Setelah proklamasi dibacakan oleh Soekarno pada 17 Agustus 1045, Indonesia masih terus berjuang untuk menerima kedaulatan secara de jure terkait kemerdekaanya.
Perjuangan ada yang bersifat fisik (militer) dan ada juga yang bersifat diplomasi (negosiasi).
Kedua bentuk usaha tersebut saling berhubungan satu dengan lainnya dan sangat berpengaruh terhadap politik awal kemerdekaan Indonesia.
Pengaruh tersebut setidaknya terlihat pada pergeseran bentuk pemerintahan, dari Presidensial menjadi Parlementer.
1. Perubahan sistem pemerintahan
Pernyataan Gubernur Jenderal Van Mook untuk tidak berunding dengan Soekarno adalah salah satu faktor yang menyebabkan pergeseran tata cara pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer.
Karenanya, sehari sebelum kedatangan Sekutu, tanggal 14 November 1945, Soekarno selaku kepala pemerintahan Republik digantikan oleh Sutan Sjahrir, seorang sosialis yang dianggap sebagai figur sempurna untuk dijadikan ujung tombak diplomasi dengan Belanda.
Pihak Republik Indonesia memiliki alasan politis untuk mengganti tata cara pemerintahan dari Presidensial menjadi Parlementer, yakni memenuhi syarat pengakuan Belanda atas Republik Indonesia.
Bulan Agustus pemerintah Belanda melaksanakan perjuangan lain untuk memecah kebuntuan dengan menunjuk tiga orang Komisi Jenderal tiba ke Jawa dan membantu Van Mook dalam perundingan baru dengan wakil-wakil Indonesia.
Konferensi antara dua belah pihak diadakan di bulan Oktober dan November di bawah pimpinan yang netral dari Lord Killearn, bertempat di Bukit Linggarjati dekat Cirebon.
Setelah mengalami tekanan berat, terutama dari Inggris, alhasil tercapailah sebuah kesepakatan tanggal 15 November 1946 yang disebut dengan Perjanjian Linggarjati, dengan pokok pokoknya sebagai berikut :
1. Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan daerah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949.
2. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya yaitu Republik Indonesia.
3. Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia – Belanda dengan Ratu Belanda menjabat Ketua.
Van Mook, pimpinan Netherland Indies Civil Administration (NICA) yang lalu diangkat selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda, kemudian memecah RI kembali dengan membentuk Negara Indonesia Timur (NIT) pimpinan Presiden Sukowati, lewat Konferensi Denpasar (18-24 Desember 1946).
Gedung Perjanjian Linggarjati Kuningan |
2. Proklamasi Negara Pasundan
Usaha Belanda untuk memecah RI tidak cuma berakhir sampai dibentuknya NIT. Dua bulan setelah itu, Belanda sukses membujuk Ketua Partai Rakyat Pasundan, Soeria Kartalegawa untuk memproklamasikan Negara Pasundan pada tanggal 4 Mei 1947 dengan tujuan membantu Belanda menyerang Republik secara langsung.
Kalangan militer Belanda merasa yakin bahwa kota-kota yang dikuasai pihak Republik dapat ditaklukkan dalam waktu dua minggu dan untuk menguasai seluruh daerah Republik dalam waktu enam bulan.
3. Agresi Militer I
Pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengirimkan Nota Ultimatum, yang mesti dijawab dalam 14 hari. Isinya yakni :
1. Membentuk pemerintahan ad interim bersama;
2. Mengeluarkan duit bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama;
3. Republik Indonesia harus mengantarkan beras untuk rakyat di daerah-kawasan yang diduduki Belanda;
4. Menyelenggarakan keselamatan dan ketertiban bersama, tergolong tempat tempat Republik yang membutuhkan bantuan Belanda; dan
5. Menyelenggarakan penilikan bareng atas impor dan ekspor
Perdana Menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama kala peralihan, tetapi menolak penyelenggaraan keselamatan dan ketertiban bareng .
Penolakan ini mendapatkan reaksi keras dari kalangan parpol-parpol di Republik. Karena tidak ada kepastian dan dan balasan yang memuaskan Belanda, maka pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam, mulailah pihak Belanda melancarkan ‘agresi polisionil’ mereka yang pertama.
Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana mereka telah menempatkan pasukan-pasukannya di kawasan yang strategis. Pasukan yang bergerak dari Jakarta dan Bandung dikerahkan untuk menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten). A
dapun pasukan dari Surabaya dimaksudkan untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang.
Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan-dalam di Jawa Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi-instalasi minyak dan batubara di sekeliling Palembang, dan tempat Padang diamankan.
Melihat agresi Belanda yang tidak mematuhi persetujuanLinggarjati menciptakan Sjahrir galau dan putus asa, maka pada bulan Juli 1947, beliau dengan terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya selaku Perdana Menteri, alasannya sebelumnya sangat menyetujui permintaan Belanda dalam menyelesaikan pertentangan antara pemerintah RI dengan Belanda.
Menghadapi agresi Belanda ini, pasukan Republik cuma bisa bergerak mundur dalam kebingungan dan merusak apa yang dapat mereka hancurkan.
Sementara bagi Belanda, sesudah melihat kesuksesan dalam agresi ini menjadikan keinginan untuk melanjutkan aksinya kembali.
Beberapa orang Belanda, tergolong Van Mook, berhasrat merebut Yogyakarta dan membentuk sebuah pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang menjadi sekutunya tidak menyukai agresi polisional tersebut serta menggiring Belanda untuk secepatnya menghentikan penaklukan sepenuhnya kepada Republik.
4. Perjanjian Renville
Agresi militer atau pun aksi polisional yaitu bentuk kebrutalan Belanda terhadap Indonesia dan melanggar persetujuansebelumnya. Melihat kejadian tersebut, Dewan Keamanan PBB, atas desakan Australia dan India, mengeluarkan perintah peletakan senjata tanggal 1 Agustus 1947, dan secepatnya setelah itu mendirikan sebuah Komisi Jasa-Jasa Baik, yang berisikan wakil-wakil Australia, Belgia dan Amerika Serikat, untuk menengahi perselisihan tersebut. Komisi tersebut diketahui dengan Komisi Tiga Negara (KTN).
Atas rekomendasi dari KTN, maka direkomendasikan untuk menju ke meja perundingan.
Tanggal 17 Januari 1948 berlangsung pertemuan di atas kapal perang Amerika Serikat, Renville, hingga menghasilkan kesepakatan yang mampu diterima oleh kedua belah pihak. Pada tanggal 19 Januari, ditandatangani persetujuan Renville.
Wilayah Republik selama kurun peralihan sampai penyelesaian selesai diraih, bahkan lebih terbatas lagi dibandingkan dengan Persetujuan Linggarjati.
Ditandatanganinya Perjanjian Renville sehabis Agresi Militer Belanda I mengakibatkan jatuhnya Kabinet Amir. Seluruh anggota yang tergabung dalam kabinetnya, yang berisikan anggota PNI dan Masyumi, menaruh jabatan ketika Perjanjian Renville ditandatangani, disusul kemudian Amir sendiri meletakkan jabatannya selaku Perdana Menteri pada tanggal 23 Januari 1948.
Kemudian Soekarno menunjuk Hatta untuk memimpin sebuah ‘Kabinet Presidentil’ darurat (1948-1949) yang pertanggungjawabannya dilaporkan sepenuhnya kepada Soekarno sebagai Presiden.
5. Agresi Militer II
Agresi Militer II terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Jogjakarta selaku ibu kota Indonesia dikala itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh yang lain.
Dengan jatuhnya ibu kota negara Indonesia mengakibatkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Mobilisasi pasukan sekutu saat aksi militer 2 |
6. Serangan Umum 1 Maret 1949 atas Yogyakarta
Serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Jogjakarta secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di daerah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pimpinan pemerintah sipil lokal- berdasarkan aba-aba dari Panglima Besar Sudirman, telah tegas menandakan kepada dunia internasional bahwa TNI sekaligus Republik Indonesia masih ada dan cukup kuat.
Hal ini memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB. Selain itu, tujuan utama serangan tersebut juga mematahkan tabiat pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa TNI (Tentara Nasional Indonesia) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto, pada waktu itu, sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta selaku pelaksana lapangan di daerah Yogyakarta.
7. Perjanjian Roem Royen
Untuk menanggulangi aksi militer Belanda, PBB mengadakan sidang pada tanggal 22 Desember 1948 dan menghasilkan sebuah resolusi yang mendesak biar permusuhan antara Indonesia dan Belanda segera dihentikan dan pemimpin Indonesia yang ditahan secepatnya dibebaskan. KTN diperintahkan untuk memantau pelaksanaan resolusi tersebut.
