Qath’Iy Dan Zanniy Dalam Perspektif Pedoman Islam

By Nursalam Rahmatullah

A.    Pendahuluan
1.      Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an ialah sumber pemikiran agama Islam yang paling utama, bersumber dari Allah swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. lewat perantara malaikat Jibril mencakup lafaz dan maknanya sekaligus. Kemudian dengan dasar wahyu inilah Nabi Muhammad saw. menerangkan banyak sekali masalah-problem yang muncul di tengah masyarakat.
Al-Qur’an yang ialah kumpulan firman Allah swt. telah disepakati penggunaannya oleh para ulama selaku sumber acuan hukum yang paling utama dalam rangka menentukan sebuah aturan. Oleh karen itu, isi dan kandungannya harus dikaji secara mendalam dalam rangka mengetahui pemikiran-ajaran yang terkandung di dalamnya supaya dapat diamalkan dalam kehidupan umat manusia.
Dalam mengetahui kandungan dan isi ayat-ayat al-Qur’an diperlukan suatu ketelitian dan kecermatan agar mampu mengetahui maksud yang mau disampaikan oleh ayat tersebut. Mengingat bahwa al-Qur’an selain mengandung lafal-lafal yang lugas sehingga mudah diketahui juga mengandung lafal yang mempunyai makna musytarak sehingga perlu kehati-hatian dalam menawarkan makna ke dalam lafal-lafal tersebut. Sehingga lahirnya istilah qath’i al-dalalah dan zanni al-dalalah yang merupakan pemetaan oleh sebagian ulama selaku bentuk upaya pembatasan pintu ijtihad semoga nas-nas yang bersifat qath’i tersebut tidak lagi mengalami reinterpretasi atau bersifat tamat. Lalu bagaimanakah al-Qur’an dan hadis mampu menyanggupi kebutuhan aturan umat manusia dalam menghadapi dinamika masyarakat yang terus mengalami perkembangan dan pergantian.
2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dimengerti bahwa yang menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini yaitu “bagaimana Konsep qath’i dan zanni dalam Perpektif Pemikiran Islam” yang hendak diuraikan ke dalam beberapa sub-masalah selaku berikut:
  • Apakah hakikat qath’i dan zanni ?
  • Bagaimana persepsi ulama tentang qath’i dan zanni dalam perspektif aliran Islam ?
  •  Bagaimana penerapan desain qath’i dan zanni dalam perkembangan dinamika penduduk saat ini ?

B.      Pembahasan
       1. Hakikat Qath’i dan zanni
a.       Pengertian Qath’i dan zanni Menurut Bahasa
Dari segi etimologi/bahasa kata qath’i berasal dari bahasa Arab, ialah al-Qat’u, yang ialah bentuk Masdar dari kata kerja قطـعyang terdiri dari tiga abjad; ق–ط–عyang bermakna “memotong, tajam, mengakibatkan sesuatu dengan yang lainnya jelas”.[1] Dalam kamus bahasa Arab al-Munjid tertulis: قطعdengan teladan: قطع في القول memiliki arti menyatakan dengan niscaya.[2] Dari Pengertian قطعdi atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kata tersebut dalam bahasa Arab mampu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti: tajam, terperinci, pasti, percaya, tak syak lagi. Kemudian kata tersebut menerima imbuhan “ya nisbah” sehingga terbentuk kata: ( قطعيqath’iy) yang menunjuk terhadap kata sifat sehingga berarti sesuatu yang terperinci atau sesuatu yang niscaya. Sedangkan kata zanni berasal dari bahasa Arab yang akar katanya:   يظـن ظـنـا  ظـن  bermakna ragu atau sangkaan.[3]

Kata zanni kadang disinonimkan dengan kata nazar yang memiliki arti relatif atau nisbi.[4] Sedang berdasarkan Ibnu Zakarya kata zanni adalah bentuk yang terdiri dari tiga aksara ن-ن- ظyang menunjuk masdar dari kata kerja zanna ()ظـن terhadap dua makna yang berlainan, yaitu percaya dan ragu.[5] Zanni juga memiliki arti tidak besar lengan berkuasa atau disangsikan.[6] Dengan bentuk masdar tersebut kemudian menerima imbuhan ya al-nisbah sehingga terbentuk kata zanniy yang memiliki arti sesuatu yang bersifat prasangka, perkiraan atau sesuatu yang tidak niscaya.

