Recehan Serakah | Cerpen Tyas W

Aku terhenyak. Semenit kemudian pikiranku tiba-tiba kembali ke jalan kebenaran. Apa yg sudah gue kerjakan? Batinku menjawab kegelisahan atas selintas insiden yg gres saja terjadi. Keserakahan ini muncul begitu saja. Bagaimana tidak? Hari ini gue bermaksud mengirim barang ke sebuah ekspedisi. Di sana, yg lazimnya tak ada tukang parkir, ternyata tak jauh di depan ruko di samping ekspedisi duduk seorang remaja tukang parkir. Tentu saja gue mulai melaksanakan perhitungan untung & rugi marketing barang yg akan kukirimkan. Aku tak mau rugi dgn harga yg sudah kutetapkan bareng pembeli. Ya, akan menjadi rugi jikalau keuntunganku yg dua ribu rupiah jatuh ke tangan tukang parkir. Jadilah gue akal-akalan tak mengindahkannya meski mungkin ia berharap pula recehan dariku. Usai transaksi, gue pribadi menggas motor cepat-cepat berlalu pergi tanpa peduli apakah daerah ekspedisi ini pula potongan dr lahan parkirnya.

Tapi, gila. Sambil mengendara, hatiku menjadi tak setenang umumnya. Pikiranku tiba-tiba kosong memelas. Seperti seonggok penyesalan yg hadir belakangan. Seharusnya gue tak perlu ragu membubuhkan duit dua ribu rupiah untuk tukang parkir. Barangkali recehan itu memang sudah menjadi rezekinya. Ah, namun kenapa gue sama sekali tak berkeinginan melakukan hal itu? Justru masih memikirkan untung & rugi. Hatiku makin galau & terus gelisah. Rupanya kali ini Tuhan betul-betul menegurku dgn ingatan masa lalu. Tentang sepupuku, Edi.

Langkah kaki bocah SMK itu sigap menapak aspal. Melapis seragam sekolah yg masih menempel di tubuh dgn kaos oblong. Meletakkan tas di atas setir butut sepeda ontel milik almarhum bapaknya. Berjalan-berlari mengejar-ngejar mobil & motor yg mulai menepi. Berteriak meniup peluit lalu menanda arah. ia bersemangat kegirangan menyambut laba. Ya, keuntungan yg ditunggu-tunggu. Upah yg tak seberapa namun sungguh berharga meski kadang tak senantiasa berpihak kepadanya karena kendaraan bergeser pada kawan sejawatnya. Tak ada lagi yg harus dikerjakan selain menyerah sebab sudah menjadi keputusan lahan bareng . Edi masih menatap masa. Selama jalanan dilalui kendaraan, selama itu pula ladang recehan akan selalu terbuka.

Sungguh tak tampak rona muram di wajah tampannya. Remaja berbadan tinggi semampai bermata rajawali tajam itu selalu mensyukuri hari-hari yg dilalui. Kawan-mitra sesama tukang parkir hingga menggumun, senantiasa meledek semoga Edi ikut ajang model iklan otomotif atau penyanyi biar hidupnya lebih beruntung. Apalagi, kelincahannya beradu dgn jalanan sangat lihai tak disangsikan. Sejak Sekolah Menengah Pertama, diam-diam ia mulai turun di perempatan kota. Sayang, bukan untuk memarkir kendaraan, melainkan menghadang kendaraan. Dihadang untuk diperdengarkan nyanyian anak jalanan. Ya, demi recehan yg hanya dgn kesanggupan yg saat itu dimiliki, ia tak malu mengamen di pinggir jalan. Sepulang Edi sekolah, Buk Mun girang sekaligus terkejut . Girang sebab Edi memberinya seplastik beras untuk dimasak, tapi lantas terkejut dgn tingkah acuan anak sulungnya.

  Cerpen: Tuhan Tidak Dilihat Mata

“Apa ini, Ed?” tanya Buk Mun.

“Beras, Buk. Untuk diolah.”

“Lah, dikasih siapa?”

“Beli, Buk.”

“Duitnya siapa, Le?” Le, istilah Jawa bagi anak laki-laki di kampung.

Edi penuh khawatir menjawabnya. Jangan-jangan ibunya marah jika tahu dirinya mengamen.

“Duit dr mana? Apa dikasih Ustaz Samsul?” tanya Buk Mun sekali lagi.

