Pola Makalah Bagaimana Imbas Implementasi Kebijakan Metode Self Assessment Pada Kepatuhan Wajib Pajak Orang Langsung?

Bagaimana imbas implementasi kebijakan tata cara self assessment pada kepatuhan wajib pajak orang langsung?
Penerimaan sektor Pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sangat penting, Karena itu untuk memajukan penerimaan APBN pemerintah mengintensifkan pendapatan dari sektor pajak.dengan usulanbahwa penerimaan pajaklah yang lebih berpotensi ditingkatkan ketimbang penerimaan-penerimaan APBN yang lain. Melalui penerimaan pajak, pemerintah akan lebih kongkret dalam menciptakan RAPBN setiap tahunnya.. Untuk lebih mengetahui besarnya donasi pajak dalam RAPBN mampu dilihat dalam tabel di bawah ini: 
Tabel Kontribusi Pajak dalam RAPBN Tahun 2002-2006
Sumber: UU 19/2001.UU 29/2002,UU 28/2003,UU 36/2004, UU 13/2005
 
Berdasarkan Tabel  di atas, nampak bahwa kontribusi penerimaan dari sektor pajak setiap tahunnya rata-rata di atas 66 % atau 2/3( dua pertiga) dari penerimaan APBN. Hal ini memiliki arti peranan pajak sungguh secara umum dikuasai didalam pembiayaan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan negara.
Menyadari pentingnya peranan pajak dari segi penerimaan negara, maka upaya ke arah kenaikan pemasukan negara dari sektor pajak ini terus digiatkan. Hal ini tampakdengan dikeluarkannya aneka macam kebijakan pemerintah dalam bidang perpajakan, diantaranya ialah: 1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 dan 3) UndangUndang Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Dalam metode Self Assessment ini segala sesuatu yang bekerjasama dengan jumlah pajak yang harus dibayarkan diserahkan sepenuhnya ke pada Wajib Pajak. Jadi kewajiban Wajib Pajak (WP) dalam hubungannya dengan metode perpajakan ini yaitu: (a) Mendaftarkan sebagai Wajib Pajak, (b) Menghitung besarnya pajak eksklusif, (c) Membayarkan pajak tersebut.dan (d) Melaporkan keharusan perpajakannya.
Meskipun sistem self assessment ini telah direalisir telah cukup lama (sejak tahun 1983), tetapi kenyataan di lapangan menandakan lain yakni kepatuhan Wajib Pajak relatif rendah . Hal ini mampu dilihat dari tabe 2l berikut ini. 
Tabel  Perbandingan antara Penyebaran dan Penerimaan Surat Pemberitahunan Pajak (SPT) Propinsi Lampung
Sumber: KKP Metro & KPP Bandar Lampung, 2006.
Berdasarkan Tabel tersebut, terlihat bahwa ketaatan Wajib Pajak Orang Pribadi di Propinsi Lampung dalam menyerahkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak selama lima tahun (2001 – 2005) berfluktuasi antara 28 % sampai 59 %. Untuk di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Bandar Lampung tertinggi pada tahun 2004, sedangkan untuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Metro terjadi tahun 2001.
Dari gambaran keadaan tersebut diatas yang menunjukkan meskipun pemerintah sudah berusaha menyederhanakan sistem perpajakan yang mana kesemuanya diserahkan terhadap Wajib Pajak dalam hal melapor, mengkalkulasikan dan membayar pajak pribadinya, tetapi Wajib Pajak Orang Pribadi masih menerangkan ketidakpatuhannya kepada kebijakan tersebut.
Berdasarkan hasil penjajagan di lapangan, baik lewat pengamatan langsung dilapangan maupun wawancara dengan para pejabat di lingkungan KPP di Bandar Lampung dan di KPP Metro, maka diperoleh berbagai gejala yang menawarkan prasangka cukup berpengaruh sebagai penyebab mengapa wajib pajak kurang patuh memenuhi kewajibannya untuk melaporkan dan sekaligus membayar pajaknya sebagai hasil perhitungannya sendiri.
