close

Penyebab Anak Menjadi Durhaka

PENYEBAB ANAK MENJADI DURHAKA
 ada 7 hal faktor penyebab anak menjadi durhaka…
sebaiknya kita pelajari semoga kita lebih bijak dalam mendidik mereka
Pertama:
Hilangnya kekuatan AGAMA dan lemahnya IMAN
Seorang hamba bila melakukan dosa atau kemaksiatan dan beliau tidak takut terhadap Allah, maka ia membuka pintu kejelekan dan kefasikan untuk dirinya. Dosa-dosanya tersebut menjadi lantaran kebinasaannya jika dia tidak bertobat. Termasuk jawaban dosa-dosanya tersebut ia menyakiti orang tuanya lantaran dia mendapati kekhawatiran hati, kegelapan hati, hitamnya parasnya dan kerasnya hati yang membawanya untuk berbuat durhaka.

Ibnu Abi ad-Dunya berkata dalam buku Dzammul Muskir, ‘Menyampaikan kepadaku Suwaid bin Sa’id dengan berkata, menceritakan kepadaku al-Hasan –seorang lelaki dari kota Basrah- dengan berkata, seseorang menawarkan kepadaku sesungguhnya beliau melihat dalam mimpinya bahwa Tuhan telah mengampuni orang-orang di Arafah kecuali seorang laki-laki dari desa ini. Orang yang berimajinasi tersebut berkata, Akupun mendatangi daerah berkemah mereka dan saya bertanya perihal mereka sehingga mereka memperlihatkan kepadaku tenda laki-laki tersebut. Aku mendatanginya dan saya menawarkan mimpiku. Aku berkata,”Katakan kepadaku apa dosamu”. Dia berkata, “Aku seorang yang suka minum khamer dan ibuku senantiasa melarangku. Aku datang di rumah dalam keadaan mabuk. Ibuku ingin mengangkatku, maka aku mengangkatnya hingga ku letakkan ia di atas tungku oven yang menyala”.[1]

Lihatlah terhadap tanggapan kemaksiatannya yang mewariskan kepada dirinya kejahatan dan celaan wal ‘iyadzu billah. Dan tidaklah beliau menjalankan ini kecuali lantaran kehilangan kekuatan agama dan kelemahan iktikad. Rasulullah bersabda, “Iman mengikat pembunuhan, seorang mukmin tidak membunuh“.[2]
Keimanan yaitu penghalang untuk durhaka dan kehilangan kekuatan agama atau lemahnya agama menjadi penyebab paling besar terjerumusnya seseorang ke dalam dosa dan kemaksiatan.
Kedua:
Jeleknya pendidikan.
Pendidikan anak menjadi keharusan orang tua dan ialah amanah besar yang wajib dipelihara. Apabila kedua orang tua menyepelekan pendidikan anak di waktu kecil dan tidak baik dalam mengajari anak-anak ilmu agama dan tidak mengarahkan kepada pendidikan agama terutama shalat, moral mulia dan budbahasa-etika yang bagus, pasti orang renta akan mendapati anaknya durhaka ketika cukup umur. Sehingga seorang penyair berkata:
Menyepelekan pendidikan anak yaitu kejahatan
Yang akan kembali terhadap orang bau tanah dengan bencana.
Para mahir hikmah berkata: Barangsiapa mengajari anaknya adab di waktu kecil, anaknya akan menggembirakannya saat dewasa.
Seorang bapak bertanggung jawab dengan pendidikan anaknya dengan mengajari mereka al-Qur’an, shalat, menyayangi Rasulullah dan bertaqwa terhadap Allah. Ketika anak laki-laki atau wanita menginjak akil balig cukup akal dan kedua orang tuanya tidak mengajari mereka agama dan budbahasa maka kedurhakaan dari mereka sangat praktis dan banyak terjadi. Balasan yaitu penggalan dari jenis amalan.
Barangsiapa meninggalkan tanamannya tanpa dirawat, niscaya dia tidak akan memanen apapun dari tanamannya.
