Ranting Itu Belum Rapuh | Cerpen Yohanes Joni Liwu

Hari-hari di pengujung semester ini, ia harus menghitung semua jenis evaluasi untuk menerima nilai tamat. Nilai yg menjadi nilai laporan pendidikan. Menjadi wali kelas, lalu menulis nilai tamat rapor di kelas terakhir Sekolah Menengah Pertama, itu bermakna sungguh menimbang-nimbang berbagai aspek. Tidak saja aspek wawasan & keterampilan, pula aspek sikap sosial & spiritual.

Terhadap aspek yg terakhir ini, Daniel mesti melengkapi data kesiswaan pada nyaris tiga puluhan siswa di kelasnya. Daniel kembali meneguk secangkir kopi di meja kerjanya.

Pagi ini masih sepi. Elisabet, rekan guru seruangan, belum pula tiba. Ia sebenarnya ingin menanyakan catatan tentang siswa-siswi satu per satu alasannya adalah Elisabet, guru bahasa Indonesia itu, sebelumnya menjadi wali kelas dr siswa-siswinya kini. Sejak beberapa hari ini, pesoalan mendeskripsikan nilai sikap, entah spiritual maupun sosial, menjadi pekerjaan yg sungguh berat alasannya adalah tak ada satu pun catatan wacana kepribadian siswa-siswinya.

“Apakah dideskripisikan seadanya?” gumamnya dlm hati, “Tentu tak mungkin.”

Ia coba menelepon Elisabet via gawai, namun tak tersambung. Daniel cuma bersabar, gampang-mudahan saja hari ini ibu guru itu segera tiba. Semua nilai siswa sudah dikalkulasikan hingga diperoleh nilai selesai, selanjutnya disampaikan ke panitia ujian.

Daniel meneliti daftar nilai. Masih tersisa empat siswa. Keempatnya belum memiliki nilai. Ia pernah menelepon keempat siswa tersebut. Tiga siswa lainnya tersambung ke nomor teleponnya masing-masing.

“Siap, Pak!” terdengar suara orang bau tanah ketika Daniel menelepon salah satu siswanya.

Orang bau tanah itu mengabarkan bila anaknya akan mengirimkan tugas-tugas yg diberikan guru. Daniel lalu mengevaluasi beberapa guru mata pelajaran. Alhasil, siswa-siswa itu cuma mengirimkan dua peran untuk dua mata pelajaran.

“Pantas saja, belum semua kolom terisi,” sungut Daniel.

Setelah menghubungi yg satu, Daniel kembali menelepon siswa lainnya. Siswa itu yaitu Emanuel. Ia ingat betul sangat sulit menghubungi siswa ini. Ia kemudian baru mengenali dr Ibu Elisabet bila siswa ini memiliki catatan khusus.

“Siswa ini sering bolos,” terperinci Elisabet sambil merapikan buku-bukunya.

“Bukan saja sehari, malah berminggu,” tegasnya.

Elisabet mengamati beberapa catatan wali kelas yg disimpannya.

“Karena itu pula nilainya sungguh merosot,” jelasnya lebih lanjut.

“Apakah mungkin ada persolan yg lebih berat?” potong Daniel mencermati klarifikasi Elisabet.

“Itu yg hendak kusampaikan, Pak!” terang Elisabet.

  Potret Pengemis | Cerpen Toni Lesmana

Emanuel itu seorang yatim piatu yg diampu kerabat sepupunya. Kehidupan kerabat sepupunya pula cukup memprihatinkan sebab pekerjaannya serabutan. Kebiasaan kumpul-kumpul dgn sahabat-temanya menjadikan ia jarang di rumah. Hal ini menjadikan ia sering berseteru dgn pengampunya. Ketidakharmonisan itu menjadikan Emanuel sering berpindah-pindah rumah. Dari sahabat yg satu, ke sahabat lain. Kepahitan hidup itu dialaminya selama dua tahun belakangan.

Daniel terus menyimak kisah Emanuel dr Elisabet, wali kelasnya terdahulu.

“Tetapi, ia sendiri mau menuntaskan pendidikannya!” tegas Elisabet.

