Kebutuhan manusia atau binatang mampu dimengerti melalui metode agama dan budaya yang terletak dari moralitas sebuah bangsa. Ketika diketahui adanya agama dan budaya, hendaknya dimengerti bagaimana mereka hidup dalam tata cara kehidupan sosial budaya di masyarakat.
Misalnya dalam memahami masyarakat perkotaan kerap kali hal ini diketahui dengan adanya sale rumah dan jual rumah pada perkotaan di Pontianak, umumnya untuk dipakai selaku keagamaan, seperti penziarahan, naik haji kalau pada Islam, kalau Katolik ke roma. Tentunya dengan tata cara ekonomi masyarakat menegah.
Dengan demikian, banyak sekali hal terkait dengan adanya perkotaan penduduk ada beberapa katagori masyarakat yang gres kaya, dan tidak atau dalam hal ini menegah, birokrasi, dan nasionalis. Pola kehidupan sosial penuh dengan drama.
Dalam sementara waktu ketika itu guna pergi menziarah biasanya lahan pertanian dijual bagi penduduk pedesaan, sedangkan birokrasi menggunakan duit pensiun. Maka, dalam hal ini penjual rumah, pertanian, bagi masyarakat orang melayu disini terbukti sudah dibeli oleh penduduk Tionghoa yang sekarang tinggal di perkotaan, dan mereka berasal dari Tionghoa perkotaan dan Desa.
Hal ini menerangkan bahwa, berbagai hal terkait dengan pekerjaan mereka, maka ketidaksenangan satu dengan yang lain, sesama insan atau orang (hewan), moralitas dan adab hilang terlihat ada dalam sebuah penduduk kota Pontianak disini (pribumi).
Ketidaksenangan itu, menimbulkan adanya pertentangan sosial, etnik, dan agama yang memiliki makna kepada aspek kehidupan sosial ekonomi di penduduk pada abad kemudian, sehingga mereka berada pada perkotaan yang terpinggirkan. Dan juga, mereka yang tidak mempertahankan kualitas hidup mereka seperti kesehatan juga demikian terjadi 90an – 2011.
Pada suatu masyarakat tersebut, apa yang dirugikan dalam hal ini terkait karakteristik kedua orang, atau keluarga dalam hal ini tentunya yaitu ekonomi ditanggung pada anak – anak mereka pada utang yang dihasilkan, misalnya. Bagaimana dengan kelas sosial di penduduk yang rendah dengan penghasilan sesuai dengan kebijakan perkotaan.
Sehingga ekonomi budaya akan tampak pada acara agama yang berjalan di penduduk , yang tidak terlihat pada insan itu sendiri. Secara tidak pribadi ingin mengulangi sejarah hidup dan budaya mereka sendiri.
Hal ini tidak berbeda jauh dari duduk perkara kehidupan sosial di Jakarta saat ini, yang memiliki efek pada lahan sempit rumah penduduk, maka apa yang terjadi kepada lahan perkotaan itu sendiri terjadi perumpamaan kata lapar tanah. Batasan tanah menjadi konflik yang terjadi hingga saat ini di Pontianak, termasuk di lingkungan rumah tangga, saat ekonomi sosial belum mapan.