Dari segi organisasi Kantor Pelayanan Pajak, pada bagian atau unit kerja yang melakukan sosialisasi mengenai segala sesuatu yang menyangkut perpajakan tergolong upaya untuk mengembangkan kepatuhan wajib pajak terhadap keharusan perpajakannya ialah Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Pajak (KP4) .
Dilihat kondisinya dari personalia yang dimiliki KP4 tersebut baik di KPP Bandar Lampung maupun Metro daripada luas area yang ditanganinya sangat tidak sepadan, yaitu cuma berisikan 5 – 7 orang. Yang lebih parah lagi KP4 tidak mempunyai acara dari acara sosialisasi secara rinci dan jelas, dan kontinuitas. Selain itu metoda yang digunakan dalam proses penyuluhan belum tepat. Hal ini mempunyai dampak terhadap wajib pajak merasa kesusahan untuk mengisi SPT yang diterimanya walaupun dalam pedoman perihal cara pengisian SPT dilampirkan ketika penerimaan SPT itu sendiri.
Secara teoritis menurut Edward dalam Jones (1984: 178), mengatakan ; ” The first requirment for effective policy implementation is that those who are to implement a decison must know what they are supposed to do …….”. Ini memperlihatkan bahwa kalau ada cita-cita kebijakan mampu dilaksanakan dengan baik dan sempurna, maka aba-aba serta isyarat pelaksana tidak cuma dapat diterima tapi juga terang. Bila tidak, maka bagi pelaksana akan menjinjing kebingungan perihal dalam menafsirkan apa yang mesti dia kerjakan.  
Keadaan ini kiranya cukup terperinci mengenang bahwa “upaya” untuk melakukan tata cara “self assssment” selaku aplikasi dari sistem kebijakan perpajakan tidak ada kebijakan secara khusus, tetapi kebijakan ini ialah bab dari kebijakan dalam bentuk Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, ihwal Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan yang tercantum pada klarifikasi Bagian I Umum poin 3 .c. Kaprikornus dengan demikian petunjuk pelaksanaannya pun niscaya tidak ada. Karena itu tidak mustahil akan terjadi ambiguitas diantara para aparat KPP dalam mengartikan “self assesment” dan mengupayakan supaya wajib pajak memilki kesadaran/ kepatuhan dalam hal perpajakan. Hal ini kiranya perlu disadari bahwa keberhasilan dari metode” self assessment” ini sungguh tergantung terhadap kepatuhan wajib pajak dan kepatuhan ini akan berkembang berkembang di golongan masyarakat bila implementator yaitu KPP menyadari pula akan pentingnya acara sosialisasi perihal tata cara Self Asessment , yang mana telah jelas bahwa sistem tersebut segala sesuatunya diserahkan terhadap wajib pajak dalam hal melapor dan membayarnya.
Sebagai imbas dari kondisi ini semua, maka KP4 selaku pelaksananya dalam acara sosialisasi sistem perpajakan selain kurang dilengkapi dengan tenaga-tenaga manusia yang handal dalam sosialisasi juga kelengkapan operasionalnya pun dianggap relatif masih minim, sehingga hal ini menyebabkan acara banyak sekali operasionalnya akan terhambat.
Sementara itu, Jones (1984: 165) mengemukakan bahwa terdapat tiga macam kegiatan utama dalam implementasi kebijakan publik, ialah: 
  1. Organizational; The establishment or rearrangment of resources, units, and methods for putting a policy into effect
  2. Interpretation; The translation of language (often contained in a statute) into acceptable and feasible plans and directives
  3. Application: The routine provision of service, payments, or other agree upon objectives or instruments ” 
  Pola Ajuan Efektivitas Sistem Jigsaw Dalam Mengembangkan Pemahaman Siswa Pada Pelajaran Geografi
Berdasarkan pembagian acara implementasi kebijakan, peneliti berpendapat bahwa untuk melaksanakan implementasi sebuah program diperlukan adanya organisasi dalam rangka membentuk atau menata kembali sumber daya, unit-unit serta sistem semoga program mampu berlangsung, disamping itu diharapkan penafsiran yang serupa untuk melaksanakan program tersebut sehingga rencana dan isyarat mampu diterima dengan sempurna dan dikerjakan oleh para pelaksana implementasi, sehingga akan memiliki dampak pada ketepatan, kecepatan, kejelasan, pengaturan, pengetahuan, kesinambungan dan pembagian peran yang terang. Selain itu, dalam pelaksanaan implementasi kebijakan juga harus menerapkan aktivitas aplikasi biar bisa memperlihatkan pelayanan yang tepat dengan tata cara dan prosedur yang jelas. 