Daniel tafakur di meja kerjanya. Ia gres mengerti bila wali Emanuel sulit dihubungi alasannya adalah kesusahan Emanuel, siswa di kelasnya. Ia mendengar kabar dr teman-temannya jika Emanuel berlibur ke pulau seberang bareng temannya. Mereka pun hilang kabar tentangnya semenjak kepergiannya.

Ibu Elisabet pun berkisah lebih lanjut kalau ia pernah melaksanakan kunjungan rumah, tetapi tak menemui Emanuel. Ia gres berjumpa Emanuel tiga hari kemudian di rumah temannya. Saat ia tiba di rumah temannya, Emanuel gres kembali dr pasar. Ia berjualan bungkus plastik. Ia memperlihatkan jasanya pada pembeli sayur pula ikan. Uang yg terkumpul kadang dijadikan duit jajan. Di rumah temannya itu, ia menumpang tidur. Walaupun demikian, orang bau tanah temannya ini pula merasa bersyukur atas eksistensi Emanuel. Bersama Emanuel, anaknya mempunyai teman. Mereka kadang mencar ilmu atau berdiskusi bersama.

“Miris memang nasib Emanuel, Pak,” kata Elisabet. “Tetapi, niatnya untuk bersekolah itu mungkin menjadi pertimbangan tersendiri.”

Emanuel anak tunggal keluarga dr negara tetangga. Ia diselamatkan salah seorang tetangga tatkala orang tuanya meninggal alasannya adalah perang kerabat. Tatkala tinggal di kota ini, ia semula bersama saudaranya.

Penjelasan Elisabet ini melengkapi pengetahuan Daniel ihwal kehidupan Emanuel. Daniel kembali melihat daftar nilai yg masih ada di atas mejanya. Tidak satu pun nilai, entah peran, evaluasi harian, penilaian tengah semester, pula penilaian tamat semester.

“Apalagi untuk nilai kemampuan. Bagaimana pula dgn mata pelajaran yang lain?” Daniel membatin.

Pembelajaran di masa pandemi Covid-19 ini membuat Daniel mengalami kesulitan melaksanakan kunjungan rumah. Belum lagi, tak satu pun identitas anak ini diketahuinya alasannya sebelumnya ia tak pernah mengajar siswa-siswi ini. Ia gres akan berjumpa dgn mereka pada pembelajaran tahun ini, tetapi pandemi Covid-19 mewajibkan mereka melaksanakan pembelajaran dengan-cara daring.

  Surat Menteri dan Mimpi Pengarang Tua | Cerpen Kolaborasi Pengarang

Sedikit keterangan Elisabet membuka titik terang tentang siswanya yg satu ini. Daniel memasuki ruang rapat guru. Beberapa menit lalu, rapat dimulai dgn acara rapat menyimak laporan penilaian. Kini, saatnya pembahasan nilai untuk siswa-siswi di kelasnya. Emanuel satu siswa yg diperbincangkan. Beberapa guru mengenali perihal siswa yg satu ini sehingga mereka menyampaikan dilema utama yg dihadapi Emanuel. Karena kealpaannya, pada beberapa mata pelajaran belum satu pun nilai yg tertulis di daftar nilai.

“Bagaimana wali kelas?” kepala sekolah bertanya pada Daniel.

“Sampai sejauh ini, sudah dihubungi berkali-kali namun belum pula menerima jawaban,” jawab Daniel. “Informasi terakhir, ia berlibur ke pulau seberang bareng temannya.”

Situasi rapat tenang sejenak. Guru-guru yg pernah bertatap muka dgn Emanuel sungguh mengenali keadaan Emanuel. Mereka pula sungguh prihatin, bahkan peduli dgn niatnya menamatkan pendidikannya. Ia memang sering absen, tetapi jika bersekolah ia tergolong anak yg tekun. Ia pula rendah hati walau tak terlalu cerdas.

Persoalan pribadi yg dialaminya bukanlah penghalang baginya untuk berteman dgn semua orang. Hidup sebatang kara tak menjadi momok bagi Emanuel menjadi seorang humanis. Ia bahkan bisa berlama-lama bercerita dgn bapak ibu gurunya di sekolah dikala senggang atau jeda sekolah. Baginya, orang yg lebih cukup umur darinya itu ialah orang tuanya. Oleh hasilnya, pada bapak ibu guru ia tak sungkan bercerita atau berkeluh-kesah.

