BEGITU arsitek mengatakan bahwa rumahnya sudah seratus persen jadi & seratus persen pula siap ditempati, Faizal dgn sebat menyodorkan tangannya. Disalaminya bersahabat-bersahabat tangan arsitek. Matanya terlihat berkaca-beling.
“Terima kasih. Terima kasih. Jika ada yg kurang dr apa yg sudah kuberikan, secepatnya katakan. Aku akan pertimbangkan,” ujarnya pada arsitek itu dgn keharuan. Arsitek tersebut tak menjawab apa-apa. Ia hanya tersenyum & manggut-manggut.
“Aku memperlihatkan seperti yg kau minta lewat hitam di atas putih. Barangkali ada yg mesti kamu minta, namun kamu tak berani menuliskan, sekarang katakan. Mumpung kita masih di sini & bisa dgn enak berunding,” kata Faizal.
Lagi-lagi, arsitek itu tak menjawab apa-apa. Lagi-lagi, ia hanya manggut-manggut. Matanya pula mengisyaratkan perasaan bangga, betapa yg ia kerjakan serius selama berbulan-bulan ini selesai sudah. Dan sungguh membahagiakan sang empunya rumah.
“Jika rumah ini sanggup berdiri tegak selama tujuh ratus tahun & model rumah ini bisa menembus banyak zaman, saya amat berbahagia. Berarti saya mewariskan monumen untuk Bapak. Dan bermakna Bapak mewariskan cagar budaya arsitektur untuk anak, cucu, cicit,” kata arsitek itu.
Faizal secepatnya mengerti tujuannya. Sambil mempersilakan arsitek meninggalkan halaman rumahnya, Faizal berkata lirih: “Sore nanti, saya transfer bonusnya.”
Faizal memang masuk akal meluapkan kebahagiaannya dgn segala cara. Setelah arsitek pilihannya itu pergi, ia memandangi rumahnya dgn persepsi khusus & sangat saksama. Matanya sebentar mengerjap, sebentar mengedip. Kemudian disorotkan kembali ke rumahnya yg baru itu.
“Memang megah. Indah!” ucapnya dlm hati. Ia sangat gembira.
Inilah hasil jerih payahnya selama berbelas tahun, yg diawali dgn merangkak-rangkak. Ia pernah jadi pengecer sabun wangi di kota kecilnya, “asisten” tukang sulap di pinggir jalan, hingga jadi kurir sebuah perusahaan rekaman di Jakarta. Sebelum sampai pada pekerjaan kini, eksekutif keuangan perusahaan besar bidang hiburan, Faizal pernah jadi promotor artis pemula Ibu Kota. Ya, ia memang ingin melangit mirip promotor idolanya semenjak dahulu kala, Jan Djuhana.
Di sebuah sudut, sambil bersandar pada pagar besi kokoh berornamen, diamat-amatinya seluruh isi taman itu. Dipandang lama padang rumput peking dgn hijau pupus yg berkemilau disapa disergap cahaya matahari. Tiga buah rumpun palem merah. Tiga pohon pinus kecil dgn hijaunya yg optimal. Jalan setapak dr kerikil lempengan, dikombinasi dgn kerikil-kerikil warna-warni bagian batu alam. Dan tatkala persepsi dimasukkan kian jauh, nampak sebuah arsitektur kukuh mempesona. Gabungan banyak sekali gaya arsitektur dgn aksen-aksen elemen bangunan tradisional Indonesia. Lantainya memantulkan cahaya besar lengan berkuasa. Hamparan marmer Italia yg menawan!
“Luar biasa!” Faizal berteriak sendiri. Tangannya membentang lebar. Dan ia ulangi kata-kata itu berkali-kali. Berkali-kali. Ia berani melakukannya sebab ia yakin, tak akan ada orang yg bisa menangkap suaranya yg ia keluarkan di tengah halaman seluas nyaris 600 meter persegi itu.
“Hebat!” ia berseru keras-keras. Dari pintu rumah mewah itu timbul seorang wanita. Istrinya.
“Ada apa, tho?” tanyanya.
“Hebat!” jawab Faizal dgn penuh semangat.
“Memang. Memang jago. Dalam-dalamnya pula jago, kok,” sambung istrinya. Keduanya lantas memandang rumah itu lagi dr kejauhan. Sebentar, dua menit hingga tiga menit. Dan tiba-tiba Faizal memecah keheningan.
“Walaupun mahir, gue rasa ada yg kurang ini. Ada,” katanya.
