Masih terang dlm ingatan Rao, peristiwa berdarah tujuh belas tahun yg kemudian, dikala ia & gerombolannya dikepung polisi di belantara Himbe Ijang. Mereka cuma diberi dua opsi; mengalah atau melawan. Dua opsi itu sama buruknya. Jika tertangkap, mereka akan berakhir di penjara & jikalau melawan, mereka akan selsai di kuburan—itu pun kalau jenazah mereka tak dibuang.
Malam itu, belantara Himbe Ijang riuh oleh suara tembakan. Tiga anak buah Rao mati diterjang peluru, sedangkan dirinya sukses lolos dr maut sesudah berhasil melarikan diri & menerabas gelap pekat belantara Himbe Ijang. Ia menjatuhkan diri ke jurang Matauh yg terkenal dlm & menyeramkan. Para polisi menghentikan pengejaran & semenjak saat itulah Rao resmi menjadi buronan.
Ia mengembara di sepanjang Pulau Sumatera. Dari Bengkulu, ke Jambi, menetap sebulan dua bulan di Padang, hingga kesannya pelarian itu mengantarkannya ke kota Medan. Di kota inilah Rao menyamar sebagai sopir sodaco yg mengambil jurusan Simalingkar-Padang Bulan.
Jika ditanya, siapa sosok yg paling dirindunya, maka jawabannya tentulah pada Mar. Rao merindukan wanita itu nyaris setiap hari. Satu-satunya yg bisa mengobati kerinduan itu cuma selembar foto yg senantiasa ia simpan di saku baju. Di dlm foto itu Rao memeluk Mar—wanita yg mengenakan daster bermotif bunga asoka & terlihat sedang hamil tua.
Bertahun-tahun ia membekap rindu, terlunta-lunta di tanah orang, dihantui bayang-bayang masa lalunya yg hitam. Rao tak memiliki keberanian untuk pulang, tersebab malu berjumpa Mar.
Namun watak rindu memang demikian keras kepala. Meski sudah beberapa tahun Rao menjajal mengenyahkannya, tetapi senantiasa saja, rindu itu tiba & membuat batinnya terpiuh-piuh remuk redam. Sampai pada alhasil kesempatan menuntaskan rindu itu datang. Marpaung, sobat dekatnya yg berprofesi sebagai sopir truk ekspedisi, memintanya mengirim muatan ke Jakarta.
“Anak sulungku masuk rumah sakit. Kau tahu, sejak Julaiha meninggal, akulah satu-satunya orang tuanya. Tolonglah, gue sungguh-sungguhbutuh bantuanmu. Tak akan usang. Satu minggu saja,” kata Marpaung.
Tak mungkin Rao menampik usul itu. Marpaung yakni orang yg pernah menolongnya, orang yg pernah menyelamatkan jiwanya dr amuk massa saat terpaksa mencuri karena lapar. Marpaung pula orang yg mengenalkannya pada Haji Sulaiman & meyakinkan pemilik armada sodaco itu untuk memberinya pekerjaan. Sebagai laki-laki, Rao mesti tahu cara membalas akal.
“O ya, apa kamu pernah mendengar ihwal Gelang Akar?” tanya Marpaung membuyarkan lamunan Rao.
“Gelang Akar?”
“Gerombolan begal yg menguasai jalur Lintas Selatan,” ujar Marpaung sambil menyeruput kopi buatan Mak Salim, pemilik kantin armada sodaco, kawasan ia & Rao sedang berbicara.
Rao menggeleng. “Aku sudah lama tak pulang. Pasti banyak yg sudah berubah.”
Laki-laki setengah baya itu menawan sebatang rokok dr bungkusnya, kemudian menyelipkannya di bibir. Sebenarnya ia terkejut sekali ketika Marpaung menyebut-nyebut nama itu. Masa lalunya yg sudah mati hidup kembali. Namun, Rao cepat menyembunyikan perubahan air mukanya di balik gumpalan asap rokok yg diembuskannya. Asap itu tebal bergumpal-gumpal, persis isi kepalanya.
