PUISI SEMERAH DARAH SEMERAH TANAH
Oleh: Jepp Damardjati
Merah darah deras tertumpah.
Menyatu dgn merah tanah ini.
Bocah kemarin sore berguru ajaran darah.
Lewat pekat warna darah yg begitu tajam menekuk pelangi.
Anak muda itu merasuk.
Masuk.
Bingung pada jalan-jalan menikung.
Linglung.
Hilang segala logika.
: Aroma cinta di tepian maut.
Hilang semua daya pikir.
: Aroma rindu tanpa selesai.
Namun anak muda terus berlangsung.
Melangkah pada suatu doktrin.
Sepenggal sumpah bersemayam di ujung gelisah.
Hanya untuk menulis kisah di lembar–lembar sejarah.
Apa yg gue rasakan.
Apa yg gue katakan.
Jangan pernah mendongeng dgn apa yg pernah gue tunjukkan.
Jangan pernah terpikat.
Jangan pernah melihat.
Kamu tak akan menyaksikan apa yg mungkin terjadi pada seikat hikayat.
Apa yg gue rasakan.
Apa yg gue katakan.
Jangan pernah mendongeng dgn apa yg pernah gue tunjukkan.
Tidak pernah bebas.
Tidak pernah lepas.
Aku menjadi hakim yg terbelenggu.
: Tak ada ampunan bagimu.
Anak muda memasarkan hidup yg semakin redup.
Atas iktikad sekaligus imajinasi.
Dia mekarkan bunga-bunga yg tak pernah kuncup.
Skesta hidup yg sarat ratapan.
Sepanjang hidup menyanyi lagu yg sama.
Sepanjang hidup menari tarian yg sama.
Sepanjang hidup merangkai simfoni yg sama.
Terus–menerus mengenang.
Pertarungan sengitnya yg tak pernah menang.
Tetapi pula tak pernah kalah.
Anak muda letih.
Tetapi anak muda tahu.
Darah mengalir ajarkan hidup yg indah namun getir.
Darah membeku ajarkan hidup yg gigil dlm kelu.
Darah berkobar ajarkan hidup menggelegar yg liar.
Darah tertumpah ajarkan hidup yg tabah dlm resah.
Dia berlangsung & membaca akidah.
Dia merasa tak akan mati dlm penyesalan.
Jakarta, 18 Februari 2018