Rancangan Ma’rifat Berdasarkan Al-Ghazali

Ma’rifat menurut al-Gazali mempunyai arti ilmu yang tidak menerima keraguan (العلم الذى لا يقبل الشك) adalah ”pengetahuan” yang  mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh siapapun dan apapun, sebab dia adalah pengetahuan yang telah meraih tingkat haqq al-yaqin. Inilah ilmu yang meyakinkan, yang diungkapkan oleh al-Gazali dengan rumusan sebagai berikut:
ان علم اليقين هو الذى ينكشف فيه المعلوم انكشافا لا يبقى معه ريب ولا يقالانه امكان الغلط والوهم ولا يتسع القلب لتقدير ذلك
“Sesungguhnya ilmu yang meyakinkan itu yakni ilmu di mana yang menjadi obyek pengetahuan itu terbuka dengan terperinci sehingga tidak ada sedikit pun keraguan terhadapnya; dan juga mustahil salah satu keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk itu”. Secara definitif konsep ma’rifat berdasarkan al-Gazali ialah:
الإطلاع على أسرار الربوبية والعلم بترتب الأمور الإلهية المحيطة بكل الموجودات
“Terbukanya diam-diam-belakang layar Ketuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum Tuhan yang mencakup segala yang ada”.
Dari definisi di atas, dapat dibilang bahwa obyek makrifat dalam pedoman tasawuf al-Gazali tidak cuma terbatas pada pengenalan wacana Tuhan, tetapi juga mencakup pengenalan tentang segala aturan-aturan-Nya yang terdapat pada semua makhluk.
Lebih jauh, mampu pula diartikan bahwa orang yang telah mencapai tingkat makrifat (al-‘pandai) bisa mengenal hukum-hukum Allah atau sunnah-Nya yang cuma terlihat pada orang-orang tertentu–para ’arifin–. Karena itu, adanya kejadian-peristiwa “luar biasa”, seperti karamah, kasyf dan lain-lain yang dialami oleh orang-orang sufi, sebetulnya, tidaklah keluar dari sunnah Allah dalam arti yang luas, karena mereka bisa meraih sunnah-Nya yang tak dapat dilihat atau dijangkau oleh orang-orang biasa.
 berarti ilmu yang tidak menerima keraguan  Konsep Ma'rifat Menurut Al-Ghazali
Karena itu, dapat dibilang, bahwa obyek makrifat dalam pandangan al-Gazali meliputi pengenalan terhadap hakikat dari segala realitas yang ada. Meskipun demikian, pada kenyataannya, al-Gazali lebih banyak membahas atau mengajarkan tentang cara seseorang memperoleh wawasan wacana Tuhan, yang memang tujuan utama dari setiap pedoman sufi.
Dengan demikian, al-Gazali mendefinisikan makrifat dengan. (النظر الى وجه الله تعالى) (menatap kepada tampang Allah ta’a) sebagai jalan untuk mengenal Allah. Secara terperinci al-Ghazali menguraikan ma’rifat sufi sehingga teori wacana ma’rifat mampu dipandang sebgagai teori lengkap dan komperhensif dibanding dengan teori sufi sebelumnya.
Perbedaan al-Ghazali dengan para sufi sebelumnya ialah sebab ia telah mengakibatkan tasauf sebagai jalan mengenal Allah bahkan segala sesuatu dalam arti yang hakiki. Sebagaimana para sufi sebelumnya, al-Ghazalipun menatap ma’rifat selaku tujuan tamat yang mesti dicapai insan, yang sekaligus ialah kesempurnaan tertinggi yang didalamnya terkandung kebahagiaan yang hakiki.
Tetapi apa yang disebut al-Ghazali dalam rancangan ma’rifah sedikit berdeda atau ialah pengembangan dari konsep para sufi sebelumnya. Ia tidak hanya membicarakan pengenalan langsung akan Allah sebagaimana sufi sebelumnya, tetapi termasuk juga semua pengenalan eksklusif terhadap alam semesta ini.
Menurut al-Ghazali sarana ma’rifat seorang sufi yakni qalbu, bukan perasaan dan bukan pula akal akal. Dalam konsep ini, qalbu bukanlah segumpal daging yang terletak pada bagian kiri dada insan, tetapi beliau ialah semacam “radar” dan selaku daya rohaniah ketuhanan.
