Pola Makalah Hukum Maritim Perihal Zona Ekonomi Pribadi ( Zee)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa,  alasannya atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga aku dapat menyelesaikan makalah ini. Dalam makalah ini aku menerangkan perihal Zona Ekonomi Eksklusif. Makalah ini saya buat dalam rangka memperdalam matakuliah Hukum Laut perihal Zona Ekonomi Eksklusif ( ZEE) . Saya  menyadari, dalam makalah  ini masih banyak kesalahan dan kekurangan. Hal ini disebabkan terbatasnya kesanggupan, pengetahuan dan pengalaman yang aku  miliki. Oleh alasannya itu, aku mengharapkan kritik dan usulan. Demi perbaikan dan kesempurnaan. Semoga makalah ini mampu berfaedah bagi kita semua.

Makassar, 14 Mei 2015

       Penyusun

DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………………………………………….  i

Daftar Isi ………………………………………………………………………………………………………………  ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang …………………………………………………………………………………………….  1

1.2  Rumusan Masalah ………………………………………………………………………………………..  2

1.3  Tujuan ………………………………………………………………………………………………………..  2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Zona Ekonomi Eksklusif ( ZEE)……………………………………………………. 3

2.2 Sejarah Perkembangan ZEE di Indonesia……………………………………………………….. 4

2.3 Hak Berdaulat, Kewajiban Yurisdiksi dan hak-hak lain di ZEE…………………………. 7

2.4 Kegiatan-aktivitas di ZEE Indonesia……………………………………………………………… 10

2.5 Batas luar dan  Lebarnya zona ekonomi eksklusif…………………………………………….. 11

2.6 Delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif……………………………………………………………….. 12

BAB III PENUTUP

      3.1 Kesimpulan …………………………………………………………………………………………………  16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Semenjak berakhirnya Perang Dunia II, aturan maritim yang ialah cabang hukum internasional telah mengalami perubhan-pergeseran yang mendalam. Bahkan, mampu dikatakan sudah mengalami revolusi sesuai dengan pertumbuhan dan tuntuan zaman. Peran hukum bahari bukam saja alasannya 70% atau 140 juta mil persegi dari permukaan bumi berisikan laut, bukan saja alasannya maritim merupakan jalan raya yang menghubungkan suatu bangsa dengan bangsa yang lain ke seluruh pelosok dunia untuk segala jenis aktivitas, bukan saja sebab kekayaannya dengan segala macam jenis ikan yang vital bagi kehidupan manusia, namun juga dan khususnya alasannya adalah kekayaan mineral yang terkandung di dasar laut itu sendiri.

Bila dulu hukum laut pada pokonya cuma mengurus aktivitas-acara di atas permukaan laut,namun kini ini juga sudah diarahkan pada dasar laut dan kekayaan mineral yang terkandung di dalamnya. Hukum maritim yang dulunya bersifat unidimensional kini sudah bermetamorfosis pluridimensional yang sekaligus merombak filosofi dan konsepsi aturan laut di kala kemudian.

Pada tanggal 21 Maret 1980 Indonesia menginformasikan ZEE. Batas Zona Ekonomi Eksklusif yakni daerah maritim Indonesia selebar 200 mil yang diukur dari garis pangkal laut kawasan Indonesia. Apabila ZEE suatu negara berhimpit dengan ZEE negara lain maka penetapannya didasarkan komitmen antara kedua negara tersebut. Sebab dalam batas ZEE sebuah negara berhak melakukan ekslpoitasi, eksplorasi, pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam yang berada di dalamnya baik di dasar maritim maupun air bahari di atasnya. Oleh karena itu, Indonesia bertanggung jawab untuk melestarikan dan melindungi sumber daya alam dari kerusakan.

