Disiplin ilmu keislaman tradisional mencakup ilmu kalam, ilmu fiqh, filsafat dan tasawuf. Keempat disiplin ilmu tersebut memliki karakteristik tersendiri yang membedakan dari yang satu dengan yang yang lain. Tasauf membidangi sisi-segi penghayatan dan pengamalan yang bersifat lebih langsung di mana tekanan orientasinya bersifat esoterik, sedangkan filsafat membidangi hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif.
Sejarah pertumbuhan fatwa Islam sedikit banyaknya juga ditandai dengan adanya polemik di antara disiplin-disiplin ilmu keislaman tersebut. Perkembangan disiplin ilmu tersebut benih-benihnya dimulai sejak zaman Rasulullah saw. dan berlangsung hingga kurun-masa berikutnya.
Pertentangan politik sekitar pengangkatan khalifah dan pola hidup sebagian khalifah sehabis khulafâ’ al-rasyiduûn menumbuhkan perilaku oposisi keagamaan terhadap regim yang berkuasa saat itu. Dalam keadaan mirip itulah muncul segelintir orang-orang muslim Sunni dengan kecenderungannya pada teladan hidup ascetic yang berikutnya ialah cikal bakal perkembangan tasauf. Dalam perkembangan selanjutnya tasauf tidak lagi meningkat selaku gerakan oposisi politik, tetapi dinamika perkembangan gagasan kesufian sendiri yang secara sadar bermetamorfosis mysticisme.
Dalam pertumbuhan tasauf, para sufi menyajikan desain religio- moral yang disebut maqâmât dan juga teori ahwâl yang bersifat psiko-gnostik yang harus dilalui oleh para sufi. Maqâmât ini bertingkat-tingkat dan tidak disepakati kronologi dan sistimatikanya. Salah satu di antara maqâmât itu yakni al-hubb, yang diperkenalkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah.
Tulisan ini secara khusus berusaha mengungkap ide cinta (Hubb Ilâhi) yang dilontarkan Rabi`ah, sebagai bagian dari displin ilmu keislaman tradisional. kehadirannya memberi warna tersendiri kepada pertumbuhan disiplin Ilmu tasawuf.
Riwayat Hidup Rabi’ah al-Adawiyah
Nama lengkapnya Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah, seorang pemuka sufi periode kedua hijriyah. Ia lahir di Basrah tahun 95 H./713-714 M., pendapat lain mengatakan tahun 99 H./717 M.[6] Dia adalah anak keempat, akhirnya diberi nama Rabi’ah yang artinya anak keempat, dari sebuah keluarga miskin.
Kedua orang tuanya telah meninggal saat beliau masih kecil. Namun hal tersebut tidak membuatnya kehilangan fatwa. Demikian berat ujian yang dihadapi beliau tetap mendapatkannya dengan tabah dan penuh tawakkal terhadap Allah swt.
Pada usia menjelang sampaumur, beliau pergi dan berpisah dari kerabat-saudaranya, namun di tengah perjalanan yang tidak pasti arah, dia ditangkap oleh seorang penjahat lalu menjualnya terhadap seseorang dengan harga enam dirham. Sejak ketika itu dia menjalani hidupnya sebagai seorang budak. Di siang hari beliau harus melakukan pekerjaan berat melayani tuannya dan pada malam hari beliau beribadah terhadap Allah swt.
Pada suatu malam terjadi sebuah peristiwa aneh yang merubah jalan hidupnya; tuannya terjaga dari tidurnya dan lewat jendela menyaksikan Rabi’ah sedang beribadah dan sujud, di atas kepalanya nampak cahaya yang menerangi seluruh rumahnya, dalam ibadahnya Rabi’ah berdoa:
“Ya Allah Engkau tahu bahwa kehendak hatiku adalah untuk mampu menyanggupi perintah-Mu. Jika Engkau dapat mengubah nasibku ini, niscaya saya tidak akan beristirahat sekejappun dari mengabdi terhadap-Mu”. Melihat peristiwa tersebut, sang tuan merasa was was dan tidak mampu memejamkan matanya sampai menjelang fajar. Pada pagi harinya, dia mengundang Rabi’ah dan memerdeka-kannya. Sejak ketika itu beliau menghirup udara kemerdekaannya sebagai insan.
