Kata otonomi dapat diartikan selaku kemandirian dalam mengendalikan dan mengurus dirinya sendiri (pengelolaan mampu berdiri diatas kaki sendiri). Dalam hal prinsip pengelolaan mampu berdiri diatas kaki sendiri dibedakan dari persepsi yang menganggap sekolah hanya sebagai satuan organisasi pelaksana yang cuma melaksanakan segala sesuatu berdasarkan pengarahan, petunjuk, dan aba-aba dari atas atau dari luar.
Kemandirian dalam acara dan pendanaan ialah persyaratan utama kemandirian sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang terus menerus berlangsung akan menjamin kelangsungan hidup dan kemajuan sekolah (sustainabilitas). Istilah otonomi juga sama dengan ungkapan “swa”, contohnya swasembada, swakelola, swadana, swakarya, dan supermarket. Kaprikornus otonomi sekolah yaitu kewenangan sekolah untuk mengendalikan dan mengorganisir kepentingan warga sekolah berdasarkan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-permintaan pendidikan nasional yang berlaku.
Tentu saja kemandirian yang dimaksud mesti didukung oleh sejumlah kesanggupan, yakni kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kesanggupan berdemokrasi/ menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kesanggupan memecahkan persoalan-problem sekolah, kesanggupan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, serta kemampuan menyanggupi kebutuhannya sendiri.
Namun perlu digarisbawahi bahwa kemandirian tersebut tidak bersifat mutlak, sewenang-wenang, atau semaunya. Kemandirian yang ada tetap harus bertolak pada ketentuan, peraturan. dan perundangan yang berlaku. Sebagai salah satu pola kenaikan kualitas pendidikan di sekolah, guru selaku profesional mempunyai keleluasaan untuk menerapkan tips-tips pembelajaran yang efektif untuk mencapai kompetensi yang telah ditetapkan.
Fleksibilitas selaku prinsip manajemen berbasis sekolah yang kedua dapat diartikan selaku keluwesan-keluwesan yang diberikan terhadap sekolah untuk mengurus, mempergunakan, dan mempekerjakan sumber daya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan sekolah yang lebih besar, sekolah akan lebih lincah dan tidak harus menunggu kode dari atasannya untuk mengurus, mempergunakan, dan mempekerjakan sumber daya.
Dengan prinsip keleluasaan ini, sekolah akan menjadi lebih responsif dan lebih singkat dalam menanggapi segala tantangan yang dihadapi. Seperti pada prinsip otonomi di atas, prinsip kelonggaran yang dimaksud tetap mengacu pada kebijakan, peraturan dan perundangan yang berlaku. Contoh keleluasaan yang dapat dijalankan oleh seorang guru di sekolah yakni guru yang profesional mempunyai kewenangan untuk menentukan, memilih tata cara, alat dan sumber belajar yang beliau yakini efektif untuk meraih tujuan pembelajaran dan ia akan mempertanggungjawabkannya. Dalam konteks penyusunan acara, masing-masing sekolah dapat memilih prioritas-prioritas acara yang dapat dilakukan sesuai kondisi masing-masing sekolah yang diadaptasi dengan lingkungan sekolah.
Dengan demikian, program dan penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) akan berlawanan antara sekolah yang satu dengan sekolah lainnya, bahkan saat alokasi budget yang dimiliki sekolah jumlahnya sama, namun pene kanan dan penyeleksian prioritas mampu berlawanan. Prinsipini membuka potensi bagi kreativitas sekolah untuk melakukan upaya-upaya inovatif yang diyakini dapat mengembangkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan sekolah, utamanya proses pembelajaran yang aktif, inovatif, efektif, dan mengasyikkan.
Peningkatan partisipasi yang dimaksud ialah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik. Warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan penduduk (orang bau tanah siswa, tokoh penduduk , ilmuwan, pengusaha, dan sebagainya) didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diperlukan dapat mengembangkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa kalau seseorang dilibatkan (ikut serta) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “rasa mempunyai” kepada sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi dalam mencapai tujuan sekolah.
Intinya, semakin besar tingkat partisipasi, semakin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa mempunyai, semakin besar pula rasa tanggung jawab; dan kian besar pula dedikasinya. Tentu saja melibatkan warga sekolah dalam penyelenggaraan sekolah mesti mempertimbangkan keterampilan, batas kewenangan, dan hubungannya dengan tujuan partisipasi yang diharapkan.
Demikian prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah dan penjelasan singkat untuk masing-masing prinsip. Semoga berfaedah.