Ustaz Samsul ialah guru mengaji di mushala kampung. Sudah menjadi kebiasaan Edi setiap sore untuk mengaji lalu mem antu Ustaz Samsul membersihkan mushala sebelum shalat Maghrib dimulai.

“Bukan, Buk.”

“Jangan pernah sekali-kali berbuat tercela. Jangan pernah mencuri & meminta, Le,” tutur ibunya.

“Tidak, Buk, Edi tak pernah mencuri. Sungguh. Edi cuma ngamen di perempatan kota dgn Mas Udin.”

Seketika Buk Mun terperangah. Terperanjat bangkit dr duduknya sambil mengelus-elus dada. Plastik beras itu masih dibawanya. Kakinya mencak-mencak. Mukanya mengerut menangis resah.

“Ediii…”

Edi tahu ibunya niscaya akan marah. Namun, ia tahu hati lapang dada Buk Mun yg demikian lembut tak pernah mampu melontarkan kata-kata bernafsu pada anaknya. Edi cuma tertunduk meski sesekali pundaknya didorong-dorong sang ibu.

“Ed, Ibuk tak rela. Ibuk tak mau. Ibuk tak ridho ananda jadi pengamen.”

Buk Mun masih merintih kesedihan. Air mata ibu itu pecah. Rasanya terluka dgn seribu sayatan sebab ia tak pernah mengajarkan putranya menjadi anak jalanan.

“Jangan lagi. Ibuk tak mau menerima lagi hasil ngamenmu.”

Edi menggeleng-geleng.

“Maafkan Edi, Buk. Edi janji tak akan ngamen lagi.”

“Sekolah saja, Le, sekolah yg pinter. Tidak usah mikir duit. Tidak usah mikir beras. Ibuk masih bisa usaha. Edi sekolah yg tekun. Besok orang yg ngelmu itu akan berhasil.”

Nggih, Buk. Edi komitmen. Edi janji akan jadi orang berilmu.”

Apa hendak dikata, Edi saat itu cuma ingin membantu ibunya yang single parent mencari nafkah. Usaha ibunya serabutan. Kadang jualan gorengan, kadang buruh basuh di rumah tetangga, kadang pula tenaga harian di tukang jahit, sementara harus menghidupi Edi & dua adik laki-lakinya. Namun, sejak Edi masuk Sekolah Menengah kejuruan, recehan masih berpihak kepadanya. Tawaran dr kawan Buk Mun, Pak Ngadimin, disetujui. Buk Mun akibatnya rela Edi menolong Pak Ngadimin selaku tukang parkir untuk beberapa waktu. 

Bagi mereka, tukang parkir ialah pekerjaan terhormat. Halal. Banyak menolong orang. Tatkala mobil-mobil mewah berdatangan, tukang parkir harus membenahi barisannya semoga tak mengusik jalan umum. Rasanya mirip suatu peran yg harus ditunaikan. Menjaga barang mewah meski bukan miliknya. Kendati kendaraan beroda empat mewah itu sudah pergi, tukang parkir pula tak pernah merasa rugi sebab amanah telah tertepati. Namun, hal itu bukanlah keinginan. Bagi Edi, menjadi pegawai kantor adalah keinginan terbesarnya sehabis lulus SMK.

  Mencari Imam Mushola | Cerpen Makanudin

Aku kembali menyelami fantasi Edi, mengenang kisah ini dr budheku sendiri yg tak lain yaitu ibu dr Mas Edi ketika kami berjumpa di hari Lebaran. Isak pilu gue mendengarnya. Bahkan, budhe tak bisa menahan air matanya dikala bercerita. Sudah tentu melihat budhe meleleh, rasanya air mata ini pula tak bisa dibendung. Gemuruh batin seolah ingin mengeluarkan budhe dr kepahitan hidup. Ibuku yg yaitu adik kandung Buk Mun pula tak bisa berbuat banyak waktu itu karena kehidupan kami pas-pasan.

Di kisah itu, budhe nyaris-nyaris putus asa. Pernah melalui sepekan Edi belum pula sembuh dr demam. Tubuhnya panas tetapi ia merasa menggigil kedinginan. Berat badannya terlihat turun. Pipinya cekung & matanya sembap. Tentu saja Buk Mun sangat cemas. ia mesti secepatnya menenteng putranya ke puskesmas. Sapu-sapu dompet masih cukup untuk ongkos berobat tapi tak untuk biaya opname. Buk Mun balasannya memilih merawat Edi di rumah. Kedua adiknya-lah yg menolong menjaga Edi tatkala buk Mun sedang melakukan pekerjaan mencari uang.