Qalbu bagaikan cermin sementara ilmu yaitu pantulan gambar relitas yang termuat di dalamnya. Maka jikalau qalbu yang berfungsi sebagai cermin tidak bening ia tidak akan memantulkan realitas-realitas ilmu jadi qalbu harus senatiasa bening dengan jalan ketaatan kepada Allah dan kesanggupan menguasai hawa nafsu.
Menurut al-Ghazali, hati (qalb) memang perlu disucikan sebab ia media untuk menerima ilmu wawasan. Hati memiliki Dua pintu salah satunya menghadap keluar dan yang lainnya menghadap ke dalam, pintu yang menghadap kedua luar dapat menangkap wawasan melalui panca indra.
Sementara pintu yang menghadap ke dalam akan menangkap pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari alam ghaib, wawasan dari alam gaib berbentuknur dewa. Dimana hati mampu mirip cermin bila sukses disucikan dari kotoran-kotoran duniawi sehingga mampu menangkap cahaya tuhan atas dasar inilah al-Ghazali mengeluarkan statement
من عرف قلبه فقد عرف نفسه ومن عرف نفسه فقد عرف ربه
Inilah yang disebut al-Ghazali sebagai ma’rifat. Al-Ghazali menganggap ma’rifat adalah tujuan akhir yang mesti diraih manusia sekalipun merupakan kesempurnaan tertinggi yang mengandung kebahagiaan hakiki.
Ma’rifat bukan cuma sekedar pengenalan biasa namun berbentukilmu yang tidak diragukan kebenarannya atau al-‘ilm al-yaqin, ilmu yang menyakini sehingga dengannya dapat dikenali diam-diam Allah dan peraturan-peraturannya perihal segala yang ada.
Al-Ghazali berpandangan bahwa kaum sufi mampu menyaksikan hal-hal yang tidak mampu dicapai oleh para ilmuan dan filosot. Para sufi menyaksikan sesuatu melaui nur yang dipancarkan dewa kepada orang yang dikehendakinya. Nur itu adalah kunci ma’rifat.
Ma’rifat yang sebenarnya menurut al-Ghazali, didapatkan lewat nur yang dipancarkan dewa ke dalam qalb seseorang biar mengetahui hakikat Allah dan segala ciptaannya. Qalbu yang bersihlah yang mampu menerima nur dari Allah, syaratnya ialah mensucikan diri dari dosa dan tingkah laris tercelah, qalbu mesti total berzikir kepada Allah sehingga seorang menjadi fana’ (sirna) secara total kepada yang kuasa. Hasil yang ditemukan yakni mukasyafah dan musyahadah. Akhirnya seseorang hingga terhadap peringkat yang begitu bersahabat dengan yang kuasa.
Seterusnya al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang memiliki ma’rifat  ihwal tuhan (akil) tidak akan mengatakan ya Allah (يا الله atau ya Rabb (يا رب) alasannya mengundang dewa dengan kata-kata serupa ini menyatakan, bahwa ilahi ada di belakang tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil dengan panggilan tersebut.
Proses menuju ma’rifat tidaklah mudah, seorang sufi diharuskan melewati tahapan-tahapan lainnya yang dalam terminology sufisme disebut al-maqamat al-Ghazali dalam hal ini mengemukakan enam makam yang ditempuh seorang sufi sebelum mencapai ma’rifat.
Diantaranya: taubat, tabah, kefakiran, zuhud dan tawakkal. Tetapi bagi al-Ghazali, ma’rifat lebih dahulu dalam tertib dari pada mahabbah alasannya adalah mahabbah muncul dari ma’rifat dan mahabbah bagi al-Ghazali bukan mahabbah sebagaimana dimengerti oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Baca Juga=>Konsep Mahabbah Rabi’ah Al-Adawiyah, namun mahabbah dalam bentuk cinta seorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan rahmat dewa terhadap manusia, yang member manusia hidup dan rezeki kesenangan dan lain-lain.
Al-Ghazali Mendamaikan Syariah dan Tasauf
Menurut pengertian pada umumnya umat Islam, agama Islam mencakup berbagai aspek kehidupan insan.  Islam ialah anutan aqidah dan syari’ah, bila aqidah mengenai akidah dan keyakinan, sedangkan syari’ah tentang selainnya dalam artian meliputi ibadah, mu’amalah dan akhlak.