Anggriyani Windurisasi dalam Budiono (2003: 151) telah melakukan observasi di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Jakarta Jatinegara kepada Wajib Pajak yang terdaftar, sebanyak 3.961 Wajib Pajak PPh Badan.. Hasil perkiraan relasi 0,331, yang menawarkan bahwa mutu pelayanan selaku variabel bebas ialah aktual dan kepatuhan selaku variabel terikat adalah faktual. Dengan demikian, mampu dikatakan bahwa ada relasi yang positif antara kualitas pelayanan dengan kepatuhan Wajib Pajak.  
Selain itu, Nashuha (2004: iv) melakukan penelitian disertasinya dengan masalah pokok ialah masih rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, yang meliputi kepatuhan dalam mendaftarkan diri, pelaporan Surat Pemberitahuan, melakukan perkiraan dan pembayaran pajak terhutang.
Hasil penelitian menawarkan bahwa reformasi manajemen perpajakan berpengaruh cukup signifikan kepada akuntabilitas organisasi dan berpengaruh sangat signifikan kepada kepatuhan wajib pajak. Akuntabilitas organisasi kuat relatif signifikan kepada kepatuhan wajib pajak dan kesudahannya reformasi administrasi perpajakan bersama akuntabilitas berpengaruh sangat signifikan kepada kepatuhan wajib pajak.
Berdasarkan analisis singkat yang berlandaskan terhadap tanda-tanda-gejala yang didapatkan di lapangan dan observasi sebelumnya, maka problem atau research question dalam observasi ini ialah: Bagaimana dampak implementasi kebijakan metode self assessment pada kepatuhan wajib pajak orang pribadi?
Penelitian ini dimaksudkan untuk menguji secara empirik dalam mendapatkan pengetahuan dan pemahaman konsep baru secara nyata perihal imbas implementasi kebijakan Sistem Self Assessment terhadap kepatuhan wajib pajak orang langsung serta mengetahui besarnya efek dimensi-dimensi konkret implementasi kebijakan Self Assessment dalam rangka meraih kepatuhan wajib orang eksklusif pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Metro dan Bandar Lampung di Provinsi Lampung.
Kegunaan dari penelitian ini yaitu (1). Dari segi teoritis, dibutuhkan hasil penelitian ini mampu berguna bagi pengembangan ilmu administrasi negara, utamanya dalam pembuatan kebijakan di bidang perpajakan dan (2) Dari segi mudah, dibutuhkan hasil penelitian ini dapat menunjukkan anjuran selaku masukan bagi pemerintah (Ditjen Pajak) dalam mengimplementasikan kebijakan Sistem Self Assessment untuk melaksanakan pelayanan kepada wajib pajak utamanya pajak orang langsung.
METODE 
Penelitian ini menggunakan rancangan selaku observasi deskriptif (descriptive research). Nur Indriantoro dan Bambang Supomo (1999 ; 26) mengemukakan bahwa “observasi deskriptif yaitu observasi kepada problem-dilema berbentukfakta-fakta ketika ini dari suatu populasi, dengan tujuan untuk menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan current status dari subyek yang diteliti”
Sesuai dengan karakteristik penelitian yang mau dikerjakan maka tata cara yang mau digunakan dalam observasi ini yakni survey explanatory. Menurut Rusidi (2002: V-3), ”survey adalah pengusutan yang dijalankan untuk menemukan fakta-fakta dari gejala-tanda-tanda yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara positif. Explanatory yakni penjelasan terhadap kejadian atau keadaan saat ini (explanation). Penjelasan ini dekat relevansinya dengan pertanyaan apa penyebab terjadinya kejadian atau keadaan dan akhir yang ditimbulkannya. Melalui sistem penelitian ini diharapkan dapat memperoleh teori yang dikembangkan melalui penelitian pengujian (verifikasi) proposisi-proposisi positif, ialah proposisi-proposisi dedukasi (hipotesis) yang diuji secara empirik yang sering juga disebut observasi pengujian (verification research). 
