Pola Makalah Wacana Negara Dalam Perspektif (Persepsi) Islam

A.     Definisi Dan Bentuk Negara Dalam Pandangan Islam
Negara dalam pandangan Islam merupakan suatu alat untuk menjamin pelaksanaan Hukum Islam secara utuh baik hubungan insan dengan insan maupun relasi insan dengan Sang Pencipta, Allah SWT. Salah satu acuan yaitu hal sistem ekonomi, Islam yang sungguh menjunjung tinggi hak kepemilikan setiap rakyat dari lapisan manapun. Setiap rakyat diberi keleluasaan untuk mempunyai apa saja dan berapa saja, yang paling penting didapatkan secara halal, tidak merugikan orang lain dan ta’at mengeluarkan zakat dari sebahagian hartanya untuk menolong orang-orang yang lemah. 
          Menurut Anton Minardi, bahwa prinsip bernegara sudah diterapkan oleh Rasulullah Saw, faktanya yakni Piagam Madinah dan menyebabkan semua persoalan yang tidak mampu dituntaskan dikembalikan terhadap Rosulullah Saw. untuk menyelesaikan dilema tersebut. Ini menunjukkan bahwa praktek bernegara sudah ada pada zaman Rosulullah Saw. Hal ini diakui oleh para orientalis mirip; Robert N Bellah, Montgomery Watt, John L. Esposito, Antony Black, dan lain-lain. Sedangkan bentuk Negara yang dibilang oleh Hasan al-Banna yaitu;
“Negara Islam yakni Negara yang merdeka, tegak di atas syari’at Islam, bekerja dalam rangka menerapkan system sosialnya, memproklamasikan prinsip prinsip yang lurus, dan melakukan dakwah yang bijak ke segenap umat insan. Negara islam berupa khilafah. Khilafah ialah kekuasaan biasa yang paling tinggi dalam agama Islam. Khilafah Islam didahului oleh berdirinya pemerintahan islam di Negara Negara Islam.”
Fazlur Rahman beropini bawa ;
“Negara Islam adalah Negara yang didirikan  atau dihuni oleh umat Islam dalam rangka menyanggupi cita-cita mereka untuk melakukan perintah Allah lewat wahyu-Nya. Implementasi Negara tidak diputuskan secara khusus, namun yang terpenting yang mesti dimiliki yaitu syuro / musyawarah.
B.     Kedudukan Negara dalam Al-Qur’an / Sunnah
          Kedudukan Negara dalam Islam sangat penting, alasannya menegakkan hukum Islam dalam kehidupan penduduk secara sempurna dan efektif lewat Negara. Banyak dalil-dalil untuk menegakkan dan memutuskan suatu masalah dengan hukum Allah. Ini memberikan bahwa menerapkan hukum Allah dalam kehidupan manusia ini memerlukan suatu alat kekuasaan, yakni; Negara. Diantara dalil yang mengatakan masalah tersebut yaitu :
Firman Allah SWT dalam surat an Nisaa’ ayat 1:
“Wahai insan, bertakwalah terhadap Tuhanmu yang telah membuat kau dari yang satu (Adam) dan (Allah) membuat pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan pria dan wanita yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) korelasi kekeluargaan. Sesungguhnya Allah senantiasa menjaga dan mengawasimu”.
Firman Allah SWT dalam surat An- Nisaa’ ayat 58:
 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat terhadap yang berhak mendapatkannya, dan (menyuruh kamu) jika memutuskan aturan di antara manusia supaya kau memutuskan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik mungkin kepadamu. Sesungguhnya Allah yaitu Maha mendengar lagi Maha menyaksikan.” (QS; An-Nisa; 58)
Firman Allah SWT dalam surat an Nisaa’ ayat 59:
 “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kau. kemudian bila kamu berlawanan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia terhadap Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), bila kau sungguh-sungguh beriman terhadap Allah dan hari kemudian yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik balasannya.”( QS. An-Nisa; 59).
Firman Allah Swt juga dalam surat al Hujurat ayat 13:

