Peta Konflik : Kekejian Orang Batak – Ketionghoaan Seksualitas Politik Agama (Air Kudus)

Kehidupan dari dosa asal nenek moyang menjadi awal dari kehidupan budaya dan agama di Kalimantan Barat. Hidup dengan kepentingan ekonomi makan orang (Batak – Jawa) dimulai dari asimilasi budaya, dan kebrutalan hidup dan perlawanan mereka kepada agama Katolik dan Islam di Pontianak berasal, dan ketidaktaatnnya.

Hal ini dimulai dari orang Tionghoa (Budha – Konghucu), dan jual beli yang dibentuk di Indonesia dengan adanya dosa asal nenek moyang mereka sampai kesehatan yang terjadi. 

Hukum di Pontianak Tionghoa Lai, tidak dapat berkata apapun berdasarkan keimanan taat sebagai warga Negara Indonesia, bersungguh-sungguh gereja dan ibadah rumah tetapi karakteristik dan prilaku tidak cocok iktikad (Tokoh agama, KAP).

Hidup makan orang, yang menciptakan malu di penduduk dimulai dari penduduk akhlak Dayak di Pontianak tentunya tidak mengenakan, terlebih dengan metode ekonomi politik di kasihani (Jakarta) baik itu persekolahan, perkantoran dan pendidikan di Pontianak,  Indonesia menerangkan dengan apik.

Tinggal dan hidup pada kelas sosial rendah, dan Lai (notaris) dengan ketaatan kepercayaan telah (menjadi sindiran bagi akidah kalangan tersebut), dengan hidup suku makan orang dalam suatu perkampungan, dan memberhalakan Tuhan. 

Telah menjadi bagian dalam setiap kehidupan mereka sebagai orang Batak (makan orang) – Tionghoa Pontianak. Guna bertahan hidup di kitab suci, secara kolektif menyerang 2019 – 2022, sebelumnya tidak mirip demikian.

Tangan kotor orang Batak  – Jawa – Dayak – Tionghoa, utamanya di birokrasi, pastinya menjadi catatan permulaan dari eksistensi mereka di penduduk dengan kelas sosial rendah, di Kota Baru (gereja) – Keluarga Kudus, dan MRPD Pancasila dan KA. Jakarta yang numpang hidup sebelumnya di masyarakat secara menyeluruh  1930an – 1970an.

  Faktor Yang Perlu Dipertimbangkan Dalam Menentukan Besarnya Skala Peta Yaitu

Orang Batak yang hidup selaku preman dan Tionghoa Lai (perbatasan), untuk menjadi catatan keberadaan para suku ini di Pontianak dan gereja Katedral, tidak memiliki budaya aib di penduduk , dan Negara. Pelajari cara betahan hidup sangat mempesona yaitu dengan satu sekolah, kampus, dan gereja sederhana kebiadaban orang tersebut di Indonesia.

Hidup selaku (makan orang) – pada agama Budha – Konghucu sebelumnya terhadap kebudayaan nenek moyang mereka berasal sebelumnya di Sumatera, menjadi baik terhadap wawasan dan pendalaman iman sebagai orang tidaktaatan pada agama, dalam suatu perkampungan Kapuas hulu, menjadi rencana jahat atas berbagai kesalahan dibuat era kemudian pada tahun 1930an – 1990an tidak mengherankan.

Tidak perlu menjadi baik, namun alasannya adalah kehidupan sosial ekonomi dan politik berasal dari kehidupan mereka, karena tidak menjadi apa – apa, cuma petugas partai Politik PDI Perjuangan, Kelas pekerja, petani, pengajar (numpang hidup) KA. Pontianak, medis rendahan di Pontianak (birokrasi) 1990an – 2008.

Peta mata pencaharian selaku materi ejekan bagi pekerjaan mereka, dan andal tanah rumah tangga sangat tidak menyenagkan, Pengusaha namun upah rendah diberbagai kawasan salah satunya Pontianak, dengan pendidikan rendahan, dan kriminalitas (bong – jan genetika) dari pertentangan dibentuk dan  ketidakjujuran melakukan pekerjaan (Batak) mempunyai pengaruh kepada keyakinan mengereja.

Hasil asimilasi budaya dan agama guna bertahan hidup tampak pada kehidupan permulaan, dan kelas sosial mereka dalam sistem gereja, atau kawasan duduk mampu menjadi catatan bagi mereka yang memiliki kepentingan, atau cuma penggangu. 

Selama covid 19 – Krisis ekonomi 1999 di Pontianak, Indonesia hasil dari utang ekonomi RI selama hidup mengereja, dan budaya, guna dikasihani (tidak pendidikan tinggi), bila iya cuma dengan cara curang atau tidak seperti bangsa miskin dan sukunya sebelum 1930an.

  Puisi mengenang masa lalu

Siapa yang akan menggangu gunung kudus dalam suatu gereja, harus menjadi hukuman bagi mereka yang melakukan perlawanan kepada upaya kebijakan gereja, mirip tidak adanya air kudus di gereja MRPD Pancasila, dan KA. Pontianak. 

Untuk mampu menjadi permulaan kehidupan sosial budaya dan agama di Pontianak, itu adalah suatu perayaan kepada resistensi dan eksistensi mereka disini. Apalagi bila kejahatan yang dilakukan dan penegakan hukum diganti dengan uang. Tidak terkecuali pada konsumsi makanan, seperti pasar dan yang lain, khususnya kaum laki – laki (rumah tangga).