Melihat pengertian zanni di atas, maka mampu ditarik kesimpulan bahwa zanni adalah sesuatu yang bersifat prasangka, relatif, sangkaan dan tidak pasti.
b.      Pengertian qath’i dan zanni menurut istilah
Adapun pemahaman qath’i dan zanni berdasarkan perumpamaan ialah selaku berikut :
  • Menurut Abu al-Ainain Badran al-Ainain seorang guru besar ushul al-Fiqh di Mesir bahwa qath’i ialah sesuatu yang menunjuk kepada hukum tertentu dan tidak mengandung kemungkinan makna lain, sedangkan zanni yakni dalil (ayat atau hadis) yang menunjuk kepada sebuah makna yang mengandung pemahaman lain.[7]
  • Menurut Abdul Wahhab Khallaf, qath’i ialah yang menunjuk kepada makna tertentu yang harus dipahami darinya (teks) tidak mengandung kemungkinan ta’wil serta tidak ada daerah atau potensi untuk mengerti makna selain makna tersebut darinya (teks tersbut).[8] Sedangkan zanni, nas yang memperlihatkan atas makna yang memungkinkan untuk dita’wilkan atau dipalingkan dari makna asalnya kepada makna yang lain.[9]

Dari kedua definisi tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa qath’i yaitu sebuah petunjuk hukum atau nas yang pengertiannya dapat diketahui dengan jelas tanpa ada kesempatan untuk menginterpretasikan dengan yang lain, sedang zanni suatu pentunjuk aturan yang mampu mendapatkan makna lain. Di bawah ini akan dikemukakan contoh masing-masing baik qath’i maupun zanni, yaitu :
I.       Contoh qath’i :
a)      Tentang waris QS al-Nisa/4: 11
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ …..
Terjemahnya:
“Allah mensyari’atkan bagimu wacana (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak wanita; dan bila anak itu seluruhnya perempuan lebih dari dua. Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; bila anak perempuan itu seorang saja, maka dia menemukan separuh harta…”.[10]
b)     Tentang Zina QS. al-Nur/24: 2:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ …….
Terjemahnya:
 “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. . .[11]
c)      Tentang Kiffarat Sumpah QS. al-Maidah/5: 89:
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ ۖ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ۚ ….
Terjemahnya:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi beliau menghukum kamu disebabkan sumpahsumpah yang kau sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yakni dari makanan yang biasa kamu berikan terhadap keluargamu, atau memberi Pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. . .”.[12]
Bilangan-bilangan dalam ketiga ayat di atas, tentang bagian waris, seratus kali dera bagi orang yang melaksanakan zina, dan puasa tiga hari untuk kaffarat sumpah berdasarkan para ulama ushul fiqh, mengandung aturan yang qath’i dan tidak bisa diketahui dengan pemahaman lain.[13]
II.    Contoh zanni
a)      QS. al-Baqarah/2: 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ
Terjemahnya :
“Wanita-perempuan yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. . .”.[14]
Kata quru’ ( )قروءialah lafaz musytarak yang mengandung dua makna, yaitu suci dan hai«. Oleh alasannya adalah itu, apabila kata quru’ diartikan dengan suci, sebagaimana yang dianut oleh ulama Syafi’iyah yakni boleh (benar) dan jikalau diartikan dengan haid juga benar sebagaimana yang dianut oleh ulama Hanafiyah.
b)      QS. al-Maidah (5):38:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Terjemahnya:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (selaku ) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.[15]
Kata tangan dalam ayat ini, mengandung kemungkinan yang dimaksudkan adalah tangan kiri, di samping juga mengandung kemungkinan tangan itu cuma sampai pergelangan tangan saja atau hingga siku. Penjelasan untuk yang dimaksud tangan ini ditentukan dalam hadis Rasulullah saw.[16]
Jadi kekuatan aturan kata quru’ pada ayat pertama dan kata tangan pada ayat kedua “Ulama Fiqh” sepakat bahwa itu bersifat zanni.[17] Dengan demikian para mujtahid bisa saja menentukan pengertian mana yang mereka yakini atau yang terkuat.