Untuk melengkapi data yang diperoleh, maka penelitian ini memakai informan selaku konfirmasi untuk mengetahui sejauhmana kepatuhan wajib pajak dan pelayanan yang dijalankan abdnegara sebanyak 25 % dari wajib pajak orang pribadi (100 orang) untuk setiap pembagian terstruktur mengenai wajib pajak orang eksklusif, sehingga berjumlah 25 orang wajib pajak orang eksklusif yang terdiri:
  • Wajib pajak orang langsung sebanyak 6 orang 
  • Bendahara pemotong/penyetor pajak sebanyak 3 orang 
  • Pekerja profesional (notaris, pengacara , dokter, akuntan) sebanyak 12 orang 
  • Pengusaha sebanyak 4 orang 
Teknik angket dipakai untuk menghimpun data dalam penelitian ini yang dilaksanakan melalui penyebaran daftar pertanyaan yang bersifat tertutup, yang setiap pertanyaan telah disediakan alternatif tanggapan, sehingga responden cuma menentukan salah satu tanggapan yang dianggap sesuai dengan realita. Teknik pengumpulan data dengan angket ini dipakai untuk mendapatkan data primer wacana Implementasi Kebijakan Self Assessment (X) dengan Dimensinya: Organisasi (X1), Penafsiran (X2), dan Aplikasi (X3) serta Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (Y). Pengukuran data dilaksanakan dengan memakai skala Likert yang telah dimodifikasi. 
Penilaian atas opsi jawaban untuk angket yang disediakan adalah sebagai berikut : 
  • Sangat Baik/sungguh memuaskan, diberi skor 5.
  • Baik/membuat puas, diberi skor 4. 
  • Cukup baik/cukup memuaskan, diberi skor 3. 
  • Kurang Baik/kurang membuat puas diberi skor 2. 
  • Tidak Baik/tidak memuaskan, diberi skor 1. 
Untuk memperoleh data yang bagus, perlu diuji apakah data yang diperoleh dari instrumen (angket) yang itu sudah; tepat (valid), terandal (reliable) dan konsisten (internal concistency). Uji validitas instrumen penelitian, dilaksanakan untuk mengetahui apakah alat ukur yang dipakai mampu mengukur objek yang diukurnya. Uji validitas dijalankan terhadap item yang telah disusun menurut konsep operasionalisasi variabel beserta indikator-indikatornya. 
PEMBAHASAN 
Dengan persamaan jalur tersebut mampu diinterpretasikan bahwa jika implementasi kebijakan self assessment dengan kepatuhan wajib pajak orang pribadi diukur dengan instrument yang dikembangkan dalam observasi ini, maka setiap perubahan skor implementasi kebijakan dengan dimensi organisasi, penafsiran dan aplikasi sebesar satu satuan, maka dapat diestimasikan skor kepatuhan wajib pajak orang langsung akan berubah 0, 3234 satuan pada arah yang sama. 
Secara teoritis dapat diterangkan bahwa tinggi atau rendahnya kepatuhan wajib pajak tergantung terhadap implementasi suatu kebijakan yang dalam hal ini kebijakan self assessment. Untuk mengembangkan kepatuhan wajib pajak, maka para wajib pajak mesti mengenali dengan seksama dan menyeluruh kepada undang-undang perpajakan yang diberlakukan dalam suatu negara. Pemahaman wajib pajak kepada undang-undang pajak merupakan dimensi yang sungguh penting bagi terciptanya kesadaran dan kepatuhan wajib pajak untuk melakukan keharusan perpajakannnya. 
