Pohon Keramat | Cerpen M Dawam Rahardjo


Oleh: M. Dawam Rahardjo


Desa Kalidoso yg terletak sepuluh kilometer dr jalan raya antara Solo & Purwodadi itu bagaikan sebuah oase yg cukup luas. Sekelilingnya adalah perbukitan kapur yg tandus, tetapi subur bagi pohon jati, sehingga desa itu dilingkari oleh hutan jati. Seperti oase, karena hanya desa itulah yg rimbun dgn berbagai flora tahunan, khususnya buah-buahan mirip mangga, jambu, nangka, belimbing, & paling banyak berkembang pohon melinjo yg menjadi materi baku kerajinan emping melinjo di tempat itu. Rumput pun mampu tumbuh di tempat itu sehingga penduduknya bisa memelihara sapi & kambing. Berbeda dgn desa-desa lain di sekitarnya, yg penduduknya beragama Islam santri, desa Kalidoso itu berpenduduk abangan & masih percaya pada adanya roh yg menghuni benda-benda. Namun, di antara penduduk desa ini terdapat pula pemeluk Islam yg taat, bahkan mampu dibilang fanatik. Walaupun demikian, tak sebuah masjid atau langgar pun sudah didirikan di desa yg terkebelakang pertumbuhan agamanya itu. Kaum santri Solo yg telah maju menyebut penduduk desa itu sebagai mengidap penyakit TBC, kependekan dr takhayul, bidah, & churafat.

Di desa itu terdapat pula sebuah kebun buah-buahan milik desa. Di pinggiran pohon-pohon itu tumbuh suatu pohon trembesi besar yg telah bau tanah, barangkali ratusan tahun umurnya & lantaran itu sangat rimbun. Saking besarnya, pohon itu diandalkan selaku menakutkan yg dihuni oleh roh-roh. Hanya saja tanah di bawah pohon itu sering kotor lantaran daun-daun yg gugur & lantaran itu setiap kali perlu dibersihkan. Di dekat pohon itu terdapat mata air yg jernih airnya sehingga dipakai oleh penduduk selaku air minum. Pemerintah desa sudah membuat suatu kolam sederhana yg memuat air itu & penduduk desa bebas mengambilnya. Bahkan, di dekat kolam air itu didirikan kamar mandi & kakus sederhana tak beratap, terbuat hanya dr anyaman batang bambu & kayu. Tetapi, para wanita suka mandi pribadi di dekat kolam itu dgn cuma mengenakan kain saja sehingga merupakan panorama menawan bagi lelaki. Pagi & sore selalu ramai dgn orang mandi. Biasanya wanita lebih permulaan mandinya tatkala pagi masih agak gelap. Baru agak siangnya datang para laki-laki untuk mandi.

Guna mempertahankan tempat mandi, cuci, & kakus, pak Lurah Samidjo menugaskan Partorejo, seorang yg berusia setengah baya. Untuk praktisnya, Pak Parto, demikian panggilan akrabnya, & keluarganya ditugasi pula menjaga kebun itu. Sebagai penjaga kebun, ia atas nama kepala desa melarang penduduk untuk memetik buah sendiri. Setiap simpulan trend buah dikerjakan panen. Buah-buahan hasil panen itu dijual & hasilnya masuk kas desa & dibelanjakan untuk memajukan kemakmuran seluruh penduduk desa.

Ketika telah berumur empat puluh tahunan, Parto melakukan aktivitas yg memanggil perhatian seluruh penduduk desa. Ia setiap malam melakukan semadi atau bertapa, dgn cara duduk bersimpuh di antara dua batu besar yg menonjol di bawah pohon itu, meskipun agak jauh dr batangnya. Pada waktu siang, setelah menilik & membersihkan kebun, yg dibantu oleh istrinya, Pak Parto melaksanakan praktik pijat. Rupanya ia pernah belajar pijat-memijat pada seorang tukang pijat populer di tempat hutan jati antara Purwodadi & Pati yg terkenal dgn aktivitas kebatinan & perdukunannya itu. Rupanya aktivitas pijat yg dikerjakan di atas tikar pandan di bawah pohon trembesi yg rindang sejuk & tenteram itu makin ramai. Istrinya ikut pula memijat. Banyak orang dgn aneka macam penyakit meminta terapi pada Parto. Mungkin untuk memberi sugesti pada langganan pijatnya, ia selalu menunjukkan sebotol kecil air yg diambil dr mata air itu sehabis diberi mantra olehnya. Inilah yg mengakibatkan maka Parto hasilnya disebut selaku dukun, & ia tak keberatan dgn sebutan magis itu. Tentu saja dgn menyampaikan bahwa air dr mata air itu berkhasiat tinggi, bukan sembarang air.