Islam diyakini selaku agama universal, tidak terbatas waktu dan daerah tcrlentu, bahkan Quran menyalakan lingkup keberlakuan pedoman Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Adalah untuk seluruh umat manusia di manapun mereka berada dan bahkan terhadap seluruh alam semesta.
Dalam aqidah Islam memberikan kategorisasi antara dua bab yang sempurna yakni lahir dan batin, yang dimaksud dalam hal ini yaitu syari’ah dan haqiqah (tasauf). Yang pertama disebut zahir sedangkan yang kedua disebut batin yaitu bab dalam diri manusia. Antara syari’ah dan tasauf bagaikan kulit dan isi atau mirip bulat dan titik pusatnya.
Al-Ghazali selaku seorang ulama besar sanggup menyusun kompromi antara syari’ah dan tasauf menjadi bangunan gres yang cukup membuat puas kedua belah pihak. baik dari golongan penganut syari’ah maupun kalangan sufi.
Al-Ghazalilah yang membuat tasauf  menjadi halal bagi kaum syariah, setelah mereka memandangnnya selaku hal yang menyeleweng dari Islam, sebagaimana yang diajarkan al-Bistami  dan al-Hallaj (ittihad dan hulul).
Al-Ghazali mengikat tasauf dengan dalil-dalil nash. Dan dari judul-judul karyanya yang paling monumental yaitu Ihya ‘Ulinu al-Dln. Nampak betapa besar jasa al-Ghazali yakni mampu menyusun bangunan yang dapat membangkitkan kegairahan umat Islam mempelajari ilmu-ilmu agama dan mengamalkan dengan sarat ketabahan.
Apa yang dicita-citakan al-Ghazali tercapai, yakni membangkitkan dan memperdalam kualitas keimanan umat Islam dan memantapkannya, sehingga tcrpancar dalam kegairahan mempelajari ilmu-ilmu agama beserta pengamalannya.
Sebaliknya dengan keterikatan yang ketat dalam pengamalan tasaufnya dengan syari’ah dan ayat-ayat Quran dan hadis, tasauf  mulai mendapat hati dari ulama ahli syari’ah dan diterimanya.
Sebagai salah satu cabang ilmu ke-Islaman yahg paling kaya kerohanian dan tuntunan akhlak. Dengan demikian tasauf mampu berfungsi sebagai obat yang paling mujarab untuk membebaskan umat Islam dari kekakuan dan kekeringan nasionalisme fiqhiyyah dan  pcnyakit spritualismc ilmu kalam.
Al-Ghazali secara legas mengatakan bahwa antara syari’ah dan tasauf mempunyai relasi yang sungguh bersahabat. la membantah pendapat sebagian kelompok yang mengatakan adanya kontradiksi antara syari’ah dan tasauf. Al-Ghazali mengatakan ”Barang siapa yang berpendapat bahwa antara haqiqah dan syari’ah bertentangan atau yang batin bertolak belakang (berlawanan) dengan yang lahir maka kekufuran lebih dekat daripadanya dari keimanan.
Bahkan dikala al-Ghazali menerangkan wacana jalan untuk menuju kebahagiaan, baik di dunla maupun di darul baka maka satu-satunya jalan yaitu ilmu dengan amal (ibadah): “Kaum Sufi dan Filosof yang beriman kepada Allah dan hari akhirat secara keseluruhan, walaupun mereka berlawanan dalam tatacara pemahaman secara garis besar mereka semuanya sepakat bahwa bantu-membantu kebahagiaan yakni dalam ilmu dan ibadah. Sedangkan ajaran mereka berada dalam perincian ilmu dan amal.
Dari serangkaian keterangan-informasi tersebut di atas terperinci kiranya bahwa penyelarasan antara kekerabatan syari’ah dan tasauf haruslah dipadukan antara keduanya, berlangsung beriringan, tidak mengambil (mengamalkan) salah satunya lalu meninggalkan yang lainnya, sama sekali tidak. jalan kebahagiaan ialah perpaduan antara ilmu dan amal, atau antara syari’ah dan tasauf.
