JIKA hujan singgah, Mamah akan bingung. Hujan memang anugerah. Pohon-pohon yg kekeringan, daun-daun yg kehausan, & rumput-rumput yg ranggas akan senang
mendapatkan guyuran air segar lembap. Tapi hujan pula mampu jadi bencana alam. Air yg melimpah-ruah tetapi tak lancar mengalir bakal menjadi banjir. Rumah kami yg mungil pun dipaksa menjadi rumah air.
Sejak Ibu pindah ke Jakarta untuk melakukan pekerjaan semoga gue bisa tetap bersekolah tanpa kekurangan biaya, gue tinggal bareng Aki & Mamah—orangtua almarhum Bapak. Rumah warisan Bapak yg terletak di batas kota—cukup jauh dr daerah tinggalku kini—disewakan pada tetangga yg memerlukan rumah bagi anaknya yg baru menikah.
Rumah Aki yg pensiunan guru sekolah dasar tidaklah luas.
Bangunan sederhana itu cuma punya dua kamar mungil & halaman depan kecil yg dipenuhi aneka flora. Ada pohon jambu air yg ditanam Aki persis bersamaan dgn hari gue di- lahirkan & kini sudah tumbuh tinggi & tekun berbuah. Ada melati yg senantiasa subur; bunganya wangi & aromanya selalu membuatku rindu pada Ibu. Ada bunga cangkok Wijayakusuma yg sesekali mekar saat fajar. Ada pula telinga gajah yg berdaun lebar.
Rumah itu terletak tak jauh dr sebatang sungai yg alirannya membelah kota kami hingga ke tempat-daerah yg belum pernah kukunjungi. Jika hujan menderas & air sungai meluap, niscaya rumah kami menjadi rumah air. Itulah yg kerap membuat Mamah bingung ketika isu terkini hujan tiba.
Seumur hidupku yg pendek, rumah Aki bisa jadi rumah termungil & terburuk yg pernah kuhuni. Namun, kehidupanku di rumah itu ialah salah satu masa terindah dlm ingatanku. Kami mungkin hidup serba terbatas, tapi kami senang. Kami s aling mencintai. Aku menemukan keleluasaan masa kecil yg membahagiakan & hidup riang bangga apa adanya.
Jika semasa Bapak masih ada gue hidup tenteram di rumah yg elok, segala kebutuhan dilayani pembantu, berangkat ke sekolah dikirim sopir, kini gue harus belajar lebih mandiri: mandi sendiri pada waktunya tanpa harus disuruh, makan seadanya, pergi ke sekolah naik angkot. Tapi gue sangat merasa bahagia di tengah segala kekurangan ini.
Seperti sore-sore demam isu hujan yg lain, sore itu hujan turun dgn seenaknya. Kotaku yg hambar semakin terasa acuh taacuh. Aku duduk memeluk lutut di atas kursi panjang. Masih kupakai celana merah bekas sekolah. Di kursi sebelah, Aki duduk menumpang kaki. Kakinya terbalut sarung kotak-kotak biru putih. Rambut putihnya tertutup kopiah hitam. Kami menyimak radio. RRI sedang mengudarakan siaran eksklusif pertarungan sepak bola. Persib tertinggal 0-1 dr PSMS.
Di dapur yg terletak persis di samping ruang daerah kami duduk, Mamah tengah menggoreng tempe tepung. Mamah pandai sekali menciptakan tempe tepung yg enak. Mungkin itu alasannya racikan bumbunya yg istimewa. Setiap hari Mamah selalu menyajikan tempe tepung. Lauk makan yg lain boleh berganti, tapi tempe tepung selalu ada. Dan kami tak pernah jenuh melahapnya. Siapa pula yg akan jenuh menikmati sesuatu yg menyenangkan?
Saat Adjat Sudradjat berkelit lincah menggiring bola di rusuk kiri pertahanan musuh melalui terkaman Sunardi Batubara & melepaskan umpan manis ke arah Djadjang Nurdjaman, halilintar menggelegar mengagetkan kami bertiga. Hujan yg semula turun dgn seenaknya berganti deras. Bunyi hujan yg makin lebat ditingkahi deru angin menciptakan bunyi penyiar radio tak terang terdengar. Tapi dr nadanya, naga-naganya tadi Djadjang gagal lagi mengoyak jala musuh.