Sa’id bin al-‘Ash berkata, “Jika aku sudah mengajari anakku al-Qur’an dan menghajikannya dan istrinya sangat saya telah menyanggupi haknya, tinggallah hakku atasnya”.[3]
Seorang penyair berkata:
Ajarkan kepada anak-anakmu etika di waktu kecil
Agar sejuk pandangan matamu kepada mereka dikala remaja
Sesungguhnya semisal etika yang engkau kumpulkan
Di abad kanak-kanak mirip mengukir di atas batu
Dia adalah perbendaharaan yang meningkat tabungannya
Dan dia tidak dikhawatirkan akan hancur lantaran tragedi
Ketika seorang bapak meninggalkan anak-anaknya dengan sengaja, sungguh beliau sudah menetapkan korelasi dengan anak-anaknya secara fisik atau harta atau maknawi atau bahkan sampai memutus menanyakan keadaan mereka, maka mereka dalam kondisi semacam ini kehilangan perasaan dan keterkaitan terhadap sang bapak yang membawa kepada sebagian anaknya untuk durhaka. Di sana ada seorang lelaki pergi meninggalkan anak-anaknya dalam waktu yang usang lalu menikah dengan perempuan lain dan hidup dengan istrinya tersebut jauh dari anak-anaknya. Setelah anak-anaknya dewasa kemudian laki-laki tersebut mendatangi mereka sesudah waktu yang begitu usang, beliau berupaya mendekati anak-anaknya akan tetapi mereka mengingkarinya apalagi lagi beliau sudah bau tanah bau tanah. Mereka tidak besar lengan berkuasa menanggungnya dan kehidupan mereka terasa terhimpit dengan adanya bapak mereka sehingga mereka menitipkan bapak mereka di panti jompo. Sungguh jelek apa yang dilaksanakan bapak tersebut dan sangat jelek apa yang dijalankan anak-anak tersebut.
Aku berkata, bapak ialah ayah. Kedua orang bau tanah ialah ibu bapak. Dan bapak adalah setiap orang yang menjadi lantaran adanya sesuatu atau menjadi baiknya sesuatu atau nampaknya sesuatu.[4]
Barangsiapa yang demikian di dalam perbaikan, pendidikan, pemeliharaan, penjagaan dan memberi nafkah maka sepatutnya untuk melaksanakan kewajibannya dari tanggung jawab yang disematkan pada pundaknya. Maka lantaran inilah dia dinamakan bapak.
Ketiga:
Membedakan anak dalam pinjaman.
Alangkah indahnya tindakan adil. Bukankah tegaknya langit dan bumi tidak lain karena keadilan?. Sesungguhnya tergolong kewajiban kedua orang renta terhadap anak-anaknya untuk berlaku adil terhadap mereka dalam kado, sumbangan dan kasih sayang bahkan dalam memberi ciuman. Membedakan di antara mereka menyebabkan efek negative pada saudara-saudaranya.
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ نَحَلَنِى أَبِى نُحْلاً ثُمَّ أَتَى بِى إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِيُشْهِدَهُ فَقَالَ: أَكُلَّ وَلَدِكَ أَعْطَيْتَهُ هَذَا. قَالَ لاَ. قَالَ: أَلَيْسَ تُرِيدُ مِنْهُمُ الْبِرَّ مِثْلَ مَا تُرِيدُ مِنْ ذَا. قَالَ بَلَى. قَالَ: فَإِنِّى لاَ أَشْهَدُ
Dari an-Nu’man bin Basyir berkata, bapakku memberiku santunan kemudian membawaku ke hadapan Rasulullah untuk mempersaksikannya di hadapan Rasulullah. Maka Rasulullah berkata, “Apakah semua anakmu kau beri ini?“. Dia menjawab, “Tidak”. Rasulullah berkata, “Bukankah kau menginginkan bakti mereka sebagaimana kamu menginginkannya dari ini?“. Dia menjawab, “Ya”. Rasulullah berkata, “Sungguh aku tidak mau menjadi saksi“.[5]
عن النعمان بن بشير قال: قال النبي اعدلوا بين أولادكم في النحل كما تحبون أن يعدلوا بينكم في البر و اللطف
Dari an-Nu’man bin Basyir berkata, Nabi bersabda, “Berlaku adillah terhadap bawah umur kalian dalam bantuan, sebagaimana kalian suka mereka berlaku adil terhadap kalian dalam berbakti dan bersikap lembut“.[6]
Oleh kerena itu Rasulullah menganggap santunan yang tidak sama antar anak tersebut suatu kedhaliman dan cukuplah eksekusi perbuatan dhalim dengan kegelapan pada hari akhir zaman. Tuhan berfirman, “Dan hendaklah takut terhadap Tuhan orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka bawah umur yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kemakmuran) mereka. Oleh lantaran itu hendaklah mereka bertakwa kepada Tuhan dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar“. (QS. An-Nisa’: 9).