1.2 Rumusan Masalah

1.  Apa yang dimaksud dengan Zona Ekonomi Eksklusif ?

2.  Bagaimana sejarah perkembangan ZEE di Indonesia ?

3. Bagaimana Hak berdaulat, keharusan yurisdiksi dan hak-hak lain di ZEE?

4.  Kegiatan-acara apa saja yang mampu dijalankan di ZEE Indonesia?

5. Bagaimana penentuan Batas luar dan  Lebarnya ZEE ?

6.  Bagaiman Delimitasi kepada ZEE?

1.3 Tujuan

1.  Untuk mengenali pemahaman ZEE;

2. Untuk mengenali sejarah kemajuan ZEE di Indonesia;

3. Untuk mengetahui hak dan keharusan apa saja yang ada di ZEE;

4. Untuk mengenali kegiatan yang mampu dikerjakan di ZEE;

5. Untuk mengetahui penentuan batas luar dan lebarnya ZEE;

6. Untuk mengenali Delimitasi terhadap ZEE.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1       Pengertian Zona Ekonomi Eksklusif ( ZEE)

            Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) yaitu zona yang luasnya 200 mil dari garis dasar pantai, yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melaksanakan penanaman kabel dan pipa. Konsep dari ZEE muncul dari kebutuhan yang mendesak. Sementara akar sejarahnya berdasarkan pada kebutuhan yang berkembang semenjak tahun 1945 untuk memperluas batas jurisdiksi negara pantai atas lautnya, sumbernya mengacu pada persiapan untuk UNCLOS III.

Berdasarkan undang-undang dasar Republlik Indonesia nomor 5 tahun 1983 perihal Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia menyebutkan bahwa :

“Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ialah jalur di luar dan berbatasan dengan laut kawasan Indonesia sebagaimana ditetapkan menurut undang-undang yang berlaku perihal perairan Indonesia yang mencakup dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil bahari diukur dari garis pangkal laut daerah Indonesia”.

2.2       Sejarah Perkembangan ZEE di Indonesia

               Pada tanggal 28 September 1945 Presiden Amerika Seriakt “Harry S. Truman” sudah mengeluarkan suatu proklamasi No. 2667, ‘Policy of the United States with respect to the Natural Resources of the Subsoil and Seabed of the Continental Shelf”.

Dengan proklamasi Presiden Truman tahun 1945 di atas dimulailah suatu kemajuan dalam aturan Laut ialah pemahaman geologi “continental shelf” atau daratan  kontinen. Tindakan Presiden Amerika serikat ini bermaksud mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut dan tanah dibawahnya yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat untuk kepentingan rakyat dan bangsa Amerika Serikat, utamanya kekayaan mineral khususnya minyak dan gas bumi. Hal tersebut sesuai dengan isi dari proklamasi tersebut yang pada pokoknya adalah : Sudah sepantasnya tindakan demikian diambil oleh  negara pantai alasannya “continental shelf” mampu dianggap selaku kelanjutan alamiah dibandingkan dengan daerah daratan dan bagaimanapun juga usaha-perjuangan untuk mengorganisir kekayaan alam yang terdapat didalamnya membutuhkan koordinasi dan perlindungan dari pantai. Dnagn demikian maka demi keselamatan penguasaaan sember daya alam yang terdapat dari dalam continental shelf, seyogyanya kekuasaan untuk mengaturnya ada pada negara pantai yang berbatasan dengan daratan yang bersangkutan”.

Tindakan sepihak Amerika Serikat perihal landas Kontinen dan perikanan sebagaimana disebutkan di atas, berpengaruh terhadap perkembangan rezim aturan ZEE 200 mil tersebut. Hal ini terbukti bahwa negara-negara Amerika Latin dalam mengajukan permintaan mereka sudah mengemukakan beberapa argumentasi yang bermaksud untuk melindungi sumber-sumber kekayaan alam yang banyak terdapat diperairan sejauh 200 mil, termasuk dasar maritim dan tanah di abwahnya. Argentina menagjukan teori “Epi Continental Sea”, lalu Ekuador, Chili dan Peru mengemukakan teori “Bloma”, yang berikutnya disertai oleh negaranegara Amerika Latin lainnya, adalah Meksiko (1946), Honduras (1950), Costa Rica (1950), El Salvador (1950).

Sebagai tindak lanjut dari tuntutan negara-negara Amerika Latin maka pada tahun 1952 lahirlah sebuah deklarasi gres ialah “Deklarasi Santiago” yang ditandatangani oleh Negara-Negara : Chili, Ekuador dan Peru: selaku motivasi utama permintaan ketiga Negara akseptor deklarasi Santiago ini yakni pelaksanaan jurisdiksi ekslusif kepada sumber-sumber kekayaan alam (daya hayati maupun non hayati) yang terdapat diperairannya yang sejauh 200 mil laut. Sumber-sumber mana sangat berguna bagi pelaksanaan pembangunan di  negara-negara peserta deklarasi tersebut.

