Pola Makalah Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup Lewat Pemanfaatan Senyawa Hayati Ekstrak Daun Beleng

Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup Melalui Pemanfaatan Senyawa Hayati Ekstrak Daun Beleng 
I. LATAR BELAKANG MASALAH
Kelestarian lingkungan merupakan urusan yang dihadapi seluruh dunia, sehingga dijadikan muatan kurikulum sekolah tinggi tinggi pada jurusan/program studi tertentu, misalnya Jurusan Pendidikan Biologi IKIP PGRI Bali. Pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup lebih menekankan pada penerapan dalam kehidupan sehari-hari (Sastrawijaya, 2000). Pemanfaatan senyawa hayati ialah salah satu materi praktikum selaku dasar aplikasi penanggulangan penyakit tumbuhan, misalnya penyakit jamur Fusarium yang menyerang tumbuhan vanili. 
Fusarium sangat merugikan petani di kawasan tropika, alasannya adalah dapat menimbulkan banyak sekali penyakit di antaranya penyakit busuk batang panili, penyakit wangi kering pada umbi kentang dan penyakit layu pada pisang. Penyakit anyir batang panili disebabkan oleh Fusarium oxysporum f.sp. vanillae, yang juga disebut F. batatatis (Semangun, 1991), penyakit bacin kering pada umbi kentang disebabkan oleh jamur F. solani var. coeruleum (Semangun, 2000) dan penyakit layu pada pisang disebabkan oleh jamur F. oxysporum f.sp. cubense (Borges et al., 2004).
Penyakit panili yang terpenting adalah penyakit bacin batang (Semangun, 1991). Masalah kerugian dan kerusakan oleh penyakit amis batang panili mampu berakibat eksklusif terhadap akhir hayat tanaman serta balasan tidak pribadi terhadap penurunan produksi. Produksi panili di Bali meraih puncaknya tahun 1988 sebesar 324,314 ton polong kering dan menurun pada tahun selanjutnya. Tahun 1995 hanya mencapai 64,967 ton polong kering. Secara nasional ekspor panili di Indonesia pada tahun 2001 cuma 339 ton polong kering, sedangkan pada tahun 1998 sekitar 729 ton polong kering, ketika kemajuan flora panili relatif masih baik (Ruhnayat, 2004).
Usaha pengendalian penyakit yang dilakukan oleh petani selama ini masih bertumpu pada penggunaan pestisida sintetis. Penggunaan pestisida sintetis yang kurang bijaksana sering menyebabkan imbas negatif, baik terhadap lingkungan maupun terhadap jamur itu sendiri alasannya dapat terjadi resistensi dan resurgensi (Suprapta et al., 2002).
Langkah yang perlu ditempuh untuk menanggulangi pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh penggunaan pestisida sintetis, dengan pengadaan pestisida alternatif yang mampu dihasilkan secara lokal terjangkau oleh sebagian besar petani dan aman bagi lingkungan, baik pestisida yang berasal dari mikroba antagonis (biopestisida) maupun pestisida yang berasal dari berkembang-tanaman. Pestisida yang mendapat perhatian yaitu pestisida dari berkembang-tumbuhan, sering disebut dengan pestisida nabati. Secara evolusi, flora telah mengeluarkan bahan kimia selaku alat pertahanan alami kepada pengganggunya yaitu sebagai respon invasi patogen ke flora inang (Kardinan, 2005). VanEtten at al. (1994) dalam Suprapta (2001) menganjurkan perumpamaan fitoantisipin untuk membedakan senyawa yang telah ada pada tanaman sehat dengan fitoaleksin yang terbentuk sebagai respon kepada serangan patogen.
Penggunaan ekstrak flora sebagai pestisida nabati dapat mengurangi imbas negatif pestisida sintetik kepada lingkungan biologis (Suprapta et al., 2003). Indonesia sebagai daerah tropis, mempunyai keanekaragaman jenis flora. Tumbuh-tumbuhan tertentu dapat menciptakan metabolit sekunder yang mampu digunakan untuk materi obat-obatan atau bahan pestisida nabati. Moeljanto dan Mulyono (2003), menyebutkan bahwa flora sirih (Piper betle L.) bisa dimanfaatkan sebagai fungisida, yakni untuk membasmi jamur Phythophthora palmivora yang menyerang tumbuhan lada. Fungisida botani dari daun sirih ini mampu menghalangi perkecambahan spora dan menekan perkembangan jamur. 
