Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Prestasi Belajar
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian ini akan diuraikan lebih jauh mengenai teori-teori yang menjelaskan perihal pemahaman mencar ilmu dan prestasi berguru, fator-aspek yang mempengaruhi prestasi belajar, pemahaman emosi dan kecerdasan emosional, indikator kecerdasan emosional, keterkaitan kecerdasan emosional dengan prestasi mencar ilmu
A. Prestasi Belajar
1. Pengertian Belajar
Prestasi belajar tidak dapat dipisahkan dari berbuatan mencar ilmu, alasannya mencar ilmu ialah suatu proses, sedangkan prestasi berguru yaitu hasil dari proses pembelajaran tersebut.
Bagi seorang siswa mencar ilmu merupakan suatu keharusan. Berhasil atau tidaknya seorang siswa dalam pendidikan tergantung pada proses mencar ilmu yang dialami oleh siswa tersebut.
Menurtut Logan, dkk (1976) dalam Sia Tjundjing (2001:70) berguru dapat diartikan sebagai pergantian tingkah laku yang relatif menetap selaku hasil pengalaman dan latihan . Senada dengan hal tersebut, Winkel (1997:193) berpendapat bahwa berguru pada insan dapat dirumuskan selaku suatu kegiatan mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menciptakan pergeseran-pergeseran dalam pengetahuan dan nilai perilaku. Perubahan itu bersifat relatif konstan dan berbekas.
Belajar tidak cuma mampu dijalankan di sekolah saja, namun dapat dilaksanakan dimana-mana, mirip di rumah ataupun dilingkungan penduduk . Irwanto (1997:105) beropini bahwa berguru merupakan proses pergeseran dari belum mampu menjadi telah bisa dan terjadi dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan menurut Mudzakir (1997:34) mencar ilmu ialah sebuah usaha atau acara yang bermaksud mengadakan pergantian di dalam diri seseorang, mencakup pergeseran tingkah laris, perilaku, kebiasaan, ilmu pengetahuan, kemampuan dan sebagainya.
Di dalam berguru, siswa mengalami sendiri proses dari tidak tahu menjadi tahu, sebab itu berdasarkan Cronbach (Sumadi Suryabrata,1998:231) :
“Belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami dan dalam mengalami itu pelajar mempergunakan pancainderanya. Pancaindera tidak terbatas hanya indera pengelihatan saja, namun juga berlaku bagi indera yang lain.”
Belajar dapat dikatakan berhasil bila terjadi pergeseran dalam diri siswa, namun tidak semua pergeseran sikap dapat dikatakan berguru karena perubahan tingkah laris balasan belajar memiliki ciri-ciri perwujudan yang khas (Muhibbidin Syah, 2000:116) antara lain :
a. Perubahan Intensional
Perubahan dalam proses berlajar ialah alasannya pengalaman atau praktek yang dikerjakan secara sengaja dan disadari. Pada ciri ini siswa menyadari bahwa ada perubahan dalam dirinya, seperti penambahan wawasan, kebiasaan dan keahlian.
b. Perubahan Positif dan aktif
Positif mempunyai arti pergeseran tersebut baik dan berfaedah bagi kehidupan serta sesuai dengan keinginan alasannya adalah mendapatkan sesuatu yang gres, yang lebih baik dari sebelumnya. Sedangkan aktif artinya perubahan tersebut terjadi alasannya adanya usaha dari siswa yang bersangkutan.
c. Perubahan efektif dan fungsional
Perubahan dibilang efektif apabila menjinjing imbas dan manfaat tertentu bagi siswa. Sedangkan pergeseran yang fungsional artinya pergeseran dalam diri siswa tersebut relatif menetap dan bila diperlukan pergantian tersebut dapat direproduksi dan dimanfaatkan lagi.
Berdasarkan dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa mencar ilmu yakni suatu proses perjuangan yang dilakukan siswa untuk mendapatkan suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, secara sengaja, disadari dan perubahan tersebut relatif menetap serta menjinjing pengaruh dan manfaat yang faktual bagi siswa dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
2. Pengertian prestasi belajar
Untuk mendapatkan sebuah prestasi tidaklah semudah yang dibayangkan, alasannya adalah memerlukan usaha dan pengorbanan dengan berbagai tantangan yang mesti dihadapi.
