close

Resensi Novel “Siti Nurbaya (Kasih Tak Hingga)” Karya Murka Rusli

 Ibunya meninggal saat Siti Nurbaya masih kanak Resensi Novel “Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai)” karya Marah Rusli Judul Buku : Siti Nurbaya ( Kasih Tak Sampai )
Pengarang : Marah Rusli
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun Terbit : 1992
Tempat Terbit : Jakarta
Tebal : 271 halaman
Tokoh : Siti Nurbaya, Samsulbahri, Datuk Maringgih, Baginda Sulaiman, dan Sultan Mahmud.

Sinopsis
Ibunya meninggal dikala Siti Nurbaya masih kanak-kanak, maka bisa dibilang itulah titik awal penderitaan hidupnya. Sejak ketika itu sampai remaja dan memahami cinta beliau hanya hidup bersama Baginda Sulaiman, ayah yang sangat disayanginya. Ayahnya adalah seorang penjualyang ternama di kota Padang. Sebagian modal bisnisnya merupakan uang dukungan dari seorang rentenir bernama Datuk Maringgih.

Pada awalnya usaha jual beli Baginda Sulaiman mendapat kemajuan pesat. Hal itu tidak dikehendaki oleh rentenir mirip Datuk Maringgih. Maka untuk melampiaskan keserakahannya Datuk Maringgih menyuruh kaki tangannya mengkremasi semua kios milik Baginda Sulaiman. Dengan demikian hancurlah perjuangan Baginda Sulaiman. Ia jatuh miskin dan tak mampu membayar hutang-hutangnya pada Datuk Maringgih. Dan inilah kesempatan yang dinanti-nantikannya. Datuk Maringgih mendesak Baginda Sulaiman yang sudah tak berdaya supaya melunasi semua hutangnya. Boleh hutang tersebut mampu dianggap lunas, asalkan Baginda Sulaiman mau menyerahkan Siti Nurbaya, puterinya, kepada Datuk Maringgih.

Menghadapi kenyataan mirip itu Baginda Sulaiman yang memang telah tak mampu lagi mengeluarkan uang hutang-hutangnya tidak mendapatkan pilihan lain selain yang ditawarkan oleh Datuk Maringgih.

Siti Nurbaya menangis menghadapi realita bahwa dirinya yang manis dan muda belia harus menikah dengan Datuk Maringgih yang renta bangka dan berkulit kasar seprti kulit katak. Lebih duka lagi ketika beliau teringat Samsulbahri, kekasihnya yang sedang sekolah di stovia, Jakarta. Sungguh berat memang, tetapi demi keamanan dan kebahagiaan ayahandanya ia mau mengorbankan kehormatan dirinya dengan.

Samsulbahri yang berada di Jakata mengetahui peristiwa yang terjadi di desanya, apalagi sebab Siti Nurbaya mengantarkan surat yang menceritakan ihwal nasib yang dialami keluarganya. Pada sebuah hari dikala Samsulbahri dalam piknik kembali ke Padang, beliau mampu bertemu empat mata dengan Siti Nurbaya yang telah resmi menjadi istri Datuk Maringgih. Pertemuan itu dimengerti oleh Datuk Maringgih sehingga terjadi kericuhan. Teriakan Siti Nurbaya terdengar oleh ayahnya yang tengah terbaring karena sakit keras. Baginda Sulaiman berusaha bangkit, tetapi kesannya jatuh tersungkur dan menghembuskan nafas terakhir.

  √ Pengertian / Definisi Moral

Mendengar itu, ayah Samsulbahri, ialah Sultan Mahmud yang kebetulan menjadi penghulu kota Padang, aib atas perbuatan anaknya. Sehingga Samsulbahri harus kembali ke Jakarta dan dia berjanji untuk tidak kembali lagi kepada keluargannya di Padang. Datuk Maringgih juga tidak tinggal membisu, alasannya Siti Nurbaya diusirnya.

Siti Nurbaya yang mendengar bahwa kekasihnya diusir orang tuanya, timbul niatnya untuk pergi menyusul Samsulbahri ke Jakarta. Tetapi niatnya itu dimengerti oleh kaki tangan Datuk Maringih. Karena itu dengan siasat dan fitnahnya, Datuk Maringgih dengan pinjaman kaki tangannya dapat memaksa Siti Nurbaya kembali dengan perantaraan polisi.

Tak lama kemudian Siti Nurbaya meninggal dunia alasannya menyantap lemang beracun yang sengaja diberikan oleh kaki tangan Datuk Maringgih. Kematian Siti Nurbaya itu terdengar oleh Samsulbahri sehingga beliau menjadi putus asa dan menjajal melakukan bunuh diri. Akan namun mujurlah alasannya adalah ia tak meninggal. Sejak saat itu Samsulbahri tidak meneruskan sekolahnya dan memasuki dinas militer.

Sepuluh tahun kemudian, dikisahkan dikota Padang sering terjadi huru-hara dan tindak kejahatan akhir ulah Datuk Maringgih dan orang-penduduknya. Samsulbahri yang sudah berpangkat Letnan diantaruntuk melaksanakan penjagaan. Samsulbahri yang mengubah namanya menjadi Letnan Mas segera menyerbu kota Padang. Ketika bertemu dengan Datuk Maringgih dalam suatu kericuhan tanpa berpikir panjang lagi Samsulbahri menembaknya. Datuk Maringgih jatuh tersungkur, tetapi sebelum tewas ia sempat membacok kepala Samsulbahri dengan parangnya.