Tanaman Beleng (Bahasa Bali) merupakan salah satu varietas dari tanaman sirih. Habitat maupun habitus tumbuhan Beleng sama dengan sirih, perbedaannya warna Beleng lebih hijau, tangkai daun, tulang daun dan batang berwarna hijau kemerahan. Aroma daun Beleng lebih sengak dibandingkan dengan sirih.
Tanaman dalam satu spesies, selain memiliki persamaan dalam morfologi dan anatomi, juga mempunyai beberapa persamaan secara fisiologi. Penelitian ini mencoba untuk menguji kegiatan fungisida ekstrak daun sirih kultivar Beleng terhadap jamur F. oxysporum f.sp. vanillae
Penelitian ini bermaksud untuk mengenali daya hambat ekstrak daun Beleng kepada perkembangan jamur F. oxysporum f.sp. vanillae dan prosedur kegiatan anti jamur ekstrak daun Beleng terhadap jamur F. oxysporum f.sp. vanillae.

II. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Biologi Jamur Fusarium
Fusarium yaitu genus jamur yang terdapat di seluruh dunia dan sering dikaitkan dengan berbagai jenis penyakit flora. Jamur ini dapat diisolasi dari berbagai sampel, misalnya dari tanah dan tumbuhan pertanian yang terinfeksi, meningkat biak di kawasan lembab dan panas sehingga diberi istilah “penyakit beriklim panas” (Salleh, 1989).
Genus Fusarium menciptakan konidium berupa bulan sabit. Spesies Fusarium cukup banyak, belum ada keseragaman di antara para peneliti tentang jumlah spesiesnya. Salah satu spesies Fusarium yaitu Fusarium oxysporum, yang menjadikan penyakit pada jaringan pembuluh beberapa jenis tanaman pertanian (Takehara and Kuniyosu, 1995). Perbedaan huruf dalam satu spesies serta patogenitasnya kepada flora tertentu disebut formae spesiales (f.sp.) atau cultivar (var).
Fusarium sungguh merugikan petani di daerah tropika alasannya adalah dapat mengakibatkan berbagai penyakit, diantaranya penyakit amis batang panili, penyakit anyir kering pada umbi kentang dan penyakit layu pada pisang. Penyakit anyir batang panili disebabkan oleh F. oxysporum f.sp. vanillae yang juga disebut batatatis, F. bulbigenum var. batatas atau F. batatas (Salleh, 1989). 
2.2 Penyebaran Jamur Fusarium oxysporum f.sp. vanillae
Infeksi pada tanaman sehat mampu disebabkan oleh jamur F. oxysporum f.sp. vanillae yang berasal dari tumbuhan yang sakit. Infeksi mulai terjadi pada pangkal batang dan selanjutnya meluas pada batang dan akar hawa. Di dalam satu kebun diduga konidium fusarium dipencarkan oleh angin.
Fusarium mampu bertahan usang selaku saprofit dalam tanah. Semangun (1991) menyatakan bahwa di dalam tanah jamur ini mampu bertahan selama tiga tahun. Tanah dianggap sebagai sumber nanah yang utama. 
Penyakit bau batang mampu juga ditularkan atau disebarkan dengan perantaraan kontak pribadi, perantaraan air hujan dan serangga. Penanaman stek panili pada tanah bekas flora panili sakit, pangkal stek akan amis sementara waktu kemudian. Hal ini mampu terjadi walaupun tanah tersebut diistirahatkan ataupun dikeringkan terlebih dahulu, alasannya adalah klamidospora patogen mampu bertahan lama di dalam tanah yakni empat tahun tanpa tumbuhan inang (Suharyon dan Rozak, 1996).
