Bapak selalu bilang. Tak ada yg lebih berharga di dunia ini kecuali detik yg baru saja lewat. Sebab kita tak akan bisa kembali ke waktu itu lagi. Jangan sia-siakan sebelum derap waktu terus menjinjing tubuh kita menjauh meninggalkan sesuatu yg disebut dgn masa kemudian. Pada risikonya semua hanya akan menyisakan sesal yg tak berkesudahan seperti yg dialami dirinya. Menangisi sesuatu yg muskil kembali.
Kurang lebih begitu kata-kata yg sering terlontar dr ekspresi bapak tatkala gue & dirinya bermain catur di beranda rumah. Lesung pipitnya mulai samar, alasannya dilahap usia perlahan kesengsem ke belakang tatkala gue mengamati setiap kata-kata yg ia ucapkan. Sering kali buah catur yg tersusun rapi di atas papan caturnya, cuma menjadi penonton. Itu, tatkala gue mulai larut dgn semua ceramah yg diberikan bapak. Bukan sekedar ceramah. Aku lebih suka menyebutnya sebagai pelajaran hidup.
“Aku kalah,” lenguhku pelan tatkala tatapanku jatuh ke pion-pion catur itu.
“Berpikir! Setiap perkara senantiasa punya jalan ke luar,” sergah bapak. Sambil ia menyulut rokok tembakaunya untuk yg ke sekian kali.
“Aku tak akan menang jikalau bermain catur melawan Bapak.”
“Hahah…” barisan gigi bapak yg mulai menguning terang terlihat, “sebelum kamu belajar bagaimana untuk menang, kau harus belajar bagaimana caranya untuk berguru.”
Suasana senyap. Dahan-dahan pohon kelapa yg saling bersinggungan di seberang rumah merambat perlahan dlm pendengaran.
Lipatan-lipatan di keningku semakin tebal. Seisi kepalaku mencoba mencerna setiap kata-kata yg terlontar dr ekspresi bapak. Selalu saja gagal. Aku cuma bisa menggelengkan kepalaku kemudian menunduk.
“Langkah. Dalam bermain catur kamu mesti amati langkahmu. Setiap langkah besar selalu berawal dr langkah kecil yg hati-hati. Begitu pula dgn hidup.”
Aku mengangguk tanda memahami, “Tapi gue tetap saja telah kalah,” kedua alis mataku nyaris berjumpa tatkala menyaksikan wajah Bapak.
“Maka kau mesti mulai dr awal. Kembali ke langkah sebelumnya & jangan melaksanakan kesalahan. Bukan mirip hidup, catur cuma sebuah permainan. Selalu menawarkan peluang kedua bagi mereka yg salah mengambil langkah.”
Ketika gue bermain catur dgn bapak, begitu banyak nasihat-nasihat kecil yg selalu ia berikan untukku. Perlahan gue mulai mengetahui, kalau nasihat-pesan tersirat itu bukan sekadar untuk membimbingku mengalahkannya setiap kali kami bermain catur.
Lebih pada suatu pelajaran hidup, bekal yg bakal kusimpan guna menghadapi segala duduk perkara hidup di kemudian hari. Mulai ketika itu, gue kian gemar bermain catur dgn bapak. Berulang-ulang gue kalah, namun berkali-kali pula gue menjajal kembali dlm permainan. Memperbaiki kesalahan untuk meraih kemenangan.
Semua senantiasa bermula dr setiap kepulangan bapak tatkala senja mulai matang di atas atap rumah. Bulir-bulir keringat yg masih mengalir pelan di pelipisnya yakni lezat dr Tuhan. Lantas gue sesegera mungkin membawakannya segelas teh elok panas.
Kemudian sebuah papan catur kuletak di atas resbang yg berada di beranda rumah. Sebelum bermain catur gue senantiasa memijiti punggung bapak. Kata bapak pijitanku lezat. Aku paham, sebagai seorang penarik becak, tubuh bapak niscaya lebih sering keletihan. Mengejar setoran mulai dr pagi hingga sore. Menggeluti suatu pekerjaan yg sama sekali tak pernah diinginkannya. Aku mengetahui semua itu dr kisah bapak selama ini.
Bapak sering menceritakan kehidupan masa kecilnya di sela-sela kami bermain catur & nasihat-pesan yang tersirat kecil yg ia lontarkan. Bapak bercerita, ia terlahir dr keluarga yg sangat sederhana.
