Kodrat ingin menyampaikan semuanya pada presiden bahwa pabrik semen yg diresmikan di lembah Gunung Bokong merusak alam di tempat kapur itu, mematikan mata air, & menghancurkan bumi tempat mereka bertani. Ia, mewakili kehendak warga, memberikan pesan biar pabrik semen itu secepatnya ditutup.
Sungguh asing, di terik trotoar ibu kota, Kodrat & orang-orang itu memainkan tari, musik rebana, bershalawat & berzikir, sebagaimana mereka lakukan di masjid desa. Tinggal menanti Kiai Bisri, yg bersedia hadir di tengah-tengah mereka, menyusul dgn pesawat terbang, hendak membacakan doa keamanan bagi orang-orang lembah Gunung Bokong. Matahari nyaris meraih puncak, Kiai Bisri belum timbul di tengah mereka. Padahal sore nanti ia & warga lembah Gunung Bokong bakal meninggalkan trotoar di luar pagar istana negara ini.
Pada pentashari pertama, Kodrat & sembilan warga lembah Gunung Bokong bermain kuda lumping, dgn seperangkat gamelan & gendang yg dibawa dgn truk dr desa. Pergelaran yg sunyi. Tanpa penonton. Tak ada gejala presiden bakal menghampiri mereka. Malam harinya mereka bermalam di rumah Pak Jo, warga lembah Gunung Bokong yg merantau menjadi sopir angkot di ibu kota. Mereka tidur berjejalan di rumah yg sempit.
Sesekali Kodrat menghibur hati sobat-temannya, yg merindukan pulang kembali ke lembah Gunung Bokong, teringat akan rumah yg luas, ladang & sapi-sapi piaraan mereka. Teman-teman yg lain teringat akan istri, lantaran mereka gres saja menikah. Yang lain lagi teringat akan anak yg lagi lucu-lucunya berguru bicara, berjalan tertatih-tatih.
Kodrat khawatir berharap Kiai Bisri secepatnya menyusul ke istana negara, merestui pergelaran mereka. Kehadiran Kiai Bisri diharap akan memanggil presiden untuk turun dr istana negara, & mengajukan pertanyaan, “Apa yg Saudara tuntut dariku?”
MALAM itu Kodrat hadir di pesantren Kiai Bisri, dgn muka ditekuk, memohon biar kiai berkenan hadir merestui pentasKodrat dkk. di luar pagar istana negara. Malam yg senyap di pesantren, Kiai Bisri mengobrol di antara para santri & tamunya. Aroma kopi, asap rokok, meruap dlm percakapan di pendapa. Kodrat memasuki pintu, langkahnya bimbang, menyalami Kiai Bisri, & memohon, “Kami berharap Kiai mendampingi pentaskami di trotoar depan istana negara. Meski cuma sesaat, saya mohon Kiai berkenan menunggui pertunjukan kami. Biar presiden menemui kami.”
Tertegun, Kiai Bisri masih memikirkan. Tampak ia tidak yakin, & tak secepatnya memberi keputusan. Apa ini maknanya? Pertunjukan tari di luar pagar istana negara? Ia tak yakin benar presiden berkenan menemui mereka.
“Kami menolak pendirian pabrik semen di lembah Gunung Bokong, berada di wilayah desa kami,” kata Kodrat.
“Dan, yg mampu menghentikan pendirian pabrik itu cuma presiden. Saya & teman-sobat akan menyelenggarakan pertunjukan selama tujuh hari, hingga presiden berkenan timbul dr istana, menemui kami.”
Kiai Bisri masih merenung, mempertimbangkan. Hari itu ia memang tak terikat untuk dakwah ke kota yg jauh. Mestinya ia bisa menghadiri pentasKodrat pada hari ketujuh. Tetapi haruskah gue mendampingi pertunjukan Kodrat, meski hanya untuk sesaat, supaya presiden berkenan bertemu mereka?
Kiai Bisri memandangi Kodrat, seperti ingin mencari kepastian pada wajah yg sarat harap. Wajah yg memohon. Kiai Bisri masih memikirkan. Belum menawarkan kepastian. Tetapi yg membuat Kodrat lega, wajah Kiai Bisri terlihat bercahaya. Rambutnya yg memutih bukannya menyurutkan cahaya parasnya. Malah menambah takjub orang-orang yg memandanginya.