2.3 Gejala Penyakit Busuk Batang Panili
Umumnya penyakit bau batang panili timbul pada tanaman panili yang berumur tiga tahun atau lebih. Bila keadaan tidak menguntungkan bagi kemajuan penyakit, pada batang terjadi bercak-bercak yang panjangnya beberapa centimeter, berbatas tegas, berwarna cokelat dan mengendap. Kalau keadaan menguntungkan, terjadilah bercak yang berbatas kurang tegas, berwarna hitam, yang dengan segera meluas melingkar pada ruas batang. Setelah itu bab yang terjangkit keriput (mengisut), berwarna cokelat dan alhasil mengering. Pada bagian yang bau dan keriput itu terdapat bintik-bintik putih kekuningan yang berisikan kumpulan konidiofor dan konidium jamur. Kalau batang pada bab yang sakit dibelah membujur, terlihat bahwa di sebelah dalam pergeseran warna meluas mendahului pergeseran warna yang terlihat dari luar (Semangun, 1991). Jamur ini menginfeksi jaringan pengangkut pada tumbuhan panili (CMI, 1978).
2.4 Pestisida Nabati
Setelah didapatkan pestisida sintetis pada permulaan kala ke-20, manfaat pestisida dari bahan alami dilupakan (Novizan, 2002). Pestisida sintetis memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh pestisida alami. Pestisida sintetis mampu dengan segera menurunkan populasi organisme pengganggu flora (OPT) dengan abad pengendalian (residu) yang lebih panjang.
Untuk menanggulangi efek negatif yang ditimbulkan oleh penggunaan pestisida sintetis, maka perlu adanya pengadaan pestisida alternatif yang dapat dihasilkan secara setempat, terjangkau oleh sebagian besar petani dan aman bagi lingkungan. Salah satu sumber pestisida yang mendapat perhatian ilmuwan yaitu dari tumbuh-flora. Tumbuhan tingkat tinggi melalui metabolisme sekunder bisa menciptakan banyak sekali senyawa kimia untuk melindungi dirinya dari gangguan hama, penyakit, maupun gulma.
Fungisida nabati yakni salah satu bab dari pestisida nabati, adalah senyawa kimia anti jamur yang diekstrak dari tumbuhan tingkat tinggi. Fungisida tersebut dalam bentuk alkaloid atau prohibitin dapat menolong melawan patogen (Suprapta, 2005).
Banyak senyawa “constitutive” dari flora dilaporkan mempunyai aktivitas anti jamur. Contoh yang sangat populer yakni fenol dan glikosida fenol, lakton tidak jenuh, senyawa-senyawa welirang, saponins, glikosida syanogenik dan glikosinolat (Suprapta, 2001). Senyawa tersebut merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tanaman lewat metabolisme sekundernya.
2.5 Tanaman Sirih (Piper betle L.) kultivar Beleng
Tanaman Beleng (Bahasa Bali) sering juga disebut degan nama base-base, base ganjal atau kakap. Semua nama tersebut mengindikasikan bahwa flora tersebut bukan sirih yang telah diketahui oleh masyarakat luas. menyebutkan varietasnya dengan nama Beleng sesuai dengan nama yang diberikan oleh penduduk Bali secara kebanyakan.
Menurut Moeljanto dan Mulyono (2003), daun sirih mengandung minyak atsiri yang berisikan betlephenol, kavikol, seskuiterpen, hidroksikavikol, cavibetol, estragol, eugenol dan karvakrol. Selain itu, juga mengandung enzim diastase, gula dan tanin. Biasanya daun sirih muda mengandung diastase, gula dan minyak atsiri lebih banyak dibandingkan dengan daun sirih bau tanah. Heyne (1987) menyampaikan bahwa sepertiga dari minyak atsiri dalam daun sirih terdiri dari fenol dan sebagian besar dari fenol tersebut yaitu kavikol. Kavikol ini memberikan aroma khas sirih dan memiliki daya pembunuh bakteri lima kali dibandingkan dengan fenol biasa. 
