Putu Cangkir | Cerpen Chaery Ma

PUKUL 4 sore & penganan putu cangkir di depan rumah adalah janji yg selalu tepat waktu. Seperti suratan takdir yg tak pernah melenceng, pukul 4 adalah alamat pedagang putu cangkir itu membuka warungnya. Sederhana saja, tatkala warung putu cangkir di depan rumah sudah terbuka, berarti hari sudah pukul 4 sore. Dan lagi, gue selalu menjadi orang yg kurang kerjaan menegaskan kapan penjual putu cangkir itu terlambat atau mungkin lebih cepat beberapa menit membuka warungnya dr angka 4 pada jarum jam.

Kenyataannya, memang tak pernah melenceng sekali pun. Atau mungkin saja pernah saat gue kebetulan memang benar-benar tak mengamati atau sedang tak ada di rumah. Juga argumentasi apa yg membuatku seolah-olah mirip biro intelijen terhadap kesetiaan memperhatikan sesuatu yg tak betul-betul bisa kupaparkan selain kesukaanku pada busuk khasnya—aroma gula merah yg gres diangkat dr kukusan berkolaborasi dgn isian parutan kelapa setengah matang di dalamnya—yang memenuhi rongga hidung.

Tentu saja, siapa saja akan menyesal jikalau tak singgah membeli sebiji atau dua biji. Bahkan, beberapa biji pun tak akan sampai membuat jebol saku. Kebanyakan pelanggannya memang orang-orang yg baru pulang dr kerja. Pun sudah terbayangkan, nirwana apa lagi yg menandingi kenikmatan menyesap secangkir teh hangat dgn penganan putu cangkir dlm kondisi tubuh yg butuh istirahat sambil menyaksikan peralihan warna langit. Dan di sinilah aku—di balik jendela rumah—yang selalu setia pada waktu-waktu itu melihat kesibukan sepasang suami istri yg tak lagi muda melayani pelanggannya dgn senyum yg tak pernah pudar. Juga bunyi-suara besar yg mengiringi. Sepasang suami istri yg bersuara besar, demikian belakangan hari gue memberi mereka nama. Mereka mempunyai nama, nama yg sama dgn pada umumnya nama Bugis lain, namun gue sudah telanjur menggemari julukan itu.

”Berapa?”

”Tiga?”

”Tiga ribu semuanya … terima kasih nah.”

Suara yg diperantarai dua jalur jalan, namun masih hingga ke telinga. Suara yg terdengar senantiasa monolog saking besarnya. Dan itu akan membuatku tertawa sendiri, lebih tatkala membayangkan bagaimana terganggunya orang-orang di samping warungnya. Sayangnya, yg sempurna bersebelahan dgn warung itu ialah rumah Melati, sahabatku.

Melati pernah bercerita bahwa sepasang suami istri itu sebelumnya berasal dr tempat pesisir yg sudah menjadi diam-diam umum orang-orang pesisir ialah orang-orang yg bersuara besar. Telah sekian tahun mereka mendiami warung itu. Seharusnya menjadi alasan mereka menurunkan volume suara beberapa desibel. Tapi sayangnya mereka masih setia, & mungkin saja sudah tak bisa lagi berubah, entahlah …

”Apakah ananda tak terusik?” Pernah kutanyakan itu pada suatu hari yg sudah melalui. Pada Melati tentu saja.

”Justru suara-bunyi itu yg kurindukan tatkala gue pergi jauh dr rumah.” ia membalas dgn lesung pipi yg seperti tak menyisihkan tempat lagi untuk memicingkan mata. Benar saja, kepergiannya ke Beijing alasannya adalah diboyong suami yg sedang melanjutkan pendidikan di sana memberi pembuktian yg tak bisa lagi kupertanyakan. Setiap kali Melati menghubungiku, senantiasa saja putu cangkir itu berada pada urutan keempat pertanyaannya.

