close

Rendang Buatan Ibu | Cerpen Ahda Imran


Oleh: Ahda Imran


DEDAK rendang itu dijumputnya dgn tiga ujung jari, dibenamkannya ke dlm nasi. Lalu pelan & hati-hati dua jari itu mengoyak serat daging sambil menekannya agar tak menggelincir, menaruhnya bareng dedak rendang tadi. Daging & dedak rendang terbenam dlm suapan nasi hangat, masuk pelan ke dlm mulutnya. Ia makan begitu lezat seolah gres pertama merasakan rendang Padang. Ia makan tak ubahnya anak bujang di hadapan keluarga calon istrinya.

Rendang & sambal cabe hijau. Itu senantiasa yg dimintanya, tanpa rebus daun singkong, kuah gulai, atau ulam irisan mentimun. Ia tak pernah kepincut pada dendeng balado, gulai usus, kikil, cincang, paru, atau gulai kepala kakap. Tampaknya ia memang datang ke kedai nasi kami hanya untuk makan dgn rendang. Lelaki itu sangat pendiam. Kukira umurnya lebih muda barang lima atau tujuh tahun dr suamiku.

Rendangnya enak sekali, seperti produksi ibu saya.” Sambil memberikan uang ia senantiasa berkata begitu. Caranya mengucapkan seolah sebelumnya kata-kata itu tak pernah diucapkannya setiap kali singgah makan di kedai nasi kami. Selain perkataan itu tak ada lagi yg dikatakannya. Tatkala berulang kali gue atau suamiku mengajukan pertanyaan, “Ibunya orang Padang juga? Padangnya di mana?” Ia cuma sedikit tersenyum sambil berjalan ke luar.

Mulanya gue merasa ia orang abnormal, tetapi lama-kelamaan gue tidak punya waktu memikirkannya. Akhirnya gue selalu cuma membalas perkataannya dgn senyum, mengucapkan terima kasih sambil mendapatkan uang yg disorongkannya atau memberikan duit kembalian.

Tetapi, dr perkataannya gue menerka itulah alasan kenapa ia tak menentukan makan di restoran Padang besar yg baru dibuka, sempurna di seberang jalan di depan kedai nasi kami. Pemiliknya Uda Salim, masih sanak bersahabat keluarga suamiku. Selain membuka kedai makanan, Uda Salim pula punya lima toko kain di Pasar Baru.

Walau tak datang tiap hari, namun ia seorang dr sedikit langganan kami yg kebanyakan supir angkot. Pernah ia lama tak muncul sehingga suamiku berkata, “Mungkin ia sudah mampu kiriman rendang dr ibunya di kampung, & kiriman itu belum habis, karena itu kenapa pula ia mesti makan rendang yg rasanya cuma mirip rendang bikinan ibunya itu?

Kemana saja, lama tak terlihat ?” tanya suamiku tatkala ia karenanya timbul kembali.

  Anjing Berjubah Merah | Cerpen Agus Noor

Ada saja.” Ia cuma menjawab pelan. Jawaban seorang pendiam yg tak terlalu suka bila mesti menjawab pertanyaan berikutnya. Tiap ia datang, lantaran menerka kami sudah tahu apa yg diinginkannya. Ia tak pernah melongok ke arah hidangan, menyebutkan dgn lauk apa ia ingin makan. Ia eksklusif masuk ke dlm kedai, duduk menanti makanannya tiba. Aku, suamiku, atau Si Ujang pelayan kami pun sudah tahu, sepiring nasi putih hangat, rendang dgn sedikit dedak & kuah minyaknya yg kekuningan, butiran kentang mungil, & pastinya sambal hijau, kemudian teh tawar hangat.

Ada pula sekali, atau mungkin berulang kali, sehabis makan ia minta dibungkuskan beberapa potong daging rendang, lengkap dgn dedak & minyaknya yg kekuning-kuningan, dgn beberapa kentang mungil.

*****

Pengetahuannya soal rendang Padang mungkin hanya sedikit di bawah pengetahuannya tentang seni kekinian. Tak perlu dgn lidah, dgn matanya saja, dr warnanya, Sal sudah tahu kalau rendang itu diolah dgn santan kelapa yg terlalu tua, adukan santan yg kurang usang, kayu manisnya kurang bagus, dagingnya bukan daging segar, atau sudah berapa kali rendang itu dihangatkan, atau api yg terlalu besar. Sal pernah berkata, semua proses mengolah masakan rendang Padang itu adalah ketekunan.

Kesabaran yg cuma dimiliki oleh perempuan, Nina. Oleh keteguhan ibu.” Aku merasa bukanlah golongan wanita yg ia maksud. Aku ndeso mengolah masakan, bukan orang yg sabar, & belum menjadi ibu. Kata Sal, rendang Padang di rumah makan itu cuma namanya saja yg rendang. Setiap hari dibuat untuk memburu waktu orang makan siang.

Kalau ia sedang bercerita ihwal rendang Padang, Sal seakan sedang mengajakku melancong ke kampungnya, melihat perempuan yg menciptakan rendang. “Beberapa hari sebelum hari raya, di halaman samping setiap rumah, para ibu & anak gadisnya sibuk menciptakan tungku, mempersiapkan kayu bakar, meminta sanak lelakinya memasang kuali besar, lalu meracik semua bumbu. Pada hari sesudah mereka memasukkan daging ke dlm santan & bumbu, secara perlahan-lahan akan tercium harum rendang di seluruh udara kampung. Bahkan, Nina, kita bisa mencium wangi harum rendang itu dr kejauhan.

Mata Sal berbinar-binar, & gue tahu, kisah itu senantiasa akan diakhirinya dgn suara pelan, “Tapi rendang yg paling enak yakni rendang produksi ibu, Nina.