Al-‘Allamah Ibnul Qayyim berkata, “Rasulullah memerintahkan untuk berlaku sama dalam menawarkan perlindungan terhadap belum dewasa. Dan Rasulullah memberitahukan bahwa mengkhususkan sebagian anak dengan pemberian yaitu kedhaliman yang tidak benar, tidak boleh dipersaksikan tindakan semacam ini dan memerintahkan orang yang melakukannya untuk mengambil kembali pemberiannya dan menasehati serta memerintahkannya untuk bertakwa kepada Allah. Rasulullah juga memerintahkannya untuk berlaku adil lantaran hal ini menjadi fasilitas yang aktual terhadap terjadinya permusuhan antara anak dan terputusnya silaturahmi di antara mereka sebagaimana ini mampu kita saksikan secara aktual dalam penduduk .
Berapa banyak para bapak yang mengutamakan anak lelaki dibanding perempuan atau sebaliknya atau anak kecil dibandingkan dengan yang tua atau belum dewasa istri kedua bukan  anak-anak istri yang pertama, semisal bapak yang tidak baik terhadap anak-anaknya ini sudah menjerumuskan dirinya dalam kedhaliman dan menyeretnya dalam kebinasaan. Dia berperan untuk merusak keluarganya dan terpecahnya anggota keluarga disertai adanya permusuhan antara sesama kerabat dan ini membawa terhadap kedurhakaan mereka kepadanya di era hidupnya dan sehabis matinya.
Apakah ibu mesti adil kepada  anak?
Ibnu Qudamah berkata, “Ibu tidak boleh untuk membedakan antara anak dalam pemberian sebagaimana bapak karena sabda Rasulullah, “Bertakwalah kalian kepada Tuhan dan berlakulah adil di antara bawah umur kalian“. Karena ibu ialah salah satu dari kedua orang tua sehingga dilarang untuk membedakan anak-anaknya dalam pinjaman sebagaimana bapak, lantaran apa yang diperoleh dengan pengkhususan bapak kepada sebagian anaknya dari hasad dan permusuhan terdapat pula pada pengkhususan ibu sebagian anaknya, maka tetaplah bagi ibu aturan bapak dalam hal ini.[7]
Membedakan anak dalam ciuman.
Ibrahim an-Nakha’i berkata, “Mereka dahulu mensunnahkan untuk berlaku adil terhadap belum dewasa kalian hingga pada ciuman”.
Aku berkata, Ini akhlak yang tinggi dan ini tergolong adab mulia para salaf yang seandainya kita melaksanakannya niscaya kita akan memetik buah bakti anak. Renungilah hadits Nabi, “Bukankah kau menginginkan bakti mereka sebagaimana kamu menginginkannya dari ini?”.
Al-Hafidz berkata, “Di dalam hadits terdapat sunnah untuk menyatukan para saudara dan meninggalkan hal yang mengakibatkan mereka terjatuh dalam permusuhan atau mewariskan kedurhakaan terhadap para bapak”.[8]
Keempat:
 Mendidik dengan hinaan, kekerasan dan pukulan.
Sebagian para bapak terkadng melebihi batas dalam mendidik anak-anaknya. Kadang ia menghantam, bersikap keras, mencela dan menghina, juga berlebih-lebihan dalam memperlihatkan hukuman. lantaran  hal ini justru akan mendorong anak untuk durhaka dan tidak mentaatinya.
Para bapak tersebut lupa bahwa kelembutan adalah budpekerti yang mulia dan kasih sayang, sikap halus dan lembut yakni suatu kewajiban dalam pendidikan yang benar. Di dalam hadits shahih dari Anas berkata, “Aku tidak menyaksikan seseorang yang sungguh menyayangi keluarganya dari pada Rasulillah”.[9]
قال رسول الله: إنما يرحم الله من عباده الرحماء
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Tuhan mencintai hamba-hamba-Nya yang penyayang“.[10]
Penghinaan dan pukulan mampu menghilangkan kasih sayang dan kecintaan dari hati para anak terhadap bapak mereka, Berapa banyak anak laki-laki atau wanita yang terjatuh dalam tempat kerusakan lantaran mencari ketenangan hati. Mengenyangkan anak dengan kasih sayang, kelembutan dan kecintaan termasuk kewajiban dalam pendidikan. Berapa banyak anak perempuan yang diperlakukan dengan bergairah kemudian beliau lari dari rumahnya dan terjatuh pada orang yang tidak amanah lagi  pendusta sehingga mempermainkannya? Demikian pula anak laki-laki, akan namun apa penyebabnya?.