Setelah Rabiah bebas, ia memusatkan perhatian pada aktivitas spritual. Di sana beliau memiliki sebuah majelis yang banyak dikunjungi oleh murid-muridnya yang berisikan pada zâhid untuk mencar ilmu dan bertukar asumsi.
Pada masanya di kota Bashrah telah mulai ada halaqah (pengajian), yang dirintis oleh Hasan al-Bashri. Namun tak didapatkan data akurat, Rabi`ah pernah mengikuti halaqah tersebut dan berguru kepada seorang syaikh atau seorang guru. Namun berdasarkan A. J. Arberry, beliau murid tokoh zahid, ialah Abu Sulaiman ad-Darani.
Walaupun demikian Rabi’ah bekerjsama telah mempunyai dasar wawasan agama, Sebab sejak kecil Rabi`ah selalu ikut aktivitas ibadah orang tuanya, baik itu ibadah mahdhah atau hanya sekedar membaca al-Qur’an dan berzikir.
Rabi`ah memilih menjalani kehidupannya seorang diri, Rabi`ah tidak pernah kawin, sungguh pun setidaknya ada 2 (dua) orang yang sudah pernah melamarnya untuk berumah tangga.
Dalam hidupnya yang yang diarahkan pada dimensi spritual, Rabia’h al-Adawiyah menjauhi kehidupan duniawi (zuhud, ascetic). Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala pinjaman materi yang diberikan kepadanya. Kehidupan Rabia’ah yang ascetic ini mampu dimaklumi, dengan dua pendekatan, pertama, Rabi’ah menyadari latar belakang hidup keluarganya selaku orang yang miskin. Secara psikologis pengalaman periode lalunya selaku orang yang miskin dan bekas budak membawanya untuk tidak butuhhidup bermewah-glamor. kedua, sebagai seorang sufi, hal pertama yang harus ditempuh sebelum bergulat dalam dimensi spritual adalah kehidupan yang ascetic.
Rabi’ah al-Adawiyah menghabiskan sisa hidupnya di Bashrah hingga wafatnya tahun 185 H./801 M. Rabi’ah al-Adawiyah tidak meninggalkan anutan tertulis. Langsung dari tangannya sendiri. Ajarannya cuma mampu dimengerti melalui para muridnya dan baru dapat dituliskan beberapa tahun sesudah kematiannya.
Konsep Cinta Rabi’ah Al-Adawiyah Dengan Sang Ilahi (al-Mahabbah al-Ilahiyah)
Pengertian yang diberikan terhadap mahabbah adalah kecenderungan hati untuk mencintai Allah. Ada juga yang mengartikan mahabbah selaku ketaatan melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan-larangan-Nya serta ridha kepada segala ketentuannya. Harun Nasution menyebut pemahaman mahabbah dalam terminologi sufisme selaku berikut:
- Memeluk kepatuhan terhadap Tuhan dan tidak suka perilaku melawan kepada-Nya.
- Menyerahkan seluruh diri terhadap yang dikasihi.
- Mengosongkan hati dari segala-sesuatu kecuali dari Tuhan
Makara dapat dipahami bahwa hubb dalam terminologi mistisisme Islam (tasawuf) yakni kecenderungan hati seseorang (sûfi) untuk hanya cinta kepada Allah, mengosongkan bilik-bilik hatinya dari selain Allah, dibarengi ketaatan melakukan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya
Menurut Imam al-Ghazali, kecintaan terhadap Allah dan rasul-Nya yaitu fardhu yang ditetapkan menurut dalil-dalil niscaya. Munculnya mahabbah ini diinspirasi oleh isyarat -isyarat al-Qur’an, antara lain QS al-Ma’idah: 54 dan QS Ali Imran: 30.