“Wahai insan, sungguh, Kami sudah membuat kau dari seorang perempuan, kemudian kami jadikan kau berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling beruntung diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui”.
Di atas memberikan bahwa kedudukan Negara dalam Islam sangatlah penting. Masih banyak dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah yang membicarakan praktek bernegara.
C.     Sistem Pemerintahan Islam
          Dalam buku al-Ahkam Suthoniyyah menawarkan bahwa system pemerintahan Islam ialah berupa Khilafah. Ini dipengaruhi pada kala hidup imam al-Mawardhi system pemerintahan yang berlaku pada saat itu yaitu khilafah kerajaan, yakni bani Abbasiyyah. Buku tersebut menjadi fenomenal alasannya berani mendobrak system status quo, adalah kekuasaan turun menurun. Boleh dibilang bahwa konsep pemerintahan yang disediakan oleh Imam al-Mawardi mendekati pada system demokrasi tidak eksklusif. Bisa dilihat dari pengangkatan Imam/Kholifah, criteria-standar kholifah, sampai pemilihan kholifah diseleksi dengan dua cara, adalah ; pertama, pemilihan oleh ahlu al-aqdi wa al-hal (Parlemen). Kedua, penunjukkan imam sebelumnya, Atau lebih tepatnya disebut system pemerintahahn khilafah ala manhaj nubuwwah adalah pemerintahan yang pernah dipraktekkan oleh para teman, disebut juga Khulafaur Rasyidin. System khilafah ala manhaj nubuwwah selaku berikut; pertama, khilafah berdasarkan pemilihan. Kedua, pemerintahan berdasarkan musyawarah.
          Setelah Khilafah Ustmaniyyah runtuh pada tahun 1924 Masehi, maka yang terjadi yaitu bentuk Negara Bangsa yang sekuler. System Khilafah kerajaan tenggelam, muncullah nation state yang sekuler. Pada abad transisi itu melalui, dan nation state yang sekuler tidak menjinjing keinginan bagi umat Islam untuk menyelesaikan problem yang komplek dan sesak. Muncullah ide-pemikiran Negara Bangsa yang relegius yang diusung oleh aktivis gerakan Islam untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh umat Islam. Ada juga gerakan Islam yang tidak setuju dengan system Negara bangsa yang relegius.
          Pada dasarnya semua gerakan Islam ingin menegakkan system pemerintahan khilafah ala manhaj nubuwwah, namun dalam tahap implementasi berlainan-beda. Ada yang lewat legal formal; partisipasi dalam pesta demokrasi, ada juga lewat non legal formal.
D.    Konsep Islam perihal Sistem Ekonomi
          System ekonomi Islam tidak termasuk pada system ekonomi liberal atau pasar maupun system ekonomi sosialis maupun Social Market yang bermula di Jerman kemudian meningkat di negra Eropa. Ekonomi Islam atau lebih sering di sebut Ekonomi Syari’ah selaku alternatif dari system ekonomi yang ada.

Abdillah Toha menyatakan bahwa;