Istrinya tak mengerti.
“Setidaknya kalau kita sudah mulai menempatinya,” ia menyambung.
Istrinya kian tak mengerti.
“Semakin ahli rumah, kian banyak mata yg menyaksikan. Semakin ada yg mengincar-incar….”
Belum usai Faizal berbicara, istrinya menyela.
“Ya, gue mengerti, Bang. Keamanan rumah yg kau pikirkan? Yang kau anggap kurang?”
“Tepat! Tepat sekali. Sekarang mendadak diriku jadi waswas. Seperti ada yg diam-diam menantang kita sehabis kita sah memiliki rumah ini. Kita seperti telah dihadapkan pada musuh yg seratus kali lebih bergairah dibandingkan dengan sebelum kita mempunyai rumah ini. Ada bayang-bayang yg tiba-tiba mengancam. Seperti sudah menodongkan seribu ekspresi serigala persis di hadapan tampang-tampang kita. Dengan gigi yg senantiasa meneteskan air liur kelaparan….”
Wajah istrinya tak memperlihatkan reaksi apa-apa. Tetapi gerak tingkahnya terang mengiyakan apa yg diucapkan suaminya. Apalagi rumah itu berdiri sendirian di keluasan tanah, yg masih sangat sepi penghuni.
“Karena itulah, sebelum kita menempati rumah ini, kita harus berpikir dahulu soal keamanannya. Baru kita nyaman,” Faizal berucap. Istrinya mengangguk.
Rencana pindah dr rumah usang ke rumah glamor itu mereka tangguhkan. Dipikirkannya apa yg jadi pikirannya itu: keamanan. Istrinya merekomendasikan semoga pelihara anjing herder saja. Tapi Faizal menolak mentah-mentah. Ia tak mau ada binatang berkeliaran dlm rumahnya. Selain itu, herder ia anggap sebagai binatang yg menuntut biaya mahal. Anjing herder senantiasa makan dgn lauk yg kadang melampaui tuannya. Kaldu tulang, ikan salmon, keju, telur. Bikin miskin & menyibukkan!
Kalau sewa penjaga rumah?
Dengan semangat Faizal mengatakan bahwa itu memanggil malapetaka. Sekarang musimnya pagar makan flora. Dipercaya, diberi jaminan menggiurkan, ujungnya merampas apa yg bisa dilihat matanya. Nafsu menguasai seseorang tak bisa ditebak seberapa kadarnya. Sementara berapa pun kadarnya, tetaplah membahayakan. Karena itu, ajakan memakai pengawal rumah pula ditolak mentah-mentah.
“Lantas kita mau apa?” tanya istri pasrah.
“Saya punya ide. Ide yg gres saja terpikir & kuanggap bagus,” ujar Faizal hirau tak acuh.
Faizal berdiri dr kursinya. Diambilnya sebatang rokok. Ditempelkannya di bibir & kemudian disulutnya. Sambil menjepit rokok cap Gudang Peluru, ia berkata, “Bagaimana kalau kita bikin patung polisi di depan rumah kita. Bagaimana?” Sang istri terkejut.
“Patung polisi?”
“Ya, patung polisi. Patung polisi. Kau mungkin sudah paham, siapa yg berani pada polisi? Siapa yg berani usil, berbuat macam-macam & sembrono terhadap polisi? Siapa?”
Faizal mengucapkannya dgn keyakinan penuh.
“Di mana-mana, polisi itu berkuasa. Perajuritnya memangkas musuh di medan laga. Perwira menengahnya menduduki bangku tinggi birokrasi di berbagai wilayah, dr gubernur, wali kota hingga bupati. Yang lebih rendah menjadi camat atau lurah. Nama jenderal polisi ada di baris-baris utama susunan direksi perusahaan nomor satu. Siapa yg berani menyaingi karisma polisi? Siapa berani musuh? Ingat enggak bagaimana kuasa polisi di zaman lalu?” sambung Faizal.
“Atas kekuatan polisi, saya dapat mengetahui. Tapi kepada patung. Siapa takut dgn patung?” tukas istrinya.
“Ha-ha-ha, dasar perempuan…. Dasar perempuan! Pertimbangannya memang tak pernah jauh! Bu, setidaknya, melihat ada patung polisi di depan rumah, orang pasti menerka bahwa pemiliknya ialah polisi pula. Karena rumahnya mewah, diangapnya niscaya polisi gedean. Berpangkat tinggi. Siapa berani berbuat konyol terhadap seseorang yg berpangkat?”