Penilaian kepada hasil berguru siswa untuk mengenali sejauhmana dia sudah mencapai sasaran mencar ilmu inilah yang disebut selaku prestasi mencar ilmu. Seperti yang dibilang oleh Winkel (1997:168) bahwa proses belajar yang dialami oleh siswa menciptakan perubahan-pergantian dalam bidang wawasan dan pemahaman, dalam bidang nilai, sikap dan keterampilan. Adanya pergeseran tersebut terlihat dalam prestasi mencar ilmu yang dihasilkan oleh siswa terhadap pertanyaan, persoalan atau tugas yang diberikan oleh guru. Melalui prestasi belajar siswa dapat mengetahui perkembangan-perkembangan yang sudah dicapainya dalam mencar ilmu.
Sedangkan Marsun dan Martaniah dalam Sia Tjundjing (2000:71) beropini bahwa prestasi belajar merupakan hasil kegiatan belajar, adalah sejauh mana akseptor asuh menguasai bahan pelajaran yang diajarkan, yang dibarengi oleh munculnya perasaan puas bahwa beliau sudah melakukan sesuatu dengan baik. Hal ini mempunyai arti prestasi berguru hanya bisa diketahui jikalau sudah dikerjakan evaluasi kepada hasil berguru siswa.
Menurut Poerwodarminto (Mila Ratnawati, 1996 : 206) yang dimaksud dengan prestasi adalah hasil yang telah diraih, dilakukan atau dilakukan oleh seseorang. Sedangkan prestasi belajar itu sendiri diartikan sebagai prestasi yang dicapai oleh seorang siswa pada rentang waktu tertentu dan dicatat dalam buku rapor sekolah.
Dari beberapa definisi di atas, mampu ditarik kesimpulan bahwa prestasi belajar merupakan hasil perjuangan belajar yang diraih seorang siswa berupa suatu kecakapan dari aktivitas belajar bidang akademik di sekolah pada jangka waktu tertentu yang dicatat pada setiap selesai semester di dalam buki laporan yang disebut rapor.
3. Faktor-aspek yang mempengaruhi prestasi mencar ilmu.
Untuk meraih prestasi belajar yang bagus, berbagai aspek yang perlu diamati, karena di dalam dunia pendidikan tak sedikit siswa yang mengalami kegagalan. Kadang ada siswa yang memiliki dorongan yang besar lengan berkuasa untuk berprestasi dan potensi untuk mengembangkan prestasi, tapi dalam kenyataannya prestasi yang dihasilkan di bawah kemampuannya.
Untuk menjangkau prestasi berguru yang baik berbagai faktor-aspek yang perlu diamati. Menurut Sumadi Suryabrata (1998 : 233) dan Shertzer dan Stone (Winkle, 1997 : 591), secara garis besar aspek-aspek yang mempengaruhi belajar dan prestasi belajar mampu digolongkan menjadi dua bab, adalah aspek internal dan aspek eksternal.:
a. Faktor internal
Merupakan faktor yang berasal dari dalam diri siswa yang mampu mensugesti prestasi mencar ilmu. Faktor ini dapat dibedakan menjadi dua kalangan, ialah :
1). Faktor fisiologis
Dalam hal ini, aspek fisiologis yang dimaksud adalah faktor yang berafiliasi dengan kesehatan dan pancaindera
a) Kesehatan tubuh
Untuk mampu menempuh studi yang baik siswa perlu memperhatikan dan memelihara kesehatan tubuhnya. Keadaan fisik yang lemah mampu menjadi penghalang bagi siswa dalam menyelesaikan acara studinya. Dalam upaya memelihara kesehatan fisiknya, siswa perlu memperhatikan pola makan dan pola tidur, untuk memperlancar metabolisme dalam tubuhnya. Selain itu, juga untuk memelihara kesehatan bahkan juga mampu memajukan ketangkasan fisik diharapkan olahraga yang terencana.
b) Pancaindera
Berfungsinya pancaindera merupakan syarat dapatnya berguru itu berjalan dengan baik. Dalam sistem pendidikan cukup umur ini di antara pancaindera itu yang paling memegang peranan dalam mencar ilmu ialah mata dan pendengaran. Hal ini penting, alasannya sebagian besar hal-hal yang dipelajari oleh manusia dipelajari melalui pandangan dan telinga. Dengan demikian, seorang anak yang mempunyai cacat fisik atau bahkan cacat mental akan menghambat dirinya didalam menangkap pelajaran, sehingga pada risikonya akan menghipnotis prestasi belajarnya di sekolah.