Aku menatap ke luar jendela beling. Hujan angin menciptakan pemandangan diluar seperti terhalang tirai air. Air turun dr langit susul-menyusul, berlapis-lapis, tak henti-henti. Udara sedingin es loli. Kurapatkan kaki.
Cukup lama hujan deras mendera. Suara air tumpah tak pula mereda. Sembilan detik sesudah Adjat menanduk bola menjebol sudut kiri gawang Ponirin Meka, terdengar Mamah berseru dr kamar mandi terbuka yg hanya bersekat dinding tembok setinggi leher orang remaja & berbatasan eksklusif dgn dapur. “Air! Air masuk dr kakus! Banjir!” teriak Mamah setengah ketakutan.
Pertandingan masih bersisa dua puluh tujuh menit, tapi kami sudah tak peduli. Kami kalang kabut merapikan barang-barang berharga yg mesti diselamatkan semoga tak menjadi korban banjir, tergolong pesawat radio yg bergegas kami matikan, kemudian ditaruh di atas lemari. Kami pula merapikan bangku, menumpuknya diatas meja agar alasnya tak terbasahi banjir. Mamah sigap merapikan piranti dapur, termasuk kompor, & menaruhnya di kawasan yg agak tinggi. Tempe tepung yg baru sebagian akhir digoreng cepat-cepat ditaruh di atas piring & disimpan ditempat yg aman.
Sementara itu, air terus menghambur masuk, makin meninggi. Tak bisa dicegah, tak mau berhenti. Menyerbu dr segala arah, tak cuma dr kamar mandi. Dan hujan terus mengguyur bumi. Rumah kami pun jadi rumah air, seperti kolam mini.
Saat air sudah setinggi pinggangku & sebagian barang-barang mengapung ditengah genangan air kecoklatan bercampur kotoran & sampah didalam rumah, Aki memutuskan agar kami mengungsi ke tempat tinggal tetangga yg letaknya lebih tinggi. Tertatih-tatih, dgn susah payah kami bertiga melangkah mengarungi banjir. Sebelum meninggalkan rumah, Mamah sempat menjinjing tas tangan kecil berisi sedikit barang berguna, tergolong buku tabungan untuk mengambil uang pensiun Aki & sedikit tabungan pemanis. Tapi kami tak sempat membawa radio & tempe tepung.
Di rumah Bu Sugih, janda setengah baya yg rumahnya lapang & letak permukaan halamannya lebih tinggi dr permukaan gang kecil kami, sudah ada beberapa tetangga yg pula tengah mengungsi. Bu Sugih menyambut kami yg berair kuyup oleh air hujan & banjir dgn senyum hangat, kemudian menyuguhi kami masing-masing segelas teh manis yg pula hangat.
Sambil duduk mencangkung di teras halaman rumah Bu Sugih, gue menyeruput teh secara perlahan-lahan. Hangatnya hingga ke hati. Dari situ gue bisa menyaksikan cuilan samping rumah kami yg tergenang banjir. Seraya menatap hujan yg terus turun, gue bengong. Ada satu hal yg kusesalkan. Mengapa tadi kami tak menenteng serta radio? Jika ada radio, tentu kami bisa melanjutkan menyimak pertarungan sepak bola. Menghibur hati di tengah bencana. Bu Sugih memang baik budi, tapi gue tak yakin ia senang menyimak pertandingan sepak bola. Lagi pula, gue terlalu sungkan untuk memintanya menyalakan pesawat radionya.
Dalam hawa dingin menggigilkan, ditingkahi derai hujan, gue memandang nanar air banjir bercampur sampah yg kecoklatan. Kubayangkan diriku bermetamorfosis pemain satria, menggiring bola meliuk-liuk melewati pemain lawan, kemudian mencetak gol kemenangan. Seluruh stadion bersorak kegirangan. Aku senang tak terkatakan. Setidaknya didalam lamunan.
Namun, diluar air kotor tetap saja menggenang tinggi. Menghanyutkan segala sampah dr kali. Menelikung rumah kami yg hanya terlihat pecahan sampingnya dr sini. Dikepung banjir. Serupa rumah air. [*]