Menurut penulis, memang pengertian terhadap undang-undang perpajakan mesti dinomor-satukan sebagai dasar untuk mampu dipenuhinya keharusan perpajakan dan pengembangan iklim yang sehat. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Solihin A Wahab (1997: 105) yang menyatakan bahwa: “keputusan seseorang untuk patuh terhadap peraturan atau perundang-permintaan merupakan fungsi dari: 
  • Kemungkinan bahwa setiap pelanggaran akan mudah dideteksi dan diseret ke pengadilan; 
  • Tersedianya sanksi-sanksi untuk menghukum mereka yang melakukan pelanggaran; 
  • Sikap golongan target kepada keabsahan (legitimated) peraturan perundang-seruan yang berlaku; 
  • Ongkos/beban bagi kelompok sasarn yang patuh yang menyangkut adanya contoh reward bagi kepatuhan dan punishment bagi pelanggaran” 
  Aplikasi Belajar Menulis Untuk Anak Prasekolah Berbasis Android
Pernyataan tersebut didukung oleh Anderson (1979: 114), yang menyebutkan ada lima faktor yang menjadi penyebab ketidakpatuhan masyarakat terhadap sebuah kebijakan, adalah: 
Pertama, berhubungan dengan ketidakpatuhan pilih-pilih kepada hukum, dimana terdapat beberapa peraturan perundang-ajakan atau kebijakan yang bersifat kurang mengikat individu-individu atau kalaupun mengikat sering sanksi atau punishment kepada mereka yang melanggar sangat minim atau dimana aturan aturan yang terperinci bisa”dipermainkan”oleh oknum-oknum yang terlibat; 
Kedua, alasannya keanggota sesorang dalam suatu kelompok atau asosiasi mempunyai pemikiran berlawanan atau bertentangan dengan peraturan atau cita-cita pemerintah. Mereka berusaha menentang atau menolak aturan itu bahkan sering secara demonstratif melakukan pelanggaran; 
Ketiga, adanya harapan untuk mencari keuntungan dengan cepat diantara anggota masyarakat dengan menipu atau melanggar aturan , contohnya tidak secara jujur mengisi SPT atau secara sengaja berkolusi dengan petugas pajak demi laba peribadi; 
Keempat, adanya ketidakpastian aturan atau ketidakjelasan ukuran kebijakan yang mungkin saling bertentangan satu sama lain sehingga menjadi sumber ketidakpatuhan orang pada hukum atau kebijakan pemerintah; Kelima, jika sebuah kebijakan ditentang secara tajam dengan sistem nilai. 
Diterapkannya kebijakan self assessment dalam perpajakan di Indonesia, dibutuhkan perilaku wajib pajak orang eksklusif, khususnya yang berada di Propinsi Lampung tidak terjadi mirip hal-hal tersebut di atas, alasannya metode tersebut memberi peluang terhadap wajib pajak untuk mendaftar, mengkalkulasikan dan melaporkan kewajiban pajakanya secara jujur. Sistem Self assesment diberlakukan untuk menunjukkan kepercayaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat guna mengembangkan kesaran dan peran serta masyarakat dalam menyetorkan pajaknya”. 
Konsekuensinya, masyarakat harus benar-benar mengetahui sistem perhitungan pajak dan segala sesuatu yang berhubungan dengan peraturan pemenuhan perpajakan.. Disamping itu metode ini juga menuntut kepatuhan dari wajib pajak, sehingga sistem ini bisa menimbulkan potensi besar bagi wajib pajak untuk melaksanakan tindakan kecurangan, manipulasi perhitungan jumlah pajak, penggelapan jumlah pajak yang harusnya dibayarkan. Satu hal penting dalam kaitan dengan analisis kebijakan self assessment ialah implementasi kebijakan self assessment itu sendiri yang dalam observasi ini menawarkan sumbangan sebesar 67.57 % kepada kepatuhan wajib pajak orang eksklusif. 