Kecintaan terhadap Allah adalah tujuan yang tertinggi dari maqamat yang dilalui oleh para sufi. Al-Kalabazi membagi mahabbah ini terhadap dua macam, yakni cinta yang hanya dalam akreditasi saja, dan cinta yang dihayati dan diresapi dalam hati keluar dari lubuk hati. Cinta yang pertama ada pada setiap manusia, sedang cinta yang kedua ditujukan cuma kepada Allah. Cinta yang mirip inilah yang dianut dan diamalkan oleh kaum sufi.
Menurut Margaret Smith, Rabi`ah dinilai orang pertama yang menyatakan doktrin cinta tanpa pamrih terhadap Allah. Di dalam sejarah pertumbuhan tasawuf, hal ini merupakan konsepsi gres di kelompok para sufi masa itu. Untuk mengetahui lebih jauh tentang konsepsi al-mahabbah atau al-hubb berdasarkan Rabi`ah, akan ditelusuri pernyataannya ihwal cinta.
Pada sebuah waktu Rabi`ah ditanya pendapatnya perihal batasan konsepsi cinta. Rabi`ah menjawab: Cinta berbicara dengan kerinduan dan perasaan. Mereka yang mencicipi cinta saja yang dapat mengenal apa itu cinta. Cinta tidak dapat diterangkan dengan kata-kata. Tak mungkin orang dapat menerangkan sesuatu yang belum dikenalnya. Atau mengenali sesuatu yang belum pernah digaulinya. Cinta tak mungkin diketahui lewat hawa nafsu apalagi kalau tuntutan cinta itu dihindari. Cinta bisa menciptakan orang jadi galau, akan menutup untuk menyatakan sesuatu. Cinta mampu menguasai hati.
Pada kesempatan yang lain, ada juga orang yang menanyakan cinta terhadap Rabi`ah. Rabi`ah juga menjawab, bahwa: Cinta muncul dari keazalian (azl) dan menuju keabadian (era) serta tidak terlingkupi oleh salah satu dari delapan belas ribu alam yang bisa meminum hatta seteguk serbatnya.
Dalam obrolan lain, ada 2 (dua) batasan cinta yang sering dinyatakan Rabi`ah. Pernyataan pertama, selaku verbal cinta hamba kepada Allah, maka cinta itu harus menutup selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta. Dengan kata lain, maka pertama, ia harus memalingkan punggungnya dari dunia dan segala daya tariknya.
Lanjutnya kedua, ia mesti memisahkan dirinya sesama makhluk ciptaan Allah, biar dia tak bisa menarik dari Sang Pencipta. Tambahnya ketiga, ia mesti berdiri dari semua cita-cita nafsu duniawi dan tidak menawarkan peluang adanya kesenangan dan kesengsaraan. Karena kesenangan dan kesengasaraan dikhawa-tirkan mengganggu perenungan pada Yang Maha Suci. Terlihat sekali, Tuhan dipandang oleh Rabi`ah dengan penuh kecemburuan selaku titik konsentrasinya, alasannya adalah cuma Dia sendirilah yang wajib dicintai hamba-Nya.
Pernyataan kedua, kadar cinta terhadap Allah itu harus tidak ada pamrih apapun. Artinya, seseorang tidak dibenarkan menginginkan akibat dari Allah, baik ganjaran (pahala) maupun pembebasan hukuman, paling tidak pengurangan. Sebab yang dicari seorang hamba itu melakukan keinginan Allah dan menyempurnakannya.