Kandungan fenol pada flora mampu menahan serangan jamur, namun ketahanan ini bersifat khas pada jamur tertentu (Robinson, 1995). Sifat anti mikroba pada sirih dihasilkan oleh senyawa-senyawa yang terdapat pada sirih tersebut. Adanya fenol dalam suatu bahan mampu menyebabkan lisis pada sel mikroba (Yanti et al., 2000).
III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dijalankan di Laboratorium Jurusan Pendidikan Biologi IKIP PGRI Bali. Bahan yang digunakan adalah daun sirih kulitvar Beleng, jamur F. oxysporum f. sp. vanillae, media Komada, media PDA dan beberapa zat kimia ialah methanol pro analisis, aceton, n-heksana, etil asetat, alkohol 70% dan aquadest. Alat yang digunakan dalam observasi ini adalah : Laminar flow, pisau, sprayer, jarum ose, lampu spritus, aluminum foil, gelas ukur, tabung reaksi, timbangan, piring Petri, vacuum rotary evaporator dan alat fraksinasi.
Jamur F. oxysporum f. sp. vanillae diisolasi dari batang vanili yang terinfeksi penyakit busuk batang. Bagian batang diambil, kemudian dicuci dan disterilkan dengan alkohol 70%. Selanjutnya dalam laminar flow dilakukan pemotongan kurang lebih 1 cm pada bab perbatasan, dibelah dua secara membujur. Belahan kemudian dicelupkan dalam alkohol 70% lalu dicuci dalam air steril. Potongan batang diinokulasikan pada piring Petri yang sudah berisi media biak selektif untuk jamur Fusarium yaitu media komada. Kultur diinkubasi dalam suhu kamar selama lima hari. 
Ekstraksi dilaksanakan pada daun flora Beleng yang sudah bersih, dicincang dan dikeringanginkan selama dua hingga tiga hari. Sebanyak 100 g dari materi kering tersebut dimaserasi di dalam 1 liter methanol pada suhu kamar selama 48 jam dengan tujuan untuk menawan zat aktif pada materi yang hendak diujikan pada jamur patogen. Filtrat diperoleh dengan penyaringan rendaman daun Beleng lewat dua lapis kain kasa dan kertas saring Whatman No.2, lalu diuapkan dengan menggunakan vacuum rotary evaporator pada suhu 400C, sehingga diperoleh ekstrak agresif. Ekstrak bergairah ini siap diujikan pada jamur F. oxysporum f.sp. vanillae
3.1 Pengujian Pengaruh Ekstrak Sirih Kultivar Beleng terhadap Pertumbuhan Koloni Jamur F . oxysporum f. sp. vanillae
Pengujian perkembangan koloni jamur pada konsentrasi ekstrak yang berlainan, dikerjakan pada media PDA dengan cara selaku berikut : Ekstrak sirih kultivar Beleng diencerkan dengan solven etil asetat dan tween 80 (2,5%) dengan perbandingan 1 : 3 menjadi 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, 6% 7% dan kontrol 0%. Ekstrak sirih kultivar Beleng diambil dengan mikropipet sebanyak 0,5 ml dan dituangkan ke dalam piring Petri steril, selanjutnya ditambahkan 10 ml PDA yang masih encer (suhu 45-500C) sehingga konsentrasi ekstrak menjadi 0,05%, 0,1%, 0,15%, 0,2%, 0,25%, 0,3%, 0,35%. Piring Petri digoyang simultan sampai merata dan dibiarkan hingga padat. Jamur F.oxysporum f.sp. vanillae yang telah dibiakkan dalam piring Petri dan telah berumur dua hari, diambil dengan cork borer dengan diameter 5 mm selanjutnya diletakkan pada bagian tengah media, diinkubasi pada suhu kamar. Sebagai kontrol digunakan media PDA yang ditambah solven etil asetat : tween 80 (2,5%) = 1 : 3. Pengujian dilakukan tiga kali ulangan pada setiap fokus ekstrak.