2) Faktor psikologis
Ada banyak faktor psikologis yang mampu mensugesti prestasi berguru siswa, antara lain adalah :
a) Intelligensi
Pada umumnya, prestasi mencar ilmu yang ditampilkan siswa memiliki kaitan yang akrab dengan tingkat kecerdasan yang dimiliki siswa. Menurut Binet (Winkle,1997 :529) hakikat inteligensi ialah kesanggupan untuk menetapkan dan menjaga sebuah tujuan, untuk menyelenggarakan suatu pembiasaan dalam rangka meraih tujuan itu dan untuk menilai kondisi diri secara kritis dan objektif. Taraf inteligensi ini sangat mempengaruhi prestasi mencar ilmu seorang siswa, di mana siswa yang mempunyai taraf inteligensi tinggi mempunyai potensi lebih besar untuk mencapai prestasi berguru yang lebih tinggi. Sebaliknya, siswa yang mempunyai taraf inteligensi yang rendah diperkirakan juga akan memiliki prestasi belajar yang rendah. Namun bukanlah sebuah yang tidak mungkin jikalau siswa dengan taraf inteligensi rendah mempunyai prestasi berguru yang tinggi, juga sebaliknya .
b) Sikap
Sikap yang pasif, rendah diri dan kurang yakin diri mampu merupakan aspek yang menghalangi siswa dalam memperlihatkan prestasi belajarnya. Menurut Sarlito Wirawan (1997:233) perilaku ialah kesiapan seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu. Sikap siswa yang konkret kepada mata pelajaran di sekolah ialah langkah awal yang baik dalam proses mencar ilmu mengajar di sekolah.
c) Motivasi
Menurut Irwanto (1997 : 193) motivasi yakni pencetus perilaku. Motivasi mencar ilmu adalah pendorong seseorang untuk mencar ilmu. Motivasi timbul alasannya adalah adanya cita-cita atau kebutuhan-keperluan dalam diri seseorang. Seseorang berhasil dalam mencar ilmu karena dia ingin berguru. Sedangkan menurut Winkle (1991 : 39) motivasi belajar ialah keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menjadikan aktivitas mencar ilmu, yang menjamin kelancaran dari acara mencar ilmu dan yang memberikan arah pada aktivitas berguru itu; maka tujuan yang diharapkan oleh siswa tercapai. Motivasi mencar ilmu ialah faktor psikis yang bersifat non intelektual. Peranannya yang khas yaitu dalam hal gairah atau semangat belajar, siswa yang termotivasi berpengaruh akan mempunyai banyak energi untuk melaksanakan kegiatan berguru.
b. Faktor eksternal
Selain aspek-aspek yang ada dalam diri siswa, ada hal-hal lain diluar diri yang mampu mempengaruhi prestasi belajar yang mau dicapai, antara lain yakni :
1). Faktor lingkungan keluarga
a) Sosial ekonomi keluarga
Dengan sosial ekonomi yang memadai, seseorang lebih berkesempatan mendapatkan akomodasi belajar yang lebih baik, mulai dari buku, alat tulis hingga pemilihan sekolah
b). Pendidikan orang bau tanah
Orang renta yang sudah menempuh jenjang pendidikan tinggi condong lebih mengamati dan memahami pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya, ketimbang yang mempunyai jenjang pendidikan yang lebih rendah.
c). Perhatian orang tua dan situasi hubungan antara anggota keluarga
Dukungan dari keluarga ialah sebuah pemacu semangat berpretasi bagi seseorang. Dukungan dalam hal ini mampu secara eksklusif, berupa pujian atau nasihat; maupun secara tidak langsung, seperti hubugan keluarga yang serasi.
