Pohon Tua dan Roh Corona | Cerpen Sus Woyo

SUKIR, dgn busana gugus Covid-19 kecamatan, memasuki arena pertemuan. Lelaki dgn tubuh kekar itu menjadi pusat perhatian pengunjung siang itu. Sisiran rambutnya rapi, kumisnya tertutup masker yg ia pakai.

Seminggu yg kemudian Sukir memerintahkan menebang pohon tua di sudut balai desa. Mengingat, konferensi penting ihwal wabah corona kali ini akan didatangi camat & pejabat kecamatan yg lain, sehingga tempatnya mesti luas & aman dr banyak sekali hal. Termasuk pohon bau tanah di komplek balaidesa itu pula cukup berbahaya, terlebih bila ada angin besar. Sukir mengingatkan pada Kades Kasno, bahwa saat ini banyak kecelakaan gegara pohon tumbang. Maka pohon itu harus ditebang.

Kades Kasno menurut saja, mendapat kode dr pejabat kacamatan itu. Pohon sawo kecik di sudut halaman balai desa itu ditebang, walaupun harus terjadi sesuatu yg tak dikehendaki. Empat anak buahnya, yaitu kadus Dawin, sekdes Sarno, bendahara desa Mulyati & kasi pelayanan Darwad, kesurupan.

Sukir tak peduli dgn itu semua, apalagi tentang dongeng roh halus penunggu pohon renta yg baginya hanya takhayul. Sebagai seorang yg diberi tugas memimpin penanggulangan virus corona tingkat kecamatan, siang itu Sukir adalah orang yg paling berkuasa atas kebijakan apapun di wilayahnya terkait pandemi Covid-19.

“Kita jangan berhenti lawan corona,” suaranya lantang di atas panggung. “Sekalipun di bulan pahala, pembatasan acara masyarakat harus di kerjakan. Shalat Tarawih di masjid-masjid mesti menerapkan protokol kesehatan yg ketat.”

Peserta rapat gegap gempita, menyambut kesemangatan pimpinan tim gugus Covid-19 kecamatan tersebut. Sukir betul-betul menjadi primadona siang itu.

“Kita jangan berhenti, pemerintah sudah mengeluarkan dana banyak untuk melawan virus yg satu ini. Khusus kabupaten kita, lebih khusus lagi kecamatan & desa ini, jangan hingga masuk zona merah lagi!”

Suaranya makin menggelegar. Semua hadirin, yg terdiri dr para kepala desa, para ketua BPD, para ketua takmir masjid & tokoh kecamatan, terpukau dgn orasinya.

  Unsur Ekstrinsik Dalam Cerpen

“Tim gugus di masing-masing desa harus bekerja keras & serius. Ini bukan main-main. Pemerintah sudah tak kurang-kurang upayanya dlm melawan corona. Vaksin, yg didatangkan dr mancanegara & pastinya berbiaya besar, tak masalah untuk dibeli, demi untuk melawan corona.”

Tepuk tangan bergemuruh. Semua sungguh bergairah menyaksikan kesemangatan laki-laki itu.

“Dunia hancur gara-gara corona. Sektor ekonomi lumpuh, bidang kesehatan dibentuk sakit kepala, pendidikan luluh lantah oleh virus biadab ini. Kita wajib melawannya!”

Mendung yg menggantung sedari tadi tak bisa lagi menahan air. Hujan pun turun dgn lebat. Angin berhembus kencang. Seketika listrik mati. Suara Sukir tak terdengar lagi.

Sukir menghentikan orasinya. Ia masih bangkit di panggung. Orang-orang makin berantakan & tak tenang. Angin makin besar hingga tenda pun roboh. Orang-orang menjadi ketakutan, beberapa ibu menjerit keras menyaksikan tenda menimpa Sukir.

Angin & hujan terus mengguyur. Semua berlari menyelamatkan diri. Panitia sibuk menyelematkan Sukir. Sesekali kilat menyambar-nyambar. Cuaca memang sedang ekstrim di beberapa hari terakhir ini. Sukir tak kelihatan alasannya tenda roboh.

Tubuh Sukir tergeletak di salah satu ruang balai desa. Pelipis dahinya tergores luka & berdarah. Orang-orang kebingungan karena ia pingsan.

“Kamu orang berpendidikan, pejabat pemerintah lagi, jangan berbicara seenaknya di depan biasa .”

Suara itu tiba-tiba masuk ke indera pendengaran Sukir. Seorang laki-laki gagah mendatangi pejabat kecamatan itu.

“Memangnya ananda siapa? Seharusnya orang seperti ananda itu bicaranya santun, bijak & tak menyakiti sesama mahluk Tuhan!”

Lelaki itu menatap Sukir dgn mata melotot. Sukir gundah, selama ini belum pernah ada orang yg berani membantah apapun yg ia katakan terkait dgn Covid-19.

“Memangnya ananda makhluk paling suci? Tak punya salah di dunia ini? Sehingga seenaknya menyalah-nyalahkan terus mahluk lain?” Lelaki berbaju hijau itu terus memberondong dgn berbagai macam pertanyaan.

  Warung Padang Tetangga | Cerpen Ratna Ayu Budhiarti

“Kamu siapa?” tanya Sukir terbata.