Karenanya, kecintaan seseorang itu mampu saja diubah semoga lebih tinggi tingkatannya, hingga Allah sungguh-sungguh dicintai. Lewat kadar kecintaan inilah, menurut Rabi`ah dalam penafsiran Margaret Smith, Allah akan menyatakan diri-Nya sendiri dalam keindahan yang sempurna. Dan melalui jalan cinta inilah, jiwa yang mengasihi kesudahannya bisa menyatu dengan Yang Dicintai dan di dalam kehendak-Nya itulah akan dijumpai kedamaian.
Pada hari yang lain, Rabi`ah menyatakan 2 (dua) macam pembagian cinta, selaku puncak tasawufnya dan dinilai telah mencapai tingkatan tertinggi dalam tahap cinta. Pembagian cinta tersebut, tertuang dalam lirik syairnya:
أحبك حبين حبّ الهوي # وحبًّا لأنك أهل لذاكا
فأما الذي هو حبّ الهوي # فشغلي بذكرك عمّن سواك
وأمّا الذي انت اهلٌ له # فكشفك لي الحجب حتّي أراكا
فلا الحمد في ذاأوذاك لي # ولكن لك الحمد في ذا وذاكا.
“Aku mencintai-Mu dengan dua cinta Cinta yang muncul dari kerinduan hatiku dan cinta dari anugrah-Mu. Adapun cinta dari kerinduanku Menenggelamkan hati berzikir pada-Mu dibandingkan dengan selain Kamu. Adapun cinta yang dari anugrah-Mu Adalah anugrah-Mu membukakan tabir sehingga saya menyaksikan paras -Mu Tidak ada puji untuk ini dan untuk itu bagiku Akan namun dari-Mu segala puji baik untuk ini dan untuk itu”.
Pembagian cinta ini dinilai sebagai tambahan keteladanan awal suatu peralihan. Sejak saat itu, lambat laun mempengaruhi karakteristik sufisme, adalah pengalihan sufisme dari contoh hidup protes terhadap dominasi duniawi (kemewahan hidup ekonomi dan pertentangan politik), kepada suatu teori kemaujudan dan tatanan teosofi. Karena tasawuf itu pada dasarnya ekstrim rohaniyah, maka dalam pembagian cinta, Rabi`ah-lah orang yang merintis untuk membelokkan fatwa Islam ke arah mistik yang ekstrim rohaniyah.
Dialah aktivis yang memperkenalkan cita fatwa gaib dalam Islam. Dimaksud, terbukanya tabir penyekat alam ghaib, sehingga sang sufi akan bisa menyaksikan dan mengalami serta berhubungan langsung dengan dunia ghaib dan zat Allah. Kembali ke banyaknya pernyataan cinta Rabi`ah. Muncul pertanyaan, apakah muncul begitu saja, tanpa suatu proses? Dalam penelusuran Muhammad Atiyah Khamis, Rabi`ah sudah memperluas beberapa makna ataupun lingkup cinta Ilahi.
Dulu Rabi`ah mencintai Allah sebagaimana lazimnya pada umumnya umat Islam, yakni didorong alasannya mengharapkan nirwana Allah dan sebaliknya takut akan neraka-Nya. Ini ternyata jelas lewat pertanyaan doa Rabi`ah kepada Allah, yaitu … “O, Tuhan, apakah Engkau akan membakar hamba-Mu di dalam neraka, yang hatinya terpaut pada-Mu, dan lidahnya selalu menyebut-Mu, dan hamba yang selalu takwa pada-Mu.
Sesudah Rabi`ah menyadari bahwa landasan cinta seperti itu dianggap cinta yang masih sempit, Rabi`ah meningkatkan motivasi dirinya sehingga dia hingga luluh dalam cinta Ilahi.
Artinya, ia menyayangi Allah sebab memang Allah layak untuk dicintai, bukan alasannya cemas kepada neraka ataupun disebabkan menghendaki surga-Nya. Ini terlihat, saat Rabi`ah sakit jama`ah menjenguk dan menanyakan keadaannya, beliau menjawab, saya tak tahu penyebab penyakitku ini.