  Kalbar, Beragama Menurut Kepentingan Politik ?

Selanjutnya Winston C.E. menjelaskan bahwa dalam lingkaran sejauh 200 mil itu hak-hak lintas damai (innocent passage) tidak terusik (inoffensive) dan tetap diakui sebagaimana mestinya. Sehubungan dengan klaim beberapa negara mengenai ZEE 200 mil laut ini, PBB telah mengadakan Konferensi Hukum Laut (UNCLOS) 1 tahun 1958 UNCLOS II tahun 1960 di Jenewa, terutama bermaksud untuk memutuskan lebar laut daerah, namun usaha PBB tersebut ternyata gagal. Kegagalan ini menyebabkan meluasnya praktek Negara-negara dalam mengklaim kedaulatan mereka di maritim yang berbatasan dengan pantainya. Termasuk klaim yurisdiksi 200 mil. Klaim-klaim ini meningkat (meluas) sekitar tahun 1960-1970, terutama yang mengklaim jurisdiksi 200 mil dan tidak terbatas hanay pada Nnegara-negara Amerika Latin saja, melainkan juga meluas hingga pada negara-negara asia Afrika.

Menurut Winston C.E., walaupun Negara-negara seperti Benin, Brazilia, Ekuador, Guinea, panama, Peru, Siera Leone dan Somalia tetap mengklaim jurisdiksi 200 mil maritim sebagai laut daerah,  negara-negara seperti: Argentina, Bangladesh, Chili, Costa Rica, El Salvador, Guatemala, Honduras, India, Iceland, Meksiko, Nicaragua, Uruguay dan Amerika serikat mengajukan klaim mereka yang sejalan dan selaras  dengan tuntunan yang sudah diajukan oleh Negara-negara akseptor deklarasi Santiago tahun 1952 (Chili, Ekuador, Peru). Perlu diterangkan dalam studi ini bahwa dalam perkembangannya, utusan Kenya secara resmi telah mengajukan seruan  draft article yang menertibkan wacana ZEE dalam persidangan Seabed Committee 18 Agustus 1972, yang berikutnya dimasukkan dalam List of Subjects and Issues dan dibahas dalam UNCLOS III 1974.

Ternyata diantara  negara-negara yang mengklaim yurisdiksi bahari 200 mil tersebut memiliki usulan-pertimbangan yang berlawanan wacana apa yang telah dideklarasikan sebelumnya. Hal ini terbukti dengan terjadinya perdebatan sengit diantara negara-negara penerima UNCLOS III, masing-masing negara dengan gigih menjaga kepentingannya yang menjadi latar belakang klaimnya itu. Perdebatan dimaksud ialah bab laut bebas, ataukah mempunyai rezimhukum spesifik.

Dalam hal ini  negara-negara laut yang besar lengan berkuasa, mirip Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris, Jepang dan Jerman Barat bersitegang dengan pendapatnya bahwa ZEE 200 mil harus ialah laut bebas dengan ketentuan :

a.       Negara-negara pantai diberi wewenang tertentu kekayaan alamnya.

b.      Kebebasan lautan, termasuk keleluasaan menggunakannya untuk kepentingan militer, tetap terjamin bagi semua bangsa.

Sedangkan Negara-negara pantai khususnya negara-negara yang tergabung dalam kelompok 77 dengan gigih pula tetap mempertahankan pendapatnya bahwa konsep ZEE merupakan bunyi konsepsi suigeneris yang memiliki rezim khusus perihal hak-hak dan keharusan-kewajiban negaranya. Dengan demikian  negara-negara yang tergabung dalam golongan 77 dengan tetap menentang dipertahankannya status bahari bebas bagi ZEE, meskipun mengakui beberapa keleluasaan dilaut lepas  dengan ketentuan bahwa hak-hak tersebut harus diperinci secara jelas dan tegas.