“Kau pernah bertemu mereka?” tanya Rao.
“Tidak pernah,” jawab Marpaung.
“Tiga ahad yg kemudian kabarnya Ucok Lintah dibegal kawanan bedebah ini.”
“Bagaimana mungkin?” ledek Rao disusul tawa pendek yg terdengar sumbang. “Ucok itu preman di pangkalan sodaco ini. Tak mungkin gampang mengalahkannya.”
“Mereka punya senjata,” ujar Marpaung.
“Senjata?”
“Iya, senjata api. Bah! Kau pikir cuma bendo? Kalau cuma parang, tak akan mundur kawan kita itu!” seru Marpaung tergelak.
Rao ikut tergelak. “Ooo, pantas saja kalau begitu.”
“Ya, karena itu kusarankan padamu, sebaiknya berhati-hati saat melintas di sana. Usahakan jangan melintas malam hari.”
Rao mengangguk & tersenyum sarat arti. Bertahun-tahun yg lalu, ia pula seorang begal. Dan tentu saja, rahasia itu tak akan ia ceritakan pada Marpaung. Rao yakin sekali, ada gerombolan lain yg memakai nama Gelang Akar, alasannya adalah dikala ini, hanya dirinya satu-satunya orang yg masih hidup dr gerombolan itu. Alih-alih takut, Rao justru penasaran, siapa yg telah membangkitkan nama Gelang Akar?
Bahar berdiri di ambang pintu. Baju seragam sekolahnya berair oleh air mata. Ada gurat luka di pelipisnya, seperti bekas cakaran. Mar sedang menjemur cucian tatkala anak semata wayangnya itu mengajukan pertanyaan dgn nada penuh kemarahan.
“Apa benar gue anak seorang begal?”
“Siapa bilang begitu?”
“Teman-temanku.”
Mar termenung, memandangi wajah anaknya.
“Mana yg akan kaupercaya? Emakmu atau temanmu?” tanyanya gemetar.
Bahar mematung dgn wajah merah padam.
“Jangan dengarkan apa kata mereka,” lanjut Mar sambil mengusap kepala Bahar. “Mereka tak tahu apa-apa. Bapakmu bukan penjahat. Bapakmu sedang merantau ke Malaysia.”
“Betulkah itu?”
Mar mengangguk bimbang. “Lihatlah foto yg tergantung di dinding itu,” katanya seraya menunjuk sebingkai potret buram yg tergantung di dinding. “Itu gue & bapakmu. Ia lelaki baik-baik. Bukan penjahat.”
Bahar tak lagi bertanya. Ia meninggalkan ibunya mematung di bawah tiang jemuran. Dada wanita itu rengkah. Entah hingga kapan hatinya sanggup menyimpan rahasia. Lidahnya membatu setiap kali ingin menceritakan semuanya pada Bahar.
Semula Mar menerka jawaban yg ia berikan siang itu akan memungkasi dilema, tetapi esok paginya, Bahar kembali pulang lebih awal & menenteng luka lebam di bawah mata. Tatkala Mar bertanya, anak itu mengaku baru saja mematahkan batang hidung sahabat sebangkunya.
“Mereka boleh menghinaku. Tapi jangan sesekali mencibir bapakku,” ucap Bahar geram.
Sejak hari itu, Bahar menjadi liar & gemar bertengkar. Tak sekali dua kali Mar dipanggil guru. Tak jarang pula wanita itu dilabrak orang renta yg anaknya babak belur dipukuli Bahar. Namun Mar tak pernah menjawab & tak pula membela. Sikap yg kesudahannya membuat Bahar kembali mengajukan pertanyaan-tanya.
“Mengapa Emak tak pernah membela bapak?”
“Untuk apa? Mereka tak tahu apa-apa.”