  Pekerjaan Gelap | Cerpen Khairul Anam

Namun dgn tak diketahui dr mana asal-usulnya, penduduk desa mulai memperlihatkan sesajen yg ditaruh di sekeliling pohon trembesi itu. Asal-usulnya mungkin dr kegiatan bertapa yg dilakukan oleh Pak Parto di bawah pohon itu & ucapan yg pernah terdengar dr mulut Parto bahwa pohon besar itu ada penjaganya yg disebut orang Jawa selaku Sing mBau Rekso, yakni Sang Penjaga. Penduduk desa harus ramah pada Sing mBau Rekso semoga desa itu diberkati, dgn menyediakan sesajen pada raja pohon di antara pohon-pohon di daerah itu. Parto sendiri sering mengajarkan pada penduduk desa supaya mereka memelihara pohon trembesi & pohon-pohon yg lain di desa itu. Pohon dianggap sebagai makhluk hidup pula & lantaran itu mereka harus berteman dgn sesama makhluk hidup.

Gejala itulah yg menggelisahkan batin seorang ustadz yg dipandang paling hebat agama di desa itu.

“Itu syirik. Dan syrik adalah dosa yg terbesar di hadapan Allah,” kata Kyai Fauzan Saleh.

“Tapi Kyai, orang-orang desa susah diberi tahu. Mereka percaya pada dukun Parto itu. Apalagi ia sering dianggap telah banyak menolong orang sakit dgn pijat & jampi-jampinya.”

“Kalau orang sakit itu perginya ke puskesmas, bukan ke dukun syirik,” kata Kyai Fauzan, orang yg memang diketahui punya wawasan luas.

“Di sini ’kan belum ada puskesmas pak Kyai. Tak mungkin desa ini mendapat proyek puskesmas sebelum penduduk di sini meninggalkan partai yg tak berkuasa & masuk partai yg berkuasa dikala ini.”

Desa di kawasan perbukitan kapur ini dulu memang diketahui sebagai basis PKI. Bahkan pada masa pemberontakan PKI-Madiun, penduduk di sini banyak yg terlibat dlm gerakan komunis & ikut dlm pembunuhan kaum santri & pejabat pemerintahan.

“Wah, bagaimana caranya memberantas takhayul, bidah, & khurafat di sini?” tanya Kyai Fauzan pada rekan bicaranya, yg dikenal kaya karena bekerja sebagai pemborong jalan & bangunan di kawasan-tempat lain yg banyak proyeknya. Pak Thohir, demikian nama pemborong itu, membisu termenung cukup lama tak menawarkan jawaban. Tapi kesannya ia keluar dgn sebuah usul.

“Cara memberantas TBC satu-satunya yaitu menebang pohon trembesi itu. Kalau tak ada pohon yg dianggap keramat, si Parto itu tak akan melanjutkan praktik perdukunannya,” kata Thohir dgn nada ketus.

“Tapi, apa alasannya menebang pohon itu? Kita akan melawan si Parto & pengikut-pengikutnya.”

“Begini Pak Kyai, saya kan kenal dgn Sekda & orang-orang DPRD dr partai yg berkuasa. Saya akan katakan pada mereka semoga penduduk desa mau mencoblos partai itu, rakyat mesti dibentuk simpati dulu,” kata Thohir menerangkan usulnya.

  Labirin | Cerpen Khoirul Prasetyo Utomo

“Bagaimana menarik simpati penduduk desa?” tanya Kyai Fauzan ingin tahu.