Renungilah kisah al-Aqra’ bin Habis ketika menyaksikan Nabi mencium Hasan, “Sesungguhnya aku memiliki sepuluh anak, dan saya tidak pernah mencium seorangpun”.
Maka Rasulullah berkata, “Apa yang akan saya miliki jikalau Tuhan mencabut dari kalian rasa kasih sayangitu ?“.[11]
Kelembutan, kasih sayang, perbincangan dan pendidikan yang bagus mampu mengakibatkan kedua orang renta menerima bakti anak.  Barangsiapa yang tumbuh di atas kekerasan dan kebencian atau hilangnya kasih sayang kedua orang tua, pasti dia akan terjatuh dalam penyimpangan, sanggup jadi akan menempuh jalan kedurhakaan. Namun apa penyebabnya?. Wahai para bapak, kasih sayang yaitu salah satu keperluan sebagaimana masakan dan minuman. Apakah engkau telah mengenyangkan anak-anakmu dengan kasih sayang dan kelembutan?.
Kelima:
Perceraian.
Sebagian suami istri melupakan keistimewaan antara mereka berdua, kadang orang tua mengakibatkan anak selaku target untuk menyakiti pasangannya. Bahkan ada orang tua yang menyeret anak untuk durhaka dengan tidak senang mantan pasanganya. Memerintahkan anaknya untuk tidak menyambung silaturahmi dan tidak menyimak perkataan orang tua(mantan pasangannya), maka ortulah yang mengakibatkan anak durhaka. Semoga Tuhan memperlihatkan hidayah terhadap mereka.
Keenam:
Orang bau tanah meninggalkan anak-anaknya.
Berbeda antara pendidikan yang jelek dengan meninggalkan pendidikan. Sesungguhnya dosa yang terbesar adalah menyia-nyiakan anak. Sebagian para bapak meninggalkan anak-anak mereka dan menyebabkan mereka yatim padahal bapak mereka masih hidup dan mendapat rezki. Kadang sang bapak erat dengan badannya tetapi jauh dengan hatinya, kelembutannya, kasih sayangnya dan pergaulannya. Sebagian para bapak sengaja memutus kekerabatan dengan anak-anaknya dan melupakan bahwa dia seorang bapak kawasan memberikan kasih sayang dan perhatian.
Bukanlah anak yatim yang telah rampung kedua orang tuanya
Atau Menghadapi kesulitan hidup dan melupakannya
Sesungguhnya anak yatim ialah anak yang menjumpai
Ibunya yang meninggalkannya atau bapak yang sibuk (dengan urusannya).
Kisah seorang ustadz dan napi
Ustadz tadi menuturkan : “ Pada sebuah hari aku dipanggil untuk menunjukkan ceramah di penjara. Setelah saya duduk di bangku yang berhadapan dengan orang-orang yang dipenjara, aku mendengarkan pembukaan ceramah sebelum saya berceramah, saya memandang wajah-muka orang yang di penjara. Ketika aku melihat-lihat dengan mataku, persepsi mataku tertuju pada salah seorang siswaku yang pernah saya asuh di tingkat Sekolah Menengan Atas, duduk dibelakang masjid dengan menundukkan kepalanya. Kadang mencuri pandang kepadaku. Aku berkata dalam hati, Fulan sudah besar dan menjadi pengawas di penjara. Setelah final kajian, siswaku tersebut secepatnya meninggalkan masjid, sehingga saya heran. Padahal aku menyangka bahwa ia akan bersegera menyambut gurunya. Sehingga saya heran dengan perbuatannya tersebut dan muncullah aneka macam pertanyaan dalam benakku. Aku segera mengajukan pertanyaan kepada pembuka kajian ihwal pegawai ini. Dia menjawab, Sesungguhnya beliau salah satu orang napi bukan pegawai di sini.
Aku berkata, “Seorang napi?”. Dia menjawab, “Ya, seorang napi di sini“. Dia menjawabnya dengan hati yang menggambarkan rasa sakit lantaran alasannya adalah keluarganya yang menyebabkan ia menyimpang.
