Belakangan, tak gampang bagi Haji Sudung membongkar timbunan peristiwa silam di bilik kenangannya. Peristiwa-kejadian tak ubah barang rongsokan. Semacam lempengan-lempengan besi renta yg menelungkup & berkarat. Ya, usia begitu handal menyusutkan tubuh, mengangsurkan penyakit demi penyakit, tergolong melumpuhkan kenangan. Kalaupun ada lempengan yg masih berkilau, yakni hal yg kerap membikin cekung mata Haji Sudung berair. Selain maut istrinya empat tahun lampau, masa meninggalkan tanah kelahiran setahun lalu senantiasa meremas dadanya.
Bermula dr desakan anak-menantunya, Haji Sudung risikonya luluh. Hasil mufakat jarak jauh Marsan dgn kedua kakaknya—Lisna & Suti yg hidup mapan di Jakarta—sulit dibendung. Meski tinggal di rumah anak baginya serupa dgn menumpang, komitmen sudah telanjur masak. Begitulah, dulu anak-anaknya tunduk pada hukum-hukum yg ia maklumatkan. Tetapi, kini ia mesti paham bahwa tiba pula giliran untuk menurutkan kemauan anak.
Lisna & Suti memberi titah semoga Ayah tinggal bersama Marsan. Seluruh harta bumi dijual! Untuk terlebih itu, kata mereka. Toh, Ayah kewalahan mengurusnya. Para saudara, baik dr pihak Ayah maupun Ibu, tak bisa dipercaya, cuma lihai mengintai harta. Maka lebih baik diuangkan, ditabung, & dipakai Marsan untuk ongkos perobatan Ayah. Uang harta yg setara dgn ongkos sepuluh kali naik haji mustahil dibawa mati. Ayah mau naik haji lagi? Ah, empat kali ke Tanah Suci sudah cukup. Lagian, kondisi Ayah semakin mencemaskan. Jalan pun sudah terseok, menanggungkan rematik, paru-paru lembap, & mag akut.
Memang, Haji Sudung sudah kehabisan amunisi argumentasi untuk tak meninggalkan kampung. Limpahan kekayaan pun tak bisa berbelanja hasratnya untuk tetap bertahan. Lengan-lengan waktu teramat leluasa menguras kepunyaannya satu per satu. Anak-anak pergi menaklukkan hidupnya masing-masing. Istri pamit ke alam lain. Terus, rimbun ladang kopi, sawah berbidang-bidang, kolam ikan yg luas harus pindah ke tangan orang lain. Tinggal rumah panggung kebanggaannya yg masih dipertahankan. Itu pun sekadar penanda, bahwa Haji Sudung pernah lahir & menempuh hidup di situ.
Ia pernah mengapungkan keinginan untuk menikah. Tentu, keinginan yg jauh dr tunggangan kehendak duniawi. Iyalah, usia Haji Sudung nyaris menjamah angka 78. Manalah ia merisaukan hal yg demikian lagi. Ia ingin menyunting istri cuma untuk menghadapi kenyataan bahwa mesti ada yg merawatnya, menemaninya menunggu jemputan maut. Lain tidak. Lagi pula, Haji Sudung menggiring telunjuk harapan pada Maisa, adik mendiang istrinya. Ganti tikar namanya itu. Namun, belum lagi impian ditiup ke pihak perempuan, anak-anaknya langsung menghadang. Terlebih-lebih Risda, istri Marsan.
Memang, Risda tergolong paling ngotot melarang Haji Sudung menikah. Juga tak bosan-bosan melunakkan hati Amangboru—sang mertua—untuk tinggal bersamanya. Haji Sudung angkat topi dgn keuletan menantunya itu. Maka Risda yaitu salah satu argumentasi Haji Sudung menganggukkan kepala atas keinginan anak-anaknya.
”Untuk apalah Amangboru menikah lagi. Kalau soal merawat, gue pun mampu. Lagi pula, apa Amangboru yakin akan dirawat sehabis nikah? Bukan gue menjelek-jelekkan, cuma khawatir saja, bukannya mengurus Amangboru, eh malah menyedot kekayaan. Tengoklah, entah bagaimana caranya, beberapa bulan sehabis bou meninggal, sawah sebidang dijual keluarga bou. Pikirkan Amangboru-lah itu.” Beber Risda sebuah kali, tatkala ia, Marsan, & kedua anaknya rela menempuh waktu semalam menuju kampung, menyampaikan titah akad.
Haji Sudung tak menyangkal. Apa yg dikatakan menantunya itu realita. Sepeninggal istrinya, bou Risda, sebidang sawah miliknya raib dijual keluarga sang istri. Konon, Maisa ikut andil. Lantas, rasa segan bakal diurus menantu pun tak lagi menjadi pertimbangan bagi Haji Sudung untuk segera menghuni rumah Marsan.