“Ekonomi Syari’ah bukanlah sebuah bangunan teori ekonomi yang membahas hukum penawaran dan undangan umpamanya, lebih pantas disebut selaku Ekonomi Politik Islam. Ekonomi Syari’ah bertumpu terhadap sebuah system ekonomi tanpa riba atau bunga bank, alasannya riba dianggap selaku salah satu unsure yang membatasi tujuan utama Ekonomi Syari’ah, yakni adanya keadilan bagi distribusi pemasukan dan kekayaan.” 
 Sebagaimana firman Allah Swt. Sebagai berikut:
Artinya;
“ Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat bangkit melainkan mirip berdirinya orang yang kemasukan syaitan karena (tekanan) penyakit abnormal. Keadaan mereka yang demikian itu, ialah disebabkan mereka berkata (beropini), Sesungguhnya perdagangan itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang sudah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum tiba larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka awet di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah; 275)
          Hingga kini banyak Negara Islam menerapkan system ekonomi Syari’ah menjadi legal dalam kontsitusi dan negara bukan Negara Islam juga turut menerapkan metode ekonomi yang berbasis Syari’ah, mirip di Indonesia UU RI Nomor 21 Tahun 2008 yang mengatur Perbankan Syari’ah.
E.     Konsep Islam Mengenai Peradilan
          Peradilan selaku tempat untuk menuntaskan suatu kasus baik perdata maupun pidana dan memberi keputusan kepada perkara tersebut. Dalam literature-literatur klasik Peradilan Islam diketahui dengan ungkapan Qodhi atau forum kehakiman.
          Pada era Rosulullah, semua duduk perkara aturan dikembalikan terhadap beliau dan ia menyelesaikan kasus-perkara tersebut. Setelah Rosulullah wafat, yang mengambil tugas sebagai hakim yakni para sobat yang faqih dalam bidang Hukum Islam dalam, misal ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, dan lain-lain. Hakim-hakim pada masa Khulafaur Rasyidin maupun Tabiin dalam menyelesaikan suatu masalah mereka berpedoman pada al-Qur’an, as-Sunnah, Ijtihad, Qiyas, dan lain sebagainya.
          Lembaga kehakiman atau yudikatif telah ada pada zaman Rosulullah, sebelum muncul teori Trias Polika yang digagas oleh Montesquieu pada kurun 19 Masehi. Teori trias politika yang memisahkan kekuasaan eksekutif, legistatif, dan yudikatif.
          Syarat-syarat Hakim dalam buku al-Ahkam as-Suthoniyyah selaku berikut;
1.    Laki-laki yang baligh
2.    Mempunyai nalar untuk mengenali taklif (perintah), harus memiliki pengetahuan wacana hal-hal dzaruri(urgen) untuk dimengerti, hingga dia pintar membedakan segala sesuatu yang benar.
3.    Merdeka
4.    Islam
5.    Adil
6.    Sehat telinga, penglihatan, dan jasmani
7.    Mengetahui hukum-aturan syari’at; ilmu-ilmu dasar (ushul) dan cabang-cabangnya (furu) .

KESIMPULAN :
Negara dalam pandangan Islam merupakan sebuah alat untuk menjamin pelaksanaan Hukum Islam secara utuh baik relasi insan dengan insan maupun kekerabatan insan dengan Sang Pencipta, Allah SWT. Salah satu teladan yakni hal sistem ekonomi, Islam yang sungguh menjunjung tinggi hak kepemilikan setiap rakyat dari lapisan manapun. Setiap rakyat diberi kebebasan untuk memiliki apa saja dan berapa saja, yang terpenting ditemukan sechara halal, tidak merugikan orang lain dan ta’at mengeluarkan zakat dari sebahagian hartanya untuk membantu orang-orang yang lemah. 
Dalam hal korelasi sosial tidak ada keistimewa’an derajat manusia satu dengan insan lainnya, contohnya : Jabatan Kepala Negara bukanlah ukuran kemulia’an seseorang, ia tidak lebih mulia dari seorang rakyat jelata yang miskin sekalipun. Jabatan hanyalah amanat yang diperchayakan rakyat kepada dirinya untuk melayani sebaik mungkin rakyat tersebut, bukan alat untuk menindas. Inilah persetara’an dalam Islam atau dalam terminology Islam disebut Ijtimiatul Islamiyah,  persetara’an yang didasarkan pada kecinta’an kepada Allah yang memerintahkan saling tolong menolong diantara sesama insan.          
Sumber : 
https://imannumberone.wordpress.com/2013/06/19/islam-dan-negara/
https://yayanzuhro.wordpress.com/2009/06/06/negara-dalam-persepsi-islam/

  Soal Akhir Akhlaq Fakultas Hukum Umi Tahun 2012/2013