Hal itulah yg menjadikan guru-guru pula merindukan kehadirannya di sekolah. Masa pandemi Covid-19 menjadi masa penantian, tetapi sejauh itu pula Emanuel belum kelihatan batang hidungnya.

“Saya berjumpa Emnuel di jalanan beberapa hari kemudian,” ujar guru IPS tiba-tiba menginformasikan eksistensi Emanuel.

Semua mata guru tertuju pada guru IPS tersebut, seolah ingin mendengarkan apa gerangan cerita tentang Emanuel.

“Memang saya sempat mengajukan pertanyaan perihal kelalaiannya mengantarkan tugas, namun ia cuma bengong,” terperinci guru IPS itu lebih lanjut. Guru IPS yg itu pun memberikan kalau Emanuel itu berlalu darinya sehabis ia menyaksikan matanya berlinang. Emanuel tak mengabarkan sesuatu pun pada guru IPS-nya itu & secepatnya pergi.

Guru IPS itu sungguh mencicipi dilema yg dialami Emanuel, namun sejauh itu pula Emanuel memendam perasaannya. Tidak mirip Emanuel yg ia kenal sebelumnya. Belajar dr rumah beberapa bulan tampaknya mengubah Emanuel menjadi orang yg tertutup.

Daniel tak menerima jawaban apa pun tentang Emanuel. Ia hanya berupaya mengetahui pernyataan pimpinan rapat bahwa anak tersebut mesti dibantu. Daniel bagai menghadapi pilihan yg memberatkan. Bagai menghadapi buah simalakama, dimakan mati ibu, tak disantap mati ayah. Ia masih menyaksikan kolom-kolom pada daftar nilai yg belum terisi angka-angka sebagai perolehan nilai.

  Mata Kuning Muda | Cerpen Farizal Sikumbang

Menuliskan nilai wawasan & keterampilan dlm daftar nilai tanpa data sedikit pun wacana kemajuan berguru Emanuel atau mesti menuliskannya alasannya adalah keprihatinan? Sungguh suatu tanggung jawab moral dipertaruhkan. Belum lagi, di akhir semester ini akan ada pembagian rapor. Itu artinya, selaku wali kelas sudah mesti menuliskan nilai-nilai itu ke dlm rapor tersebut.

Kegerahan sesudah gerimis di tanah kering bebatuan ini tak menyurutkan niat Daniel untuk menemui Emanuel. Informasi dr guru IPS belumlah lengkap.

Ia senantiasa berharap keikhlasan hati menemui Emanuel menerima jalan terbuka. Paling tidak, ia bisa menghapus warna kuning pada kolom-kolom daftar nilai. Kolom-kolom itu bagi guru Daniel, akan terisi nilai jika siswa-siswinya sudah mengerjakan tugas-tugas guru. Ia pun sempat bermaksud memberi warna merah jikalau siswa-siswinya tetap membangkang atau sungguh tak mengindahkan peran-tugas guru. Walaupun demikian, hal tersebut tak bagi Emanuel.

Musim hujan bulan ini tak henti-hentinya menurunkan gerimis. Seolah mengademkan bumi & hati gerah tatkala ikhtiar belum terjawab. Tatapan Dainel masih mendua pada kolom-kolom berwarna kuning. Pada hati nelangsa dr hidup seorang yatim piatu di suatu negara yg bukan tanah airnya atau pada kinerja dr otak & otot tak pernah lelah menopang hidup.

Hingga pagi subuh ini, sang guru telah menetapkan opsi ihwal kolom-kolom yg berwarna kuning. Ia belum memberi warna merah alasannya hambatan & masalah siswanya pada masa-masa pandemi Covid pasti bermacam-macam. Ia sematkan dlm litani doa semoga hati tak pernah berdosa bila harus menyelamatkan si yatim piatu yg masih memiliki sejumput asa.

Harapan akan secercah sukses yg menopang sejumput hidup, walau kini seorang Emanuel kolam gabus terombang-ambing diempas gelombang maritim pantai. Atau bahkan mungkin bagai burung-burung pipit yg bertengger pada ranting-ranting ringkih di batas kota. Sebentar-sebentar harus berpindah ke ranting lainnya bila ranting tersebur patah. Guru Daniel tak hendak melihat kerapuhan ranting itu pada seorang Emanuel. (*)