Terlepas dari variabel yang lain yang kuat tetapi bila dilihat secara teliti bahwa kebijakan self assesment itu sendiri masih belum maksimal dalam menciptakan kepatuhan wajib pajak Adanya beberapa acara self assessment seperti pelaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) oleh wajib pajak belum dilaporkan secara menyeluruh. Namun kerberhasilan kebijakan self assessment dalam mewujudkan kepatuhan wajib pajak tidak akan terwujud apabila tidak dibarengi dengan perhatian kepada isi kebijakan self assessment tersebut serta sistem nilai yang mempengaruhinya, sebagaimana yang dikatakan oleh Grindle (1980: 11) “implementasi kebijakan akan berhasil apabila dua faktor yang mempengaruhinya diamati, yakni:
pertama isi kebijakan (content of policy) yang meliputi kepentingan kalangan target, tipe faedah, derajat pergeseran yang diiinginkan, letak pengambilan keputusan, pelaksanaan acara, dan sumber daya yang dilibatkan. 
Kedua, lingkungan implementasi (context of implementation) yang meliputi kekuasaan kepentingan dan strategi pemain drama yang terlibat, karakteristik forum dan penguasa, kepatuhan dan daya tanggap. 
Kejelasan isi kebijakan self assessment tentu saja perlu tunjangan penyusunan kebijakan dari faktor teoritis. Namun yang paling penting dalam karakter kebijakan tersebut ialah seberapa besar janji golongan pegawanegeri pelaksana kebijakan untuk meraih tujuan dan target yang diinginkan dalam rangka optimalisasi kepatuhan wajib pajak orang langsung. 
Sistem nilai yang terjadi disekitar lingkungan kebijakan kaitannya dengan self assessment turut menghipnotis keberhasilan peningkatan kepatuhan wajib pajak. Pengaruh tata cara nilai mirip; tidak jujurnya para wajib pajak orang pribadi untuk melaporkan keharusan pajak yang bahwasanya, kurang tegasnya tidak yakin hukum bagi yang menunda dalam mengeluarkan uang kewajiban perpajakannya, perilaku pegawapemerintah yang masih menawarkan diri kepada wajib pajak dalam melaksanakan pelayanan kepada wajib pajak serta rumitnya ketentuan atau peraturan yang mesti disertai oleh wajib pajak orang pribadi atau dengan kata lain banyaknya peraturan pelaksanaan yang senantiasa dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak menyebabkan wajib pajak bersikap hirau tak acuh yang pada jadinya membuat para wajib pajak tersebut menjadi enggan untuk membayar pajaknya serta keteladanan atau panutan yang diberikan para pejabat ataupun pengusaha untuk menunjukkan teladan dalam membayarkan keharusan perpajakannya masih rendah.
Dalam tata cara “self assessment” wajib pajak orang langsung ternyata dibebani ongkos kepatuhan yang cukup tinggi, hal ini terjadi dikarenakan masih banyak wajib pajak orang langsung yang kurang mampu mengkalkulasikan keharusan pajaknya dengan baik sehingga terkadang ia memakai perlindungan konsultan pajak ataupun meminta pinjaman terhadap oknum abdnegara pajak untuk menolong menghitungkan jumlah pajak yang harus dibayarnya dan berakibat pada pengeluaran yang harus dilakukan oleh wajib pajak orang eksklusif dalam rangka mengkalkulasikan keharusan perpajakannya. Hal ini berlainan dengan sistem “official assessment” dimana wajib pajak hanya perlu mengeluarkan uang pajak terutang yang ditetapkan oleh pegawapemerintah pajak (fiskus).
 Implementasi Kebijakan self assesment sudah berlangsung cukup lama hampir 25 tahun, akan tetapi kepatuhan wajib pajak orang pribadi belum tercapai secara maksimal. Masalah banyak persoalan-dilema yang timbul berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan self assesment, seperti: masih tidak jujurnya wajib pajak dalam melaporkan keharusan pajak yang sesungguhnya, masih rumitnya formulir pengisian data wajib apajak orang eksklusif, belum efektifnya eksistensi Kantor Pelayanan Pajak di kawasan, belum dipraktekkan sangsi dengan tegas kepada wajib pajak yang melanggar peraturan untuk pajak orang pribadi dan masih rendahnya panutan dari para pejabat ataupun pengusaha besar dalam menunjukkan acuan untuk ketaatan mengeluarkan uang kewajiban pajak prang langsung.