Kakek hanya seorang buruh tani yg sesekali dibantui nenek. Kehidupan mereka serba kehabisan namun senang. Bapak sudah terbiasa makan nasi aking dgn lauk kepala ikan asin. Jika ada suplemen tumis kangkung & sambal belacan. Itu telah menjadi makanan paling enak bagi bapak & keluarganya ketika itu.
Kalau sudah sore, bapak bakal menyusuri pematang sawah. ia memunguti beberapa dahan pohon kelapa yg mengering di tanah lalu dirakit menjadi sebuah pesawat melayang sederhana. Bapak bermain di sana sepuasnya hingga maghrib tiba.
Bermula dr situ bapak selalu berandai-andai. Kalau dirinya seorang pilot yg menjinjing pesawat terbang melintasi pulau, benua & samudera. Membawa kakek & nenek ke tempat paling jauh meninggalkan gubuk mereka yg hampir rubuh. Bapak mempunyai impian menjadi seorang pilot.
Semua cita-cita bapak terpaksa sirna. Sebab ia tahu betul bagaimana keadaan keluarganya dikala itu. Jangankan untuk membiayai bapak di sekolah penerbangan. Untuk menghidangkan sepiring nasi di balik tudung saji saja, kakek harus luntang-lantung di sawah milik warga. Sebab itu bapak bertekat untuk mencampakkan jauh-jauh semua khayalannya yg sekarang membawanya jatuh ke palung penyesalan paling dalam.
“Menurutmu siapa yg paling jago di antara semua buah catur ini?” Mulut bapak terus mengeluarkan kepulan asap dr rokok tembakau yg terselip di antara jari manis & jari kelingkingnya.
“Menteri,” gue coba menjawab.
“Kenapa?”
“Dia bebas mau pergi ke mana pun, langkahnya tak terbatas.”
“Justru itu kelemahannya.”
“Makara?”
“Benteng! Sebab benteng mampu melindungi raja tatkala situasi sedang sukar. Menyembunyikannya di sudut papan catur, jauh dr segala bahaya. Dalam hidup, raja yakni keluarga, sementara kau mesti bisa menjadi mirip benteng itu. Perhatikan langkahmu kemudian menjadi orang ahli supaya kau bisa melindungi keluargamu,” tatar bapak dikala itu.
Aku senantiasa terpana bila bapak sudah bicara seperti itu. Aku semakin meyakini kalau semua kata-kata yg terlontar dr verbal bapak ialah sebuah pelajaran hidup.
Dia selalu menggambarkan hidup melalui buah-buah catur seturut papannya. Dunia ini mirip papan catur. Terdiri dr sisi gelap & terang. Manusia adalah buah-buah catur yg harus memperhatikan langkah biar tak terjerumus, kata bapak setiap kali kami selesai bermain catur.
Garis bibirku melebar. Aku makin menerawang jauh. Saat ini, semua kenanganku bareng bapak terus berseliweran dlm kepalaku. Aku merindukan bapak. Aku rindu memijit punggung bapak. Aku rindu membawakannya segelas teh manis panas selepas pulang dr mempesona becak. Aku rindu mencium aroma kepulan asap rokok tembakau yg berhamburan dr dlm mulut bapak. Aku rindu mendengar semua pesan yang tersirat-pesan yang tersirat bapak. Aku rindu bermain catur dgn bapak. Aku merindukan semua perihal bapak semenjak lima tahun kemudian.
“Aku berjanji akan jadi mirip benteng biar bisa melindungi keluarga, yaitu Bapak.”
“Tidak. Bapak bukan raja. Bapak hanya sebuah pion kecil, terseok-seok menghindari bahaya. Perlahan melangkahi kotak demi kotak untuk sampai ke kotak terakhir lalu menjelma menjadi benteng, yaitu kau.”
Perkataan bapak masih lekat dlm kepalaku. Saat itu tatkala gue & bapak bermain catur untuk yg terakhir kali sebelum gue berangkat ke asrama di Ibu Kota.
Aku telah belajar banyak hal dr bapak. Bahkan sampai kini semua perkataannya masih kuingat dgn terperinci. Tak ada yg bisa kuberikan untuk bapak dikala ini, selain menerapkan semua pesan tersirat-pesan tersirat kecil darinya. Aku senantiasa mendatangi makamnya dgn menggunakan seragam pilot yg beberapa tahun lalu kuterima dr salah satu maskapai penerbangan terkemuka di tanah air.