close

Pulang Cerpen OJ Hara


Tri Siswanto menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur segera setelah telepon ditutup. Untuk yg kesekian kali ayahnya menghubungi, memintanya kembali ke desa. Membangun desa, begitu kata ayahnya.

“To, setelah ananda tuntaskan problem wisudamu & lain-lain segeralah kembali ke desa, bantu Bapak bertani di sawah kita. Bapak & ibumu sudah bau tanah. Rasanya sudah tak sanggup lagi bekerja seperti dahulu. Mbakyu-mbakyumu sudah diboyong suami masing-masing & tak mungkin kembali ke desa. Hanya ananda cita-cita Bapak. Garaplah sawah kita & beberapa kebun itu. Tinggalah di sini, Nak….” Demikian ayahnya memelas memohon pada anak bungsunya itu untuk kembali ke desanya.

Masalahnya Tri tidak ingin kembali ke desa & menggarap sawah, meskipun bahwasanya ia tak akan macul seperti Pak Karto & Mas Ipung, para penyawahnya. Mereka yg akan memacul dan sudah punya grup penggarap sendiri yg sudah lebih dr 10 tahun bekerja untuk ayah Tri. Seperti pula ayahnya, nanti Tri cuma akan mejadi pengawas, atur ini itu & seterusnya.

Tri Siswanto minggu kemudian diwisuda di Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi. IP-nya 3,7 dgn rata-rata nilai A & B, tak ada C. Karena nilai-nilainya yg bagus itulah, sahabatnya Nurman mengajaknya bekerja di Jakarta. Sebenarnya di Jakarta Pusat itu hanya kantornya. Perkebunan sawit milik ayah Nurman berada di Bengkulu & Jambi kurang lebih 500 hektare. Nurman memang tak menjanjikan besaran gaji yg akan ia terima, namun ia bilang untuk pegawai awalan dgn nilai kuliah seperti dirinya tak kurang dr lima belas juta per bulan bisa ia terima, ditawarkan mes serta kendaraan dobel gardan jikalau ia ke kebun. Tawaran itu menciptakan Tri seakan tidak mempunyai harapan lain disamping itu.

Dan bekerja di Jakarta itu menciptakan dirinya seakan melambung tinggi. Jakarta, bro, kota dgn sejuta kemajuan & kecanggihan atas nama metropolitan. Siapa yg tak terobsesi hidup di Jakarta? Mereka yg tidak memiliki pekerjaan saja berani nekat ke Jakarta karena keinginan materi & gengsi yg banyak didengung-dengungkan orang, apalagi Tri berangkat ke Jakarta dgn jaminan mapan.

Ayahnya pensiunan perusahaan perkebunan pemerintah. Namun, selain jadi pegawai pemerintah, pula mempunyai sebidang sawah seluas 15 ribu meter persegi & dua bidang lahan tadah hujan yg ditanami palawija & umbi semusim, warisan kakeknya. Hanya dr penghasilan dua lahan itu ayahnya sanggup menyekolahkan ia & dua orang mbakyunya hingga final akademi tinggi tanpa sulit payah. Semua simpulan hingga sarjana & melakukan pekerjaan di Bekasi & Yogyakarta. Semua jadi PNS. Tri anak bungsu & satu-satunya laki-laki. Sekolahnya sejak dasar hingga tamat sarjana tak pernah terkendala ongkos, tergolong bayar kos satu setengah juta sebulan & sebuah motor yg lebih sering berada di garasi kos dibandingkan dengan ia pakai. Kampusnya di Jatinangor bisa ia tempuh dgn jalan kaki.

  Lelaki di Pekuburan | Cerpen Hari B Mardikantoro

Pikirannya ragu-ragu, campur aduk antara kasihan pada ayahnya & obsesi dirinya menjadi kepingan dr dinamika direktur di kota besar yg sering ia lihat di televisi-televisi itu, clubbing, pergaulan komunitas, canda tawa dgn gadis-gadis anggun manajer menengah perusahaan-perusahaan start up, fashion, & segala kecanggihan bahasa gaul membuatnya mirip laron kepada lampu, terobsesi.

Sementara desanya di Sleman sana dgn hamparan sawah, kebun-kebun, & sungai-sungai mengalir terasa sangat menjemukan.

“Kapan gue bisa berpakaian bermerek, bersepatu keren & berdasi bila pekerjaanku jadi petani? Paling-paling busana kerjaku celana pangsi atau paling bagus jeans belel, baju kaos yg tak mungkin berdasi & sepatu? Sepatu bot plastik itu, lepas sepatu bot ya pakai sandal. Membayangkan itu ia tersenyum kecut.

“Oh iya, Nak, ada kabar baik untukmu, kemarin sore sepulang dr masjid si Harjono temanmu SMP dahulu datang ke Bapak. Katanya ia minta tolong dicarikan tenaga hebat pertanian yg bisa membimbing kelompok tani desa kita untuk menjadi petani-petani yg bisa mengorganisir limbah, beternak, & menciptakan mesin-mesin pembuatan home industry karena ia baru saja mendapatkan pengelolaan lahan bekas perkebunan yg sudah tak jalan. Itu di tempat Purwomartani ke arah Kalasan. Bagaimana lengkapnya Bapak kurang paham. Bapak kira ananda bisa menangani itu.”