Namun kerberhasilan kebijakan self assessment dalam mewajudkan kepatuhan wajib pajak tidak akan terwujud dengan baik jika tidak memperhatian nilai-nilai atau sistem nilai. Nilai sangat besar lengan berkuasa terhadap pembuat ataupun implementor kebijakan, alasannya adalah dengan seperangkat nilai yang dipegangnya akan terwujud apakah sebuah kebijakanan tersebut diterapkan sudah mengamati ataupun memakai nilai-nilai yang berlaku atau dianut oleh warga penduduk .
Menurut Koentjaraningat (1974: 22), bahwa:”tata cara nilai biasanya berfungsi selaku ajaran tertinggi bagi kelakukan manusia”. Berkaitan dengan kebijakan publik juga tidak dapat terlepas dari nilai-nilai yang melekat pada diri pembuat maupun pelaksana atau implementornya. Nilai menurut Danandjaja (1986: 22), “nilai adalah pengertian-pengertian (conceptions) yang dihayati seseorang tentang apa yang lebih penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang baik, dan apa yng lebih benar atau kurang benar”.
Nilai-nilai diperoleh dan meningkat dari pengalaman seseorang yang dalam sifat dan ungkapannya dipengaruhi oleh kondisi fisik dan psikis seseorang. Nilai-nilai menunjukkan arah pada sikap, kepercayaan dan sikap seseorang , dan menunjukkan fatwa untuk memilih perilaku atau tujuan dari perilaku mana yang lebih atau kurang diingini, sesuai dengan teladan hirarki kepentingan nilai-nilai tersebut dalam diri seseorang.
Realitas di lapangan mengambarkan bahwa sehabis dikonfimasi lewat wawancara langsung dengan wajib pajak orang eksklusif sebagai bentuk Counter Information, bahwa dimensi lain yang besar lengan berkuasa terhadap implementasi kebijakan di Propinsi Lampung yaitu tata cara nilai antara lain: 
  1. Kerumitan pengisian data yang mesti dilaksanakan oleh wajib pajak orang eksklusif sungguh rumit. Hal ini dapat dilihat dalam formulir isian 1770, yang mana dalam isian formulir tersebut banyak pertanyaan yang mesti dijawab oleh wajib pajak orang langsung secara detail dan terinci, mulai pemasukan tetapnya hingga kepada pemasukan pelengkap yang diperolehnya, sehingga memerlukan perkiraan yang menyeluruh dan lengkap dari pemasukan seseorang; 
  2. Masih sedikitnya jumlah kantor pelayanan pajak yang ada di propinsi Lampung adalah hanya dua buah menerangkan organisasi dalam bidang perpajakan tersebut tidak efektif untuk melayani para wajib pajak yang tersebar di sepuluh kabupaten dan kota; Idealnya setiap kota atau kabupaten mempunyai kantor pelayanan pajak sehingga wajib pajak akan gampang mengakses berbagai problem yang berhubungan dengan pajak pribadinya. Walaupun telah ada situs/web pajak , nampaknya penggunaan terhadap situs tersebut belum dikerjakan oleh para wajib pajak yang berdomisi di kabupaten –kabupaten yang jauh dari sentra ibukota propinsi; 
  3. Pemberian sanksi kepada wajib pajak yang melanggar ketentuan atau peraturan perpajaknya kelihatannya belum ditegakkan secara utuh. Aparat pajak cuma memburu wajib pajak yang mempunyai acara usaha yang besar saja yang hendak dikenakan hukuman, sehingga wajib pajak yang obyek pajaknya rendah jarang dikenakan hukuman kalau mereka melanggar. Hal ini menyebabkan para wajib pajak orang langsung tersebut merasa tidak takut terhadap sangsi hukum apabila mereka telat ataupun tidak mengeluarkan uang kewajiban perpajakannya. Kondisi ini terjadi akibat penerapan ragu-ragu yang rendah terhadap pelanggaran peraturan perpajakan; 