Menurut Hasjim Djalal dalam bukunya “Perjuangan Indonesia dibidang Hukum Laut”. Meyatakan bahwa,  negara-negara tak berpantai (landlocked States) dan negar-negara secara geografis tidak beruntung (geographically disadvantaged States) menuntut hak-hak yang serupa dengan  negara-negara pantai, tidak saja dibidang perikanan tetapi juga kepada sumber-sumber kekayaan bahari lainnya di dasar bahari.

Namun  negara-negara pantai hanya bersedia memperlihatkan surplus perikanan yang tidak mampu diambil oleh  negara-negara pantai, dalam hal ini negara-negara yang tergolong landlocked dan geographically disanvantage yang mendasarkan permintaan mereka atas dasar prinsip “common heritage of mankind” yang mengklaim hak yang sama dengan negara-negara pantai untuk mengambil kekayaan alam di ZEE tersebut.  Sebagai gambaran disini, negara-negara tak berpantai dan secara geografis tidak beruntung misalnya Singapura, Nepal, dan Zambia, sedangkan ketiga lainnya yang tergolong dalam ketegori “distant”. Penyelesaian yang selalu menjadi tujuan  aturan pada hasilnya perbedaan dan kontradiksi pendapat yang pada mulanya tegang itu, dengan jalan perundingan dan mufakat lalu mampu dipertemukan, sehingga usaha perihal rezim hukum ZEE 200 mil akhirnay mampu dirumuskan, kepentingan semua pihak mampu dapat ditampung tanpa saling merugikan. ZEE 200 mil  dengan demikian tidak dikualifikasikan sebagai maritim bebas dan tidak pula sebagai laut daerah, namun selaku sebuah rezim sul generis, yang diartikan ZEE memiliki ketentuan aturan sendiri.

Kemudian setelah mengalami amandemen-amandemen dalam  Informal Single Negotiating Text (INST) dan  Revised Singel Negotiating Text (RSNT), ketentuan-ketentuan tentang ZEE 200 mil diangkut dalam pasal 55-75 Bab V Informal Composite Negotiating Text. (ICNT). Menlu RI  Mochtar Kusumaatmadja, dalam penjelasannya tentang Pengumuman Pemerintah ihwal ZEE Indonesia pada tanggal 21 Maret 1980, telah menegaskan bahwa walaupun ketentuan-ketentuan perihal ZEE dalam bab V ICNT ini belum berhasil diresmikan menjadi sebuah konvensi Hukum Laut Internasional, dengan makin banyaknya negara-negara yang mengumumkan ZEE 200 mil, maka rezim  itu melalui proses pembentukan aturan kebiasaan internasional, cukup umur ini sudah menjadi Hukum Laut Internasional yang abru, Konvensi Hukum laut III ini sudah ditandatangani di Montego Bay, Jamaika tanggal 10 Desember 1982.

2.3       Hak Berdaulat, Kewajiban Yurisdiksi dan hak-hak lain di ZEE

Hal ini di atur dalam Bab III pasal 4 UU no.5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang menyebutkan bahwa :

(1) Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Republik Indonesia memiliki dan melakukan :

a.  Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya dan aktivitas-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi irit zona tersebut, mirip pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin;

b.  Yurisdiksi yang berhubungan dengan :

1. pengerjaan dan penggunaan pulau-pulau produksi, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya;

2.  penelitian ilmiah perihal kelautan;

3.  pinjaman dan pelestarian lingkungan taut;

c. Hak-hak lain dan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan Konvensi Hukum Laut yang berlaku.

(2) Sepanjang yang bertalian dengan dasar laut dan tanah di bawahnya, hak berdaulat, hakhak lain, yurisdiksi dan keharusan-keharusan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dijalankan berdasarkan peraturan perundang-seruan Landas Kontinen Indonesia, kesepakatan-kesepakatan antara Republik Indonesia dengan negara-negara tetangga dan ketentuan-ketentuan aturan internasional yang berlaku.

(3) Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, kebebasan pelayaran dan penerbangan    internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah maritim diakui sesuai dengan prinsip-prinsip aturan laut internasional yang berlaku.