2.      Pandangan Ulama wacana Qath’i dan Zanni dalam al-Qur’an dan Hadis
Pembahasan qath’i dan zanni di kalangan ulama masing-masing terdiri atas dua bagian, yakni qath’i al-Wurud atau qath’i al-tsubut (kepastian kebenaran sumber), qath’i al-dalalah (kepastian kandungan makna) dan zanni al-Wurud atau zanni al-zubut (ketidakpastian sumber) dan zanni al-dalalah (mengandung ta’wil).[18] Nas-nas al-Qur’an seluruhnya bersifat qath’i (niscaya) dari sisi kehadirannya, ketetapannya, dan periwayatannya dari Rasulullah saw. terhadap umatnya. Maksudnya dipastikan bahwa setiap nas al-Qur’an yang dibaca itu yaitu hakikat nas al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah kepada rasul-Nya. Ayat al-Qur’an dari sisi kepastian kebenaran sumber atau qath’i al-tsubut, tidak terdapat perbedaan pendapat di golongan umat Islam. Semua umat Islam yang dalam hal ini ulama, baik mufassir, usuliyyun maupun para fuqaha meyakini bahwa redaksi ayat al-Qur’an yang dibaca sampaumur ini serupa dan sama dengan ayat-ayat yang diterima oleh Nabi Muhammad dari Allah swt. lewat perantaraan Malaikat Jibril a.s. Kepastian dan kebenaran sumber ayat-ayat alQur’an, dengan sendirinya ialah ma’lum min al-din bi al-darurah sesuatu yang sudah sungguh terang, aksiomatik dalam pedoman Islam.[19]Dengan demikian ayat-ayat al-Qur’an dari segi sumbernya dinyatakan sebagai qath’i al-wurud atau qath’i al-tsubut tidak lagi menjadi pembahasan. Adapun dari segi dalalahnya terhadap hukum, sebagiannya adalah qath’i dan sebagiannya yaitu zanni. Dengan demikian dibilang bahwa, al-Qur’an itu dari sisi wurudnya ialah qath’i dan dari sisi dalalahnya ada yang qath’i dan ada yang zanni. M. Quraish Shihab menulis pendapat Muhammad Arkoum dalam bukunya Membumikan al-Qur’an mengatakan: “Kitab suci al-Qur’an itu mengandung kemungkinan makna yang tak terbatas, ia menghadirkan banyak sekali pemikiran dan penjelasan pada tingkat dasariah, eksistensi yang sewenang-wenang. Selalu terbuka, tak pernah tetap dan tertutup hanya satu penafsiran makna.[20] Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Abdullah Darras: “Apabila anda membaca al-Qur’an, maknanya akan terperinci di hadapan anda. Tetapi bila anda membaca sekali lagi, maka anda akan memperoleh pula makna-makna lain yang berlawanan dengan makna terdahulu. Demikian seterusnya, sampai-hingga anda dapat mendapatkan kalimat atau kata yang mempunyai arti beragam. Semuanya benar atau mungkin benar (ayat-ayat Qur’an) bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berlawanan dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil, jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka dia akan menyaksikan lebih banyak dari apa yang anda lihat.[21] Begitupula dengan pedoman Masdar F. Mas’udi yang mengatakan bahwa dengan cuma berpijak pada teks formal, rancangan qath’i dan zanni hanya akan menciptakan kekakuan dan tidak mampu menghadapi masalah-masalah dunia terbaru.[22]
Perlu juga dicatat bahwa walaupun persoalan yang dibicarakan di atas tidak menjadi pokok bahasan ulama tafsir, namun mereka menekankan perlunya seorang mufassir untuk mengenali ushul fiqh, terutama dalam rangka menggali ayat-ayat hukum.[23] Al-Syatibi mengemukakan bahwa: “Tidak atau jarang sekali ada sesuatu yang pasti dalam dalil-dalil syara’ (jikalau berdiri sendiri), karena dalil-dalil syarat tersebut bersifat Ahad, maka terperinci beliau tidak mampu memberi kepastian. Bukankah Ahad sifatnya zanni ? Sedangkan jika dalil tersebut bersifat mutawatir lafaz-nya, maka untuk menawan makna yang niscaya diharapkan premis-premis (mukaddimah) yang tentunya harus bersifat pasti (qath’i ) pula. Dalam hal ini, premis-premis tersebut harus bersifat mutawatir. Ini tidak gampang ditemukan, alasannya realita menunjukan bahwa premis-premis tersebut kesemuanya atau sebagian besarnya bersifat Ahad dalam arti zanni (tidak pasti). Sesuatu yang bersandar terhadap zanni, tentu tidak menghasilkan sesuatu kecuali yang zanni pula.[24]

