Kebenaran itu berlawanan dengan perkembangan, dimana pandangan perihal kebenaran sering terpengaruh oleh pertumbuhan-perkembangan yang nampak. Kebenaran itu non-cumulative (tidak bertambah) sedangkan kemajuan itu cumulative (bertambah), artinya kebenaran itu tidak makin berkembang dari waktu ke waktu, sedangkan pertumbuhan itu meningkat .
Dalam persepsi Pragmatisme, teori kebenaran itu yakni keyakinan itu benar kalau dan cuma kalau berkhasiat. Ukuran kebenaran yaitu apakah sebuah iman mampu mengirimkan orang pada tujuan. Pragmatisme menolak persepsi tentang kebenaran kaum rasionalis dan idealis alasannya adalah persepsi mereka tidak berguna dalam kehidupan yang simpel.
Islam tidak mirip itu. Islam menatap kebenaran adalah apa saja yang tiba dari Allah swt (“al-haqqu mirrabbik”, Q.S al-Baqarah [2]:144,147). Berguna atau tidaknya dalam kehidupan simpel, kemajuan jangan sampai memperdayakan. Yang dimaksud dengan “kebebasan” yaitu dalam hal bisnis dan kemajuan dalam ilmu pengetahuan serta teknologi (Kuntowijoyo, 2004:5).
Untuk itu, perlunya Islam selaku teks (al-Qur’an dan As-Sunnah) dihadapkan pada realitas, baik realitas sehari-hari maupun realitas ilmiah. Dengan kata lain, dari teks ke konteks (teks konteks). Hal ini berlainan dengan Islamisasi pengetahuan, yang berbentukgerakan dari konteks ke teks (konteks teks).
Seperti uraian diatas, bahwa kebenaran dalam perspektif islam yaitu apa saja yang datang dari Tuhan (“al-haqqu mirrabbik”, QS al-Baqarah:144,147). Kuntowijoyo (2014:6) orang hendaknya selalu pada al-Qur’an dan sunnah selaku referensi, dengan kata lain senantiasa kembali pada teks, selama ini ada dua model utama yang seluruhnya berusha kembali pada teks, adalah (1) dekodifikasi (klasifikasi), dan (2) Islamisasi wawasan. Kemudian kuntowijoyo menyertakan satu model ialah (3) demistifikasi Islam (penghapusan gaib Islam)/Pengilmuan Islam.
Daftar Isi
A. DEKODIFIKASI
Dekodifikasi. Supaya Islam tetap pada asasnya perlu dijaga. Kriteria tertentu bagi penafsir al-Qur’an dimaksudkan semoga ilmu agama tetap konsisten, tidak berubah dari aslinya. Al-Qur’an dan As-Sunnah lalu dijabarkan (dekodifikasi) kedalam ilmu-ilmu agama, seperti tafsir, tasawuf dan fiqh. Ini bagian terpenting dari agama, alasannya adalah subtansi agama terletak disini. Dengan kata lain dari teks (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dijabarkan kedalam teks (tafsir, tasawuf, dan fiqh), atau teks – teks (Kuntowijoyo, 2004: 6).
Dari hasil dekodifikasi inilah lalu digunakan untuk berfikir, berkata dan berbuat. Dekodifikasi memiliki sifat nyata yakni tejaganya korelasi antar teks, namun juga mempunyai segi negatif adalah (1) involutif dan (2) ekspansif (Kuntowijoyo, 2004:7).
Involutif
Involusi adalah tanda-tanda pertumbuhan ilmu ke dalam menjadi ilmu yang kian renik. Kebiasaan untuk berbagi wawasan dengan menulis buku-buku syarh (pembagian terstruktur mengenai) memperlihatkan bahwa ukuran kesempurnaan penguasaan ilmu yakni pengembangan dari buku-buku lama yang dianggap sudah mencapai standart, tidak dalam pengembangan ilmu-ilmu baru, hormat yang berlebihan pada guru.
Ekspansi
B. ISLAMISASI PENGETAHUAN
Islamisasi pengetahuan berusaha agar umat Islam tidak begitu saja memalsukan metode-sistem dari luar dengan mengembalikan pengetahuan pada pusatnya, yaitu tauhid. Dari tauhid akan ada tiga macam kesatuan, ialah kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan, dan kesatuan sejarah. Islamisasi wawasan memiliki arti mengembalikan wawasan pada tauhid, atau konteks kepada teks. Maksudnya biar ada koherensi (lekat bareng ), wawasan tidak lepas dari kepercayaan.
Menurut Kuntowijoyo (2014:8-9) timbul pertanyaan tentang kedudukan wawasan dalam Islam. Pengetahuan yakni kebudayaan, kebudayaan yaitu mua’malah, sehingga rumusan “semua boleh kecuali yang tidak boleh” berlaku untuk wawasan.
Pengetahuan yang benar-benar objektif tidak perlu di-Islamkan, karena Islam mengakui Objektivitas. Teknologi itu sama saja, baik di tangan orang Islam maupun orang kafir. Karena itu kita mesti pandai menentukan mana yang perlu Islamisasi mana yang tidak. Tidak ada kegundahan apapun tentang ilmu yang betul-betul objektif dan sejati. Kaprikornus, islamisasi wawasan sebagian memang perlu, sebagian pekerjaan yang tidak berkhasiat.
C. DEMISTIFIKASI
Menurut D.A Rinkes dari Kantoor voor Inlandsche Zaken pada 1914 sebagaimana dikutip Kuntowijoyo (2014:10) menyampaikan bahwa umat Islam condong mengadakan mistificatie agama. Lebih lanjut Kuntowijoyo (2014) menerangkan bahwa setidaknya ada lima macam “mistik” (misteri) yang ada pada umat Islam, yaitu gaib metafisik, gaib sosial, mistik etis, mistik pikiran sehat, dan msitik kenyataan. Mistik metafisik ialah hilangnya seseorang “dalam” Tuhan yang disebut misticism atau sufisme, baik sufisme subtansi atau sufisme atribut.
Dari semua itu, kiranya yang cocok dengan kebutuhan kita yaitu gaib realita. Agama kehilangan kontak dengan kenyataan, dengan realitas, dengan aktualitas, dengan kehidupan. Dengan kata lain, tekskehilangan konteks.
Dalam praktik, pengajar “Islam Kontekstual” ialah dosen mata kuliah dari fakultas yang bersangkutan, bukan dosen “agama” yang khusus. Pengajar agama di fakultas Kedokteran ialah seorang dokter yang juga mengajar mata kuliah objektif lainnya. Di fakultas Pertanian yaitu seorang Insinyur pertanian yang juga mengajar mata kuliah “biasa”, dan seterusnya.
Catatan Penulis: Melalui Buku ini Kuntowijoyo ingin memberikan bahwa gerakan Islamisasi Pengetahuan yang akhir-simpulan ini berkembang sebagaian memang perlu, namun sebagian lagi pekerjaan yang tidak berguna, oleh balasannya beliau memandang lebih sempurna jika Islam sebagai Ilmu, bukan Islamisasi Pengetahuan.
Sumber: Kuntowijoyo. 2004. Islam sebagai Ilmu; Epistemologi, metodologi, dan Etika. Bandung: Teraju