Faizal berkata sambil beranjak meninggalkan istrinya. Dan kemudian senyap. Meskipun sayup-sayup terdengar istrinya berguman pelan: “Norak.”
Tak ada tawar-menawar berkepanjangan. Alkisah, patung polisi itu dibangun. Tak hingga dua bulan, di taman berumput peking itu berdiri sebuah patung gagah. Berwarna cokelat muda seperti seragam polisi & berbentuk sosok polisi yg siap tempur. Sosok patung sebesar dua kali manusia itu berdiri di atas landasan setinggi 1 meter. Memang menantang & artistik, sebab dijalankan oleh pematung lulusan Institut Seni Indonesia. Siapa berani musuh?
Berhimpun-himpun rupiah mereka keluarkan untuk patung keamanan itu. Meski jumlah tersebut bukan ukuran & dianggap tak berarti bagi Faizal. Ia memang berprinsip, jiwa yg nyaman tak bisa dibandingkan dgn nominal yg menambahkan banyak angka nol di belakangnya.
Konon, sesudah mereka boyongan ke tempat tinggal gres itu, segala apa yg mereka harapkan menjadi kenyataan. Rumahnya memang tak dikutik-kutik orang. Jangankan pencari-pencari derma yg ribuan jumlahnya di Jakarta ini, tukang sayur pun tak berani masuk. Tak jarang tamu memundurkan langkahnya sesudah setapak-dua tapak memasuki gerbang. Tamu-tamu itu mirip tak mau mengambil risiko. Bahkan pernah terlihat, seekor anjing berbalik langkah & lari terbirit-birit sehabis menyaksikan ada patung secara tiba-tiba bercokol kasar di taman rumah mewah itu. Memang betul-betul aman.
“Apa yg kukatakan senantiasa terukur, tak pernah meleset,” kata Faizal pada istrinya pada suatu hari. Sombong. Sang istri mengiyakan saja. Kenyataannya memang begitu.
Tetapi, inilah pagi yg menggemparkan. Setidaknya bagi mereka berdua. Faizal & istrinya gres saja pulang dr berlibur di Rancamaya. Sudah beberapa hari memang mereka meninggalkan rumah mewahnya yg terletak di kota panas itu & mengurung diri dlm kesejukan pegunungan. Namun kedinginan jiwa yg mereka boyong dr sana secara tiba-tiba menjadi seperti bara api. Apa gerangan yg terjadi? Sepulang dr tamasya, mereka melihat patung itu hilang.
Ya, patung itu telah raib.
“Mustahil. Mustahil! Bagaimana maling berani mencuri patung polisi? Bagaimana ia sanggup menjebol & mengangkat patung lebih dr 1 ton itu? Bagaimana ia bisa besar nyali menyerobot harta seorang perwira?”
Faizal berkata & berteriak-teriak seperti orang mabuk. Ia tak menyangka sama sekali bahwa itu akan terjadi. Dilangkahkan kakinya menuju daerah patung bercokol. Ia amati tanah dongkelan yg dlm tersebut. Ia ingin menerima indikasi maling patung keamanannya itu. Tetapi sia-sia saja.
Sejak ketika itu, melalui persetujuan dgn istrinya, Faizal bertekad menyelenggarakan pencaharian. Sampai patung yg dianggapnya mahapenting itu ketemu. Telah dihubunginya beberapa pegawanegeri keamanan. Dan dilaporinya dgn sebenar-benarnya apa yg sudah terjadi. Bukan hanya laporan. Disebarkannya pula kesepakatan-janji cantik untuk para abdnegara keselamatan itu bila mereka sukses mendapatkan patung. Seribu dolar, dua ribu, hingga lima ribu dolar. “Pakai dolar, alasannya rupiah kadang anjlok nilainya!” seru Faizal menegaskan. Beberapa orang kampung yg ia jumpai & ia lapori pula ia tawari kado besar jika mereka berhasil menemukannya.
Dan janji-kesepakatan itu memang menghidupkan semangat. Beberapa hansip yg umumnya hanya termenung-mangu di gardu atau cuma main gaple di pos-pos pengamanan, sejak hari itu nampak berseliweran dgn mata melotot. Lebih dr seregu polisi, lengkap dgn anjing pelacaknya, sejak pagi buta menghambur dr kantornya. Menjalankan peran istimewa. Beberapa warung di kampung situ nampak tutup. Rupanya, mereka pula tak mau ketinggalan beramai-ramai menyukseskan peran suci itu.