Di Zona Ekonomi Eksklusif setiap  Negara pantai seperti Indonesia ini memiliki hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan mengorganisir sumber daya alama baik hayati maupun nonhayati di perairannya, dasar aturan laut dan tanah dibawahnya serta untuk keperluan ekonomi di zona tersebut seperti produksi energi dari air, arus, dan angin.

Hak berdaulat Indonesia yang dimaksud oleh undang-undang ini tidak sama atau tidak mampu disamakan dengan kedaulatan sarat yang dimiliki dan dikerjakan oleh Indonesia atas laut daerah, perairan Nusantara dan perairan pedalaman Indonesia. Berdasarkan hal tersebut diatas maka sanksi-sanksi yang diancam di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia berlainan dengan hukuman-sanksi yang diancam di perairan yang berada dibawah kedaulatan Republik Indonesia tersebut.

  Spritualitas Politik, Tidak Santun Bagi Elit Politik Pdi Perjuangan 2006 - 07 Kal - Bar

Sedangkan jurisdiksi Indonesia di zona itu ialah jurisdiksi membuat dan memakai pulau produksi, instalasi, dan bangunan, riset ilmiah kelautan, pinjaman dan pelestarian lingkungan laut. Dalam melakukan hak berdaulat dan jurisdiksinya di zona ekonomi pribadi itu, Indonesia harus mengamati hak dan keharusan Negara lain.Hal yang tidak kalah pentingnya adalah keharusan memutuskan batas-batas zona ekonomi pribadi Indonesia dengan negara tetangga menurut perjanjian, pengerjaan peta dan koordinat geografis serta memberikan salinannya ke Sekretaris Jenderal PBB.

Hak dan keharusan negara lain di zona ekonomi eksklusif dikontrol oleh Pasal 58 Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu sebagai berikut:

1. Di zona ekonomi langsung, semua negara, baik negara berpantai atau tak berpantai, menikmati, dengan tunduk pada ketentuan yang berkaitan konvensi ini, kebebasan-kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakkan kebel dan pipa bawah bahari yang disebutkan dalam pasal 87 dan penggunaan bahari yang berkaitan dengan pengoperasian kapal, pesawat udara, dan kebel serta pipa di bawah maritim, dan sejalan dengan ketentuan-ketentuan lain konvensi ini.

 2. Pasal 88 sampai pasal 115 dan ketentuan aturan internasional lain yang berlaku dipraktekkan bagi zona ekonomi eksklusif sepanjang tidak berlawanan dengan bab ini.

 3.  Dalam melaksanakan hak-hak menyanggupi keharusan menurut konvensi ini dizona ekonomi pribadi, negara-negara mesti mengamati sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban negara pantai dan mesti mentaati peraturan perundang-seruan yang ditetapkan oleh negara pantai sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan peraturan hukum internasional sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan bagian ini.

Di zona ekonomi langsung Indonesia, semua Negara baik Negara pantai maupun tidak berpantai memiliki hak keleluasaan pelayaran dan penerbangan, kebebasan memasang kabel dan pipa bawah maritim dan penggunaan sah yang lain menurut hukum internasional dan Konvensi Hukum Laut 1982. Dalam melaksanakan hak-hak dan kebebasan tersebut, Negara lain mesti menghormati peraturan perundang-usul Indonesia selaku negara pantai yang mempunyai zona ekonomi eksklusif tersebut

                Negara pantai dapat menegakan peraturan perundang-undangannya sebagaimana di sematkan dalam pasal 73 yaitu:

1.  Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi pribadi mengambil langkah-langkah demikian, termasuk menaiki kapal, mengusut, menangkap dan melakukan proses peradilan, sebagaimana dibutuhkan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-ajakan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan konvensi ini.

2. Kapal-kapal yang ditangkap dan awaknya kapalnya mesti segera dibebaskan sehabis diberikan sebuah duit jaminan yang pantas atau bentuk jaminan lainya

3. Hukuman negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-usul perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jikalau tidak ada persetujuansebaliknya antara negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk eksekusi tubuh lainya

4. Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal ajaib negara pantai harus secepatnya mengumumkan terhadap negara bendera, melalui akses yang tepat, tentang langkah-langkah yang diambil dan tentang setiap hukuman yang kemudian dijatuhkan

Aparatur penegak aturan di bidang penyidikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yakni Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang ditunjuk oleh Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Pengadilan yang berwenang mengadili pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini yakni pengadilan negeri yang  kawasan hukumnya mencakup pelabuhan dimana dilakukan penahanan terhadap kapal dan/atau orang-orang.

