Pergi Dari Tanah Sendiri | Cerpen Achmad Al Hafidz

SUDAH berhari-hari desa terendam banjir. Kurang lebih beberapa tahun belakang banjir sudah bisa setinggi lutut, padahal luar rumah sudah ditinggikan sejengkal dgn keramik. Cuaca yg tak terang seperti hujan sebentar saja sudah bisa menenggelamkan sawah. Saat kemarau, sumur bisa surut tak bersisa.

Beberapa tahun belakang rumah Bapak sudah seperti paranormal saja. Tiap tahun ada saja orang yg berkunjung. Ada yg menjinjing beras, kopi, & gula. Namun malam itu ada beberapa orang tiba menjinjing kamera, tiba-tiba saja mereka bertanya ihwal perihal mempertahankan kelestarian alam, air, & hutan di desa.

“Bu, perjuangan kita sekarang tak sia-sia.” Bapak terlihat semangat.

“Memang kenapa, Pak?”

“Ada beberapa penggerak lingkungan yg datang mau memviralkan apa yg telah terjadi di desa kita.”

“Tapi Ibu kok cemas. Takut terjadi sesuatu, terlebih dgn video justru nanti muka Bapak terlihat terperinci & dapat dilihat semua orang.”

“Ndak usah cemas, Bu.”

Lalu Ibu dgn senyumnya setiap malam mengajariku untuk membaca huruf ke aksara, sampai kata demi kata. Ibu tidak mau anaknya sekolah di pendidikan formal.

“Mak, gue ingin pakai seragam kayak anak-anak yg kita lihat ketika tilik Mbah ke tempat tinggal sakit.”

“Ndak perlu, Nak, belajar dgn Mak saja, kayak adik-adikmu. Di sekolah formal nggak diajarkan yg namanya sopan-santun. Di rumah sudah mengetahui kan apa saja yg Mak ajarkan padamu?”

“Nggih, Mak,” jawabku.

Saat malam sudah larut, Mak akan menyuruhku & adik-adikku untuk segera tidur, sesudah mengambil wudhu. Kadang-kadang Ibu pula tak lupa untuk mengingatkan kami untuk sembayang. Mak selalu mengajarkan disiplin waktu, kapan bermain & belajar, mengajarkan sopan-santun pada orang renta. Ibu orang yg tegas & sedikit keras, tetapi sungguh lembut padaku.

  Tragedi Asap | Cerpen Gigih Suroso

Malam itu gue sungguh tak bisa eksklusif menutup binar. Suara burung yg berkicau tengah malam membuatku takut. Bukan burung lazimyg berkicau tatkala pagi menyapa, tapi bunyi mencekam. Aku takut perihal hal jelek akan tiba tatkala mendengar burung asing itu. Persis dgn burung hitam yg sering diceritakan nenek dahulu.

Angin berembus kencang malam itu, membuatku tak bisa tidur. Kudengar Ibu & Bapak belum tidur. Mereka membahas perihal perusahaan yg akan beroperasi. Batu Kapur? Semen? Itu yg kudengar sebelum tanpa sadar tenggelam dlm mimpi.

Saat Bapak mengajakku untuk pergi ke sawah yg ditanam padi, tiba-tiba ada lima orang menenteng parang mengadang jalan kami. Aku tak tahu-menahu masalah mereka. Bapak yg khawatir eksklusif berbelok arah. Namun ternyata dr arah belakang ada dua orang besar berkulit sawo matang dgn bergairah mengadang kami juga. Hanya ada bunyi gemirisik bambu di sekitarkami. Tak mungkin untuk meminta tolong.

Le, cepet kowe mlayu.” teriak Bapak.

Aku hanya diam diam. Seperti sekitar ada tekanan yg sangat kuat, Bapak dgn cepat melemparku ke samping. Aku bersembunyi dr balik hutan bambu. Beberapa orang mulai mendekat mengayunkan beberapa bendo & memukul balok kayu ke sebelah tangannya sendiri. Bapak cuma bermodalkan arit sawah.

Ana apa ki, ada perlu apa saudara-saudara sekalian mengadang jalan. Saya peringatkan, bila kerabat sekalian akan menyiksa atau memb*nuh saya, silakan! Tapi jangan hingga keluarga saya menjadi korban.” Bapak terdengar sangat lantang.