Seminggu sudah aktivitas dilakukan. Bahkan sepuluh hari. Dua puluh hari. Dan sebulan sudah. Semua hasilnya nihil.
Faizal balasannya pasrah. Ia merasa apa yg ia kerjakan bukanlah pekerjaan yg tepat. Bahkan ia menilai, apa yg ia kerjakan itu emosional belaka & mempunyai pengaruh tak baik. Semakin banyak orang dilapori, makin ia merasa tak kondusif. Sebab, bertambah banyak pula orang yg mengenalnya & mengenali keadaannya. Dan sikapnya yg penuh rasa takut mencerminkan bahwa dirinya punya sesuatu yg sangat berharga & dijaga-jaga dlm rumahnya. Diam-diam, ia mulai membungkam mulutnya sendiri seribu bahasa. Kegiatan polisi, satpam, & orang-orang kampung dibiarkannya sampai surut sendiri. Dan karenanya memang surut sendiri.
Suatu pagi, seseorang dr kampung dgn terhuyung-huyung tiba ke rumahnya. Orang itu melaporkan bahwa ia telah memperoleh patung itu. Menemukan tempatnya.
Dengan gerakan secepat kilat, Faizal bertindak. Diajaknya orang kampung itu untuk menunjukkan daerah patung kebanggaannya tersebut. Dan benar saja. Di suatu halaman belakang suatu rumah, patung itu terlihat tegak berdiri. Tetap dgn sosok yg siaga & siap menyerang. Meski ada perbedaan yg mencolok dibanding tatkala bercokol di halaman rumahnya dahulu. Patung itu, yg seharian pencarian ditutupi terpal lebar, sudah berubah warna. Tidak lagi cokelat muda, tapi hijau tua dgn loreng di semua sisinya. Hijau baju serdadu!
Faizal bergegas pulang ke rumahnya. Amarahnya meluap. Sesampai di rumah, ia melaporkan apa yg telah ia lihat pada istrinya. Tentu saja istrinya kaget bukan main.
“Berarti sudah ketahuan maling itu. Aku akan secepatnya menggerebeknya. Akan gue robek-robek keparat biang setan itu!” ucap Faizal berapi-api. Di tangannya tergenggam sebuah gergaji.
Tetapi, begitu ia akan keluar dr pintu, tangan kanannya dicekal dekat oleh istrinya. Diseretnya Faizal masuk. Dan dgn paksa ia disuruh duduk di dingklik tamu yg empuk.
“Tenang. Tenangkan diri dulu, Bang. Ambil napas yg panjang,” kata istrinya sarat kesabaran.
“Abang akan ke mana dgn gergaji ini?” tanya si istri sambil menuding gergaji yg ada di tangan Faizal.
“Akan kupotong kepala maling itu!” jawab Faizal.
“Abang yakin benar kalau mereka benar-benar yg mencuri?”
“Yakin benar. Itu kan memang patungku. Patung polisi yg sudah diganti warnanya menjadi patung serdadu!”
“Patung prajurit. Kaprikornus, Abang berani sembarang pilih kepada penghuni rumah yg halaman rumahnya dihiasi patung tentara? Abang enggak takut? Kalau saya, takut Bang. Takut banget, Bang.”
Faizal secara tiba-tiba terjaga. Matanya menampakkan bahwa ia mulai berpikir-pikir.
“Ya kalau asumsi Abang benar bahwa ia pencuri. Kalau tidak? Apakah Abang tak dihunjam habis-habisan oleh tentara yg mempunyai patung tentara itu? Abang berani pada serdadu? Apalagi jikalau ia berpangkat tinggi pula? Abang sendiri yg berkali-kali berkata semoga siapa pun waspada pada pemilik rumah yg rumahnya dihiasi dgn patung polisi. Apalagi, eh, patung serdadu!”
Faizal berupaya berdiri. Tubuhnya lemas. Tetapi lehernya masih bisa menahan kepalanya untuk mengangguk-angguk. Dilemparnya gergaji itu ke lantai. Ia berjalan pelan menuju taman & mengamati lubang tanah bekas dongkelan. “Benar, siapa berani….,” gumamnya.
Dari dlm rumah, istri Faizal mengamati dgn pilu.
“Dalam kisah, kadang seorang suami digambarkan kurang pandai hebat. Sekarang ialah kenyataannya….” gumamnya. ***