Temanku yg sok sastrawan itu telah menerbitkan sebuah novel. Tiga bulan lamanya ia mengurung diri dlm kamar untuk menulis. Setelah mencapai kira-kira tiga ratus halaman, ia mengirimkannya pada salah satu penerbit besar yg sering mengorbitkan penulis-penulis muda. Namun sayang, beribu kali sayang, naskah itu tiada pernah berbalas dr penerbit. ia tak menulis dongeng cinta. Tidak pula banyak terdapat kalimat-kalimat puitis yg membuatmu besar lengan berkuasa tatkala kau patah hati di dalamnya. Setidaknya itulah alasan ia kenapa naskahnya ditolak.
Dia pula pernah menjajal mengikutkan naskahnya pada suatu lomba yg telah melahirkan novelis-novelis besar. Namun, apa mau di kata persaingannya begitu ketat. Banyak naskah-naskah andal yg diantarkan oleh penulis-penulis elok di negeri ini. Aku curiga para juri bahkan tak ingin membaca naskah itu lebih dr sepuluh halaman. Semoga ini bukan hanya sebuah kecurigaan yg tak fundamental serta serampangan yg mendiskreditkan para dewan juri yg terhormat.
Namun, tidaklah ia berpatah semangat. Berbekal duit yg diminta dr orang tuanya, ia menerbitkan naskah karangannya itu lewat sebuah penerbit indie terkenal. Tentu saja naskahnya diterima. Tentu alasannya adalah ia membayar sendiri biaya cetak dua puluh lima eksemplar.
Dua puluh lima hari kemudian tiba kabar bahwa bukunya telah diantarkan. Kembang sekali hidungnya ketika ia memamerkan buku bersampul putih bergambar teh es itu kepadaku. Tentu selaku sobat yg baik, gue merasa perlu pula untuk membaca karangannya ini. Aku pastinya tak perlu membeli alasannya ia dgn senang hati meminjamkan buku itu kepadaku.
Kira-kira seminggu waktu yg kuperlukan untuk menamatkan novel itu. Isinya lumayanlah. Sebenarnya tak jelek-jelek betul hasil karya temanku. Meskipun ada beberapa serpihan yg klise dan kepengrajinan sastrawinya masih rendah.
Aku tak ingin membicarakan ceritanya dengan-cara panjang lebar. Satu yg agak menawan pula dr hasil karangannya selama tiga bulan itu ialah hadirnya sosok Lalita Vistara yg hebat sebagai karakter utamanya.
Untuk sosok Tara ini gue bersedia bercerita panjang lebar.
Seperti apakah sosok wanita yg paling ideal menurutmu? Pintar, cerdas, kaya, putih, tinggi atau apalah? Semua orang tentu mempunyai citra ideal menurut mereka masing-masing. Tidak etis pula kalau kau memaksakan gambaran wanita paling ideal mesti diterima oleh orang lain.
Tara ialah citra wanita paling ideal menurut temanku yg sok sastrawan ini sebagai orang yg brutal. Ya, katakanlah brutal. Seorang perempuan cerdas, kaya yg berkulit sawo matang bertinggi seratus lima puluh sekian sentimeter. Namun, bukanlah itu yg membuat Tara menjadi menawan. Tara ialah wanita ekspresif yg bicara sesuka hatinya tanpa peduli perasaan orang lain. ia melaksanakan apa yg ia harapkan tanpa mempertimbangkan bagaimana persepsi orang kepadanya.
Sesaat sehabis gue menamatkan novel itu, sekitar lima belas menit gue menghayal. Apakah ada wanita seperti Tara di dunia positif? Nyatakah Tara? Siapakah model yg digunakan temanku ini untuk dipakai sebagai inspirasi sosok Lalita Vistara? Aih, sungguh, ceritanya biasa-umumsaja namun sosok Tara ini sangat hebat. Beberapa kawan yg merasa perlu untuk membaca novel itu menilai Tara adalah sosok yg unik pula. Mereka mengira-ngira, kita-kira siapakah Tara itu di dunia faktual?
Pembaca yg budiman, temanku yg sok sastrawan ini sudah mengaku bahwa Tara hanyalah imajinasi. Tidak ada benar-benar ada orang yg yang menjadi inspirasinya.
“Janganlah kamu-sekalian bersusah-susah untuk mencari siapa Lalita Vistara. ia tidaklah betul-betul ada.”
Kalau gue pikir-pikir lagi, memang tak mungkin ada yg mirip sosok Tara di dunia ini. Jika pun ada, itu sungguh sulit sekali dlm duniaku untuk bertemu dgn sosok itu. Sungguhlah liar imajinasi temanku ini sehingga ia bisa menciptakan karakter Tara. Meski tak indah. Meski bukanlah maha karya. Meski tak diterima oleh penerbit. Meski tak menang dlm sayembara. Novel ini sudah menambah kekayaan khasanah kesusasteraan tanah air kini ini.