Tri sedikit tersenyum membayangkan Harjono anak Pak Lurah Muji, dahulu waktu kecil mereka sering mandi-mandi di kali & menyerok ikan di ceruk-ceruk sungai, Harjono badannya gempal & berkulit hitam, tetapi hatinya baik. ia senantiasa berada di sebelah Tri kemanapun mereka bermain, Harjo senantiasa mengajukan pertanyaan tentang apa pun pada Tri alasannya adalah ia menganggap Tri anak pintar, kutu buku & kalau bicara mempesona. Harjo kadang mengajukan pertanyaan ke Tri sekadar ingin menikmati cara berbahasa Tri dlm menandakan sesuatu. Harjono tak hadir ketika Tri berpisah melanjutkan sekolah SMA ke Yogya. Katanya ia tak besar lengan berkuasa berpamitan. Tri hanya tertawa.

  Membakar Langgar | Cerpen Ratnani Latifah

Jam belum menunjukkan pukul 09.00, tetapi matahari sudah bersinar sedemikian garang. Panasnya terasa sampai di dinding kamar kos Tri. ia nyalakan pendingin ruangan & berkemas-kemas mandi. ia nyalakan laptop, menyambar handuk, & menuju kamar mandi. Itu cara biasa mahasiswa karena menyalakan komputer hingga ready internet paling tak 5-10 menit. Keluar kamar mandi ia sudah eksklusif online. Selesai mandi ia sudah duduk di depan laptop, Whatsapp, Facebook, Twitter, Instagram berturut turut opening. ia berselancar sejenak, lihat-lihat grup.

Nurman timbul WApri. “Bro apa kabar, siap-siap ahad depan gue jemput, kita ke Bengkulu. Siapin baju untuk satu minggu.” It’s all about time…. Tri menggumam.

Notifikasi Youtube muncul, ceramah salah satu ustaz dr Sulawesi. Ceramahnya lugas, lantang, & tak ragu memakai kata-kata keras khas Sulawesi.

“… semoga kalian cerdik tinggi, biar kalian punya mobil berderet-deret, namun kalau kamu tak memuliakan orang tuamu jangan harap surga terbuka untukmu. Bodoh kalian kalau punya kesempatan merawat orang tuamu tapi kau tolak, Dongok kalian. Bodoh kalian. Itu kunci syurga, itu cara masuk syurga paling gampang. Kau rawat orang tuamu, Allah yg urus duniamu.” Luar biasa Pak Ustaz kasih wejangan, benar-benar khas orang Bugis, menohok, menghantam relung-relung halus dlm hati.

Tri terpaku terus menonton ceramah ustaz itu. Tangannya tak mampu mengeklik tombol setop. Dirinya terus mengikuti ceramah itu hingga selesai. Perlahan ujung-ujung matanya berair, terbayang olehnya bapak & ibunya yg mulai menua & makin melemah tubuhnya. Tri membiarkan suatu proses mengisi hati & pikirannya dgn hal-hal yg selama ini ia sangkal & sekarang ia biarkan pengertian-pengertian gres itu meresap ke dlm hati & pikirannya.

  Unsur Intrinsik Cerpen

Apa yg kamu cari di Jakarta? Apa yg kamu cari di dunia ini? Apa yg kamu inginkan dr kepintaranmu? Apakah kamu gunakan untuk memenuhi kepuasanmu atau kamu pakai untuk membimbing mereka yg memerlukan pencerahan ilmu wawasan? Jiwanya berkecamuk, hatinya bingung, & pikirannya tak menentu. Tri merasa badannya lemas, lelah, & ia tertidur.

Suara azan lewat pengeras bunyi bergema mendengung di telinga Tri. ia terbangun & tersentak. Refleks ia lihat jam di atas meja, dua belas kurang sepuluh, waktunya Zhuhur. ia gesit bangkit & duduk di tempat tidur, pikirannya sudah agak tenang. Apa yg menjadi kegundahannya perlahan sudah mulai mengendap, mengendap, & mengkristal. Sekarang ia mempunyai dua pilihan yg sama-sama berpengaruh. Pulang & meneruskan usaha tani keluarganya atau berangkat ke Jakarta & menjadi manajer perusahaan sawit. Pilihan yg satu yakni wacana kesederhanaan & opsi yg satunya lagi wacana gemerlap metropolitan yg mempesona.

Dia beranjak & secepatnya ambil air wudhu, shalat Zhuhur. Selesai shalat pikirannya masih tidak yakin, namun ia teruskan berzikir, ala bidzikrillahi tatmainnul qulb. ia memerlukan ketenangan. Sudah jelas pulang ke desanya adalah opsi terbaik yg harus diambilnya. Tapi, satu sisi pikirannya tetap ingin bekerja di Jakarta dgn segala gemerlapnya metropolitan yg menawan .

Dan telepon berdering lagi, di seberang sana bunyi ayahnya.

“Nak, pulanglah segera, tadi pagi ibumu dilarikan ke puskesmas, tekanan darahnya naik. Ibumu sempoyongan & hampir jatuh, namun sekarang sudah baikan. Pulanglah, tengoklah ibumu.”

Tri terkejut , terkesiap, namun ia segera menemukan tanggapan.

“Baik Pak, gue segera pulang, naik kereta sore ini, gue secepatnya cari tiket. Doakan Tri dapat tiket.”

Tri sudah tak fokus lagi pada apa yg diucapkan ayahnya. Segera ia berubah pakaian menyambar kunci motor & siap melaju memesan tiket.

“Allah sudah kasih peringatan padaku, jangan hingga gue kehilangan peluang memiliki kunci surga. Akan kupergunakan selama mungkin potensi ini.” Begitu pikirnya.

Sepeda motor menderu, angin bersibak menerpa parasnya & perlahan-lahan meniadakan obsesi menikmati keayuan & godaan metropolitan. (*)