close

Pulang Kampung | Cerpen Herumawan PA

BERBEDA dgn saudara-saudaraku yg bisa mudik setiap tahunnya, gue tak mampu selalu pulang kampung. Pekerjaan selaku penjaga pintu lintasan kereta membuatku begitu. Tapi sekarang rasa rindu orangtua di kampung halaman sudah membuncah. Tidak mampu kutahan lagi. Aku putuskan mengambil cuti, pekerjaanku sementara digantikan sahabat sejawat yg lain.

Sekalipun gue tahu pandemi belum berakhir & kembali adanya larangan pulang kampung, tekadku sudah bundar. Aku pun mempersiapkan balik kampung sebelum larangan pulang kampung diberlakukan. Rekan sejawatku tahu itu & berupaya mencegahku.

“Kamu tahu ancaman mudik di ketika pandemi begini, mampu buat klaster gres.”

“Aku bakalan taat protokol kesehatan.” Aku lantas memakai masker. Teman sejawatku mengangguk.

Enggak takut larangan mudik?”

“Yang tidak boleh kan mudik, gue ini mau pulang kampung.” Temanku tertawa mendengarnya.

“Pintar pula ananda cari argumentasi.”

Tidak usang kemudian, minibus travel yg gue tunggu tiba. Aku bergegas naik. Didalamnya, kulihat cuma sedikit penumpang, tak sampai lima puluh persen dr kapasitas penumpang. Hawa terasa sejuk & busuk pengharum ruangan menyanggupi bab dlm minibus travel. Ditambah lagu-lagu dangdut kekinian mengalun riuh.

*****

Tiba di kampung halaman malam hari, gue segera menuju ke masjid untuk eksklusif salat Tarawih. Tapi kuperhatikan tak ada orang-orang yg beribadah disitu. Tampak sepi, hanya ada seorang pria paruh baya sedang membersihkan teras masjid desa. Lalu kuhampiri. Aku mengenalinya, ia Pak Bim, takmir masjid.

Kuucapkan salam yg eksklusif dibalas Pak Bim.

“Kamu Wawan, anaknya Pak Sholeh?” Pak Bim pribadi mengetahui gue dr suaraku. Aku mengangguk.

“Kenapa enggak ada Tarawih di masjid, Pak?” gue mengajukan pertanyaan tanpa melepas masker yg kukenakan.

“Iya, Mas Wawan, di sini masih zona merah jadi salat tarawihnya di rumah masing-masing,” jawabnya pelan.

“Zona merah?” Aku kaget mendengarnya.

“Sudah banyak warga di sini jadi korbannya,” jawabnya. Aku tiba-tiba teringat bapak-ibuku di rumah. Kuucapkan kembali salam kemudian mempercepat langkah.

Ketika tiba di rumah, seorang perempuan paruh baya tersenyum ramah kepadaku di depan pintu. Ia ibuku. Tanpa melepas masker, gue cium tangannya. Kami berangkulan sejenak.

“Ibu sehat, kan?” kataku sesudah menurunkan masker. Ibu mengangguk. Aku lega mendengarnya.

“Bapak di mana, Bu?” Ibu tak menjawab. Wajahnya tampak sedih. Aku diajaknya masuk ke dlm rumah. Lalu masuk ke sebuah kamar. Kulihat Bapak sedang berbaring di tempat tidur. Matanya sayu, pandangannya kosong.

“Pak…” Aku menyapanya pelan. Bapak tak menyahut, ia sepertinya tak suka gue mudik.

“Di mana kerabat-saudaraku yg lain, Bu?” tanyaku pada Ibu yg duduk di pinggir tempat tidur. Ibu tak cepat menjawab, ia menghela nafas sebentar.

“Saudara-saudaramu putuskan tak balik kampung tahun ini.” Ibu menjawab pertanyaanku.

“Memangnya kenapa, Bu?”

“Mereka takut menenteng virus Korona dr luar masuk ke dlm rumah. Tak mirip kau! Dasar anak tak tahu diri. Kamu mau penyakit bapakmu ini jadi tambah parah!!” Tiba-tiba Bapak menyahut marah. Aku terkesima mendengarnya. Harapanku berlebaran bareng mereka mesti kandas.

“Sekarang apa yg mau ananda lakukan?” tanya Bapak serius. Aku resah menjawabnya. Tubuhku secara tiba-tiba lemas. Aku terduduk di atas lantai kamar. Ibu memandangiku. Tatapannya terlihat mengasihaniku.

“Nak, Ibu tahu niatmu baik untuk bersilaturahmi. Tapi bagusnya jikalau ananda tak balik kampung dulu mirip kerabat-saudaramu yg lain.” Perkataan lembut Ibu membuatku mengangguk pelan. Lalu berdiri, berdiri. Kuayunkan langkah keluar rumah.

  Cahaya di Malam Seribu Bulan | Cerpen La Birruni

Aku tak bisa kembali lagi ke kota. Uangku sudah habis untuk biaya naik minibus travel yg naik dua kali lipat dr umumnya. Mungkin gue akan tinggal sementara di gudang belakang rumah yg usang terbengkalai selama kurang lebih empat belas hari ke depan. Tidak apa harus berjauh dahulu dr Bapak & Ibu tetapi setidaknya gue masih mampu memandang paras keduanya meskipun dr kejauhan. (*)