3.2 Pengujian Kemampuan Ekstrak Sirih Kultivar Beleng untuk Menekan Infeksi Patogen
Batang vanili yang sehat dicuci, disterilkan dengan alkohol 70% dan air steril, selanjutnya diiris dengan ukuran kurang lebih 1,5 cm. Potongan batang tersebut dimasukkan dalam piring Petri yang berisi 30 ml media PD Broth, suspensi jamur 200 ml dengan kepadatan 2.580 cfu/ml dan ekstrak 500 ml dengan konsentrasi 1%, 2%, 3%, 4% dan 5% sehingga konsentrasi tamat menjadi 0,017%; 0,033%; 0,050%; 0,067% dan 0,083%. Kontrol sakit tidak ditambahkan ekstrak namun diinokulasikan patogen . Pada eksperimen juga dibentuk kontrol sehat ialah batang vanili, tanpa diinokulasikan jamur dan tanpa ekstrak.
3.3 Pengujian Mekanisme Penghambatan Pertumbuhan Jamur oleh Ekstrak Sirih Kultivar Beleng
Pengujian mekanisme penghambatan pertumbuhan jamur oleh ekstrak bernafsu, diuji dengan menumbuhkan spora pada media PD Broth selama lima hari. Suspensi jamur disaring dengan kertas saring Whatman No.2. Dengan penyaringan tersebut, spora akan lolos saringan dan ditampung dalam bekker glass. Selanjutnya prosedur penghambatan oleh ekstrak garang diuji kepada perkecambahan spora dan pembentukan spora.
Pengujian pada perkecambahan spora dilaksanakan dengan menginokulasikan 200 ml suspensi spora dengan kepadatan 1.290 x 103 cfu/ml pada 1 ml media PD Broth dalam tabung reaksi, disertakan 100 ml ekstrak dengan kombinasi konsentrasi ekstrak menjadi 0%, 0,1%, 0,2%, 0,3%, 0,4% dan 0,5%. Setiap konsentrasi dibentuk tiga kali ulangan. Kerapatan spora pada ketika inokulasi dijumlah dengan haemositometer. Setelah inkubasi 24 jam pada suhu kamar, jumlah spora yang berkecambah dijumlah dengan haemositometer. Spora yang berkecambah ditandai dengan terbentuknya tabung kecambah, ialah bab pertama dari miselium yang mampu mempenetrasi tubuh inang (Agrios, 1988).
Pengujian pada pembentukan spora dikerjakan dengan menginokulasi 200 ml suspensi spora dengan kepadatan 1.290 x 103 cfu/ml pada 10 ml media PD Broth dalam piring Petri, ditambahkan 500 ml ekstrak dengan kombinasi fokus ekstrak menjadi 0%, 0,1%, 0,2%, 0,3%, 0,4%, dan 0,5%. Setiap fokus dibentuk tiga kali ulangan. Setelah inokulasi 48 jam pada suhu kamar dilaksanakan penghitungan jumlah spora yang terbentuk. Penghitungan spora diteruskan sampai lima hari observasi.
Fraksinasi Komponen Aktif dengan Kromatografi
Ekstrak agresif yang sudah menawarkan acara fungisida berikutnya difraksinasi dengan kromatografi kolom dengan panjang 60 cm dan diameter 3 cm Sebanyak 20 g ekstrak kasar dilarutkan dalam aceton, ditambahkan silika gel (wako gel C-300, partikel size 40-75 mm) lalu dievaporasi hingga remah. Ekstrak garang yang telah berupa kristal dimasukkan ke dalam kolom yang panjangnya 60 cm dengan diameter 3 cm, kemudian dilanjutkan dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan plat KLT berukuran 10 x 10 cm (Keisal Gel 60 F 254). Eluen yang digunakan sebagai pengembang ialah heksan : aceton = 2 : 3
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengujian Aktivitas Anti Jamur Ekstrak Daun Beleng terhadap Pertumbuhan Koloni Fusarium oxysporum f.sp. vanillae
Daya hambat 100% kepada perkembangan jamur F. oxysporum f.sp. vanillae terjadi pada fokus ekstrak 0,25%, 0,30% dan 0,35%.