2.4       Kegiatan-kegiatan di ZEE Indonesia

Masalah kegiatan-acara ini dikelola di dalam pasal 5 UU no.5 tahun 1983 perihal zona  ekonomi eksklusif Indonesia. Kegiatan untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber daya alam atau kegiatan-aktivitas yang lain untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi hemat mirip pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang dilaksanakan oleh warga negara Indonesia atau badan aturan Indonesia mesti menurut izin dari Pemerintah Republik Indonesia.

Sedangkan aktivitas-kegiatan tersebut di atas yang dilaksanakan oleh negara aneh, orang atau tubuh hukum asing mesti berdasarkan persetujuan internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dengan negara aneh yang bersangkutan.

Dalam syarat-syarat kesepakatanatau kesepakatan internasional dicantumkan hak-hak dan kewajiban-keharusan yang harus dipatuhi oleh mereka yang melakukan acara eksplorasi dan eksploitasi di zona tersebut, antara lain kewajiban untuk mengeluarkan uang pungutan terhadap Pemerintah Republik Indonesia.

Sumber daya alam hayati pada dasarnya mempunyai daya pulih kembali, tetapi tidak mempunyai arti tak terbatas. Dengan adanya sifat-sifat yang demikian, maka dalam melaksanakan pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati, Pemerintah Republik Indonesia memutuskan tingkat pemanfaatan baik di sebagian atau keseluruhan daerah di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesi.

Dalam hal usaha perikanan Indonesia belum dapat sepenuhnya mempergunakan seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan tersebut, maka selisih antara jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan jumlah kemampuan tangkap (capacity to harvest) Indonesia, boleh dimanfaatkan oleh negara lain dengan izin Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional. Misalnya jumlah tangkapan yang diperbolehkan ada 1.000 (seribu) ton sedangkan jumlah kesanggupan tangkap Indonesia baru mencapai 600 (enam ratus) ton maka negara lain boleh ikut mempergunakan dari sisa 400 (empat ratus) ton tersebut dengan izin Pemerintah Republik Indonesia menurut persetujuan internasional

2.5       Batas luar dan  Lebarnya zona ekonomi eksklusif

Angka yang dikemukakan mengenai lebarnya zona ekonomi eksklusif adalah 200 mil atau 370,4 km. nampaknya angka ini tidak menjadikan kesukaran dan mampu diterima oleh negara-negara meningkat dan negara-negara maju.sejak dikemukakannya pemikiran zona ekonomi, angka 200 mil dari garis pangkal telah menjadi pegangan.sekiranya lebar laut wilayah 12 mil telah diterima, mirip kenyataannya sekarang ini, bahu-membahu lebar zona ekonomi pribadi ialah 200-12 = 188 mil. Sebagaimana sudah dikemukakan hak-hak negara pantai atas kedua laut tersebut berbeda adalah kedaulatan sarat atas maritim daerah(teritorial) dan hak-hak berdaulat atas zona ekonomi untuk tujuan eksploitasi sumber kekayaan yang terdapat di kawasan laut tersebut.