  Cerpen: Parjo Salah Memaknai Kebangkitan Nasional

Nomor urut satu, menanyakan kabar orang tuanya yg mungkin saja sedetik lalu gres selesai ditelepon. Dua, wacana keluarga kecilku—janjinya pada Dea untuk membawakan boneka panda pada isu terkini mudik nanti. Ketiga, Rifky—lelaki di samping rumah yg pernah menjadi cinta pertama Melati pada masa lalu. Dan yg keempat, pastinya ihwal putu cangkir itu. Apakah masih dijual? Dan sepasang suami istri itu apakah sehat-sehat saja?

Pukul 4 sore & penganan putu cangkir di depan rumah adalah alamat bahwa dalam waktu dekat gue harus segera ke tempat les. Menjemput anak-anakku.

***

Walaupun tak pernah betul-betul menyaksikan bagaimana kesibukan sepasang suami istri bersuara besar itu dr balik lemari kaca depan warungnya, gue bisa membayangkan tangan-tangan yg tak lagi kekar itu melakukan pekerjaan dgn telaten. Mengayak olahan beras ketan bercampur gula merah lantas mencetaknya di dlm cangkir yg menjadi alasan kenapa kemudian dinamakan putu cangkir. Juga kesabaran mereka menjaga aroma khas yg konon tergantung pada durasi pengukusan & suhu api sehingga setiap pelanggan selalu bisa berbelanja dlm kondisi yg sedang hangat-hangatnya.

Membeli putu cangkir ialah pelajaran wacana kesetiaan. Berdiri usang menanti sampai penganan itu sungguh-sungguh matang dr kukusannya yaitu perihal siapa yg setia & paling setia. Kenyataannya, beberapa orang menentukan mundur menyaksikan antrean panjang yg tatkala terpotong akan membentuk ekor yg lebih panjang lagi. Tak ada bukti sepasang suami istri yg bersuara besar itu pernah menemukan teori marketing yg dianut Kotler & Armstrong. Bahkan, lulus sekolah dasar (Sekolah Dasar) pun tak bisa kujamin. Akan tetapi, terbukti sudah, penjualan sebagaimana dianut teori tersebut—tidak sekadar menyampaikan produk dr tangan pedagang ke pembeli, tapi mengamati apakah keperluan & keinginan pembeli terpenuhi, apakah pembeli puas kepada produk tersebut, & apakah pembeli akan melaksanakan pembelian ulang serta menjadi loyal kepada produk itu—telah menerapkan pengaplikasian dgn sebenar-benarnya. Teori yg pernah kudapatkan di bangku kuliah sayangnya harus terpendam begitu saja. Pernikahan yg telah kujalani tujuh tahun membuatku mengambil keputusan yg tak akan pernah kusesali. Yakni menjadi ibu sepanjang waktunya anak-anakku di rumah.

Maka di sinilah aku—di balik jendela rumah—menyelesaikan pemandangan berkala itu sejak memutuskan untuk tinggal di rumah. Jeda sejenak tatkala harus menjemput bawah umur. Dan kembali berkumpul di tempat yg sama begitu semua keharusan telah tertunaikan, hingga magrib. Selalunya begitu. Entah…. Anak-anak mungkin tak akan pernah tahu bahwa putu cangkir di depan rumah ialah perhatian ibunya selama ini. Demikian pula Ammar, suamiku.

Tentang Ammar, ia yakni lelaki yg baik. Kuakui itu sejak dahulu kala. Tak pernah ada pertentangan yg sungguh-sungguh rumit sepanjang pernikahan kami, selain satu hal yg nantinya akan kupaparkan belakangan, bila memungkinkan. Perjodohan yg konon disebut-sebut lebih melanggengkan sebuah akad nikah sudah kubuktikan bersamanya. Juga, ia yakni laki-laki penurut begitu gue mengusulkan untuk tetap tinggal di rumah panggung saoraja—arsitektur rumah akhlak—peninggalan orang tuaku. Rumah panggung dgn 40 tiang yg seluruhnya yang dibuat dr kayu bayam—kayu terbaik yg tahan usang & kuat kepada serangan rayap. Pun ia menentukan menyerah untuk tak berbelanja rumah di tempat lain tatkala kembali kujelaskan bahwa rumah ini akan kami tinggali selamanya.