2). Faktor lingkungan sekolah
a). Sarana dan prasarana
Kelengkapan fasilitas sekolah, mirip papan tulis, OHP akan membantu kelangsungan proses belajar mengajar di sekolah; selain bentuk ruangan, sirkulasi udara dan lingkungan sekitar sekolah juga dapat mempengaruhi proses berguru mengajar
b). Kompetensi guru dan siswa
Kualitas guru dan siswa sangat penting dalam menjangkau prestasi, kelengkapan fasilitas dan prasarana tanpa disertai kinerja yang baik dari para penggunanya akan sia-sia belaka. Bila seorang siswa merasa kebutuhannya untuk berprestasi dengan baik di sekolah tercukupi, misalnya dengan tersedianya kemudahan dan tenaga pendidik yang bermutu , yang dapat memenihi rasa ingintahuannya, kekerabatan dengan guru dan sobat-temannya berjalan serasi, maka siswa akan menemukan iklim berguru yang menggembirakan. Dengan demikian, ia akan terdorong untuk terus-menerus meningkatkan prestasi belajarnya.
c). Kurikulum dan tata cara mengajar
Hal ini mencakup bahan dan bagaimana cara menunjukkan materi tersebut terhadap siswa. Metrode pembelajaran yang lebih interaktif sungguh diharapkan untuk menumbuhkan minat dan tugas serta siswa dalam kegiatan pembelajaran. Sarlito Wirawan (1994:122) menyampaikan bahwa aspek yang paling penting yakni faktor guru. Jika guru mengajar dengan terpelajar bijaksana, tegas, mempunyai disiplin tinggi, luwes dan bisa menciptakan siswa menjadi senang akan pelajaran, maka prestasi berguru siswa akan condong tinggi, palingtidak siswa tersebut tidak jenuh dalam mengikuti pelajaran.
3). Faktor lingkungan penduduk
a). Sosial budaya
Pandangan masyarakat wacana pentingnya pendidikan akan mempengaruhi keseriusan pendidik dan peserta ajar. Masyarakat yang masih menatap rendah pendidikan akan enggan mengirimkan anaknya ke sekolah dan condong memandang rendah pekerjaan guru/pengajar
b). Partisipasi terhadap pendidikan
Bila semua pihak telah berpartisipasi dan mendukung aktivitas pendidikan, mulai dari pemerintah (berupa kebijakan dan anggaran) hingga pada masyarakat bawah, setiap orang akan lebih menghargai dan berusaha memajukan pendidikan dan ilmu wawasan.
4. Pengukuran prestasi mencar ilmu
Dalam dunia pendidikan, menganggap ialah salah satu acara yang tidak mampu ditinggalkan. Menilai merupakan salah satu proses belajar dan mengajar. Di Indonesia, aktivitas menganggap prestasi belajar bidang akademik di sekolah-sekolah dicatat dalam sebuah buku laporan yang disebut rapor. Dalam rapor mampu dikenali sejauhmana prestasi belajar seorang siswa, apakah siswa tersebut sukses atau gagal dalam suatu mata pelajaran. Didukung oleh pendapat Sumadi Suryabrata (1998 : 296) bahwa rapor merupakan perumusan terakhir yang diberikan oleh guru tentang perkembangan atau hasil belajar murid-muridnya selama kala tertentu.
Syaifuddin Azwar (1998 :11) menyebutkan bahwa ada beberapa fungsi penilaian dalam pendidikan, adalah :
a. Penilaian berfungsi pilih-pilih (fungsi sumatif)
Fungsi evaluasi ini ialah pengukuran simpulan dalam sebuah program dan hasilnya digunakan untuk menentukan apakah siswa mampu dinyatakan lulus atau tidak dalam program pendidikan tersebut. Dengan kata lain evaluasi berfungsi untuk menolong guru mengadakan seleksi terhadap beberapa siswa, misalnya :
1). Memilih siswa yang hendak diterima di sekolah
2) Memilih siswa untuk dapat naik kelas
3). Memilih siswa yang semestinya mampu beasiswa
b. Penilaian berfungsi diagnostik
Fungsi penilaian ini selain untuk mengenali hasil yang dicapai siswa juga mengenali kekurangan siswa sehingga dengan adanya evaluasi, maka guru dapat mengenali kekurangan dan keunggulan masing-masing siswa. Jika guru mampu mendeteksi kekurangan siswa, maka kekurangan tersebut dapat secepatnya diperbaiki.
c. Penilaian berfungsi sebagai penempatan (placement)
Setiap siswa mempunyai kesanggupan berbeda satu sama lain. Penilaian dikerjakan untuk mengetahui di mana semestinya siswa tersebut ditempatkan sesuai dengan kemampuannya yang telah diperlihatkannya pada prestasi mencar ilmu yang telah dicapainya. Sebagai acuan penggunaan nilai rapor SMU kelas II memilih jurusan studi di kelas III.
d. Penilaian berfungsi selaku pengukur kesuksesan (fungsi formatif)
Penilaian berfungsi untuk mengenali sejauh mana sebuah acara dapat dipraktekkan. Sebagai contoh adalah raport di setiap semester di sekolah-sekolah tingkat dasar dan menegah dapat digunakan untuk mengetahui apakah acara pendidikan yang telah diterapkan sukses diterapkan atau tidak pada siswa tersebut.