Al-Syatibi mengirimkan kita untuk berkesimpulan bahwa tidak ada yang qath’i dalam al-Qur’an. Memang demikian kalau ditinjau dari sudut ayat-ayat tersebut secara bangun sendiri. Tetapi lebih jauh beliau menerangkan bagaimana proses yang dilalui oleh suatu aturan yang diangkat dari nas sehingga dia pada kesannya di namai qath’i. Menurut al-Syatibi lebih jauh, “kepastian makna” (qath’i al-dalalah) sebuah nas muncul dari sekumpulan dalil zanni yang kesemuanya mengandung kemungkinan makna yang serupa. Terhimpunnya makna yang sama dari dalil-dalil yang beragam itu memberi “kekuatan” tersendiri. Ini pada akibatnya berlawanan dari keadaan masing-masing dalil tersebut dikala bangkit sendiri. Kekuatan dari himpunan tersebut menjadikannya tidak bersifat zanni lagi. Ia telah berkembangmenjadi semacam mutawatir ma’nawy, dengan demikian dinamailah beliau selaku qath’i al-dalalah.[25] Sebagai pola keharusan salat tidak mampu ditangkap cuma dari firman Allah swt. dalam QS. al-Baqarah/2: 43:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ …..
Terjemahnya :
“Dan Dirikanlah shalat. . .[26]
Kata salat itu sendiri telah mengandung dua makna, yatu doa dan salat berdasarkan syara’ sebagai salah satu rukun Islam. Kewajiban shalat itu gres bisa ditangkap, menurut al-Syatibi, sesudah dalil-dalil perihal salat itu diinduksi.[27] Dalam contoh tersebut di atas didapatkan sekian banyak ayat atau hadis yang menjelaskan antara lain hal-hal berikut:

  • Pujian terhadap orang-orang yang salat;
  • Celaan dan bahaya bagi yang meremehkan atau meninggalkannya;
  • Perintah kepada mukallaf untuk melaksanakannya dalam keadaan sehat, sakit, damai, perang, dalam keadaan bangun, bila uzur duduk atau berbaring atau bahkan dengan aba-aba sekalipun;
  •  Pengalaman-pengalaman yang dimengerti secara bebuyutan dari Nabi saw., teman ia, dan generasi sesudahnya, yang tidak pernah meninggalkannya.[28]
  Kata-Kata Bijak Awal Bulan September 2022, Kalimat Mutiara Ucapan Menyambut Hari Kelahiran Penuh Keinginan & Doa
Kumpulan nas yang memperlihatkan makna-makna tersebut, yang kemudian disepakati oleh ulama, lalu melahirkan pendapat bahwa cuilan ayat aqimu al-salat adalah pasti atau qath’i mengandung wajibnya salat. Juga disepakati bahwa tidak ada kemungkinan arti lain yang dapat ditarik darinya, kecuali kewajiban salat.
Ulama-ulama ushul fiqh menunjuk kepada ijma’ untuk menetapkan sesuatu yang bersifat qath’i. Sebab jika mereka menunjuk terhadap nas (dalil naqli) secara bangun sendiri, maka akan terbuka peluang bagi mereka yang tidak mengenali ijma’ itu untuk mengalihkan makna yang dimaksud dan telah disepakati itu ke makna yang lain. Untuk menghindari hal itu mereka pribadi menunjuk ijma’.[29]
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:
  • Qath’i al-dalalah sebuah ayat atau hadis bila sudah disokong oleh beberapa dalil zanni yang beragam dan kesemuanya mengandung kemungkinan arti yang sama.
  • Penunjukan sejumlah dalil zanni tadi lalu disepakati oleh ulama. Artinya ke-qath’i-an sebuah ayat atau hadis tergantung pada kesepakatan ulama.
  •  Tidak ada ayat atau hadis yang qath’i apabila beliau bangun sendiri.