Koloni jamur yang tidak berkembang pada media PDA sudah dicoba dipindahkan ke media PDA yang baru tanpa ekstrak setelah pengamatan selsai. Koloni jamur Fusarium tersebut kesannya tumbuh. Data ini memperlihatkan bahwa ekstrak daun Beleng bersifat fungistatik, adalah hanya menekan perkembangan jamur, tidak bersifat membunuh jamur (fungitoksik).
Spora yang berkecambah akan membentuk miselia, lalu miselia membentuk spora kembali. Data pada Tabel 3 juga menunjukkan bahwa pembentukan spora juga dihambat oleh ekstrak daun Beleng. Makin tinggi konsentrasi ekstrak, spora yang terbentuk makin sedikit. Pada fokus 0,4 % kerapatan spora yang terbentuk 0, alasannya tidak terjadi pembentukan miselia baru. Perkecambahan spora dan pembentukan spora dari miselia ialah bab penting pada perkembangbiakan jamur, utamanya jamur Fusarium yang tergolong fungi imperfecti yaitu jamur yang belum dimengerti perkembangbiakan secara generatifnya. Suprapta et al. (2006) mengatakan bahwa penghambatan pembentukan spora ialah salah satu mekanisme penghambatan perkembangan dan kemajuan jamur. 
Tanaman Beleng merupakan salah satu varietas dari tumbuhan sirih, oleh karena itu kandungan senyawa kimia daun Beleng secara kualitatif sama dengan daun sirih. Menurut Eykman (1885) dalam Heyne (1987), bahwa sepertiga dari minyak atsiri daun sirih terdiri dari fenol dan sebagian besar berbentukkavicol. Kavicol ini menunjukkan aroma khas pada sirih dan mempunyai daya bunuh kuman lima kali ketimbang fenol biasa. Menurut Burkill (1953) dalam Yanti et al. (2000), dinyatakan bahwa dalam minyak atsiri daun sirih terdapat adonan fenol dan terpen. Di antara fenol yang ada, eugenol merupakan jumlah terbesar pada daun sirih yang terdapat di India, sedangkan senyawa yang banyak terdapat pada daun sirih di Siam dan Jawa adalah fenol betel dan kavicol. Kandungan fenol pada suatu flora mampu menahan serangan jamur, tetapi ketahanan ini bersifat khas pada jamur tertentu (Robinson, 1995).
Senyawa fenol yang dapat meracuni patogen senantiasa terdapat dalam tumbuhan baik yang sehat maupun yang sakit. Sintesis dan akumulasi senyawa tersebut dipercepat sehabis terjadinya infeksi. Senyawa fenol teroksidasi menjadi Quinon oleh enzim Polifenoloksidase yang dihasilkan oleh patogen. Quinon yang terjadi mengalamai polimerisasi menjadi pigmen cokelat mengarah pada reaksi hipersensitif yang menyebabkan hilangnya permeabilitas membran sel, meningkatnya respirasi, akumulasi dan oksidasi senyawa fenol serta pembentukan fitoaleksin (Semangun, 2001). Dengan demikian senyawa Quinon sering lebih beracun bagi mikroorganisme daripada fenolnya sendiri (Agrios, 1988). 
Fraksinasi Komponen Aktif dengan Kromatografi
Fraksinasi dengan kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis dihasilkan 15 fraksi. Fraksi VI membentuk tiga spot dengan nilai Rf berturut-turut sebesar 0,35; 0,55; dan 0,78, memberikan acara yang kasatmata terhadap jamur F. oxysporum f.sp. vanillae

V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil observasi, maka mampu dibuat tamat selaku berikut :
  1. Ekstrak daun Beleng bisa menghambat perkembangan jamur F. oxysporum f. sp. vanillae.
  2. Fraksi VI yang terdiri atas tiga golongan senyawa dengan nilai Rf 0,35; 0,55 dan 0,78 bisa menghambat perkembangan jamur F. oxysporum f. sp. vanillae.