Batas dalam ZEE yakni batas luar dari bahari territorial. Zona batas luas tidak boleh melampaui kelautan 200 mil dari garis dasar dimana luas pantai territorial sudah ditentukan. Kata-kata dalam ketentuan ini menyarankan bahwa 200 mil yaitu batas maksimum dari ZEE, sehingga bila ada suatu negara pantai yang mengharapkan wilayahnya ZEE-nya kurang dari itu, negara itu mampu mengajukannya. Di banyak kawasan pastinya negara-negara pantai tidak akan memilih meminimalisir kawasan ZEEnya kurang dari 200 mil, alasannya kehadiran wilayah ZEE negara tetangga. Kemudian timbul pertanyaan mengapa luas 200 mil menjadi pilihan maksimum untuk ZEE. Alasannya ialah menurut sejarah dan politik : 200 mil tidak memiliki geographis umum, ekologis dan biologis nyata. Pada permulaan UNCLOS zona yang paling banyak di klaim oleh negara pantai yaitu 200 mil, diklaim negara-negara amerika latin dan Afrika. Lalu untuk memudahkan kesepakatan penentuan batas luar ZEE maka dipilihlah figur yang paling banyak mewakili klaim yang sudah ada. Tetapi tetap mengapa batas 200 mil diseleksi sebagai batas luar jadi pertanyaan. Menurut Prof. Hollick, figure 200 mil dipilih sebab sebuah ketidaksengajaan, dimulai oleh negara Chili. Awalnya negara Chili mengaku termotifasi pada keinginan untuk melindungi operasi paus lepas pantainya. Industri paus cuma menginginkan zona seluas 50 mil, namun direkomendasikan bahwa sebuah contoh dibutuhkan. Dan teladan yang paling menjanjikan timbul dalam pinjaman zona ialah diadopsi dari Deklarasi Panama 1939. Zona ini telah disalahpahami secara luas bahwa luasnya yaitu 200 mil, padahal faktanya luasnya beranekaragam dan tidak lebih dari 300 mil.

  Lembaga Kerjasama Sebagai Wadah Persamaan Persepsi Penanganan Tindakan Melawan Hukum Perikanan

2.6       Delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif

 Batas luar

Batas dalam ZEE adalah batas luar dari laut teritorial. Zona batas luas dilarang melebihi kelautan 200 mil maritim dari garis dasar dimana luas pantai teritorial telah ditentukan. Kata-kata dalam ketentuan ini menyarankan bahwa 200 mil laut ialah batas maksimum dari ZEE, sehingga jikalau ada sebuah negara pantai yang mengharapkan wilayahnya ZEE-nya kurang dari itu, negara itu mampu mengajukannya. Di banyak kawasan tentu saja negara-negara pantai tidak akan menentukan mengurangi daerahnya ZEE kurang dari 200 mil maritim, alasannya kehadiran kawasan ZEE  negara tetangga. Kemudian timbul pertanyaan mengapa luas 200 mil bahari menjadi pilihan maksimum untuk ZEE. Alasannya yaitu berdasarkan sejarah dan politik: 200 mil bahari tidak mempunyai geografis umum, ekologis, dan biologis faktual. Pada awal UNCLOS zona yang paling banyak diklaim oleh negara pantai yakni 200 mil bahari, diklaim negara-negara Amerika Latin dan Afrika. Lalu untuk mempermudah persetujuan penentuan batas luar ZEE maka dipilihlah figur yang paling banyak mewakili klaim yang sudah ada. Tetapi tetap mengapa batas 200 mil bahari diseleksi selaku batas luar jadi pertanyaan. Menurut Prof. Hollick, figur 200 mil laut diseleksi alasannya suatu ketidaksengajaan, dimulai oleh negara Chili. Awalnya negara Chili mengaku termotivasi pada keinginan untuk melindungi operasi paus lepas pantainya. Industri paus hanya menghendaki zona seluas 50 mil maritim, namun dianjurkan bahwa sebuah teladan diperlukan. Dan pola yang paling menjanjikan timbul dalam pemberian zona diadopsi dari Deklarasi Panama 1939. Zona ini sudah disalahpahami secara luas bahwa luasnya yakni 200 mil laut, padahal faktanya luasnya bermacam-macam dan tidak lebih dari 300 mil bahari.

b.            Batasan

Dalam banyak kawasan negara banyak yang tidak mampu mengklaim 200 mil maritim sarat , karena kehadiran negara tetangga, dan itu mengakibatkan perlu menetapkan batasan ZEE dari negara-negara tetangga, pembatasan ini diatur dalam aturan bahari internasional.

c.             Pulau-pulau.