Mendengar itu Bahar terjaga, tak ada yg mampu membela bapaknya kecuali dirinya sendiri. Lantaran itu pula ia menolak tatkala Mar membujuknya kembali ke sekolah. Bahar lebih memilih mencar ilmu kuntau pada Cik Amat, seorang satria bau tanah di kampungnya.
Hanya perlu waktu tiga tahun bagi Bahar mengkhatamkan semua jurus yg diberikan Cik Amat. Tiga tahun yg mengubah dirinya dr bocah kerempeng, menjadi jago kuntau yg disegani.
Menginjak usia enam belas, Bahar mengajak sobat-temannya sesama putus sekolah untuk bergabung dgn kelompok berandalan yg ia namai Gelang Akar. Nama itu terilhami dr kisah yg disenaraikan Cik Amat, bahwa belasan tahun yg lalu, nama itu digunakan segerombolan begal budiman. Mereka kerap membagi-bagi hasil rampokan pada orang miskin di kampung-kampung.
“Tapi kini, tak ada yg tahu nasib gerombolan itu. Mereka mungkin sudah mati ditembak polisi,” kata Cik Amat memungkasi kisahnya pada Bahar.
Dari sekian puluh aksi yg dipimpinnya, baru kali ini Bahar dipaksa turun tangan. Laki-laki itu berhasil menumbangkan tiga temannya dlm satu pertarungan. Bahar terjaga, ia dlm perkara besar sekarang. Sopir truk yg dihadapinya kali ini, bukan sopir truk asal-asalan. Bahar menghunus pistol, bermaksud menyudahi pertengkaran. Namun pistol itu, entah mengapa, tiba-tiba tak mau bersuara. Pistol di tangannya seolah berkembang menjadi menjadi besi renta yg tak memiliki kegunaan.
Laki-laki itu menyeringai sambil menunjuk pistol di tangan Bahar dgn tatapan menghina. “Benda itu hanya cocok untuk wanita.”
Bahar mendengus. Dibantingnya pistol itu ke aspal. “Kalau begitu, ajari gue bertengkar dengan-cara jantan!” serunya sembari meloloskan golok yg tergantung di pinggang.
Desing logam menggema di udara. Laki- laki itu menahan napas. Golok melesat di atas kepalanya. Dengan sigap, ia menarik badan ke belakang, namun telat. Ujung golok itu menggores pipinya. Bibir laki-laki itu bergetar, bukan oleh rasa sakit, melainkan oleh amarah. Dengan gerakan memutar, ia menendang dada Bahar. Bahar melompat mundur. Laki-laki itu mencabut sebilah belati.
Jual beli jurus berlangsung di atas jalan yg sepi. Golok & belati saling silang mencari maut. Meski pertandingan telah berjalan bermenit-menit, tetapi di antara mereka belum ada yg menyerah. Bahar mengeluarkan semua jurus kuntau yg ia miliki, tetapi pria itu masih tetap berdiri.
“Aku akan mengadu nyawa denganmu!” teriak Bahar kalap & merasa sedang dipermainkan. Laki-laki setengah baya itu tersenyum mencela. Namun ia tak mampu menutupi sirat lelah di parasnya. Pertarungan itu telah menguras separuh tenaganya.
Untuk sementara laki-laki itu masih sigap mengelak, tetapi usang kelamaan ia terdesak juga. Hingga pada satu titik, Bahar mendapatkan satu celah. Kepalan tangannya berhasil mendarat di pelipis, disusul tendangan ke tulang rusuk. Sabetan golok menyilang tajam, merobek urat besar di pangkal leher. Laki-laki itu mengeluh pendek, lantas tumbang di atas genangan darahnya sendiri.
Belum pernah Bahar bertemu musuh segigih ini. Lawan paling tangguh yg pernah ia hadapi. Ia menghampiri jenazah itu, kemudian memungut selembar foto yg tercecer di atas aspal. Dua wajah yg tak aneh di foto itu membuat tubuhnya bergetar, memicu raung panjang dr mulutnya. Bahar jatuh berlutut, meratap rindu pada bapaknya & menghiba meminta ampun pada emaknya. (*)