Perlu ditambahkan bahwa suatu ayat atau hadis mutawatir dapat menjadi qath’i dan zanni pada dikala yang serupa. Firman Allah yang berbunyi : Wa imsahu bi ru’usikum yakni qath’i al-dalalah menyangkut wajibnya membasuh kepala dalam ber-wudhu. Tetapi dia zanni al-dalalah dalam hal batas atau kadar kepala yang harus dibasuh. Ke-qath’i-an dan ke-zanni-an tersebut disebabkan sebab seluruh ulama ber-ijma’ (sepakat) menyatakan keharusan membasuh kepala dalam ber-wudhu menurut berbagai argumentasi. Namun mereka berlawanan pertimbangan ihwal arti dan kedudukan ba pada lafaz bi ru’usikum. Dengan demikian, kedudukan ayat tersebut menjadi qath’i di satu segi, dan zanni di segi yang lain. Di satu segi dia memberikan makna yang niscaya, dan di sisi lain beliau memberi berbagai alternative makna.[30]
Sedangkan tentang hadis nabi, ulama menyampaikan bahwa dari sisi keberadaannya ada yang bersifat qath’i al-wurūd atau al-tsubut dan ada yang bersifat zanni al-wurūd atau al-tsubut. Menurut Abdul Karim Zaidan dan Abdul Wahab al-Khallaf, hadis yang digolongkan kepada qath’i al-wurūd atau al-tsubūt yaitu hadis-hadis mutawātir, alasannya hadis-hadis yang demikian tidak disangsikan kebenarannya bahwa dia pasti bersumber dari Nabi Muhammad saw. Dengan kata lain, hadis mutawātir dilihat dari segi penukilannya dikerjakan oleh jumlah rawi yang banyak dan secara nalar tidak mungkin jumlah rawi yang banyak itu melaksanakan kedustaan.[31]
Sementara sunnah yang digolongkan kepada zanni al-wurūd atau al-tsubut ialah hadis-hadis masyhur dan ahad, karena kedua hadis ini dari sisi penukilannya dari Nabi tidak meraih tingkat mutawtir.[32]
Jadi menurut uraian tersebut dapat dipahami bahwa baik nas yang bersumber dari al-Qur’an maupun hadis jikalau ditinjau dari sisi dalalah-nya maka kedua-duanya dapat digolongkan kepada qath’i al-dalalah dan zanni al-dalalah sementara dari sisi penukilan atau periwayatannya terdapat perbedaan yang terletak pada nas al-Qur’an yang hanya bersifat qath’i al-wurud dikarenakan proses periwayatannya yang mutawatir sedangkan hadis terbagi ke dalam dua bab ialah ada yang qath’i al-wurud (hadis mutawatir) dan ada yang zanni al-wurud (hadis-hadis yang tidak meraih derajat mutawatir).
3.      Penerapan Teori Qath’i dan Zanni
Konsep qath’i dan zanni merupakan hasil aliran ulama-ulama dalam rangka memutuskan kaidah hukum Islam atau aturan syara’. Proses fatwa yang mereka lakukan untuk hingga pada penetapan adanya qath’i dan zanni yakni berujung adanya akad terhadap nas (al-Qur’an dan Hadis) bahwa nas tersebut yaitu qath’i atau zanni, baik dari sisi wurud-nya maupun dalalah-nya. Jika hasil aliran tersebut dilihat dari tinjauan ajaran Islam, maka sama artinya bahwa konsep qath’i dan zanni sebagai hasil ajaran Islam. Sementara pemikiran Islam, sebagaimana terlihat dalam dinamika penduduk , meningkat sesuai dengan pertumbuhan masyarakat. Dengan kata lain, karakteristik aliran Islam yaitu senantiasa berusaha menerjemahkan anutan Islam sesuai dengan tuntutan kemajuan. Oleh sebab itu mampu ditegaskan, bahwa rancangan qath’i dan zanni yang telah baku pada sejumlah kitab kurun kemudian, akan mengalami peninjauan ulang. Sangat boleh jadi, dalil-dalil yang telah disepakati ulama terdahulu selaku qath’i kembali menjadi zanni pada kurun sekarang disebabkan adanya tuntutan zaman perlunya suatu reinterpretasi. Beberapa kasus yang kasatmata bisa menjadi pola dalam makalah ini, di antaranya duduk perkara kewarisan perihal bab anak laki-laki ialah dua kali bab anak wanita dalam QS. al-Nisa/4: 11:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ ….
Terjemahnya:
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. adalah : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak wanita. . .”[33]