Samsulbahri alias Letnan Mas secepatnya dilarikan ke tempat tinggal sakit. Pada dikala-ketika terakhir menjelang ajalnya, ia meminta dipertemukan dengan ayahandanya. Tetapi ajal lebih dulu merenggut sebelum Samsulbahri sempat berjumpa dengan orangtuanya.

Sekilas perihal penulis dan bukunya

  Panduan E Rapor Smp

 Ibunya meninggal saat Siti Nurbaya masih kanak Resensi Novel “Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai)” karya Marah Rusli Buku ini diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada tahu 1922. Buku yang berjudul Siti Nurbaya ini sukses menempatkan diri selaku puncak roman di antara roman-roman lain yang dianggap orang selaku puncak roman dalam Sastra Indonesia Modern. Penilaian itu tidak didasarkan pada temanya, namun menurut pemakaian bahasa dan gayanya yang tersendiri. Buku ini memakai bahasa melayu. Oleh alasannya adalah itu, orang melayu pasti akan lebih mudah membaca dan segera mengerti isinya. Karena terkenalnya hingga-hingga zaman itu dinamai zaman Siti Nurbaya. Roman karyanya ini berhasil pula merebut hadiah tahunan dalam bidang sastra, yang diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1969.

Dalam karyanya berjudul Siti Nurbaya, Marah Rusli ingin merombak budpekerti yang berlaku pada periode itu dan dianggap selaku pelanggaran kepada hak-hak asasi manusia. Pelaku khususnya pada roman ini ialah Siti Nurbaya, Samsulbahri, dan Datuk Maringgih.

Membaca roman Siti Nurbaya kita diajak mengikuti liku-liku kehidupan masyarakat Padang pada kala itu, terutama cerita cinta yang tak kunjung padam dari sepasang anak manusia, Siti Nurbaya dan Samsulbahri.

Pengarang, dalam hal ini Marah Rusli selaku perjaka pandai mempunyai fatwa jauh lebih maju dibandingkan dengan masyarakat disekitarnya. Ia sudah mengenal tata cara hidup dan kebudayaan aneh yang sedikit banyak sungguh kuat terhadap jiwanya. Dari dasar itu timbul gejolak pemberontak ingin menerobos adapt lama yang mengungkung dengan ketat dan dianggap oleh Marah Rusli selaku sesuatu yang tidak butuhterjadi.

 Ibunya meninggal saat Siti Nurbaya masih kanak Resensi Novel “Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai)” karya Marah Rusli

Marah Rusli ini lahir di Padang pada tanggal 7 Agustus 1889 dan meninggal di Bandung pada tanggal 17 Januari 1968. Pengarang ini sudah menamatkan Sekolah Dasar di Padang pada tahun 1904 dan menamatkan Sekolah Raja (Hoofdenscool) di Bukit Tinggi pada tahun 1910. Setelah selesai Sekolah Dokter Hewan di Bogor pada tahun 1915, dia diangkat menjadi adjunct dokter binatang di Sumbawa Besar, kemudian (1916) menjabat Kepala perhewanan di Bima. Tahun 1918 pindah menjadi kepala peternakan binatang kecil di Bandung, lalu mengepalai kawasan perhewanan di Cirebon. Tahun 1919 menjabat kepala daerah perhewanan di Blitar, tahun 1920 menjadi asisten leraar Kedokteran Hewan Bogor, tahun 1921 menjadi dokter hewan di Jakarta, tahun 1925 pindah ke Tapanuli. Sejak tahun 1929 hingga datang revolusi 1945 menjadi dokter hewan kotapraja Semarang. Selama revolusi tinggal di Solo, lalu bekerja pada ALRI di Tegal. Tahun 1948 diangkat menjadi lektor di Fakultas Dokter Hewan Klaten dan dalam tahun 1950 kembali ke Semarang. Sejak tahun 1951 menjalani abad pensiun di Bogor, tetapi masih tetap menyumbangkan tenaganya di Balai Penelitian Ternak Bogor sampai selesai hayatnya.

  Langkah-Langkah Dasar Dalam Menulis

Di samping profesinya sebagai dokter binatang, Marah Rusli terkenal pula sebagai sastrawan sebab romannya yang berjudul Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai).

Nilai di dalamnya:

  • Pengarang mengajak kita untuk memetik beberapa nilai budpekerti dari romannya yang populer ini, antara lain:
  • Bila asmara melanda jiwa seseorang maka luasnya samudra tak akan bisa membatasi jalannya cinta. Demikianlah cinta yang murni tak akan padam hingga mati.
  • Demi orang-orang yang dicintainya seorang wanita bersedia mengorbankan apa saja walaupun dia tahu pengorbanannya dapat merugikan dirinya sendiri. Lebih-lebih pengorbanan tersebut demi orang tuanya.
  • Bagaimanapun juga praktek lintah darat ialah sumber bencana bagi kehidupan keluarga.
  • Menjadi orang tua hendaknya lebih bijaksana, tidak memutuskan sebuah dilema hanya untuk menutupi perasaan malu belaka sehingga mungkin berakibat penyesalan yang tak terhingga.
  • Dan kebenaran bahwasanya di atas segala-galanya.
  • Akhir dari segala kehidupan yakni mati, tetapi mati jangan dijadikan tamat dari persoalan hidup.