Pak Ngadimin terpaksa harus mencari pengganti Edi. Maka tak berpikir panjang, Buk Mun rela menggantikan posisi itu.

“Jangan engkau, Mun,” kata Pak Ngadimin.

“Jangan lagi kalau kau-sekalian pecat Edi, Kang. Hasil parkir ini tidak mengecewakan bagi kami.”

Pak Ngadimin menghela napas panjang.

“Bukan karena kamu-sekalian perempuan, Mun. Tapi, kamu-sekalian tak menguasai medan. Engkau bahkan tak tahu arah setir.”

“Engkau lupa, Kang. Almarhum bapaknya Edi ialah sopir truk. Aku pernah ikut menemani dia mengirim barang antar provinsi. Jangan ragukan kemampuanku. Aku paham soal arah kendaraan.”

“Demi upah kamu-sekalian rela mengambil resiko di jalan? Cari upah sebagai buruh basuh saja, Mun,” terang Pak Ngadimin.

  Gadis Pemulung Masuk Televisi | Cerpen Gola Gong

“Demi recehan yg bisa kunantikan saban hari, Kang. Recehan yg bisa mengobati Edi, biaya sekolah si bungsu, & sekedar membeli beras.”

Mendengar tutur Buk Mun, Pak Ngadimin jadi iba. Meski sesama orang tak berpunya, mereka saling membantu & memahami satu sama lain. Sementara, gue yg mengamati kisahnya pribadi dr dia saja serasa tak besar lengan berkuasa menahan haru.

“Lah iya, Dik, yg membuat kehidupan ini hanya Yang di Atas. Mbak cuma bisa menjalani,” terang Buk Mun pada ibuku.

“Iya, Mbak.” Tak banyak kata yg ke luar dr lisan ibu.

Gimana rasanya tatkala jadi tukang parkir, Budhe?” tanyaku tiba-tiba penasaran.

Buk Mun mengusap tangisannya. ia tertawa kecil.

“Masih selamet. Budhe bisa markir, Nak. Meski bahwasanya waktu itu tak bisa. Rasanya deg-degan khawatir penyokin kendaraan beroda empat orang. Masmu Edi itu yg pinter. Alhamdulillah budhe markir cuma dua minggu saja. Mas Edi yg ngambek, cepat-cepat ingin sembuh karena Budhe dihentikan jadi tukang parkir.”

Obrolan kami mengalir. Tatkala itu bukanlah karena Buk Mun ingin dikasihani. Beliau hanya ingin membagi pengalaman hidup dgn ibuku, adik satu-satunya, bahwa kami mesti senantiasa optimistis menghadapi kenyataan hidup. Di simpulan perbincangan itu, budhe hanya ingin didoakan supaya kelak bisa mencicipi kebahagiaan di dunia & negeri awet di pangkuan Tuhan.

Lebih dr itu, memori kisah budhe sudah menegur tindakanku pagi ini. Hidup memang perjuangan. Tak bisa dimungkiri jikalau kepingan receh yaitu salah satu yg perlu diperjuangkan. Tentu saja cuma demi sesuap nasi & menyambung hidup. Aku teringat kata-kata budhe, ibarat suatu tubuh, orang yg tak memiliki uang itu bagaikan sakit seribu penyakit. Getir sekali. Bisa jadi remaja tukang parkir yg baru saja kutemui di depan ekspedisi sedang berjuang melawan kegetiran hidup. Seperti Edi masa itu.

Alangkah serakahnya diri ini. Menjadi insan dgn jiwa terkunci. Hanya karena recehan yg tidak ingin dibagi. Apalagi kalau berinfak yg lebih tinggi. Oh, betapa malunya hati. Maafkan aku, Tuhan. Tatkala Engkau mempertemukan dgn seorang yg memerlukan, seperti mereka para pengamen, tukang parkir, atau pengemis sekalipun, itu artinya bukan ketidaksengajaan melainkan sebuah potensi . Kesempatan untuk saling memberi. Seka dar membubuhkan recehan yg mungkin sungguh dinanti. Namun, tentu saja gue mesti menduga dalam-dalam bahwa mereka yg melakukannya yakni mereka yg terpaksa, bukan yg menyengaja. Sekali lagi, maafkan atas keserakahan ini, Tuhan. (*)