  3. Mekanisme aktivitas anti jamur ekstrak daun Beleng terhadap jamur F. oxysporum f. sp. vanillae terjadi melalui penghambatan perkecambahan spora, pembentukan spora dan pertumbuhan koloni.
  Korupsi Penyakit Sistemik Birokrasi Di Indonesia
5.2 Saran
  1. Tanaman Beleng mempunyai fungsi yang sama seperti tanaman sirih selaku bahan fungisida nabati, maka perlu dibudidayakan selaku tumbuhan sela pada perkebunan.
  2. Perlu dikerjakan pengujian ekstrak agresif daun Beleng kepada jamur F. oxysporum f. sp. vanillae di lab beling atau di lapangan, sehingga peranannya secara nyata dapat berguna untuk penanggulangan penyakit flora yang bersifat ramah lingkungan 
  3. Perlu dikerjakan analisis lebih lanjut untuk mengenali jenis senyawa aktif yang terkandung dalam daun Beleng.
DAFTAR RUJUKAN
Agrios, G.N. 1988. Plant Pathology. San Diego, California : Academic Press. Inc.803p.
Borges, A. A, A. Borges-Perrez, M. Fernandez-Falcon. 2004. Induced Resistance to Fusarial Wilt of Banana by Menadione Sodium Bisulphite Treatments. Crop Protection 23 : 1245-1247.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Jakarta : Yayasan Sarana Wana Jaya. 631 h.
Kardinan, A. 2005. Pestisida Nabati Ramuan & Aplikasi. Jakarta : Penebar Swadaya. 88 h.
Moeljanto, R. D. dan Mulyono. 2003. Khasiat & Manfaat Daun Sirih Obat Mujarab dari Masa ke Masa. Jakarta : Agromedia Pustaka. 77 h.
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung : ITB. 367 h.
Rustini, N. L. 2004. Aktivitas Fungisida Ekstrak Rimpang Dringo (Acorus calamus L.) Terhadap Jamur Botryodiplodia theobromae Penyebab Penyakit Busuk Buah Pisang (tesis). Denpasar : Universitas Udayana. 50 h.
Salleh, B. 1989. Perkembangan Mutakhir Penelitian Fusarium di Kawasan Tropika, Naskah Lengkap Kongres Nasional X dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia Denpasar. Denpasar 14 – 16 Nopember 1989 :11 – 18.
Sastrawijaya, A. T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Jakarta : PT Rineka Cipta. 274 h.
Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura Di Indonesia. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. 850 h.
Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. 754 h.
Sudana, I M. 2004. Identifikasi Patogen Penyebab Penyakit Layu Pisang dan Tingkat Patogenesitasnya Pada Beberapa Jenis Pisang Lokal Bali. Agritrop 23 :82-87.
Suprapta, D. N. 2001. Senyawa Antimikroba dan Pertahanan Tumbuhan Terhadap Infeksi Jamur. Agritrop. 20 : 52-55.
Suprapta, D. N., I G. A. N. A. Suwari, N. Arya and K. Ohsawa. 2002. Pometia pinnata Leaves Extract to Control Late Blight Disease of Tomato. Journal of ISSAAS 8 : 31-36.
Suprapta, D. N., I B.G. Darmayasa, N. Arya, I G. R. M. Temaja and K. Ohsawa. 2003. Bacterial Activity of Spaeranthus indicus Extract against Ralstonia solanacearum in Tomato. Journal of ISSAAS. 9 : 69-74.
Suprapta, D.N., M. Subrata, K. Siadi, I.G.A. Rai, F. Tunnisa and K. Ohsawa. 2006. Fungicidal Activity of Extract of Several Piperaceae Plants against Fusarium oxysporum f.sp. vanillae. Academic Frontier Research Centre, Tokyo University of Agriculture. 44-52.
Yanti, R., Suyitno dan E. Harmayani. 2000. Identifikasi Komponen Ekstrak Sirih (Piper betle Linn.) Dari Beberapa Pelarut dan Pemanfaatannya Untuk Pengawetan Ikan. Agrosains. 13 : 239-250.