  4. Ketidakjujuran wajib pajak orang eksklusif dalam penyampaian SPT. Hal ini disebabkan kesulitan dari kantor pelayanan pajak setempat untuk mengetahui berapa besar pemasukan atau penghasilan seorang wajib pajak yang benar pertahunnya. Walaupun wajib pajak tersebut telah melaksanakan pencatatan terhadap pendapatannya, biasanya pemasukan yang dicatat tersebut bukanlah pemasukan yang bahu-membahu dan yang terjadi biasanya lebih rendah dari pemasukan tersebut. Begitu juga wajib pajak yang memiliki audit laporan keuangannya dari akuntan publik tampaknya audit yang dibuatkan yaitu menurut undangan atau pesanan si wajib pajak orang eksklusif. Terkadang aktivitas-kegiatan tersebut juga dibantu oleh petugas pajak dengan imbalan yang sudah disepakati. Jadi dengan demikian baik abdnegara pajak dan wajib pajak sama sama tidak jujur dalam melaporkan keharusan seorang wajib pajak orang pribadi tersebut; 
  5. Kepanutan, dimana penduduk atau warga yang telah jelas memiliki penghasilan melampaui TKPK kelihatannya belum bisa dijadikan teladan atau panutan untuk menjadi wajib pajak yang baik. Malahan terjadi para wajib pajak yang memiliki pekerjaan atau posisi jabatan yang cukup tinggi mereka akan namun mereka enggan mengeluarkan uang pajaknya. Sebagai acuan banyak para pejabat di lingkungan pemerintahan yang belum memiliki NPWP, begitu pula para pengusaha ataupun para tenaga profesi, mirip dokter, akuntan publik, pengacara dan lain-lain tidak jelas kapan dan berapa besar pajak yang sudah dibayarnya. Mereka tidak mempunyai sikap yang patut ditiru untuk menjadi wajib pajak yang patuh dan menyadari akan kewajiban perpajakannya. 
  Pengembangan Batik Terbaru Lewat Pendidikan Formal
Dengan menambahkan dimensi tata nilai atau metode nilai dalam teori implementasi kebijakan, dimungkinkan implementasi kebijakan self assessment mampu berlangsung lebih optimal dan kalau dikaitkan dengan wajib pajak orang langsung maka kepatuhannya akan lebih meningkat.
SIMPULAN 
System self assessment yang diberlakukan untuk menawarkan iman yang sebesar-besarnya pada wajib pajak dalam penyetoran pajaknya, belum mampu memajukan serta optimal kepatuhan wajib pajak, dalam pembayaran pajak. Namun demikian implementasi kebijakan self assessment kuat pada kepatuhan wajib pajak orang eksklusif, dimana peningkatan efektivitas implementasi kebijakan self assessment akan mensugesti peningkatkan kepatuhan wajib pajak orang langsung, sehingga mampu dikatakan bahwa upaya memaksimalkan organisasi, penafsiran dan aplikasi secara singnifikan akan me-ningkatkan kepatuhan wajib pajak orang pribadi. 
Hasil analisis menunjukan bahwa organisasi, penafsiran dan aplikasi memberi imbas yang sungguh besar lengan berkuasa kepada kepatuhan wajib pajak orang pribadi baik secara gotong royong maupun secara parsial. Namun keberhasilan kebijakan self assessment dalam mewujudkan kepatuhan wajib pajak yang optimal harus diikuti dengan mengamati isi kebijakan self assesment serta system nilai yang dianut atau yang menempel pada wajib pajak pembuat kebijakan dan pelaksanaan kebijakan perpajakan.
RUJUKAN 
Abdul Wahab, S.. 1997. Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta. Penerbit PT Bumi Aksara. 
Anderson, E. James. 1979. Public Policy Making. New York. Praeger Publisher. 
Boediono, B. 2003. Pelayanan Prima Perpajakan. Jakarta . Rineka Cipta 
Danandjaja, Andreas. 1986. Sistem Nilai Manajer Indonesia. Jakarta. IPPM dan Pustaka Binaman Pressindo.