Jika dilihat teks ayat di atas telah terperinci bahwa anak laki-laki mendapat dua bab harta pusaka, sementara anak perempuan menerima satu bagian (2:1). Pemahaman ini sejak dahulu diperpegangi oleh ulama dan dalalah ayat tersebut dianggap sebagai qath’i yang dihentikan diubah. Menurut Munawir Sjadzali mantan menteri Agama RI. abad Orde Baru dalam melontarkan ilham-inspirasi pembaharuannya bahwa pembagian warisan umat Islam Indonesia menawarkan bagian yang serupa terhadap anak laki-laki dan wanita (1:1). Maka impulsif banyak ulama menentangnya sebab dianggap bertentangan dengan ayat al-Qur’an yang secara qath’i telah mengatur hal itu.[34] Alasan Munawir Sjadzali memberikan bagian yang serupa kepada andal waris pria dan wanita yaitu “dulu pada masa sebelum Islam perempuan sama sekali tidak menerima bagian warisan”. Setelah Islam datang, perempuan diberi bagian warisan walaupun cuma setengah dari bab laki-laki. Ini memiliki arti secara sadar Islam hendak mengembangkan hak dan derajat wanita. Kenapa tidak sekaligus saja wanita diberi bagian yang sama dengan pria memang tidak terperinci, namun pedoman Islam itu memang sering diberlakukan secara bertahap (ingat penetapan hamr). Karena itu mampu dimengerti bahwa jiwa dari ayat waris tersebut adalah bahwa pada dasarnya perjuangan meningkatkan hak dan derajat perempuan itu harus terus dikerjakan dan dihentikan terhenti. Kemudian kehidupan modern kini ini telah memberikan kewajiban yang lebih besar kepada perempuan dibanding pada periode lalu sehingga wanita sekarang juga mampu memberikan peran yang serupa dengan laki-laki dalam penduduk , maka logis saja hak-haknya dalam warisan juga ditingkatkan semoga sama dengan laki-laki.[35] Ide Munawir Sjadzali pembagian yang serupa anak pria dan perempuan bukan pertama kali dikemukakan di dunia Islam. Di Turki sejak tahun 1926 sudah memberlakukan aturan seperti ini dan Somalia memberlakukannya sejak tahun 1974. Negeri-negeri Islam tidak pernah mempersoalkan hal itu.[36] Kalau dilihat masalah-perkara ijtihad yang dilaksanakan Umar bin Khattab r.a. dan didekati lewat teori qath’i dan zanni akan terlihat bahwa nas yang ditinggalkan oleh Umar ialah nas yang qath’i al-dalalah.  Yang lalu ditafsirkan oleh Umar berdasarkan kemaslahatan sesuai dengan jiwa syari’at, bukan berdasarkan huruf dari nas syari’at saja. Oleh alasannya adalah itu, dikala terjadi tragedi kelaparan dalam pemerintahannya yang menjadikan banyak pencuri ia tidak memangkas tangan pencuri yang tertangkap dengan hukum had, alasannya adalah beliau berpendapat bahwa kemaslahatan yang diharapkan balasan pertolongan hukum tidak bakal terealisasikan akibat tragedi kelaparan.[37] Dalam perkembangan ajaran aturan Islam seringkali didapatkan berlawanan dengan apa yang tertuang dalam kitab-kitab fikih sebagai literatur aturan baku yang ada. Ada beberapa masalah yang telah dituangkan dalam aturan keluarga contohnya, di dunia Islam semuanya tidak tercantum atau bahkan bertentangan dengan kitab-kitab fikih, yakni:
·         Masalah pembatasan umur minimal kawin dan perbedaan umur pasangan antara pria dan wanita yang mau melangsungkan pernikahan. Semua negeri Islam kini ini telah memberlakukan batas minimal umur kawin. Di Indonesia berdasarkan UU No. 16/2019 batas minimal itu ialah 19 tahun untuk lakilaki dan perempuan, di Algeria 21 dan 18 tahun, di Banglades 21 dan 18 tahu, di Mesir 18 dan 16 tahun, di Libanon 18 dan 17 tahun, di Irak samasama 18 tahun, di Yordania 16 dan 15 tahun, di Libiya 18 dan 16 tahun, di Malaysia 18 dan 16 tahun, di Maroko 18 dan 15 tahun, di Yaman Utara samasama 15 tahun, di Pakistan 18 dan 16 tahun, di Somalia sama-sama 18 tahun, di Yaman Selatan 18 dan 16 tahun, di Syria 18 dan 17 tahun, di Tunisia 19 dan 17 tahun, dan di Turki 17 dan 15 tahun. Semua batas Umur ini tentu saja tidak sesuai dengan kitab-kitab fikih, terlebih bagi wanita yang menurut pola Aisyah umur 9 tahun pun boleh dikawinkan.[38]
·         Masalah Poligami. Hampir seluruh dunia Islam sekarang sedang bergerak ke arah menyederhanakan terjadinya poligami, Indonesia melakukan hal itu sejak tahun 1974, Pakistan semenjak tahun 1961 dan Syria sejak tahun 1953. Bahkan di Turki sejak 1926 poligami resmi di larang. Di Tunisia mirip di Turki, Poligami juga tidak boleh dengan UU tahun 1956, bahkan bagi yang melanggar dikenakan eksekusi kurungan selama setahun dan denda sebesar 240 ribu Frank. Semua ini yaitu upaya reinterpretasi dan reaktualisasi hukum Islam yang mapan dalam kitab-kitab fikih selama ini ihwal poligami yang begitu gampang menunjukkan izin poligami dan jadinya seringkali disalahgunakan sehingga menjadi sumber kesengsaraan sebagian perempuan.[39]