“Saya akan mengusulkan proyek terpadu pembangunan prasarana desa. Pertama, masjid. Kedua, MCK mengambil alih kolam yg kini. Di situ akan kita pasang pompa Sanyo menggantikan mata air. Kemudian jangan lupa puskesmas agar orang tak lagi datang ke dukun,” terang Thohir lebih lanjut.

“Lalu apa keterkaitannya dgn pohon itu?” tanya Kyai Fauzan kurang tahu.

“Pohon itu kita tebas ramai-ramai. Di atasnya persis kita dirikan masjid. Kemusyrikan & TBC kita ganti dgn tauhid yg semurni-murninya,” jawab Thohir menggunakan bahasa santri. 


Kyai Fauzan pun tersenyum mengangguk-angguk tanda baiklah dgn pemikiran cemerlang itu. “Jaal khaqqo wa zahaqol baatil. Innal Batila kaan zahuko,” kata Kyai Fauzon menirukan seruan kaum Muslim di Mekah tatkala menghancurlan berhala-berhala di sekitar Ka’bah, yg artinya “sudah tiba Kebenaran & bila datang Kebenaran maka hancurlah kebathilan”. Tapi Thohir masih memperbesar informasi: “Tapi masih ada peran kita semua kini ini.”

“Apa tugas itu?” tanya Kyai Fauzan lagi.

“Kita harus berdakwah untuk menyerukan penghancuran TBC dgn menumbangkan sumber TBC itu sendiri. Pohon trembesi terkutuk itu. Pak Kyai yg memimpin dakwah itu. Sedangkan saya mengusahakan proyek itu. Saya sendiri yg akan membangun prasarana desa itu?” kata Thohir penuh percaya diri.

Kesepakatan pun tercapai antara ulama & pemborong itu untuk melaksanakan proyek yg mulia itu. Keduanya pun melaksanakan tugasnya masing-masing. Keduanya pula gotong royong menemui Pak Lurah & kemudian Pak Camat mengutarakan usul mereka. Karena proyek itu menyangkut pembangunan desa & meliputi pembangunan fisik maupun rohani, maka dgn tak sukar kedua tokoh desa itu bisa diyakinkan.

Rencana itu pun terdengar oleh Parto & pengikut-pengikutnya. Mereka pun marah, namun susah menolak ide pembangunan yg telah disetujui oleh Pak Lurah & Pak Camat.

Parto berkata pada para pengikutnya, “Pohon kita itu ialah pohon keramat yg memberi berkah pada penduduk desa. Jika pohon itu ditebang, maka Sing mBau Rekso akan murka besar,” kata Parto keras selaku seorang yg dianggap suci karena pertapaannya & perannya selaku dukun yg terkenal sampai ke desa-desa lain itu.

“Bagaimana marahnya Pak?” tanya orang desa tak mengenali bagaimana caranya roh murka itu.

“Wah saya pula tak tahu. Tapi pokoknya penduduk desa ini akan ditimpa peristiwa. Tanah longsor mungkin gempa bumi, penyakit menular, atau kelaparan.”

Penduduk desa cukup panik mendengar peringatan Parto yg berapi-api itu.

Kyai Fauzan yg mendengar agresi penolakan itu menjawab, “Lagi-lagi takhayul. Justru TBC itulah yg bisa menyebabkan peristiwa lantaran menyimpang dr akidah. Dengan kembali pada yg benar, al ruju’ ilal haq, kita niscaya akan mendapatkan rahmat & pengampunan,” tangkis Kyai Fauzan. Dua pandangan itu tentu membuat penduduk kebingungan. Mana yg akan dibarengi? Tapi yg terperinci, mereka tak bisa berbuat apa-apa melawan rencana pemerintah desa yg disetujui oleh Pemerintah Kabupaten Sragen itu.

Maka hari yg ditunggu-tunggu pun tiba. Pemborong Thohir sukses memperoleh proyek pembangunan prasarana. Pada suatu hari Jumat, datanglah penduduk desa yg dibarengi dgn penduduk dr daerah lain, ramai-ramai menebang pohon trembesi raksasa itu sambil meneriakkan “Allahu Akbar”. Mereka merasa sudah menumbangkan kebatilan.