“Apa pun keputusan Kiai, itu berkah bagi kami,” kata Kodrat, dgn wajah yg memohon. “Kami berharap restu Kiai.”
Kodrat tak berani memaksa Kiai Bisri untuk hadir dlm pentasdi trotoar luar pagar istana negara. Ia merasa tak berhak memaksa Kiai Bisri. Ia mesti tahu diri. Tetapi sungguh asing, Kiai Bisri tampak sangsi. Mungkin tak kuasa menolak.
Terjadilah suatu suasana yg tak terduga. Nyai Bisri muncul di pendapa, memandangi santri & tamu-tamunya. Saat menatap Kodrat, Nyai Bisri tersenyum. Tak memandang lagi tamu yg lain. Mengangguk-angguk, mirip bisa membaca fikiran Kodrat, tersenyum—lembut, & sarat pengertian. Nyai Bisri mendengarkan semua pembicaraan & hasrat Kodrat.
“Berangkatlah! Abah niscaya menyusulmu pada pertunjukan hari ketujuh!” kata Nyai Bisri, mirip sudah memutuskan kedatangan suaminya. Kiai Bisri terlihat terkejut. Tetapi lelaki bijak itu segera meredakan gejolak perasaannya. Ia tersenyum. Mengangguk-angguk.
Kodrat merasakan suasana yg tak lazim: Nyai Bisri berkenan menemui tamu, & memberikan keputusan, tanpa usulansuami. Kodrat tak pernah bisa menerka, apa yg dipikirkan Kiai Bisri. Tatkala ia berpamitan pada Kiai Bisri, langkahnya terasa berat: ia terus-menerus menafsir kehendak Nyai Bisri, & tak pernah memahaminya.
TRUK kolam terbuka itu penuh dgn perangkat gamelan, lesung, busana tari, barongan, pelan-pelan meninggalkan lembah. Sembilan laki-laki muda dgn wajah bersemangat & jenaka bersama Kodrat, berangkat menuju ibu kota negara dlm perjalanan dua belas jam, mungkin lebih.
Kabut pagi masih rapat di dedaunan jati, mereka meninggalkan desa. Deru truk yg menenteng mereka ke ibu kota mengalahkan lenguh sapi & kepulan asap melenyapkan anyir kotoran sapi yg bercecer-cecer sepanjang jalan.
Truk tergoncang-goncang melewati jalanan rusak desa lembah Gunung Bokong yg diteduhi hutan jati. Kodrat duduk di sisi sopir, memendam gusar, dgn berkali-kali menyalakan rokok & menghirupnya dalam-dalam. Berkali-kali ia berpapasan dgn truktruk tronton, menenteng alat-alat berat, yg dimuat ke pabrik semen. Truk-truk perkasa itu dikemudikan sopir yg tak peduli dgn siapa pun di atas tanah kapur. Truk-truk melintas selalu menyisakan kepulan debu keputihan.
Melintasi jalan raya yg tengah dibenahi, anak buah Lurah Ngarso –yang sungguh mendukung pendirian pabrik semen—menyoraki mereka dgn ajakan bergairah & caci-maki. Kodrat menahan diri. Tak membalas cemoohan mereka yg tengah mengontrol mobil-kendaraan beroda empat yg lalu-lalang.
“Biar kuhajar mulut mereka!” kata sopir truk, yg bertubuh kekar & gesit. Kodrat tersenyum, meredakan kemarahan sopir truk. Di tepi jalan semakin banyak diresmikan warung makan yg mendapatkan para pekerja proyek pabrik semen—dan mereka mencemooh truk yg ditumpangi Kodrat berangkat ke ibu kota.
HARI pertama pertunjukan di luar pagar istana negara ialah tari kuda lumping. Penari & penabuh gamelan sudah menginap semalam di rumah Pak Jo, terlihat segar & bertenaga. Kota begitu bising, mereka tak peduli dgn segala hingar bingar, terik matahari, udara kotor berdebu, & kesibukannya. Di luar pagar istana negara, mereka mementaskan tari kuda lumping, tanpa seorang pun memerhatikan mereka, terlebih menonton.
Menjelang sore mereka menghentikan pertunjukan. Wajah mereka hangus cahaya matahari & debu.
Pada hari kedua digelar tari barongan dgn delapan orang. Seorang sobat meninggalkan ibu kota. Kembali pulang ke lembah Gunung Bokong. Hari ketiga mereka memainkan musik lesung dgn alu. Seorang laki-laki muda menyusul pulang. Tinggal bertujuh. Hari keempat diperagakan tari topeng hitam. Tinggal enam orang. Hari kelima rebana. Tinggal lima orang.