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa dalam penerapan rancangan qath’i dan zanni dalam penduduk muslim sangat kondisional bedasarkan dengan kemaslahatan umat yang ingin diraih.
Konsep qath’i dan zanni ialah hasil interpretasi para ulama ihwal nas (al-Qur’an dan Hadis) atau hasil ajaran para ulama. Sebagai hasil pedoman, maka sifat dan aksara fatwa Islam yaitu selalu berusaha menerjemahkan pedoman Islam sesuai dengan permintaan perkembangan. Oleh alasannya adalah itu mampu ditegaskan, bahwa nas-nas al-Qur’an dan Hadis yang selama ini dianggap qath’i boleh jadi mengalami peninjauan ulang (reinterpretasi) untuk memenuhi permintaan penduduk muslim yang senantiasa berganti dan meningkat sesuai zamannya, khususnya jikalau dikaitkan dengan kemaslahatan umat.
C.    Penutup
1.      Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah lalu dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
a.   Qath’i dan zanni ialah buah ajaran ulama wacana teks al-Qur’an dan Hadis. Qath’i bermakna tegas dan jelas, sedang zanni berarti sesuatu yang belum jelas, dan mengandung pengertian lain.
b.    Ulama tidak berlawanan pertimbangan ihwal qath’i al-wurud atau qath’i al-tsubut (kebenaran sumber) al-Qur’an dan Hadis Mutawatir. Perbedaan pendapat ulama terjadi pada qath’i al-dalalah (Kepastian makna). Ulama tafsir menolak adanya qath’i al-dalalah dalam al-Qur’an dan Hadis. Menurut mereka tidak ada yang qath’i al-dalalah dalam al-Qur’an. Ayat-ayat al-Qur’an mampu ditafsirkan dengan beberapa kandungan makna. Sementara ulama ushul fiqh mengakui adanya qath’i dan zanni.
c.  Penerapan qath’i dan zanni dalam masyarakat muslim sungguh kondisional, sesuai dengan kemaslahatan umat pada masa itu. Konsep qath’i dan zanni merupakan hasil ajaran ulama ihwal al-Qur’an dan Hadis (ulama ushul fiqh). Karena sifatnya ajaran Islam, maka selalu berusaha menerjemahkan aliran-anutan Islam sesuai dengan tuntutan perkembangan. Karena itu boleh jadi mengalami perubahan (reinterpretasi) sesuai dengan dinamika pertumbuhan penduduk , utamanya bila ditinjau dengan kemaslahatan umat.
Daftar Pustaka
Abu Bakar, Ali Yasa. “Beberapa Teori Penalaran Fiqh dan Penerapannya” dalam Hukum Islam di Indonesia. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1991.
Ahmad Ibn Faris, Ibn Zakaryah Abi al-Huasayn. Mu’jam al-Maqayis al-Lugah, jus V, t.tp. Dar al-Fikr, t. th.
al-An¡ari, Jamal al-Din Muhammad Ibn Mukarram. Lisan al-Arab. Mesir: Dar alMisriyah, t.th.
al-Munawir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawir. Yogyakarta: PT. al-Munawir, 1984.
al-Qaththan,  Manna’,  Pengantar  Studi  Hadis,  terj.  Mifdhol  Abdurrahman . Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2004.
al-Syatibi, Abu Ishaq. al-Muwufaqat fi Ushul al-Syari’ah. jilid I. Mesir: al-Maktabah alTijariyah al-Kubra, t. th.
Atho Muzhar, M. “Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam” dalam. Kontekstualisasi Ajaran Islam. Cet. I; Jakarta: IPHI, 1999.
Badran al-Ayinayn, Abu al-Aynayn. Ushul al-Fiqh al-Islam, tt.:tp., t.th.
Dahlan, Abd. Aziz. Ensinklopedi Hukum Islam, jilid 5. Cet. V; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, 2001.
Darras, Abdullah. Annaba’ al-‘Azym. Mesir: Dar al-‘Urubah, 1966.
Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos ihwal Ilmu, 1999.
Hanafi, Hassan. al-Yamin wa al Yashr fi al-Fikr al-Dan. Cairo: Madbouliy,1989.
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh. Cet. I; Jakarta: Logos, 1996.
Khallaf, Abd. Wahhab. ‘Ilmu Usul al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Kuwaitiyah, 1968.
Ma’luf, Lois. al-Munjid al-Lugah wa al-A’lam. Cet. XXII; Beirut: Dar al-Masyriq, t.th.
Muhammad Syah, Ismail. et al., Filasafat Hukum Islam. Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Quraish Shihab, M. Membumikan al-Qur’an. Cet. XI; Bandung: Mizan, 1995.
Syarifuddin, Amir. “Pengertian dan sumber Hukum Islam” dalam Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam, 1980.
Zaidan,  Abdul Karim. al-Wajīz fi-Ushūl al-fiqh, Bagdad: Dar al-Arabiyah, 1977.

