Punden Berundak

Situs berundak kala klasik tamat

Serba Sejarah – Punden berundak merupakan contoh struktur tertua produksi insan yang tersisa di Indonesia, beberapa dari struktur tersebut beranggal lebih dari 2000 tahun yang lalu. Punden berundak bukan ialah “bangunan” namun merupakan pengubahan bentang-lahan atau undak-undakan yang memotong lereng bukit, seperti tangga raksasa. Bahan terutama tanah, materi pembantunya watu;menghadap ke anak tangga tegak, lorong melapisi jalan setapak, tangga, dan monolit tegak.

Penulis-penulis pertama ihwal Indonesia yang sungguh dipengaruhi R. von Heine-Geldern, beropini setidaknya terdapat dua tahap kebudayaan megalitik di Indonesia yang berhubungan dengan perpindahan masyarakatdi Asia. Punden berundak dan menhir diandalkan tergolong tahap yang lebih awal dari zaman Neolitikum. Pendekatan ini sesuai dengan golongan difusionis (aliran penyebaran) yang berpikir atas prasangka bahwa budaya Asia Tenggara mengalami kemunduran rangsangan dari luar, tidak lebih ulet menuntut pembaharuan budaya.

Penafsiran arsitektur bentang-lahan prasejarah Indonesia telah diabaikan secara besar-besaran, sebagian alasannya pergeseran balasan tentang tugas orang Indonesia dalam membangun kebudayaannya sendiri, selain itu sebab realita banyak situs berundak yang diperkirakan berawal pada zaman prasejarah telah memberi bukti digunakan diwaktu lebih sekarang. Sangat sulit menciptakan kesimpulan mengenai umur situs yang mengalami pergantian semenjak pertamakali dibangun.

Ada kemungkinan, sedikitnya beberapa punden berundak telah ada sejak zaman prasejarah jika memikirkan eksistensi struktur serupa di Polynesia. Marae dari kepulauan Pasifik barat ialah istilah kearsitekturan dari iktikad budaya yang sama seperti punden berundak Indonesia. penduduk kedua wilayah kepulauan ini berbahasa Austronesia, yang mulai mendiami Indonesia dan pulau di Pasifik sejak 5.000-7.000 tahun yang lalu. Punden merupakan kosakata Jawa, secara harfiah memiliki arti “terhormat”. Kini sering dipakai pada tempat khusus di bersahabat desa, kerapkali diatas bukit dan dikaitkan dengan roh-roh pendiri desa. Kadang-kadang bangunan kubur bergaya isalam diresmikan diatasnya.

  Jepang

“Berundak” bermakna ‘bertingkat’. Contoh peninggalan yang terawatt ditemukan didataran tinggi Jawa barat. Salah satu situs terluas, Gunung Padang, muncul kepermukaan pada tahun 1979. Situs, dipuncak bukit berketinggian 885 m, terdiri atas lma undakan yang paling luas diantaranya berukuran 28 x 40 m. gunung Padang istimewa karena memakai ribuan balok basal yang alami atau dibuat secara sengaja. Penggalian di situs ini pada tahun 1982 oleh Dra. Bintarti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional memperoleh alat pecah belah sederhana terbuat dari tanah. Tidak ditemukan bukti adanya kuburan. Situs ini mungkin merupakan sentra penyembahan dengan monolit yang dinyatakan sebagai rumah leluhur.

Situs ditata sepanjang sumbu baratlaut-tenggara, sitentukan oleh topografi lokal. Tidak ada usaha untuk mengarahkan ke mata angina tau isyarat yang mampu dilihat secara signifikan, mirip G. Karuhun (gunung leluhur) yang mudah dilihat. Gunung Padang terbebas dari gangguan penduduk ketika ini, tidak seperti situs punden berundak lain di Jawa yang sudah mendirikan kuburan Islam atau masih melakukan aktivitas upacara keagamaan.

Punden berundak lain di Jawa Barat tergolong Arca Domas ‘sembilan undakan’, terletak di daerah Baduy, dan Lemah Duhur dengan lima undakan di ketinggian 1.000 m diatas permukaan laut. Walaupun beberapa kubur baru dibangun disini, situs ini kembali tampak terpelihara.

Situs berundak era klasik akhir
Ditempat lain tempat punden berundak berkembang meliputiJawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, dan Nias. Di kawasan Pasemah, Sumatera Selatan, Dr haris Sukendar mengenal jenis “kubur berundak” paduan punden berundak dan kubur pra-Islam. Di Nias, bangunan berundak dan menhir masih digunakan.
 
Situs zaman Klasik Akhir berdasarkan punden berundak juga didapatkan disejumlah gunung di Jawa, mencakup Lawu, Muria, Penanggungan, Arjuna, Welirang, dan Argapura. Hampir semua teladan ini digunakan antara tahun 1.000 dan 1.500 M. Dr. Hariani Santiko yang mempertanyakan kemungkinan bangunan ini berakar pada zaman prasejarah merekomendasikan bahwa bangunan tersebut justru ialah lambing gunung Semeru. Kemungkinan menyesuaikan penafsiran tersebut ada; bagi orang Jawa, gunung Semeru mampu secara mudah dihubungkan dalam dogma purba pada gunung keramat.
Punden berundak di Bali berjumlah banyak. Situs utama meliputi Panebel, Tenganan, Selulung, Kintamani, dan Sambiran. Miniature punden berundak yang masih dipakai dalam ibadah ketika ini didapatkan di dua pura dalem di Sanur. Satu dari pura di Bali yang plaing penting adalah pura Besakih, dapat dilihat sebagai punden berundak.

  Puisi Lembar-lembar Cinta

Masalah utama bagi ilmuwan yang tertarik mengenali perlambang punden berundak di Indonesia dan pengaruhnya pada sejarah kearsitekturan adalah penanggalannya.tidak terdapat penanggalan awal (yakni proto-sejarah) yang pasti untuk berbagai bagian punden berundak. Kendala ini mesti dapt dituntaskan semoga penelitian mampu meningkat . Saat ini tidak meungkin memetakan tahap perubahan bentuk arsitektur bentang-darat pada periode lebih dari 2000 tahun.

Sumber : Indonesia Heritage