DI masa kanak-kanak, rumah kami selalu kebanjiran amplop. Ruang tamu, laci-laci ruang kerja papa, lemari busana mama, hingga rak-rak dapur, sarat -sesak oleh amplop dr banyak sekali rupa, warna, & ukuran. Setelah mama & papa mengamankan isi dr amplop-amplop yg berserakan itu, kami akan melepaskan lipatan-lipatan kertasnya, lalu mengguntingnya sesuai pola-pola yg kami senangi. Dari potongan-potongan kertas bekas amplop itu kami gemar membentuk huruf-huruf, yg kemudian tersusun selaku R-E-I-N-A (mama), S-U-K-R-A (papa), & nama-nama kami sendiri; Abim, Amru, & Nuera. Sepulang sekolah, sehari penuh, kami asik menggunting-gunting kertas-kertas bekas amplop, sampai suatu hari kami bersepakat memberi nama tempat tinggal kami dgn “rumah amplop”. Rumah tempat beralamatnya amplop yg tiba dr berbagai penjuru. Rumah yg makin bercahaya, seiring dgn makin berhamburannya amplop ke dalamnya.
Barangsiapa yg dgn sadar & sengaja menaruh uang alakadar di amplop yg bakal diantar ke tempat tinggal kami, akan menciptakan papa jadi murka. Urusannya niscaya panjang, & tentu akan dipersulit. Izin proyek bakal terganjal. Meskipun begitu, setiap amplop yg sudah tergeletak di rumah kami, mama & papa pantang mengembalikannya, sampai pada suatu di saat, para pengantaramplop itu menyebut kami sebagai “keluarga kecil pemakan segala”. Besar kami makan, kecil pula kami telan. Seolah-olah lisan mama & papa begitu besar, bagai lisan buaya lapar yg senantiasa menganga, menyambut kedatangan amplop-amplop, namun selama beberapa tahun tak pernah membuat kenyang perut mereka.
Bila jalan-jalan di setiap sudut kota rusak & berlubang, bahkan ada yg sudah tak patut tempuh, itu bukan karena ulah kendaraan beroda empat-kendaraan beroda empat besar yg kerap melindasnya, tapi karena kendaraan beroda empat-kendaraan beroda empat kecil. Betapa tidak? Setiap kali papa terlibat dlm proyek pembangunan jalan, mama akan merengek-rengek manja minta kado mobil mewah keluaran modern. Dan, atas nama cintanya, membisu-membisu papa akan menyuruh pemborong untuk menipiskan aspal yg mestinya tebal, memendekkan jalan yg sebaiknya panjang, merapuhkan yg semestinya kuat, & semua hasil penyunatan budget itu ia pakai untuk berbelanja kendaraan beroda empat glamor seruan mama. Bukankah sedan itu kendaraan beroda empat berskala kecil? Nah, itu sebabnya kami katakan bahwa yg menghancurkan jalan bukan truk atau bis, tetapi koleksi kendaraan beroda empat glamor yg kini terparkir di garasi rumah kami. Papa punya Jaguar, Nuera punya Alphard lengkap dgn sopir pribadi, Abim punya Range Rover, Amru punya Jeep Rubicon, & mama punya Mercedes Benz.
Dulu, papa orang baik-baik. Anak patuh. Cerdas. Jujur. Bertanggungjawab. Setidaknya begitu cerita yg kami dengar dr salah seorang saudara saat kami diajak mudik. Namun, selepas menyandang gelar sarjana dr sebuah universitas ternama, nenek & kakek terus-menerus mendorong agar ia bisa menjadi pegawai negeri sipil. Sebab, di kampung papa, impian menjadi abdi-negara hampir-hampir sama mulianya dgn cita-cita masuk sorga di alam baka kelak. Selain hidup bakal terjamin, barangsiapa yg sudah mengantongi SK pegawai negeri sipil, dlm waktu yg tak terlalu lama akan selekasnya naik-kasta. Dari keluarga yg biasa-biasa saja, bermetamorfosis keluarga yg berlimpah puji & puja. Oleh karena itu, nenek melelang harta-benda, tiga kapling tanah warisan, lima bidang ladang, mengumpulkan duit pelicin guna meluluskan anaknya selaku pegawai negeri. Menggunakan segala cara yakni sah demi impian luhur itu.
