Gula selaku sukrosa diperoleh dari nira, tebu, bit gula, atau aren. Meskipun demikian, terdapat sumber-sumber gula minor yang lain, seperti kelapa. Sumber-sumber aksesori lain, seperti umbi dahlia, anggur, atau bulir jagung, juga menciptakan semacam embel-embel tetapi bukan tersusun dari sukrosa sebagai unsur utama. Proses untuk menciptakan gula mencakup tahap ekstraksi (pemerasan) disertai dengan pemurnian lewat distilasi (penyulingan).
Video alat-alat kimia dapat di lihat di link berikut : https://www.youtube.com/watch?v=vhOpIrUjdw0
Negara-negara penghasil gula terbesar yaitu negara-negara dengan iklim hangat seperti Australia, Brasil, dan Thailand. Hindia Belanda (kini Indonesia) pernah menjadi produsen gula utama dunia pada tahun 1930-an, tetapi kemudian tersaingi oleh industri gula baru yang lebih efisien. Pada tahun 2001/2002 gula yang diproduksi di negara berkembang dua kali lipat lebih banyak dibandingkan gula yang diproduksi negara maju. Penghasil gula paling besar ialah Amerika Latin, negara-negara Karibia, dan negara-negara Asia Timur.
Lain halnya dengan gula bit yang dibuat di kawasan dengan iklim yang lebih sejuk mirip Eropa Barat Laut dan Timur, Jepang utara, dan beberapa daerah di Amerika Serikat, animo penumbuhan bit rampung pada pemanenannya di bulan September. Pemanenan dan pemrosesan berlanjut hingga Maret di beberapa perkara. Lamanya pemanen dan pemrosesan dipengaruhi dari ketersediaan tumbuhan, dan cuaca. Bit yang telah dipanen mampu disimpan untuk di proses lebih lanjut, namum bit yang membeku tidak mampu lagi diproses.
Pengimpor gula paling besar yakni Uni Eropa (UE). Peraturan pertanian di UE menetapkan kuota maksimum produksi dari setiap anggota sesuai dengan permintaan, penawaran, dan harga. Sebagian dari gula ini ialah gula “kuota” dari industry levies, sisanya yakni gula “kuota c” yang dijual pada harga pasar tanpa subsidi. Subsidi-subsidi tersebut dan pajak impor yang tinggi menciptakan negara lain sukar untuk mengekspor ke negara negara UE, atau berkompetisi dengannya di pasar dunia. Amerika Serikat memutuskan harga gula tinggi untuk mendukung pembuatnya, hal ini mempunyai imbas samping tetapi, banyak para pelanggan beralih ke sirup jagung (pembuat minuman) atau pindah dari negara itu (pembuat permen)
Pasar gula juga diserang oleh harga sirup glukosa yang murah. Sirup tersebut di buatan dari jagung (maizena), Dengan mengkombinasikannya dengan pelengkap buatan pembuat minuman dapat memproduksi barang dengan harga yang sungguh murah.
Sumber gula di Indonesia sejak era lampau yaitu cairan bunga (nira) kelapa atau enau, serta cairan batang tebu. Tebu adalah tumbuhan orisinil dari Nusantara, utamanya di bagian timur.
Ketika orang-orang Belanda mulai membuka koloni di Pulau Jawa kebun-kebun tebu monokultur mulai dibuka oleh tuan-tuan tanah pada abad ke-17, pertama di sekitar Batavia, kemudian berkembang ke arah timur.
Puncak kegemilangan perkebunan tebu diraih pada tahun-tahun permulaan 1930-an, dengan 179 pabrik pembuatan dan bikinan tiga juta ton gula per tahun[. Penurunan harga gula akhir krisis ekonomi merontokkan industri ini dan pada simpulan dekade cuma tersisa 35 pabrik dengan bikinan 500 ribu ton gula per tahun. Situasi agak pulih menjelang Perang Pasifik, dengan 93 pabrik dan prduksi 1,5 juta ton. Seusai Perang Dunia II, tersisa 30 pabrik aktif. Tahun 1950-an menyaksikan acara baru sehingga Indonesia menjadi eksportir netto. Pada tahun 1957 semua pabrik gula dinasionalisasi dan pemerintah sungguh meregulasi industri ini. Sejak 1967 hingga sekarang Indonesia kembali menjadi importir gula.
Macetnya riset pergulaan, pabrik-pabrik gula di Jawa yang ketinggalan teknologi, tingginya tingkat konsumsi (termasuk untuk industri minuman ringan), serta kurangnya investor untuk pembukaan lahan tebu di luar Jawa menjadi penyebab sulitnya swasembada gula.
Pada tahun 2002 dicanangkan target Swasembada Gula 2007[2]. Untuk mendukungnya dibentuk Dewan Gula Indonesia pada tahun 2003 (menurut Kepres RI no. 63/2003 ihwal Dewan Gula Indonesia). Target ini kemudian diundur terus-menerus.