Dengan rubuhnya pohon itu & akar-akarnya pun dicabut & dibawa dgn suatu truk oleh pemborong. Pemborong Thohir pada gilirannya melaksanakan tugasnya, mula-mula membangun masjid, kemudian MCK, & gedung puskesmas. Masjid didirikan persis di atas tempat yg dahulu ditumbuhi pohon trembesi itu. Dalam tempo cuma enam bulan, seluruh bangunan itu selesai. Walaupun sebagian penduduk yg abangan protes, penduduk desa Kalidoso itu tak mampu berbuat apa-apa. Tapi kesedihan mereka seperti tersiram oleh air yg deras memencar dr pompa Sanyo.

  Tujuh Puluhan | Cerpen Yanusa Nugroho

Mula-mula keperluan air tiga bangunan itu tercukupi tanpa problem. Kemarahan Sing mBau Rekso yg dikatakan oleh Parto tak terbukti datang. Parto sendiri semoga tak murka tetap diberi tugas oleh Pak Lurah untuk mempertahankan tiga bangunan itu, utamanya bangunan masjid. Tugas itu pun dijalankan oleh Parto. Hanya saja ia berhenti bertapa & menjadi dukun. Kyai Fauzan mengajarinya sholat sehingga ia berubah menjadi santri yg taat sholat di masjid.

Setahun kemudian, timbul suatu tanda-tanda yg aneh. Air yg dinaikkan dgn pompa Sanyo itu tak mengalir lagi. Bak penampung air kosong & ketiga bangunan itu kekurangan air. Tapi yg lebih mengenaskan adalah bahwa penduduk desa tak lagi bisa menikmati mata air yg dulu pernah memancar dr bawah pohon keramat itu. Apakah itu tragedi yg dahulu pernah diingatkan oleh dukun Parto? Penduduk desa tak menghubungkan tanda-tanda baru itu dgn perayaan Partorejo. Bahkan hal itu pun pula tak terpikirkan oleh Parto sendiri.

Tidak saja air tak lagi mengalir, yg lebih mengherankan penduduk desa adalah tiga bangunan itu, khususnya masjid mulai retak-retak. Mungkin suatu hari masjid itu bisa runtuh karena di dekat MCK sudah terjadi tanah longsor karena air hujan yg cukup deras sudah tak ada yg menahan sehingga menyebabkan abrasi. Guna menahan kemarahan Sing mBau Rekso, penduduk tak lagi mampu menunjukkan sesajen pada pohon keramat yg sudah hilang dr paras bumi itu.

Beberapa orang desa datang pada Partorejo yg sudah jadi santri itu & bertanya:

“Pak, apakah ini semua tanda-tanda kemarahan Sing mBau Rekso?” tanya mereka betul-betul ingin tahu.

“Wah jangan tanya soal ini pada saya. Tanya saja pada Pak Kyai Fauzan,” jawab Parto. Maka mereka pun datang pada Kyai Fauzan

“Pak Kyai, bukankah masjid kita ini dibangun atas dasar taqwa?” tanya mereka.

“Ya betul, memangnya kenapa?” tanya balik sang kyai.

“Tapi kok masjid kita itu terak-retak & dalam waktu dekat bisa rubuh?” tanya mereka lebih lanjut.

“Waduh, bangunan rubuh bukan soal agama,” jawab Kyai Fauzan. “Tanya saja pada Pak Thohir yg membangun semua ini. Mungkin semennya dikurangi atau pondasinya kurang berpengaruh.” Tatkala pada gilirannya penduduk menanyakan hal itu pada Thohir, pemborong itu merasa tersinggung.

“Lho kok malah saya yg dituduh korupsi. Tanya saja pada pak insinyur, apakah ia meminimalisir jatah semennya?” Tapi insinyur yg dimaksud tinggal di kota sehingga pertanyaan itu dijawab sendiri oleh pemborong Thohir seakan-akan mewakili insinyur dimaksud.

“Jangan menuduh atau mencibir saya tak becus membangun ya. Mungkin saja roh-roh jahat sudah menyabot bangunan saya,” jawabnya sambil tertawa keras. Penduduk hanya termenung saja mendengar jawaban-jawaban yg mereka terima.

Jakarta, 13 Februari 2005