Demi Allah, diperlihatkan padaku nirwana, kemudian aku terpesona untuk memilikinya. Mungkin Tuhan cemburu akan sikapku ini, kemudian Dia mencelaku. Dia menginginkan biar aku kembali kepada-Nya dan menyadari kesalahanku. Kaprikornus beliau tidak ingin menjadi pekerja wanita yang tidak baik. Terus ada kenaikan lagi. Dia justru minta dibakar api neraka, bila menyembah Allah alasannya takut neraka dan sekaligus mengharamkan nirwana, jikalau beliau menginginkan surga.
Atas dasar cinta dalam penyembahan Allah, ia berkata, limpahkanlah ganjaran yang lebih baik. Dia minta diberi kesempatan melihat muka Allah Yang Maha Agung dan Maha Mulia, hingga merasa bahagia berada erat dengan Allah pada hari kebangkitan. Lantas perasaan senang itu diakhiri dengan bagiku (Rabi`ah) cukuplah keridlaan-Mu saja.
إلهى لو كنت أعبدك خوفا من نارك فأحرقني بنار جهنموإذا كنت أعبدك طمعا في جنتك فأحرمنيها وإما كنت أعبدك من أجل محبتك فلآ تحرمني من مشاهدة وجهك
Wahai, Tuhan! Apabika saya beribadah terhadap-Mu hanya alasannya takut terhadap neraka-Mu maka bakarlah aku di neraka-Mu. Dan apabila saya beribadah kepada-Mu hanya mengharapkan nirwana-Mu maka keluarkanlah aku dari surga-Mu. Tetapi, kalau saya beribadah terhadap-Mu cuma untuk-Mu semata, berikanlah kepadaku keindahan-Mu yang awet .
Begitu tingginya kadar kecintaan Rabi`ah terhadap Allah sampai pada gilirannya, ia menilai tidur itu tidak saja selaku bab dari rangkaian mata rantai ibadahnya, akan namun juga sekaligus sebagai musuhnya yang telah menimbulkan berkurangnya ibadah. Perhatikan petikan berikut ini:Wahai Tuhanku, semua insan sudah tidur nyenyak. Raja-raja sudah mengunci pintu istana masing-masing. Suami istri telah berbaring di atas sofanya. Namun, Rabi`ah yang banyak dosa ini masih bersimpuh di hadapan-Mu. Kebesaran dan Kemuliaan-Mu-lah yang membuat aku terus berjaga malam begini.
Begitu terpusatnya cinta Rabi`ah terhadap Allah, pada gilirannya cinta bagi Rabi`ah hanya tertuju terhadap-Nya. Cinta bagi Rabi`ah itu karam dalam renungan perihal Allah dan berpaling dibandingkan dengan segala makhluk, hingga tidak ada lagi dalam jiwanya perasaan murka atau benci kepada musuh. Dalam pendalaman studi Margaret Smith, melalui telaah Tadzkirah al-Awliya’-nya Fariduddin al-Aththar, yaitu “Keberadaanku telah tiada dan jati diriku pun sudah lenyap. Aku sudah menjadi satu dengan-Nya”
Dalam cinta sempurna seperti itu, mahir sufi tak ada lagi dan hilang diri. Aku menyatu dengan-Nya dan sekaligus milik-Nya., harapanku adalah penyatuan dengan-Nya, karena itulah tujuan dari keinginanku.
Catatan Kaki
[1] Nucholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis ihwal Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, (Cet. III; Jakarta: Paramadina, 1995), h. 201, 218.
[2] Oposisi keagamaan ini antara lain dipicu oleh adanya kekecewaan kepada praktek pemerintahan Bani Umaiyah yang cenderung diktator, sikap mengutamakan orang-orang Syiria pada forum pemerintahan, dan kehidupan kaum Umawi yang dinilai kurang religius. Lihat: Ibid. h. 256.