Pada dasarnya semua teritori pulau bisa menjadi ZEE. Namun, ada 3 kualifikasi yang harus dibuat untuk pernyataan ini. Pertama, walau pulau-pulau normalnya mampu menjadi ZEE, artikel 121(3) dari Konvensi Hukum Laut menyampaikan bahwa, ” batu-watu yang tidak mampu menjinjing laba dalam kehidupan manusia atau kehidupan ekonomi mereka, dilarang menjadi ZEE.”

d.            Wilayah yang tidak bangkit sendiri

Kualifikasi kedua berkaitan dengan daerah yang tidak meraih baik kemerdekaan sendiri atau pemerintahan mampu berdiri diatas kaki sendiri lain yang statusnya dikenal PBB, dan pada kawasan yang berada dalam dominasi kolonial. Resolusi III, diadopsi oleh UNCLOS III pada saat yang sama pada teks Konvensi, menyatakan bahwa dalam perkara tersebut ketentuan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban menurut Konvensi harus diimplementasikan untuk laba penduduk kawasan tersebut, dengan persepsi untuk mempromosikan keselamatan dan kemajuan mereka.

Mengingat ZEE yang ialah zona gres,dalam penerapannya oleh negara-negara menimbulkan situasi bahwa  negara-negara yang berhadapan atau berdampingan yang jarak pantainya kurang dari 200 mil laut harus melakukan suatu delimitasi (batas-batas) ZEE satu sama lain.mirip halnya delimitasi batas landas kontinen,prinsip hukum delimitasi ZEE dikontrol dalam pasal 74 konvensi aturan bahari 1982.rumusan pasal ini secara mutatis mutandis sama dengan pasal 83 ihwal delimitasi landas kontinen.

Sebelum zona ini lahir, negara-negara kebanyakan mengenal konsepsi zona perikanan sehingga kontrakyang dibuat yakni kesepakatanbatas zona perikanan pula.perjanjian batas ZEE antar negara menurut konvensi hukum bahari 1982 masih belum terlalu banyak.Indonesia baru menetapkan kesepakatanZEE hanya dengan australia melalui perjajian antara pemerintah republik Indonesia dengan pemerintah Australia ihwal penetapan batas Zona Ekonomi Ekssklusif dan batas-batas dasar bahari tertentu yang ditandatangani di Perth, pada tanggal 14 Maret 1997. Indonesia masih harus membuat kontrakZEE dengan seluruh negara yang memiliki batas laut dengan Indonesia kecuali Australia.

BAB III

PENUTUP

3.1       Kesimpulan

            Melihat begitu banyaknya aktivitas di zona ZEE, keberadaan rezim legal dari ZEE dalam Konvensi Hukum Laut sangat penting adanya. Zona Ekonomi Eklusif ialah zona yang luasnya 200 mil laut dari garis dasar pantai, yang mana dalam zona tersebut suatu negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak memakai kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa. Konsep dari ZEE timbul dari keperluan yang mendesak. Sementara akar sejarahnya menurut pada kebutuhan yang berkembang sejak tahun 1945 untuk memperluas batas jurisdiksi negara pantai atas lautnya, sumbernya mengacu pada persiapan untuk UNCLOS III.

Ketentuan utama dalam Konvensi Hukum Laut yang berkaitan dengan ZEE terdapat dalam bab ke-5 konvensi tersebut. Sekitar tahun 1976 ilham dari ZEE diterima dengan bergairah oleh sebagian besar anggota UNCLOS, mereka sudah secara universal mengakui adanya ZEE tanpa perlu menunggu UNCLOS untuk menyelesaikan atau memaksakan konvensi. Penetapan universal daerah ZEE seluas 200 mil maritim akan menunjukkan setidaknya 36% dari seluruh total area bahari. Walaupun ini takaran yang relatif kecil, di dalam area 200 mil laut yang diberikan menampilkan sekitar 90% dari seluruh simpanan ikan komersial, 87% dari simpanan minyak dunia, dan 10% simpanan mangan. Lebih jauhnya, suatu takaran besar dari observasi scientific kelautan mengambil tempat di jarak 200 mil bahari dari pantai, dan hampir seluruh dari rute utama perkapalan di dunia lewat ZEE negara pantai lain untuk meraih maksudnya.

DAFTAR ISI

Dr. Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional ( Pengertian, Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Edisi ke-2 ), P.T. Alumni, Bandung.

( di baca pada Kamis, 14 Mei 2015, Bab V: Hukum Laut hal. 304 dan 358 )

( diakses pada Kamis, 14 Mei 2015 )

( diakses pada Kamis, 14 Mei 2015 )