Bapaknya seorang fasik peminum khamer dan menuruti syahwat. Ibunya tidak mempunyai kelembutan seorang ibu dan menyerahkan pendidikan anak kepada pembantu. Dia hidup di keluarga yang rusak. Bapak ibunya menjadi lantaran kebinasaan anak. Dia tidak mendapati dalam keluarganya ketenangan dan kasih sayang, akan tetapi yang ada ialah duduk masalah yang disusul dengan duduk dilema lainnya sehingga menimbulkan anak ini melakukan kejahatan di keluarganya dan dimasukkan penjara. Aku menggambarkan kondisinya berucap:
Wahai ustadz, jangan tergesa-gesa
Sesungguhnya aku tidak melakukan kejahatan apapun
Semua yang terjadi alasannya adalah
Aku tinggal di rumahku dengan kesengsaraan
Dengan kesengsaraan yang dibuat sebuah kaum
Siapa mereka?
 Mereka kedua orang tuaku
Ketika saya disusui dengan kekhawatiran di waktu kecil
Dan keyatiman betul-betul memperabukan kulitku
Penduduk desa menyaksikan kurun kecilku
Tidak pernah aku seharipun bermaksiat
Pada sebuah hari bapakku memanggilku
Sungguh itu hari yang menggembirakan
Akan tetapi kebahagian itu berlalu
Dan kesengsaraanku menguasai diriku
Hari itu sudah mengharamkan cita-citaku
Dan aku benar-benar mengumpulkan kekhawatiran
Bapakku berlepas diri dari diriku
Dan saya menjadi jauh dari dirinya
Demikianlah aku menghabiskan malam-malamku
Aku tidak dianggap hidup di hadapan insan
Menjadilah pagi hariku dalam kesengsaraan
Demikianlah keadaan hidupku
Hari-haripun berlalu
Dan pada hari ini aku terlalaikan
Segala sesuatu pada diriku sudah mati
Apakah engkau melihat kehidupan pada diriku?
Di dalamnya apa yang aku rasakan kesusahan selama ini
Dari sekitarku dan sekelilingku
Manusia menuduhku dengan kedhaliman
Sedangkan aku berlepas diri darinya
Penjaga penjara mengikat tanganku
Dan sebuah kaum berlangsung di atasku
Penjaga penjara tidak tahu bahwa aku
Tidak pernah melaksanakan kehinaan seharipun
Penjaga penjara tidak tahu bahwa aku
Berteriak untuk mengobati diri
Penjaga penjara tidak tahu bahwa saya saya dan akuuuu…….
Semua dosaku karena ibuku
Tidak menyayangiku meskipun sehari
Semua dosaku lantaran saya seorang anak
Dari bapak yang tidak baik
Wahai ustadz, jangan buru-buru
Siapa yang kamu lihat sesat di antara kami
Apakah saya atau kedua orang tuaku?
Lihatlah dilema ini dengan seksama
Ketujuh:
Tidak adil dalam Poligami
Poligami problem yang diijinkan oleh syariat tetapi dengan ketentuan syar’i.
Akan tetapi sebagian para bapak berbuat curang dan tidak adil  dalam pergaulan dg istri dan pembagian hari dalam poligami. Dia meninggalkan salah satu istrinya dan anak-anak istri tersebut kemudian menjauhi mereka. Tidak memperhatikan dan mengunjungi mereka sehingga mereka kehilangan kasih sayang seorang bapak. Anak-anak tumbuh jauh dari bapak mereka, inilah penyebab itu. Mereka akan hidup dalam kebencian terhadap kerabat maupun keluarga n]besar mereka. Dan pastinya akan mampu terperosaok dalam perbuatan durhaka kpd orang tua….
Janganlah berpoligami jika tidak tau fiqihnya….!!!!!!
Semoga ulasan singkat ini berfaedah. Wallhu A’lam bishowab.
By ; bubuk riyadl


[1] Dzammul Muskir: 60.
[2] Hadits Shahih diriwayatkan oleh Abu Dawud: 2769 dan al-Hakim dan dishahihkan al-Albani.
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad-Dunya dalam buku al-‘Iyal: 1/331.
[4] At-Tauqif ala Muhimmat at-Ta’terpelajar karya Muhammad Abdur Rauf al-Munawi: 28, at-Ta’rifat: 20 dan al-Mausu’ah al-Fiqhiyah: 1/125.
[5] Muttafaq alaihi.
[6] Diriwayatkan ole hath-thabrani dan dishahihkan oleh Syeikh kami al-Albani dalam Shahih al-Jami’: 1046.
[7] Al-Mughni: 1/340.
[8] Fathul Bari: 5/215.
[9] Diriwayatkan oleh Musli: 2316.
[10] Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’: 2381.
[11] Diriwayatkan oleh Muslim: 2317.


Sumber http://bubuk-riyadl.blogspot.com