[3] Ibid., h. 254-257. Tasauf biasanya dipergunakan untuk menyebut gaib Islam. Penulis Barat biasanya menyebut mysticisme Islam dengan perumpamaan sufisme. Lihat: Harun Nasution, Falsafat dan Mysticisme dalam Islam, (Cet. VIII; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 56. Mysticism berasal dari kata gaib yang akar katanya berasal dari bahasa Yunani, Myein = menutup mata, yang selanjutnya diartikan secara luas ialah kesadaran terhadap realita Tunggal.
[4] Dalam klasifikasi desain maqâmât ini, berdasarkan Amin Abdullah, terlihat adanya efek cara berfikir filsafat di dalam mengklasifikasi dan mensistimatisasi pemikiran al-Qur’ân yang berhubungan dengan dimensi bathiniyah. Lihat: M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 152-153.
[5] Harun Nasution, op. cit., h. 62-63.
[6] Margareth Smith, “Rabi’ah The Mystic and Her fellow Saints in Islam” diterjemahkan oleh Jamilah Baraja dengan judul: Rabi’ah: Pergulatan Spritual Perempuan, (Cet. I; Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 7
[7] Karena kemiskinannya al-Attar, seorang penyair dari Parsi, mengemukakan bahwa pada malam saat ia dilahirkan di rumahnya tidak ada makanan, tidak ada minyak untuk penerangan bahkan secarik kain untuk membungkusnyapun tidak ada. Oleh karena itu Ibu Rabi’ah menyampaikan terhadap suaminya biar ke rumah tetangganya untuk meminjam lampu buat penerangan dan kain, akan tetapi suaminya pulang dengan tangan hampa karena tetangga yang dihadiri tidak berkenan untuk membuka pintunya. Lihat: Wahid Bakhsh Rabbani, Islamic Sufism, (5th Edition. 1st Publisher; Kuala Lumpur: A. S. Noordeen, 1995), h. 322.
[8] Harun Nasution, et. al., Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1992/1993), h. 973.
[9] Abdul Mun`im Qandil, “Rabi’ah al-Adawiyah ‘Adarau al-Basrah al-Batul” terj. Mohd. Royhan Hasbullah dan Mohd. Sofyan Amrullah, Figur Wanita Sufi: Perjalanan Hidup Rabi’ah Al-Adawiyah dan Cintanya kepada Allah, cet. III, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2000) h. 3-4
[10] A. J. Arberry, Sufism terj. Bambang Herawan, Pasang-Surut Aliran Tasawuf, (Bandung: Mizan, Sya`ban 1405/Mei 1985), h.51
[11] Abdul Mun`im Qandil, op. cit., h. 63
[12] Abu Bakr Muhammad al-Kalabazi, Al-Ma’rûf Li Mazhab Ahl al-Tasawwuf, di-tahqîq dan di-ta’lîq oleh Mahmud Amin al-Nawâwî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), h. 131
[13] Harun Nasution, Falsafat …, op. cit., h. 70.
[14] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (berikutnya disebut al-Gazali), Ihyâ Ulûm al-Dîn, juz IV, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1992), h. 311.
[15] Ibid.
[16] Abu Bakr Muhammad al-Kalabazi, loc. cit.
[17] Margaret Smith, op. cit., h. 107
[18] Abdul Mun`im Qandil, op. cit., h.188
[19] Margaret Smith, op. cit., h.113
[20] Ibid., h.122
[21] Ibid., h. 123
[22] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1996), h.30
[23] Muhammad Atiyah Khamis, Rabi’ah al-Adawiyah, (Jakarta;Pustaka Firdaus,2000) h.59
[24] Qamar Kailani, Fii at-Tashawwuf al-Islaam, (t.t.: Dar al-Ma`aarif, 1976) h. 89
[25] Abdul Mun`im Qandil, op. cit., h.195
[26] Margaret Smith, op. cit., h.124
[27] Ibid.,
Sumber: https://www.tongkronganislami.net/konsep-mahabbah-al-ilahiyah-rabiah-al-adawiyah/