit Amaknya itu. Seingat Barka, berulang kali ia mengantar & menunggui Amaknya yg terbaring pasi di ranjang rumah sakit. Stroke beserta rematik itu sudah mengisap ketangkasan Amak.
Sebelum penyakit-penyakit itu bersarang di tubuhnya, Amak adalah perempuan tangguhyg bisa menghidupi keempat anaknya yg sudah yatim. Tapi, kejayaan itu cepat berlalu, lambat laun badan Amak kian ringkih seiring beranjaknya usia. Dan sebagai anak tertua, Barkalah yg menanggung dosa sebagai orang renta kedua bagi adik-adiknya semenjak ibunya cuma bisa terbaring letai dirongrong aneka penyakit. Maka beban berat itu mesti Barka tanggung.
“Kenapa gue baru diberi tahu sekarang?” ucap Barka tegas seraya mengembuskan asap rokok ke udara.
Asap itu lantas terkoyak angin masbodoh yg berembus cukup kencang. Keheningan saat itu juga merambat, memaku situasi menjadi kaku.
“Kami takut hal ini akan menyakiti perasaan abang.”
Barka menawan napas panjang. “Kaprikornus, apa yg kalian mau dariku?” sambung Barka cepat.
Sebenarnya, Barka sudah menebak hal yg akan adiknya utarakan, namun ia hanya ingin mendengar pribadi dr verbal adik-adiknya untuk meyakinkan bahwa tebakannya akan salah.
“Amak mesti dioperasi, mesti ada biaya,” jawab adik lelakinya. “Hanya Abang satu satunya kesempatan kami, Abang tak kasihan pada Amak?” sambungnya lagi.
Harapan yg Barka bangun seketika runtuh.
Kalimat terakhir itu bagaikan belati yg terhunus tak putus-putus menyayat nadi. Tidak henti-henti membuat dadanya tak putus dr kecamuk. Pikirannya kalut. Barka melempar pandang pada halaman itu. Tatapnya kosong menyisir sisa senja yg telah hilang. Gelap yg terpampang. Sebuah pemandangan kelam dr malam yg menerjang. Sekelam hatinya yg berselimut kepekatan.
Barka sudah mengenali apa yg mesti dilakukannya. Hanya saja, ia tak mempunyai kata-kata yg patut untuk disampaikan nanti pada Harsinah. Tentang semua cita-cita mereka yg terasa kandas di tengah jalan. (*)