“Bodoh kau!” jawab lelaki itu.

“Sungguh, gue tak paham dgn dirimu.”

“Kamu ingin tahu siapa aku?”

“Ya. Aku tak kenal kamu. Di kecamatan ini gue belum pernah melihat sosok seganteng dirimu.” Sukir mendesak ingin tahu. Namun lelaki itu makin melotot & tanpa senyum sedetikpun.

“Aku yaitu makhluk yg selama ini kau hujat, kau caci maki, kau salah-salahkan. Aku makhluk yg oleh ananda & insan lainnya dijadikan kambing hitam atas ketidak nyamanan dunia ini.”

Sukir melongo. Ia makin gemetar. Jawaban lelaki itu menambah Sukir makin gundah. “Kamukah corona itu?”

Sukir menjajal menebak.

“Ya, gue Corona. Salah apa saya, sehingga ananda setiap detik senantiasa menghujatku, menggunjingku, & memprovokasi semua orang untuk menuduhku dgn ribuan kesalahan?” lelaki itu menjawab tandas.

“Aku sama-sama makhluk Tuhan, kenapa ananda senantiasa memusuhiku? Tak sudikah ananda akrab denganku! Hentikan hujatanmu. Apa artinya puasa kalau mulutmu masih kotor begitu. Busuk kamu!”

Sukir makin menggigil.

“Kamu ingin gue lenyap dr dunia, memangnya ananda siapa? Aku bisa saja pergi, kalau majikanku yg menyuruh. Enak saja ananda menyuruh-nyuruh gue pergi dr dunia ini?”

Sukir terdiam.

“Setan kau salahkan, iblis kau jadikan biang kerok, & sekarang gue kau tuduh sebagai kambing hitam. Kemudian kebiadaban & keculasannmu selama ini kau sembunyikan dalam-dalam.”

Sukir cuma bisa melamun & menyimak , hingga pria yg mengaku bernama Corona itu lenyap.

*****

Sukir masih terbaring meskipun mulai sadar. Kini ia dipindah di ruang kepala desa. Pelipisnya berdarah terkena besi tenda yg roboh. Dengan tenaga yg masih lemas ia lucuti bajunya satu per satu. Beberapa orang yg masih menggunakan busana bertuliskan ‘Lawan Corona’, disuruh untuk berganti baju lain.

“Saudara-kerabat, hentikan menggunjing wacana corona. Berhentilah. Jangan salahkan ia terus.”

Tiba-tiba ia berlangsung ke depan balai desa. Sebuah baliho besar ia turunkan sendiri di tengah hujan deras. Beberapa petugas kesehatan & perangkat desa, gundah melihat tim Covid-19 kecamatan itu berulah.

  Negeri Papa | Cerpen Arman AZ

Orang-orang melongo menyaksikan perilakunya. Itu sungguh kontras dgn permulaan pidatonya yg berapi-api melawan corona. Kenapa sekarang ia mengajak akrab & berdampingan dgn Corona? Orang-orang galau. Sedang kerasukan mahluk apa ia?

Pak Camat segera menghampiri lelaki itu seraya merangkulnya.

“Pak Sukir, sadarlah. Baca istighfar, Pak.”

“Pak Camat, stop jangan musuh Corona….”

Pak Camat membisu. Ia melarang beberapa orang untuk merekam gerak-gerik Sukir dgn hapenya.

“Pak Camat, biarlah kami yg mengurusi pak Sukir,” kata Kades Kasno sembari mendekati Pak Camat. “Pak Camat duduk saja di ruangan saya. Biar ahlinya yg mengurusi Pak Sukir yg sedang kesurupan.”

Pak Camat berdiri. Ia mengikuti anjuran kades Kasno.

“Ini urusan kami, Pak Camat. Mungkin perundingan kami dgn makhluk penunggu pohon sawo kecik yg kami babat kemarin, belum selesai. Empat perangkat desa kami pula kesurupan sesudah pohon bau tanah itu ditebang.”

“Kasno, copot semua baliho yg bertuliskan “Lawan Corona”. Kamu jangan ikut-ikut manusia lain. Emangnya corona salah apa?” Sukir terus-menerus berteriak.

Kasno membisu. Ia tahu betul, orang kesurupan tak harus dilawan dgn kata-kata.

Tak lama kemudian seorang lelaki berpeci hitam, bersarung & menggunakan sandal jepit mendekati Sukir. Sukir melotot, tetapi tak bisa berbicara apa-apa di depan pria sepuh itu.

“Mangga Mbah Kiai Surip,” Kades Kasno menyambutnya.

“Buang semua atribut memaki corona,” Sukir menceracau lagi.

“Sudah, sudah, membisu!” suara Kiai Surip meninggi.

Tak usang kemudian Sukir tersadar. Sebotol air putih dr lelaki itu diminumnya. Ia nampak lelah. Darah dipelipis dahinya diseka. Sukir menatap ke seluruh ruangan.

“Kemana anggota tim gugus Covid kami, Kiai?”

“Mereka lari & pulang, mereka takut kerasukan roh corona.”

Sukir bingung. Ia cuma mendapati Pak Camat & Kades Kasno berbincang beberapa langkah darinya. Tapi entah apa yg mereka bicarakan. (*)