”Apalagi yg dipikirkan. Itu, cucu Amangboru, Andika & Veri bakal senang kalau opungnya tinggal bersama mereka…,” bujuk Risda pada kunjungan yg lain. Haji Sudung terkekeh memperhatikan keheranan Veri menyaksikan belut hasil tangkapan Marsan di sawah belakang rumah. Ia bahagia setiap kali dikunjungi cucu-cucunya. Veri, tiga tahun, lagi bijak-bijaknya. Andika yg terpaut dua tahun di atas Veri pula sering menjadikannya terhibur. Apalagi, lima cucunya dr Lisna & Suti baru sekali bersua dengannya. Itu pun tatkala istrinya meninggal.
Maka, meski berat, Veri & Andika menjadi argumentasi lain Haji Sudung meninggalkan kampung halaman….
”Ini bukan dosa, Pa,” ujar Risda sambil menyetrika di ruang tamu. Marsan asyik menonton tivi. ”Kita pakai saja simpanan Amangboru. Mana tahu-tahu Amangboru itu.” Marsan membisu saja mendengar Risda yg berencana membuka usaha salon sekaligus bidan pengantin.
”Coba Papa pertimbangkan. Meski golongan tiga A, berapalah honor Papa. Itu pun dua pertiga habis menutupi kredit rumah. Sebentar lagi si Andika sekolah. Pengeluaran lagi, kan?” Marsan masih diam. Tetapi, sekarang matanya tertumbuk pada foto perkawinan yg tegak di samping tivi.
”Lagi pula, lama-usang tabungan Amangboru habis untuk ongkos berobat & tetek bengek yang lain. Nah, kalau sudah habis, kitalah yg menalanginya. Papa tahu kan, Kak Lisna & Kak Suti hampir tak pernah mengirim biaya suplemen. Maka itu, kita putar saja duit Amangboru. Ujung-ujungnya untuk mengelola Amangboru juga. Cocok, Pa?” Risda terengah, berbicara sambil menyetrika. Sedang Marsan tetap membisu. Kemeja Haji Sudung yg tengah disetrika Risda menyita perhatiannya.
”Aku tinggal kursus tata rias. Menjahit gue sudah cakap. Jangan khawatir, Pa, Amangboru tetap gue urus. Ini kan usaha rumahan. Paling gue keluar kalau lagi merias pengantin.” Marsan menghela napas. Lantas menggeser persepsi ke pintu.
”Ayah mana, ya?”
”Pa, Pa, paling di masjid belakang kompleks. Masjid kompleks kita kan enggak ada sembahyang berjemaahnya….”
Ya, kebisaan Haji Sudung sembahyang jemaah di kampung tak mampu ia tanggalkan. Ia semula senang mendapati masjid kompleks yg jauh lebih mewah dr masjid di kampung. Namun ia kecewa alasannya adalah masjid tersebut nyaris-hampir tak pernah dimanfaatkan penghuni kompleks. ”Masjid apa itu?” Adunya pada Marsan.
Maka tidak aneh, jikalau ia rela berjalan jauh—untuk ukuran Haji Sudung—demi menempuh masjid di tengah perkampungan warga di belakang kompleks. Ia bahkan betah berada di masjid itu dr zuhur sampai isya. Marsan & Risda pernah cemas mencari Haji Sudung alasannya adalah dianggap kesasar lagi. Rupanya, Haji Sudung ikut merayakan acara Maulid Nabi bersama warga di sekitar masjid tersebut. Sebelumnya, Haji Sudung pernah diantar penarik becak. Ia kehilangan arah, bukan berlangsung ke arah kompleks, malah membelakangi tujuan yg seharusnya.
Maklumlah, menjalani hari-hari pertama tinggal di kompleks saja, Haji Sudung sudah linglung. Ia pernah mengetuk pintu rumah penghuni lain di kompleks itu. Sulit baginya membedakan rumah Marsan kalau hanya menurut bentuk. ”Sama semua pula gue tengok,” kata Haji Sudung seakan membela diri. Saat itu, Risda tertawa geli.
Namun, seiring waktu, tawa geli Risda berubah kecemasan. Lama-lama ia merasa repot mengelola Haji Sudung. Tambah pikun ia, sudah sering buang hajat di celana. Warga di belakang kompleks pernah memulangkan Haji Sudung alasannya adalah berak tatkala sembahyang magrib. Sementara itu, salonnya mulai ramai. Panggilan ke acara pesta perkawinan makin banyak. Belum lagi kesibukannya memperbesar perangkat salon atau merancang busana pengantin versi gres menyandera banyak waktu. Maka sebuah peluang usai makan malam, Risda menyarankan Marsan semoga menitipkan Haji Sudung ke panti jompo.
”Di panti, makan & obat Amangboru terjaga, Pa. Ibadahnya pun lebih khusyuk. Orang setua Amangboru tinggal beribadah banyak-banyak. Mau terlebih, coba?” Marsan menjawab dgn membisu.
”Terpikir pula memang untuk menyewa pengasuh. Tapi kan sama saja, sebab Amangboru tetap di rumah ini. Kalau di panti banyak yg mengelola, ya makannya, ya obatnya, ya ibadahnya.” Risda kembali menguatkan pendapatnya. Sedang Marsan, lagi-lagi diam.