Raport lazimnya menggambil nilai dari angka 1 hingga dengan 10, khususnya pada siswa SD hingga SMU, tetaapi dalam realita nilai paling rendah dalam rapor yakni 4 dan nilai tertinggi 9. Nilai-nilai di bawah 5 berarti tidak baik atau buruk, sedangkan nilai-nilai di atas 5 mempunyai arti cukup baik, baik dan sangat baik.
Dalam observasi ini pengukuran prestasi belajar menggunakan evaluasi sebagai pengukur kesuksesan (fungsi formatif), adalah nilai-nilai raport pada selesai masa semester I.
B. Kecerdasan Emosional
1. Pengertian emosi
Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan anggapan yang khas, sebuah kondisi biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi intinya ialah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai teladan emosi gembira mendorong pergeseran situasi hati seseorang, sehingga secara fisiologi tampaktertawa, emosi duka mendorong seseorang berperilaku menangis.
Emosi berhubungan dengan pergantian fisiologis dan berbagai fikiran. Jadi, emosi ialah salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, sebab emosi dapat merupakan motivator sikap dalam arti mengembangkan, namun juga dapat mengusik perilaku intensional manusia. (Prawitasari,1995)
Beberapa tokoh mengemukakan perihal macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas : Desire (keinginan), hate (benci), Sorrow (sedih/sedih), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan). Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, adalah : fear (ketakutan), Rage(kemarahan), Love (cinta). Daniel Goleman (2002 : 411) mengemukakan berbagai jenis emosi yang tidak berlawanan jauh dengan kedua tokoh di atas, adalah :
a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
b. Kesedihan : pedih, duka, muram, suram, melankolis, mencintai diri, frustasi
c. Rasa takut : khawatir, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, berhati-hati, tidak damai, ngeri
d. Kenikmatan : bahagia, bangga, riang, puas, riang, bahagia, terhibur, besar hati
e. Cinta : penerimaan, persahabatan, akidah, kebaikan hati, rasa bersahabat, bakti, hormat, kemesraan, kasih
f. Terkejut : terkesiap, terkejut
g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, membenci
h. aib : aib hati, kesal
Seperti yang sudah diuraikan diatas, bahwa semua emosi berdasarkan Goleman intinya ialah dorongan untuk bertindak. Jadi aneka macam macam emosi itu mendorong individu untuk menunjukkan tanggapanatau bertingkah laris terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat perihal kebajikan, abjad dan hidup yang benar, tantangannya yakni menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, jika dilatih dengan baik akan memiliki budi; nafsu membimbing ajaran, nilai, dan kelancaran hidup kita. Tetapi, nafsu mampu dengan gampang menjadi tak terkendalikan, dan hal itu kerap kali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah perihal emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 : xvi).
Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yakni : sadar diri, karam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan menyaksikan kondisi itu maka penting bagi setiap individu mempunyai kecerdasan emosional semoga menjadikan hidup lebih berarti dan tidak menyebabkan hidup yang di jalani menjadi tidak berguna.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi yaitu sebuah perasaan (afek) yang mendorong individu untuk menyikapi atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.
2. Pengertian kecerdasan emosional
Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk membuktikan mutu-mutu emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan.
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai :
“himpunan bab dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan mengawasi perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan memakai isu ini untuk membimbing fikiran dan tindakan.” (Shapiro, 1998:8).
Kecerdasan emosional sungguh dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap dikala. Untuk itu peranan lingkungan khususnya orang bau tanah pada masa kanak-kanak sungguh mensugesti dalam pembentukan kecerdasan emosional.
Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau kemampuan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia kasatmata. Selain itu, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan. (Shapiro, 1998-10).
Sebuah versi penggagas lain yentang kecerdasan emosional diajukan oleh Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan kecerdasan emosional selaku serangkaian kemampuan eksklusif, emosi dan sosial yang mensugesti kemampuan seseorang untuk sukses dalam menangani tututan dan tekanan lingkungan (Goleman, 2000 :180).
Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind (Goleman, 2000 : 50-53) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk menjangkau sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama adalah linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan eksklusif yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional.
Menurut Gardner, kecerdasan langsung terdiri dari :”kecerdasan antar langsung adalah kesanggupan untuk mengerti orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana melakukan pekerjaan bahu membahu dengan kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra eksklusif adalah kesanggupan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk sebuah versi diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kesanggupan untuk memakai modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif.” (Goleman, 2002 : 52).
Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar eksklusif itu mencakup “kesanggupan untuk membedakan dan merespon dengan sempurna suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain.” Dalam kecerdasan antar langsung yang merupakan kunci menuju wawasan diri, dia mencantumkan “akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laris”. (Goleman, 2002 : 53).
Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (Goleman, 200:57) menentukan kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional yakni kesanggupan seseorang untuk mengetahui emosi diri, mengurus emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina relasi (koordinasi) dengan orang lain.
Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional yaitu kesanggupan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keserasian emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) lewat keahlian kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, tenggang rasa dan keterampilan sosial.
Dalam observasi ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kesanggupan siswa untuk mengetahui emosi diri, mengorganisir emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kesanggupan untuk membina korelasi (kerjasama) dengan orang lain.
3. Faktor Kecerdasan Emosional
Goleman mengutip Salovey (2002:58-59) menempatkan menempatkan kecerdasan langsung Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu :
a. Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri ialah sebuah kemampuan untuk mengetahui perasaan ketika perasaan itu terjadi. Kemampuan ini ialah dasar dari kecerdasan emosional, para jago psikologi menyebutkan kesadaran diri selaku metamood, adalah kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 64) kesadaran diri yakni waspada terhadap suasana hati maupun pikiran perihal situasi hati, jikalau kurang waspada maka individu menjadi gampang larut dalam anutan emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk menertibkan emosi sehingga individu gampang menguasai emosi.
b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menanggulangi perasaan semoga dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga semoga emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kemakmuran emosi. Emosi berlebihan, yang berkembangdengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002 : 77-78). Kemampuan ini meliputi kesanggupan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-balasan yang ditimbulkannya serta kesanggupan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.
c. Memotivasi Diri Sendiri
Presatasi mesti dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang mempunyai arti mempunyai keteguhan untuk menahan diri kepada kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta memiliki perasaan motivasi yang faktual, yakni antusianisme, gairah, optimis dan akidah diri.
d. Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengetahui emosi orang lain disebut juga tenggang rasa. Menurut Goleman (2002 :57) kesanggupan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, memberikan kemampuan tenggang rasa seseorang. Individu yang mempunyai kesanggupan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang diharapkan orang lain sehingga dia lebih mampu mendapatkan sudut pandang orang lain, peka kepada perasaan orang lain dan lebih bisa untuk mendengarkan orang lain.
Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan instruksi non ekspresi lebih bisa menyesuiakan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah beraul, dan lebih peka (Goleman, 2002 : 136). Nowicki, jago psikologi menerangkan bahwa belum dewasa yang tidak bisa membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa putus asa (Goleman, 2002 : 172). Seseorang yang bisa membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin bisa terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut memiliki kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.
e. Membina Hubungan
Kemampuan dalam membina korelasi merupakan sebuah kemampuan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan kesuksesan antar langsung (Goleman, 2002 : 59). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kesanggupan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sukar juga mengetahui harapan serta kemauan orang lain.
Orang-orang yang andal dalam kemampuan membina hubungan ini akan berhasil dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan sebab bisa berkomunikasi dengan tanpa gangguan pada orang lain. Orang-orang ini terkenal dalam lingkungannya dan menjadi sobat yang menyenangkan alasannya kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002 :59). Ramah tamah, baik hati, hormat dan disenangi orang lain mampu dijadikan isyarat positif bagaimana siswa mampu membina relasi dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa meningkat dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mengambil bagian-komponen utama dan prinsip-prinsip dasar dari kecerdasan emosional sebagai faktor untuk berbagi instrumen kecerdasan emosional
C. Keterkaitan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar pada siswa SMU
Di tengah semakin ketatnya kompetisi di dunia pendidikan akil balig cukup akal ini, ialah hal yang masuk akal apabila para siswa sering cemas akan mengalami kegagalan atau ketidak berhasilan dalam menjangkau prestasi belajar atau bahkan takut tinggal kelas.