  B A N U N | Cerpen Damhuri Muhammad

Sejak kecil Sal senantiasa dgn ibu. Mungkin lantaran itu pula kupikir Sal banyak tahu perihal masakan Padang, terlebih mereka dahulu keluarga rumah makan. Sal sesekali suka mengolah makanan juga, masakannya lezat meski lagi-lagi ia akan berkata, “Seandainya ibu yg mengolah masakan niscaya lebih enak, Nina.”

Buat Sal segalanya ialah ibu. Di mata ibu, apa yg tak boleh buat bawah umur yg lain senantiasa boleh untuk Sal. Hanya ibu satu-satunya manusia di dunia ini yg cegahannya tak berani ditentang Sal. Tidak pula bapak. Karena itulah kecil dulu Sal sering harus membersihkan kamar mandi, eksekusi dr bapak lantaran kenakalannya.

Sesudah gue membersihkan kamar mandi, ibu selalu membuatkanku teh manis, atau setidaknya memelukku. Karena itu, sebelum bapak menghukumku atau sebelum bapak tahu kenakalanku, gue akan cepat-cepat membersihkan kamar mandi. Bahkan lama kelamaan gue melakukannya bukan lagi lantaran gue sudah berbuat salah, tapi lantaran gue ingin menikmati teh manis buatan ibu & pelukannnya,” cerita Sal.

Suatu kali tatkala kukatakan bahwa gue ingin berguru masak pada ibu, Sal hanya tersenyum. Katanya, kenapa gue mesti repot-repot ingin seperti ibu biar mampu menjadi istrinya. Tapi gue tetap ingin melakukannya, sebelum ibu jatuh sakit & Sal tiba-tiba sepagi itu menerima telepon. Sal tak menyampaikan apapun selain membisu & menjawab, “Iya, iya.” Lalu ia menatap padaku. “Nina, Ibu meninggal.”

Ketika gue bersiap hendak ke rumah ibu, Sal malah menciptakan kegiatan lain & berulang kali menolak ajakanku. Sepanjang hari itu Sal membersihkan kamar mandi. Ia tetap menolak tiba ke tempat tinggal ibu, mematikan handphone-nya, meski semua saudara sudah menanti sebelum jenazah ibu dimakamkan. Akhirnya ibu dimakamkan tanpa kedatangan Sal, anak kesayangannya.

Sepulang dr rumah ibu malam itu, gue memperoleh Sal masih membersihkan kamar mandi. Aku berdiri di pintu kamar mandi, ia memandang ke arahku, “Kalau gue tiba artinya ibu meninggal, Nina.” Sejak itu bunyi Sal selalu pelan, & ia menjadi lebih pendiam.

Dan malam itu di meja makan Sal membuka sebuah bungkusan, enam potong rendang Padang. Aku memandangnya heran. Sejak ibu meninggal Sal tak pernah menolak kuliner apapun, kecuali kuliner Padang. Tatkala gue berbelanja dendeng batokok dan rendang Padang, ia bahkan tak menyentuhnya. Buatnya sejak ibu meninggal tak ada lagi rendang Padang di dunia ini. Sejarah rendang Padang sudah selesai dgn kepergian ibu.

  Egois | Cerpen Setta SS

Cobalah, Nina, rendangnya enak sekali, mirip produksi ibu,” katanya.

Aku tak tahu, kenapa Sal berpikir mirip itu padahal rendang Padang itu dibelinya di rumah makan. Rendang yg diolah bukan dgn kesabaran namun untuk mengejar-ngejar waktu orang makan siang. Tetapi gue tak ingin menanyakan hal itu pada Sal. Pelan-pelan gue tahu apa yg sebenarnya sedang terjadi.

*****

Tak usang sesudah Haji Warman wafat, seorang anaknya mengatakan tak akan lagi mengontrakkan kedua bangunan yg selama ini salah satunya kami kesepakatan untuk kedai nasi. Beberapa hari kemudan suamiku tahu apa sebabnya. Anak Haji Warman berteman baik dgn Uda Salim, sanak suamiku pemilik rumah makan Padang besar di seberang kedai nasi kami.

Pada Uda Salim anak Haji Warman berkata ingin menjual warisannya, & ia berharap Uda Salim mau membelinya. Tapi Uda Salim mencegahnya, sebab tak baik menjual harta hasil perjuangan orangtua. Uda Salim lalu mengajak anak Haji Warman berkongsi, mengubah bangunan itu menjadi toko kain, & anak Haji Warman baiklah.

Aku terkejut ketika suamiku menyampaikan bahwa ia tahu semua itu dr cerita Uda Salim. Tatkala kubilang bukankah ia tahu bahwa di bangunan itu sanaknya mengontrak membuka kedai nasi, suamiku cuma tersenyum sinis, “Dia memang bersanak denganku, namun uang tidak!

Urusan kongsi anak Haji Warman & Uda Salim bukanlah permasalahan kami. Sekarang kami sibuk mengemasi semua isi kedai & perabotan, pindah segera ke kawasan yg belum kami pahami. Aku ingin menangis saat memandang bangunan bekas kedai, tatkala kami pergi meninggalkannya.

*****

Malam itu tak ada rendang Padang di meja makan. Sal sibuk membersihkan kamar mandi, bahkan semenjak sore pulang kantor. Kupandangi punggung Sal yg sedang menyikat dinding kamar mandi. Entah sudah berapa lama ia melakukannya. Lalu ia berbalik & memandangku. “Aku tadi pergi ke makam ibu, Nina,” katanya, lalu meneruskan kembali kesibukannya.

Aku tak tahu apa yg terjadi dgn Sal. Tetapi gue tahu apa yg mesti kulakukan; membuatkannya teh manis…