  Kemana Perginya Kucing-kucing | Cerpen Erwin Setia

Termasuk alasanku untuk tetap mengenang rumah ini sebagai rumah ingatan. Dan mempertahankan kekhasan rumah Bugis yg sudah mulai hilang ditelan modernisasi. Kami tak pernah betul-betul bertikai paham kecuali ketika ia memintaku melepaskan karir sebagai pegawai salah satu perusahaan swasta dulu. Pun pada balasannya gue harus tahu diri pula tatkala Dea lahir dlm usia kandungan tujuh bulan, & terpanggil untuk full time memberi asupan gizi demi pertumbuhannya. Lagi, keputusan yg tak akan pernah kusesali.

Pukul 4 sore & penganan putu cangkir di depan rumah pula alamat untuk secepatnya siap-siap menyambut komplemen separo agamaku. Ammar.

***

Sore itu, sore yg ke 7.207 sejak suami istri itu mendirikan warung putu cangkir di depan rumah. Aku begitu detail mengenang, pastinya. Warung yg pula merangkap rumah, dgn bentuk yg tak pernah berubah selain atapnya yg pernah diganti dr daun rumbia menjadi seng sementara waktu kemudian. Hitungan harinya begitu akurat tercatat di kepala. Sebaliknya, tak ada ulang tahun atau hari kepergian orang tuaku yg betul-betul sempurna. Aku hanya mengenang hari kepergian emma yaitu kemarin & etta besoknya. Tapi sepiring putu cangkir yg diantar cucu sepasang suami istri bersuara besar itu memorak-porandakan perasaanku seketika itu juga. Kiriman dr kakek-neneknya. Begitu ekspresi berbibir kecil itu menjelaskan. Gratis, tambahnya lagi.

Aku berdiri mematung, bergantian mengamati anak perempuan yg seusia Dea itu, & putu cangkir yg dr aromanya sudah terperinci gres beberapa menit terangkat dr kukusan.

”Puang…” Anak itu mengentakkanku dr lamunan. Segera kupindahkan putu cangkir itu ke piring yg kosong & mengisinya kembali dgn makanan ringan dr kulkas. Anak wanita itu tersenyum lebar & berlalu. Mungkin saja, camilan beraneka warna itu jauh lebih mengalihkan perhatiannya dibanding wajahku yg seketika itu terasa pias. Pintu secepatnya kututup, membiarkan putu cangkir itu menguap dingin begitu saja. Tujuanku cuma satu, kembali mengamati aktivitas sepasang suami istri itu dr balik jendela rumah. Dan kemudian menghubungi Melati.

”Mereka mengirimiku putu cangkir.” Bahkan nada suaraku tak mampu lagi menyembunyikan getarannya begitu tersambung dgn Melati.

”Berarti itu sudah kali kedua sejak kepindahannya kira-kira 20 tahun yg lalu.” Suara Melati pun terdengar bergetar. Hening. Dulu, di permulaan berdirinya, sepasang suami istri itu memang pernah mengirimkan putu cangkir untukku.

”Aku harus bagaimana, Mel?”

”Kamu mesti bagaimana?” Tak sebaiknya Melati balik mengajukan pertanyaan mirip itu.

”Aku tak tahu.”

”Apakah ananda sudah memakannya? Mungkin mereka berharap kau menjajal putu cangkirnya.”

”Tapi ananda tahu sendiri, semenjak warung itu berdiri, gue tak pernah sekali pun merasakan putu cangkir itu.”

”Cicipilah … putu cangkir mereka yaitu putu cangkir terbaik yg pernah kutemukan. Kau harus memakannya, sekali ini saja.”

Ada genangan panas yg tertahan di sana, di pelupuk mataku. Segera kutepis dgn bergegas keluar rumah. Pukul 4 sore & penganan putu cangkir yakni alamat untuk menjemput anak-anak di tempat les & Ammar dalam waktu dekat akan pulang dr kantor. Maka pilihanku, membiarkan putu cangkir itu hambar & tak tersentuh sama sekali.