Menurut Wak Odang (kakak kandung nenek), semenjak kejadian suap yg dijalankan dengan-cara buka-tajil itu, silsilah papa selaku orang baik-baik dipenggal. Watak kebaikan dlm diri papa telah disembelih. Bukan oleh orang lain, tetapi oleh ibu-bapaknya sendiri. Tak usang selepas nenek memasarkan tanah warisan, lalu menyuap pejabat yg berwenang, terjadi perselisihan andal antara Wak Odang & keluarga papa, yg hingga kini nyaris-nyaris tak terdamaikan. Dulu, Wak Odang amat gembira pada prestasi-prestasi yg diraih papa. Betapa tidak? Sejak sekolah dasar sampai sekolah menengah, keponakan kesayangannya itu selalu terpilih sebagai siswa teladan. Predikat juara umum tak pernah lepas dr tangannya. Begitu pula tatkala papa menjadi mahasiswa di kampus ternama di Jawa. Setiap pencapaian terbaik papa senantiasa menjadi tauladan bagi anak-anak Wak Odang. “Sukra satu-satunya anak kampung kita yg bisa diterima di akademi tinggi terkemuka di Jawa,” begitu Wak Odang memujinya.
Wak Odang murka besar lantaran perbuatan menyuap yg dikerjakan adik kandungnya, guna meloloskan papa menjadi pegawai negeri.
“Maaf, Bang, ini kesempatan kita. Bila tak kini kapan lagi? Mumpung ada yg mampu membantu,” dalih nenek waktu itu.
“Kesempatan untuk menjerumuskannya, maksudmu?”
“Demi masa depan Sukra, Bang!”
“Tahu apa kamu soal masa depan? Ia bisa meraih lebih dr apa yg kalian bayangkan!”
“Maaf, kami sudah setuju, Bang!”
“Bersekongkol untuk menghancurkan masa depannya? Tak akan selamat hidupnya. Yang bermula dr ketidakjujuran akan berakhir dgn ketidakjujuran pula. Tanggunglah karenanya nanti!” bentak Wak Odang.
Selepas perseteruan itu, Wak Odang tak pernah lagi bekerjasama dgn keluarga papa. Lantaran tak berhasil membendung ambisi nenek & kakek, ia mundur teratur. Apapun urusan keluarga besar papa ia tak pernah ikut campur lagi. Kakak-beradik telah pecah-kongsi, sudah berkerat-rotan, begitu orang-orang kampung menyebutnya. Sukra, keponakan yg sungguh disayanginya, dibanggakannya, kini mesti dilupakannya. Setinggi apapun pangkat & golongan papa, sebesar apapun efek papa, seberapa pun melimpahnya kekayaan papa, Wak Odang tiada pernah tergiur. Tanah warisan & ladang yg dahulu terjual kini memang sudah diganti, nenek & kakek sudah dinaik-hajikan, rumah di kampung direhab sampai menjadi begitu megah untuk ukuran rumah kampung, karib-saudara yg sedang terpuruk hidupnya terus disantuni. Sudah tak terhitung banyaknya sumbangan & sumbangan yg diberikan papa untuk orang-orang di kampung. Sekolah dibangun, masjid direnovasi, jalan diperbaiki, sampai nama papa begitu harum. Dermawan, pemurah, & baik hati. Meski berkarir di kota, menjadi orang besar & kaya-raya, papa tak lupa pada tanah asal.