Hari keenam pergelaran tari sufi . Empat orang masih setia pada Kodrat. Mereka menari berputar berlawanan dgn arah jarum jam. Hari ketujuh mereka berzikir. Tinggal tiga orang yg setia pada Kodrat. Zikir yg sungguh sunyi. Kodrat berharap Kiai Bisri menyusulnya. Memberi restu. Menaunginya dgn doa.
SEHARI sebelum Kiai Bisri berangkat ke ibu kota, istrinya terbaring di rumah sakit. Kiai Bisri tak pernah beranjak meninggalkan istrinya, yg sesak napas, dgn oksigen menyungkup puncak hidung & mulutnya. Tak pernah lepas zikir dr rekah bibir Kiai Bisri.
Menjelang subuh, Nyai Bisri bernapas lega. Wajahnya cerah, oksigen dilepas, & memandangi wajah suaminya. Kiai Bisri tersenyum.
“Kau berjanji mau mendukung Kodrat hari ini,” kata Nyai Bisri pada suaminya.
“Tapi gue tak mungkin meninggalkanmu dlm kondisi begini.”
“Aku baik-baik saja. Ada anak-anak yg selalu mendampingiku,” kata Nyai Bisri meyakinkan.
“Bukankah tiket pesawat berangkat & pulang sudah kau beli?”
Tertunduk, membisu, memikirkan, Kiai Bisri tak segera beranjak. “Kalau kamu sembuh, tentu sepulangku dr ibu kota akan kau masak sayur lodeh kesukaanku.”
“Ya, akan kumasak sayur lodeh, sambal terasi, & goreng ikan teri,” suara Nyai Bisri bening.
Kiai Bisri berpamitan. Nyai mencium tangan lelaki yg empat puluh lima tahun mendampingi hidupnya. Langkah Kiai Bisri ragu. Tetapi ia tidak mau menoleh ke arah istrinya yg masih terbaring lunglai. Tak berani melihat tipis senyumnya. Ia mengikuti kehendak wanita yg telah berkenan melahirkan tujuh anak hingga mempunyai tiga belas cucu.
MENJELANG siang matahari terik di trotoar luar pagar istana negara. Tetapi suasana alangkah teduh. Kiai Bisri turun dr taksi, bersorban & berjubah putih. Wajahnya teduh bercahaya. Orang-orang lembah Gunung Bokong yg sekarang tersisa empat orang bareng Kodrat, masih bertahan menggelar zikir. Mulut mereka sudah kering, haus, & matahari menyengat di ubun-ubun.
Kedatangan Kiai Bisri mengagetkan Kodrat. Duduk di tikar yg digelar di bawah rimbun pohon tanjung, Kiai Bisri turut berzikir. Zikir dr bibir kering, dgn lelehan setipis lilin terbakar dr sudut-sudut mata mereka. Zikir yg membebaskan rasa sesak di dada. Seorang ajun presiden bergegas menemui Kiai Bisri.
“Kiai dimohon menghadap presiden.”
Kiai Bisri bangkit secara perlahan-lahan, memeluk Kodrat. Keduanya masih berzikir, melangkah pasti, memasuki istana negara. Ajudan presiden mengiringi langkah mereka.
MENINGGALKAN ruang kerja presiden, telepon genggam Kiai Bisri berdering. Lelaki tua itu gugup, menerima telepon, menahan perasaan kehilangan, tatkala kemudian ia membisik, “Aku mesti secepatnya pulang. Telah kusiapkan tiket perawat sore ini.”
Alangkah senyap. Tubuh Kodrat bergetar. Tentu ini gosip wacana Nyai Bisri, yg sudah meminta kiai untuk menemui Kodrat di depan istana negara.
Kodrat & empat orang lembah Gunung Bokong yg setia, meneruskan zikir mereka di atas truk terbuka. Terus berzikir dgn badan terguncang-guncang selama lebih dua belas jam perjalanan dr ibu kota menuju lembah Gunug Bokong. Tidak. Mereka tak pulang ke sana. Menjelang dini hari mereka singgah di pesantren Kiai Bisri. Terus berzikir di depan mayat Nyai Bisri. Zikir yg lirih & jernih. Zikir yg tak merintih.