Tanpa basa-busuk seorang pria kekar bertopi pet kemudian menyambarkan kayu ke arah Bapak. Dengan gesit Bapak mengelak kemudian menendang punggungnya. Diikuti dgn empat orang yang lain. Salah satu laki-laki risikonya mendaratkan pukulan ke pelipis kanan Bapak & menciptakan luka lebar menganga. Aku yg ketakutan alhasil lari dr tempat insiden, kembali ke tempat tinggal mengabarkan bahwa Bapak dlm bahaya.

  Matinya Seorang Peladang | Cerpen Sunlie Thomas Alexander

Ternyata tak semudah yg kukira, mereka tahu ada gue di sana. Ada seorang yg diperintah untuk mengejarku. Aku terus berlari tanpa henti hingga sandal yg kupakai terlepas begitu saja.

Langkah kaki orang dewasa lebih panjang dr anak. Untunglah gue dapat berenang melalui sungai yg cukup dlm & fatwa deras, sebab tanpa sepengetahuan Ibu, gue sering bermain di sungai dgn teman-teman.

Pernah sekali kepergok oleh Ibu, alasannya adalah ketika makan siang gue tak pulang, malah sehabis mandi kami memancing ikan kemudian memasaknya eksklusif dgn kayu bakar yg kami nyalakan untuk menghangatkan badan kami yg lembap. Benar sungai yg higienis, bening, & dipenuhi kehidupan.

Sempat gue tergulung air sungai yg deras, tetapi sukses kuranggai cabang kayu yg terhimpit bebatuan sungai. Pria itu menerka gue tenggelam. Dalam penglihatan yg sedikit kabur, karena tubuh kecilku yg tergulung air sungai. Sempat kulihat sosok samar yg mengejarku tadi masuk kembali ke hutan bambu.

Akhirnya gue sampai di rumah, dgn tangis gue mencari keberadaan Ibu & Nenek. Rumah kami seperti habis terkena gempa. Semua perabot, meja, & dingklik terlempar ke mana-mana. Batu acak-acakan di dlm rumah. Jendela beling pecah awut-awutan, kakiku sempat tergores belahan kaca ketika memasuki ruang tamu. Kulihat Mak & Nenek bersembunyi di belakang pawon. Ibu baik-baik saja & Nenek sedikit berdarah di pelipisnya.

“Di mana Bapak, Nak?” Ibu menanyaiku.

“Ba-Pa-k,” gue tak bisa menjawab pertanyaan Mak. Aku menangis tersedu-sedu, kemudian Ibu memelukku. Tak bisa menjelaskan apa yg kulihat.

Bapak cuma petani biasa, cuma memperjuangkan miliknya tak lebih tak kurang. Mengapa mesti direnggut? Seminggu sehabis itu, satu keluarga di rumah dipenuhi sedih, banyak yg datang memperlihatkan belasungkawa. Orang-orang yg sering berkunjung sekarang tak membawa kopi, gula, & beras, melainkan karangan bunga yg warna-warni.

  Lelaki Kabut dan Boneka | Cerpen Helvy Tiana Rosa

Semesta memiliki dahak, napasnya tak semulus hutan. Gunung yg konon kami yakin saat sirna, maka Nyi Roro Kidul marah memang tak dengan-cara eksklusif memberi hukuman alam pada beberapa penduduk disekitar dataran rendah, panen kami gagal sepanjang tahun karena tak ada yg menyimpan persediaan air justru persawahan desa tatkala animo hujan datang mengakibatkan sawah yg Bapak kelola dulu menjadi rawa. Dan kemarau datang tak ada air sekalipun.

Rumah yg kami tinggali pun sudah tak ada, cuma sebatas bongkah rata. Pabrik Semen sudah berdiri kuat. Rumah kami bediri roboh, bersama dgn hasil panen yg poso. Tak pernah untung kami menanam. Aku menetapkan pergi ke kerabat. Karena tanah yg kami pijak masuk dlm proyek. Tanpa sadar sehabis sampaumur warga desa yg Bapak bantu sudah beralih menjadi karyawan pabrik, sopir truk, & penambang(*)