  Mesti Diakui Mutu Guru Berimplikasi Kepada Kualitas Luaran Suatulembaga Pendidikan

[1]Ibn Zakariyah Abi al-Husayn Ahmad Ibn Faris, Mu’jam al-Maqayis al-Lugah, jus V, (T. tp. Dar al-Fikr, t. th.), h. 101. Lihat Pula Hasan Muarif Ambary, et al., Ensiklopedi Islam, jilid 2, (Cet. VII; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, 2001), h. 109.

[2]Lois Ma’luf, al-Munjid al-Lugah wa al-A’lam, (Cet. XXII; Beirut: Dar al-Masyriq, t.th.), h. 638.

[3]Ahmad Warson al-Munawir, Kamus al-Munawir, (Yogyakarta: PT. al-Munawir, 1984), h. 787.

[4]M. Syuhudi Ismail, Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsuannya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 93.

[5]Ibn Zakarya Abi al-Husayn Ahmad Ibn Faris, Mu’jam al-Maqayis al-Lugah, Juz III, , h. 462.

[6]Jamal al-Din Muhammad Ibn Mukarram al-Anshari, Lisan al-Arab, (Mesir: Dar al-Misriyah, t. th.), h. 146.

[7]Abu al-Aynayn Badran al-Ayinayn, Ushul al-Fiqh al-Islam (tt.:tp., t.th.), h. 63. Lihat pula Abd. Aziz Dahlan, Ensinklopedi Hukum Islam, julid 5 (Cet. V; Jakarta: Pt Ichtiar Baru Van Houve, 2001), h. 1454.

[8]Abd. Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushu al-Fiqh, h. 35.

[9]Abd. Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushu al-Fiqh, h. 46.

[10]Kementerian Agama RI,  al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 78.

[11]Kementerian Agama RI,  al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 350.

[12]Kementerian Agama RI,  al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 122.

[13]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Cet. I; Jakarta: Logos, 1996), h. 33

[14]Kementerian Agama RI,  al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 36.

[15]Kementerian Agama RI,  al-Qur’an dan Terjemahnya,  h. 114

[16]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, h. 33.

[17]Hamzah Kamma, Qath’i Dan Zanni Dalam Perspektif Pemikiran Islam, Al-Ahkam Vol. VI,  no. 1 (2016): h. 71.

[18]Ali Yasa Abu Bakar, Beberapa Teori Penalaran Fiqh dan Penerapannya dalam Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1991), h. 173.

[19]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 137.

[20]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 138.

[21]Abdullah Darras, Annaba’ al-‘Azim, (Mesir: Dar al-‘Urubah, 1966), h. 111.

[22]Masdar  F.  Mas’udi,    Agama  Keadilan,  Risalah  Zakat  (Pajak)  dalam  Islam,  (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), cet ke 3, h. 30-31.

[23]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 138.

[24]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 139.

[25]Abu Ishaq al-Syatiibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, jilid I, (Mesir: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, t. th.), h. 36-37. Lihat pula Abd. Azis Dahlan, Eensiklopedi Hukum Islam, (Cet. I; Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1996), h. 1455.

[26]Kementerian Agama RI,  al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 7.

[27]Abd. Azis Dahlan, Eensiklopedi Hukum Islam, h. 1455.

[28]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h., 140-141.

[29]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h., 140-141.

[30]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 141

[31]Manna’  al  Qaththan,  Pengantar  Studi  Hadis,  terj.  Mifdhol  Abdurrahman  (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2004), h. 110

[32]Abdul Karim Zaidan, al-Wajīz fi-Ushūl al-fiqh, (Bagdad: Dar al-Arabiyah, 1977), h. 174.

[33]Kementerian Agama RI,  al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 78

[34]M. Atho Muzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam” dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Cet. I; Jakarta: IPHI, t.th.), h. 311.

[35]M. Atho Muzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam” dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam, h. 312-313.

[36]M. Atho Muzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam” dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam, h. 314

[37]Muchtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Cet. I; Bandung: al-Ma’rif, 1986), h. 373.

[38]M. Atho Muzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam” dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam, h. 318.

[39]M. Atho Muzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam” dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam, h. 318-319