Kehidupan para sampah (perkampungan) di penduduk suku Batak, dan hidup pada tembok agama Nasrani guna bertahan hidup di Pontianak, dan Perbatasan sesuai dengan perlawanan mereka terhadap metode binatang yang diterapkan oleh nenek moyangnya sendiri di Jakarta dan Pontianak.
Kehidupan sosial kepada ketidakmampuan orang renta dalam membiayai pendidikan anak – anaknya, maka mampu dipahami dengan adanya moralitas dan rendahnya ekonomi di masyarakat, sesuai dengan sampah di hasilkan di kota Pontianak.
Tionghoa Budha – Nasrani Pontianak, Lai (di Malaysia – Pontianak), untuk menyadari sistem ekonomi politik, dan media yang digunakan dalam budaya masyarakat mereka di perbatasan (kristiani) sebagai perusak akan tampak dengan kebualan mereka hidup selaku orang biasa, dan pekerja rendahan, baik sebagai usikan.
Hal ini menjadi catatan terhadap keberadaan mereka di Pontianak, terhadap pembangunan birokrasi Golkar dan PDI Perjuangan, guna mengali lubangnya sendiri, dan perlawanan mereka kepada ekonomi politik di Pontianak 1980an.
Perlindungan terhadap budaya makan orang pada era kolonial Belanda, untuk menjadi catatan terhadap keyakinan kristiani mereka selama di Pontianak, selaku kebiadaban mereka selaku orang lokal di Indonesia, yang bukan siapa – siapa, Sihombing, Silaban – Marpaung (sampah di masyarakat, dan makan orang).
Pekerjaan biologis hanya tukang ngentot dalam Bahasa medis, ialah persepsi permulaan kepada negative para suku itu hidup di masyarakat, dengan metode pendidikan yang rendah sampai ketika ini, selama berkehidupan sebagai sampah di Pontianak – Perbatasan.
Hal ini menjelaskan bagaimana bantuan mereka selama di Pontianak, yang hanya numpang hidup pada sistem ekonomi masyarakat perkotaan, melalui perangkat Desa dan kota. Yang menyatakan berbagai hal terkait moralitas dan budbahasa orang tua mereka di Pontianak, baik itu sebagai pendidik, dan ibu rumah tangga (atau preman dapur).
Orang yang tidak taat pada Tuhan dan kehidupan sosial, alasannya sebelumnya beragama Islam – Protestan (Marpaung), selaku permulaan kehidupan sampah mereka tercatat di HKBP Pontianak – Jakarta. Hal ini berpengaruh pada tidak adanya moralitas dan adab para suku, sesuai dengan pekerjaan yang cocok dengan moralitas orang tua mereka bangun pada sumber daya insan.
Yang numpang hidup di persekolahan gembala Baik, K. Agung Pontianak, Birokrasi, dan Politik identitas, serta penggunaan teknologi dan angkutanyang sampai saat ini dipakai pada kepentingan ekonomi budaya.
Catatan awal dari kehidupan pribumi utamanya para suku atau Orang Protestan – Islam, sesuai dengan keburukan kehidupan sosial budaya mereka di penduduk , Tionghoa pada pembangunan ekonomi perkotaan dan politik Batak – Dayak pada kala Orde Baru, RT 003 di Pontianak, menjadi catatan kehidupan sosial disini.
Berani untuk menjalin cinta terhadap cinta dalam kehidupan seksualitas, spritualitas kepada kedudukan orang bau tanah mereka yang rendah di penduduk , tampak pada sosial budaya.
Pembentukan kota Pontianak selaku orang Tionghoa – Dayak pada sebuah perkampungan (memaksa tanpa mempunyai moralitas dan adat dalam kedudukan di penduduk secara biasa ) telah ditemui, sebab sebelumnya ketidakmampuan ekonomi atau sebaliknya, malas melakukan pekerjaan .