Banyak usaha yang dikerjakan oleh para siswa untuk meraih prestasi belajar agar menjadi yang terbaik seperti mengikuti panduan mencar ilmu. Usaha semacam itu terang konkret, namun masih ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam mencapai kesuksesan selain kecerdasan ataupun kecakapan intelektual, faktor tersebut yaitu kecerdasan emosional. Karena kecerdasan intelektual saja tidak memperlihatkan persiapan bagi individu untuk menghadapi gejolak, peluang ataupun kesusahan-kesusahan dan kehidupan. Dengan kecerdasan emosional, individu mampu mengetahui dan menyikapi perasaan mereka sendiri dengan baik dan bisa membaca dan menghadapi perasaan-perasaan orang lain dengan efektif. Individu dengan keahlian emosional yang meningkat baik berarti kemungkinan besar dia akan berhasil dalam kehidupan dan memiliki motivasi untuk berprestasi. Sedangkan individu yang tidak dapat menahan kendali atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang menghancurkan kemampuannya untuk memusatkan perhatian pada peran-tugasnya dan memiliki asumsi yang jernih.
Sebuah laporan dari National Center for Clinical Infant Programs (1992) menyatakan bahwa kesuksesan di sekolah bukan diramalkan oleh kumpulan fakta seorang siswa atau kemampuan dininya untuk membaca, melainkan oleh ukuran-ukuran emosional dan sosial : yaitu pada diri sendiri dan mempunyai minat; tahu pola sikap yang diharapkan orang lain dan bagaimana mengendalikan dorongan hati untuk berbuat badung; mampu menunggu, mengikuti isyarat dan mengacu pada guru untuk mencari bantuan; serta mengungkapkan keperluan-kebutuhan dikala bergaul dengan siswa lain. Hampir semua siswa yang prestasi sekolahnya buruk, menurut laporan tersebut, tidak memiliki satu atau lebih bagian-unsur kecerdasan emosional ini (tanpa memperdulikan apakah mereka juga memiliki kesusahan-kesusahan kognitif seperti kertidakmampuan mencar ilmu). (Goleman, 2002:273).
Penelitian Walter Mischel (1960) perihal “marsmallow challenge” di Universitas Stanford memberikan anak yang dikala berumur empat tahun bisa menunda dorongan hatinya, sehabis lulus sekolah menengah atas, secara akademis lebih kompeten, lebih mampu menyusun gagasan secara nalar, seta mempunyai gairah mencar ilmu yang lebih tinggi. Mereka mempunyai skor yang secara signifikan lebih tinggi pada tes SAT dibanding dengan anak yang tidak bisa menangguhkan dorongan hatinya (dalam Goleman, 2002 : 81).
Individu yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang lebih baik, dapat menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan segera, jarang tertular penyakit, lebih cekatan dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam berafiliasi dengan orang lain, lebih cakap dalam mengerti orang lain dan untuk kerja akademis di sekolah lebih baik (Gottman, 2001:xvii).
Keterampilan dasar emosional tidak mampu dimiliki secara datang-tiba, namun memerlukan proses dalam mempelajarinya dan lingkungan yang membentuk kecerdasan emosional tersebut besar pengaruhnya. Hal aktual akan diperoleh jika anak diajarkan kemampuan dasar kecerdasan emosional, secara emosional akan lebih pintar, sarat pengertian, mudah mendapatkan perasaan-perasaan dan lebih banyak pengalaman dalam memecahkan permasalahannya sendiri, sehingga pada saat remaja akan lebih banyak sukses disekolah dan dalam berafiliasi dengan rekan-rekan sebaya serta akan terlindung dari resiko-resiko mirip obat-obat terlarang, kenakalan, kekerasan serta seks yang tidak kondusif (Gottman, 2001 : 250).
Dari uraian di atas mampu diambil kesimpulan bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang penting yang sebaiknya dimiliki oleh siswa yang mempunyai keperluan untuk menjangkau prestasi belajar yang lebih baik di sekolah..
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian teoritik di atas, maka hipotesis observasi ini mampu dirumuskan selaku berikut :
- Hipotesis alternatif (Ha) : “Ada kekerabatan antara kecerdasan emosional dengan Prestasi belajar”
- Hipotesis nihil (Ho) : “Tidak ada korelasi antara kecerdasan emosional dengan Prestasi mencar ilmu”
Makalah Bab I Klik Disini