Novel itu dicetak sebanyak dua puluh lima eksemplar & laris pula ternyata. Banyak yg kepincutuntuk membelinya. Mulai dr sastrawan & budayawan setempat yg merasa perlu untuk mengapresiasi sebuah karya anak muda ini, kemudian beberapa kawan yg peduli dgn kesusasteraan, & dosen-dosen di kampus ia kuliah dulu. Namun lebih banyak yg dengan-cara tak bertanggung jawab mencuri novel itu dr kamar kostnya. Diantara mereka yg mempunyai novel Kita Tertawa di tangannya, paling cuma satu dua orang saja yg pernah benar-benar membacanya.
Akhirnya Lalita Vistara hanyalah menjadi sebuah materi banyolan kami di kedai-kedai kopi untuk menggambarkan sosok perempuan yg ideal menurut kami masing-masing.
“Ini Sarapan pagiku. Mana sarapan pagimu?” Sebuah gambar sepiring lotek muncul di layar ponsel genggam sentuhku. Ini hanyalah satu dr sekian banyak pesan-pesan tak penting yg ia kirimkan. Tapi dr sanalah kusadari, nuansa-nuansa yg tak penting ini yg mungkin gue harapkan. ia menuntunku untuk mengatakan lebih banyak & berfikir lebih dlm dr umumnya untuk merangkai kata-kata tak penting yg tak puitis.
Kawanku, bahu-membahu gue tak terlalu ingin bercerita roman picisan tak berbobot & tak berkualitas ini kepadamu. Namun, sebelum kita masuk pada program utamanya, gue sarankan kau-sekalian untuk memutar suatu tembang klasik dr Sheila on 7 yg berjudul Yang Terlewatkan sebagai soundtrack dari kisah ini. Lagu itu keren pula bekerjsama. Semenjak gue berkenalan dgn beliau, bisa sampai lima kali berturut-turut gue mendengarkan lagu itu sekali duduk. Tentunya apabila di kemudian baris, kisah ini menjadi bertele-tele, klise atau apalah, kau masih bisa memahaminya karena antara kisahku dgn lagu itu bisa dikatakan mirip. Apabila tak ada informasi yg bisa kamu-sekalian peroleh dr kisah ini, maka paling tidak, kau sudah tahu bahwa lagu Yang Terlewatkan ini enak untuk didengar.
Baiklah, kita mulai sini. “Kemana kau selama ini?”
“Malam yg jenuh memaksaku untuk terus menatap ponsel pintarku. Tak ada aktivitas lain. Sejenak mencari humor di dunia maya yg fana mungkin bisa meredakan. Hingga malam itu, gue berjumpa dengan-cara khayalan dengannya. Seseorang dgn kerudung merah itu mempunyai senyuman yg tak umumbagiku.”
Maka kututurkan salam perkenalan. Tak kuharap tanggapan yg bagaimana pun. Setidaknya sudah tradisi bagi seorang pria untuk apalagi dahulu menyapa. ia membalas pesanku. Dengan dua kosta kata berbahasa Indonesia kemudian tiga titik berurut yg di akhiri titik dua & abjad “do” kapital. Sebuah penyampaian emosi bahwa salamku dibalasnya dgn senyuman.
Instagram memang bukan kursi yg asik untuk bicara, iya seumpama etalase toko yg menunjukkan keindahan, soal negosiasi? Maka kuminta dua belas digit angka nomor teleponnya. Begitulah gue berkenalan. Semua berawal dr sana & dua belas angka yg begitu penting tampaknya demi kelangsungan silaturahimku dgn dia.
Pembaca yg budiman, dikala gue mengatakan kepadamu bahkan gue akan bercerita ihwal kisahku dgn wanita yg mirip dgn Tara, itu memiliki arti gue tidak mau bercerita hingga hal-hal yg tak penting. Itu bekerjsama bersifat pribadi. Tidak perlu pula bergotong-royong gue gembar-gemborkan kepadamu. Tapi mau bagaimana lagi, sudah tertulis. Malas pula gue menghapusnya. Biarlah, gue cuma mau bercerita saja. Apabila tak indah, tak sastrawi ataupun apalah itu bukanlah persoalan. Maka maafkanlah. Aku cuma menulis, sekedar untuk bercerita kepadamu.
Mengapa dongeng ini menjadi seperti ini? Aku tak tahu pula entah seluruhnya menjadi seperti ini. Biarlah, namanya pula sudah tertulis. Mau apa lagi? Apa yg terjadi maka terjadilah! Yang terperinci gue berjumpa dgn Lalita Vistara versiku sendiri. Memang tak seratus persen mirip dgn Tara yg ada dlm novel yg dikarang oleh temanku. Tetapi seperti itulah wanita yg paling ideal menurutku. Kisah ini bukankah sekedar puja-puji terhadap perempuan itu, namun hanya untuk memberitahu kalian bahwa gue telah memperoleh perempuan yg paling ideal menurutku. Lalu kenapa pula gue harus menyarankanmu untuk menyimak “Yang Terlewatkan”? (*)