  Salawat Dedaunan | Cerpen Yanusa Nugroho

Hingga malam, bawah umur maupun Ammar bergantian menanyakan dr mana asal putu cangkir di atas meja.

”Bukannya Ibu tak menggemari putu cangkir?”

”Memangnya Ibu beli putu cangkir?”

”Ibu membeli putu cangkir itu dr mana?”

Aku menggeleng pelan.

”Kiriman putu cangkir dr depan rumah.”

Dea & adiknya berpandangan, Ammar juga. Aku tahu. Mereka pun penasaran seperti apa rasa putu cangkir yg konon yummy itu. Tapi mereka pergi satu-satu, menghormatiku, seorang perempuan yg tak pernah sekali pun menikmati putu cangkir warung depan rumahnya.

Besoknya, pukul 4 sore & penganan putu cangkir senyap. Tak ada pelanggan. Tak ada aroma khas itu. Aku dgn setengah berlari menuruni tangga. Menyeberangi jalan. Dan untuk kali pertama menginjakkan kaki di tempat itu.

”Daeng Ngenre & Daeng Tengge ke mana?” tanyaku pada seorang lelaki yg berdiri di sana.

”Mereka sudah pindah. Ke Barru. Apakah ananda tak menemukan titipan kudapan manis putu cangkir darinya kemarin? Itu ialah salam perpisahan yg pula dibagikan pada para pelanggannya.”

Lama gue tepekur. Aku kemudian pulang & menelepon Melati.

”Mel … mereka pindah.”

”Apakah ananda tak punya firasat sebelumnya?”

”Sama sekali tak ada …”

”Mungkin karena mereka sudah lelah menunggumu.”

Kini air mataku mengalir dgn sebenar-benarnya. Ada sesak yg menyeruak. Segera kuambil putu cangkir yg sengaja kusimpan di kulkas. Memakannya dgn air mata. Aku tahu, kenapa rasanya masih tetap lezat walaupun sudah dingin & tak lagi beraroma khas, alasannya mereka menjadikannya dgn sepenuh cinta. Apakah mereka tak tahu, salah satu alasanku menjaga rumah ini pula alasannya adalah ingin selalu menyaksikan acara mereka & menatap dr kejauhan. Kini mereka sudah pergi, menjinjing perasaanku.

***

Perempuan di rumah panggung itu selalu terang terlihat dr balik beling jendela rumahnya. Apakah ia tak menyadari bahwa gue bisa melihatnya dr posisiku berada? Meskipun itu cuma bayang-bayang. Aku tahu ia selalu berada di sana. Mengamatiku, memperhatikan kami. Kadang tatkala hatiku sudah tak bisa diajak kompromi, ingin sekali rasanya berlari ke sana, menemuinya, & menjelaskan berbagai hal. Tapi suamiku senantiasa menghalangi. Pun alasanku untuk menentukan pindah ke depan rumahnya 20 tahun yg lalu, sebab ingin senantiasa melihatnya.

Dia anakku. Satu-satunya anak perempuanku. Anak yg diadopsi ningrat di kawasan ini dikala usianya masih 10 tahun. Telah usang kami saling mengenali, seperti janji yg tak pernah terikrar, kami menentukan saling menutupi. ia masih butuh waktu untuk mendapatkan semuanya, mungkin. Dan gue yg lebih baik memilih pergi, membiarkannya hidup tanpa bayang-bayang orang renta kandungnya. Pada jadinya ia akan mencariku, tentu saja, alasannya rindu. Entah keyakinan dr mana yg membuatku seteguh itu. Juga, satu hal yg kurahasiakan dr siapa saja, ia anakku bukan bersama suamiku yg sekarang, melainkan dr laki-laki lain, ayah angkatnya sendiri. (*)

Catatan

Emma: Ibu

Etta: Ayah

Puang: Panggilan untuk orang yg dihormati (bangsawan) dlm masyarakat Bugis