Dalam konteks ini al-Ghazali secara konkrit sudah sukses merumuskan bangunan ajarannya ialah konsepsinya yang mengkompromikan dan menjalin secara ketat antara pengamalan sufisme dan syari’ah mirip yang tersusun dalam karya monumentalnya Ihya ‘Ulum al-Din. Dan ini pulalah yang menjadi bagian evaluasi terakhir dari pembahasan ini dengan menawarkan pola masalah terutama perihal shalaf, bagaimana citra mudah hubungan syari’ah dan tasauf (tatacara amal lahir dan batin shalat).
Dalam melakukan ibadah khusunya sholat, di mana seseorang cuma dapat mencapai kesempurnaan dan dapat diterima sholatnya jikalau menyanggupi syaral-syarat tertentu, baik yang dikemukakan oleh jago syari’ah maupun para sufi. Dalam menegakkan shalat seseorang sebelumnya mesti membersihkan diri (thaharah).
Menurut ahli fiqh membersihkan diri (thaharah) yaitu menyucikan badan atau anggota lubuh dari najis, daerah shalat, sedangkan berdasarkan andal tasauf, membersihkan diri bermakna higienis selain di atas harus higienis pula busana yang digunakan dalam arti mesti diperoleh dari sumber yang halal.
Sebelum berwudhu menurut hebat fiqh seseorang harus membaca bismillah, sedangkan berdasarkan sufi selain melaksanakan hal-hal di atas seseorang haruslah istighfar dalam rangka pembersihan jiwa.
Kompromi yang dicetuskan al-Ghazali mampu memberikan pengertian kegamaan dalam beribadah kepada Allah, pada satu sisi peribadatan andal fiqh yang telah cenderung hanya mementingkan segi formalitas belaka sudah mendapat reaksi dari kaum yang ingin menghayati agama dengan lebih mendalam dalam beribadah.
Beribadah terhadap Allah yang formal telah berdasarkan tatanan syari’ah Islam, namun hati sufi tidak hadir lagi dalam beribadah sebagaimana yang diajarkan oleh Islam dengan kekhusyu’an jiwa. Di sisi lain kaum Bathiniyyah (sufi) beribadah dengan diisi perasaan khusyu’. Dan tulus yaitu menurut tatanan ajaran Islam itu sendiri.
Catatan kaki
[1]Term al-ma’rifah dalam dunia tasauf pertama diungkap oleh Ma’ruf al-Kharki (W. 200 H) ketika ia mendefinisikan tasauf dengan bersikap zuhud dan ma’rifah. Namun orang pertama dalam sejarah tasauf yang menganalisis tasauf secara konsepsional adalah Zun al-Nun al-Misri (W. 245 H).
Ia mengklasifikasikan ma’rifat pada pada tiga kelas: pertama, ma’rifat tauhid sebagai ma’rifat orang awam; kedua, ma’rifat al-burhan wa istidlal adalah pengetahuan perihal dewa lewat ajaran dan pembuktian logika; dan ketiga, ma’rifat para wali yakni wawasan dan pengenalan perihal tuhan melalui sifat dan keesaan tuhan. Rivay Siregar, Tasauf, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme  (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 129
[2]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II (Cet. V; Jakarta: UI Press, 1986), h. 83
[3]Abu Hamid Al-Ghazali,, Ihya U’lum al-Din, Jilid III (Beirut Dar al-Kutub al-Islami, t.th), h.17
[4]Ibid, h. 5
[5]Ibid.
[6]Ibid  jilid IV, h. 300.
[7]Ahmadi Isa, Tokoh-Tokoh Sufi Tauladan Kehidupan yang Shaleh, (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo, 2000), h.196
[8]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme, op .cit., h. 78
[9] Harun Nasution, menyebutkan bahwa Islam terdiri dari aspek ibadah, faktor sejarah dan kebudayaan, aspek politik, faktor hukum, aspek teologi, faktor fllsafat, aspek mistisme dan faktor pembaharuan, lihat Harun Nasution,  Islam Dttinjau dari Berbagai Aspeknya, (Cet.VI; Rajawali, Jakarta, 19S6).
[10] Q.S. A!-Anbiya(2I); 107, QS. Saba (34); 28
[11] Abu Hamid Al-Ghazali,, Ihya U’lum al-Din, Juz I op. cit., h. 100
[12] al-Ghazali, Mizan al-’Amal, (ttp. Maktabah wa Mathba’ah Ali Subhy wa Auladuh, 1328 H/1976 M),  h. 12