Namun, tak demikian halnya dgn Wak Odang, yg nyaris tak pernah berganti nasibnya. Tubuhnya perlahan-lahan remuk digasak penyakit tua. Dirawat istri & anak-anaknya dgn pengobatan seadanya. Berkali-kali papa & mama tiba mengunjunginya, memberikan pertolongan, biar Wak Odang mampu berobat dengan-cara layak, tetapi ia selalu menolak. “Ajalku akan lebih singkat bila berobat dgn uang subhat-mu itu,” kata Wak Odang sambil terbatuk-batuk. Ia sungguh-sungguh telah menutup segala pintu bagi papa, keponakan kesayangannya. Sepeser pun Wak Odang tak sudi merasakan kekayaan papa. Wak Odang seolah-olah tahu dr mana sumber keberlimpahan di rumah amplop kami. Di matanya, kami lebih kotor dr najis, yg akan membatalkan wudhu’nya. Kami sangat aib bertemu dengannya.
Namun, rumah amplop kini sudah sepi. Tiada pernah kedatangan amplop lagi, sebagaimana dulu. Kemarau dr riuh bunyi masa kanak-kanak kami. Barangkali ia sudah tak patut disebut rumah amplop. Entah ke mana menghilangnya karakter-karakter dr bekas kertas amplop, mainan masa kecil kami. Mungkin sudah dibuang mama, lalu masuk ke karung-karung para pemulung. Sudah lama kami tak menginjakkan kaki di sana. Penghuninya cuma mama, satu orang pembantu, & seorang tukang kebun. Setahun kemudian, papa mengajukan permohonan pensiun muda. Ia ingin berkiprah membangun kampung halamannya. Sebagai putra kawasan, papa ambil serpihan dlm penyeleksian Walikota. Dari desas-desus yg kami dengar, papa disebut-sebut sebagai kandidat berpengaruh. Tim berhasil & para simpatisan berani menjamin kemenangan papa, tetapi dgn satu kriteria ringan; ia mesti punya istri dr tanah asalnya sendiri. Agar predikat papa selaku putra kawasan kian sempurna, hingga mampu menangguk sebanyak-banyaknya suara. Maka, tanpa sangsi, papa mempersunting gadis desa bernama Nurjannah, seusia anaknya. Berbuih-buih mulut papa meyakinkan mama bahwa akad nikah itu tak lebih dr pernikahan sandiwara demi mendulang bunyi, supaya ia memenangkan pemilihan Walikota. Entah karena jengkel, atau barangkali karena sangat maklum pada watak kemaruk papa, mama menyikapinya dgn amat santai. “Silahkan saja. Tapi sebaiknya kita berpisah saja!”
Sebagai Walikota terpilih, kini papa menggandeng Nurjannah, perempuan muda itu, ke mana-mana. Bukan saja dlm permasalahan-permasalahan kedinasan, tetapi pula urusan bersenang-senang & berbelanja ke Jakarta. Bersama istri muda, papa membangun “rumah amplop” kedua dlm sejarah hidupnya. Ganjilnya, mama sama sekali tak terguncang oleh kegilaan papa. Lagi pula, sepertinya mama sudah jenuh menjadi istri dr suami yg saban hari disumpah-sumpahi banyak orang. Kami pikir inilah peluang mama melepaskan diri dr genggaman papa. Kami, anak-anaknya, sudah sampaumur. Sudah punya dunia masing-masing.
Mama tidak mau ke mana-mana, ia cuma ingin istirahat di kota ini, di rumah amplop ini, & pensiun sebagai istri birokrat keparat. Aku, Abim, & Amru pula tak menggubris ijab kabul papa. Amru, adikku, cuma bilang: “silsilah Papa selaku lelaki setia sudah terpenggal sejak ia menceraikan Mama.” Itu mengingatkan kami pada luapan kemarahan Wak Odang di masa silam: “silsilah Sukra sebagai anak baik-baik sudah terpenggal semenjak ia dipegawai-negerikan dgn duit pelicin”.