Untuk meluaskan wewenangnya maka KTN diubah namanya menjadi UNCI (United Nations Commission for Indonesia) yang diketuai oleh Merle Cochran. Pada tanggal 14 April 1949, atas inisiatif UNCI, diadakan perundingan Republik Indonesia dan Belanda. Perundingan ini diadakan di Hotel Des Indes, Jakarta di bawah pimpinan Merle Cochran (Amerika Serikat). Yang hadir dalam negosiasi tersebut, antara lain, Delegasi RI (dipimpin oleh Mr. Moh. Roem) dan Delegasi Belanda (dipimpin oleh Dr. J.H. van Royen).
Setelah melalui perundingan yang berlarut-larut, risikonya pada tanggal 7 Mei 1949 tercapai kesepakatan, yang lalu dikenal dengan nama Roem Royen Statement. Dalam kesepakatan dimaksud, delegasi Indonesia menyatakan kesediaan Pemerintah Republik Indonesia untuk :
1. Menghentikan perang gerilya;
2. Bekerja sama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keselamatan; serta
3. Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
Sementara itu, pernyataan Delegasi Belanda pada pokoknya yaitu :
1. Menyetujui kembalinya pemerintah Republik Indonesia ke Jogjakarta;
2. Menjamin penghentian gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik;
3. Tidak akan mendirikan negara-negara di daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia sebelum 19 Desember 1948; dan
4. Berusaha dengan sesungguh-sungguhnya supaya KMB segera diadakan setelah pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.
Dengan disepakatinya prinsip-prinsip Roem Royen tersebut, maka Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera memerintahkan terhadap Sultan Hamengkubuwono IX untuk mengambil alih pemerintah di Yogyakarta apabila Belanda mundur dari Jogjakarta
8. Serangan Umum Surakarta
Serangan Umum Surakarta berlangsung pada tanggal 7-10 Agustus 1949 secara gerilya oleh para pejuang, pelajar, dan mahasiswa. Pelajar dan mahasiswa yang berjuang tersebut lalu diketahui sebagai ’tentara pelajar’. Mereka berhasil membumihanguskan dan menduduki markas-maskas Belanda di Solo dan sekitarnya.
Serangan itu menyadarkan Belanda bahwa mereka tidak akan mungkin menang secara militer, mengenang Solo yang ialah kota yang pertahanannya terkuat pada waktu itu sukses dikuasai oleh Tentara Nasional Indonesia, yang secara peralatan lebih tertinggal, tetapi disokong oleh rakyat dan dipimpin oleh seorang pemimpin tangguh mirip Slamet Riyadi.
9. Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja Bundar yaitu sebuah konferensi antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dikerjakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. Konferensi tersebut menciptakan komitmen berikut :
1. Belanda mengakui RIS selaku negara yang merdeka dan berdaulat.
2. Pengakuan kedaulatan dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 30 Desember 1949.
3. Mengenai problem Irian Barat akan diadakan perundingan lagi dalam waktu 1 tahun sehabis pengakuan kedaulatan RIS.
10. Penyerahan kedaulatan oleh Belanda
Untuk menindaklanjuti hasil KMB maka tanggal 16 Desember 1949 Ir. Soekarno dilantik sebagai Presiden RIS dan pada tanggal 17 Desember 1949 diambil sumpahnya.
Pada tanggal 20 Desember 1949, Presiden Soekarno membentuk kabinet RIS yang dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta selaku perdana menterinya.
Pada tanggal 23 Desember 1949, delegasi RIS yang dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta berangkat ke Belanda untuk menandatangani naskah legalisasi kedaulatan RI dari pemerintah Belanda.
Upacara penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan tersebut dikerjakan pada waktu yang bersamaan, baik di Indonesia maupun di Belanda, yaitu pada tanggal 27 Desember 1949.
Di Belanda, yang menandatangani naskah penyerahan kedaulatan adalah Ratu Yuliana, PM. Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. AM.J.A. Sassen, dan ketua utusan RIS, Drs. Moh. Hatta. Sementara itu, di Jakarta, penyerahan kedaulatan dilaksanakan oleh Wakil Tinggi Mahkota A.H.J. Lovink dan Ir. Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam sebuah upacara penyerahan kedaulatan.
Dengan ditandatanganinya naskah penyerahan kedaulatan maka secara formal Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia dan mengakui kedaulatan penuh negara Indonesia di seluruh bekas wilayah Hindia Belanda (kecuali Irian Barat). Baca juga: Contoh soal sejarah kelas 10 kehidupan praaksara