”Soal panti yg biaya bulanannya tak terlalu mahal, gue punya alamatnya. Nanti kita cek.” Marsan seperti hendak mengatakan. Tapi kepulangan Haji Sudung selepas isya membuat pembicaraan mereka terhenti. Marsan bergegas menyambut tatih langkah Ayahnya.
”Makan dahulu, Ayah. Biar makan obat.”
”Mmh…,” balas Haji Sudung pelan. Tetapi, langkahnya berbelok ke kamar. Ia tak selera makan. Air mukanya kusut. Beberapa hari ini, harapan untuk balik ke kampung acap menggedor dadanya. Ia tak betah di rumah Marsan. Ia merasa sebagai beban, atau sebab tak cocok dgn lingkungan kompleks? Tetapi, di sisi lain, ia tak yummy hati pula pada Marsan & menantunya. Ia harus menimbang harga diri mereka. Apa nanti cemoohan orang-orang di kampung. ”Tak pintar si Marsan & si Risda itu menyenangkan orangtua, ya?”
Maka hari-hari terakhir ini, Haji Sudung lebih banyak mengurung diri di kamar. Tidur-tiduran. Ya, seperti malam ini. Tadi ia tak pergi ke masjid. Napasnya sesak lagi. Sejak magrib tadi ia cuma berbaring. Tidur-tidur ayam. Dalam persimpangan antara tidur atau tidak, Haji Sudung pun datang-tiba berada di persimpangan antara mimpi buruk atau tidak. Ia duduk di sofa, berhadap-hadap dgn Marsan & Risda. Tetapi, Haji Sudung tak berdaya tatkala mengetahui rencana Risda terhadapnya.
”Sudahlah, Pa. Kirim saja Amangboru ke panti. Ini demi kebaikan kita & Amangboru juga,” desak Risda. Marsan diam. Secangkir kopi yg baru disajikan istrinya masih terlalu panas untuk diseruput. Haji Sudung tak mempermasalahkan kenapa Risda tak menyuguhkan kopi untuknya. Ia memang dilarang dokter minum kopi. Tetapi, ia gusar mendengar deretan kata-kata susulan yg meluncur lancar dr ekspresi Risda.
”Amangboru sudah uzur, Pa. Dan siapa saja bakal mati. Kini kita harus memikirkan yg ada di depan. Masa depan keluarga kita, belum dewasa kita.” Ingin rasanya Haji Sudung menempeleng Risda, pula menendang Marsan yg cuma mampu diam. Ia tahu, membisu bukan huruf Marsan yg bahu-membahu. Paling tidak, sebelum ia menikah. Tapi bagaimana Haji Sudung hendak menempeleng atau menendang. Bukankah ia sedang berada di kemudian lalang mimpi? Entahlah!
”Besok kita antar Amangboru ke panti jompo!” tegas Risda. Darah Haji Sudung mendidih. Ia berharap Marsan membenamkan cangkir kopi ke mulut Risda. Tetapi, ekspresi Risda malah memberi perintah pada kedua anaknya.
”Andika, Veri, suruh Opung bersiap-siap. Bilang, besok kita jalan-jalan ke kampung!”
”Kita pulang kampung, Ma?” Risda menggangguk. ”Hore, hore,” Andika & Veri melambung kegirangan. Haji Sudung menyaksikan cucu-cucunya berlari ke arah kamarnya.
”Opung, Opung, besok kita mudik kata Mama. Boleh mandi ke sungai, kan, Pung,” teriak Andika.
”Nangkap belut saja, Pung,” rengek Veri.
Haji Sudung tersentak. Ia mendapati kedua cucunya menggoncang-goncang tubuhnya. Ia berusaha bangun dr daerah tidur. Belum sepenuhnya sadar, berulang-ulang ia mendengar Andika & Veri berteriak sahut-sahutan.
”Kata Mama besok kita mudik. Ayo, Pung, susun baju,” teriak Andika.
”Iya, Pung. Susun baju,” Veri membeo.
Haji Sudung terpana mendengar kabar itu. Ah, gue tadi cuma mimpi jelek, batinnya. Dengan gerakan gontai, ia mendekap dekat kedua cucunya. Dari ufuk matanya terbit mata air kehangatan. Lantas, dgn tangan yg bergetar mahir, Haji Sudung bergegas menyusun pakaiannya ke dlm tas Lee yg kusam. Seperti menyusun bengkalaian peristiwa ke bilik kenangannya yg sarat debu. Andika & Veri begitu terampil menolong Opung mereka. Tak satu baju pun yg tertinggal di almari. Seolah-olah Haji Sudung tak akan kembali lagi ke rumah itu.
Malam itu, sambil mendekap buntalan tasnya, Haji Sudung tak tabah untuk secepatnya tertidur. Ia ingin berlari mengejar pagi. Atau, mana tahu anyir tanah kelahiran lebih dulu hinggap ke dahan mimpi. Bukan mimpi buruk pastinya. Namun, siapa yg mampu mengenali isi mimpinya? Sebab, dlm kegalauan tidur, lisan Haji Sudung cuma lumat oleh igau yg awut-awutan.
”Ini bukan kampungku! Ini bukan rumahku!”