Penjual Lelucon | Cerpen Mashdar Zainal

Semakin hari orang duka di dunia ini semakin banyak. Hiburan-hiburan yg ada di tivi & media sosial tak pernah cukup. Sebab hiburan-hiburan di tivi & media umum kadang justru lebih mengenaskan. Sedangkan sahabat & keluarga kurang bisa diandalkan, sebab kesedihan terkadang cepat menular pada orang-orang terdekat.

Pada keadaan demikian, keluarga & sesama sahabat tak mampu saling mendukung, alih-alih menghibur. Sebab mereka sama-sama dirundung kesedihan. Karena argumentasi wabah kesedihan itulah, pelawak kita menentukan untuk membuka lapak gres dgn barang jualan gres: banyolan-lelucon.

Konon, dagelan ialah obat mujarab untuk menghilangkan kesedihan, meski cuma sejenak. Berjualan lawakan tak butuh banyak modal. Cukup mengandalkan bualan, perbendaharaan kata lucu, pula bahan-materi berupa dongeng-cerita yg memungkinkan untuk diplesetkan. Dan Komedian Kita cukup hebat dlm hal-hal tersebut.

Kaprikornus, tatkala pada umumnya orang berjualan yg macam-macam. Komedian kita menentukan untuk berjualan dagelan. Harganya murah. Beli satu lelucon mampu bonus satu lelucon. Lelucon itu mampu beraneka bentuk & rupanya, tema & pesannya. Mulai dr lawakan politik, fisik, hingga lelucon berbau RA-SA. Tapi, untuk yg terakhir itu pelawak kita mesti tambahan hati-hati. Sebab, RA-SA adalah wilayah sensitif yg sejatinya kurang lucu untuk dijadikan materi lelucon. Tapi begitulah, tak sedikit dr para konsumen komedian kita yg suka dgn dagelan satu itu.

“Lelucon, dagelan, murah, murah… Kalau tak lucu duit kembali, jikalau berhasil terhibur boleh kembali lagi…” pekik komedian kita di tengah keriuhan lapak.

Orang-orang mengerumuninya. Mulai dr anak-anak hingga orang-orang renta. Para gadis yg patah hati suka membeli dagelan yg berisi wacana ketololan laki-laki. Para istri yg jengkel pada suami pun suka membeli dagelan jenis itu. Orang-orang tua yg letih dgn kelakuan anaknya sangat suka dgn banyolan anak jaman now.

  Di Balik Sebuah Tawa | Cerpen Dwi Rezki Fauziah

Sedangkan para pejabat, biasanya suka titip beli banyolan politik. Tapi, bila kebetulan dagelan politik yg dibeli itu menyerempet kisahnya, tak segan-segan ia melabrak pelawak kita, menyuruhnya hati-hati kalau meramu dagelan. Mendapat dampratan semacam itu, komedian kita tak pernah gentar, ia hanya membalas dgn kalem sambil cengengesan, “Itu cuma dagelan, Bapak. Makara, bila ada yg tersinggung, jangan-jangan itu beneran. Hahaha…

*****

Komedian Kita penduduknya humoris. Memang begitulah seharusnya syarat utama menjadi seorang penjual dagelan. Bahkan, pedagang apa pun memang semestinya humoris. Calon pembeli lebih senang disuguhi senyum & tawa dibandingkan dengan paras kecut.

Biasanya pelawak kita meracik banyolan-lawakan yg dijualnya itu tengah malam. Saat, situasi damai. Dengan begitu, komedian kita bisa berpikir lebih jernih dlm meramu leluconnya. Sehingga tak ada lawakan yg kebablasan, terlalu matang, atau bahkan terlalu mentah.

Seiring permasalahan manusia yg makin komplek, yg mengakibatkan kesedihan yg kian berkala , ditambah lagi trend pilkada yg makin akrab, pula suasana politik yg kian menghangus, lelucon-dagelan komedian kita kian laku. Tak pelak, penghasilan pelawak kita dr berjualan lawakan kian menukik. Sampai-sampai, komedian kita mulai kehabisan materi untuk membuat ramuan lawakan yg gres. Sebab, tentu saja, para pembeli tak pernah sudi berbelanja banyolan yg sama. Hal itu menciptakan Komedian Kita kewalahan. Bahkan, meski harga leluconnya dinaikkan dua hingga tiga kali lipat, para pelanggan yg telah kadung ketagihan lawakan pelawak kita tak pernah mempermasalahkan.

Seperti malam itu, komedian kita kedatangan konsumen seorang istri pejabat, yg memesan dagelan terlalu banyak. Belum pernah ada orang memesan banyolan sebanyak itu. Sebab, suaminya yg seorang petinggi sebuah partai tersandung masalah yg tidak mengecewakan mengenaskan, hingga tindak-tanduknya menjadi murung selama berhari-hari. Dibutuhkan banyak dagelan untuk orang seperti itu.

  Merantau | Cerpen OJ Hara

Maka, malam itu juga, komedian kita mulai menghimpun sisa-sisa materi yg ada. Meramunya dgn lihai, sekena mungkin dgn tema yg diminta. Dan mengirimnya dgn gegas untuk pelanggan istimewa.

Esok harinya, pelawak kita betul-betul kehabisan materi lawakan. Sedangkan ia harus tetap berdagang, supaya pamornya sebagai pedagang lelucon tak mandek cuma gara-gara libur jualan sehari. Untuk menjangkau keberhasilan, & kepercayaan dr pelanggan, hal semacam itu mesti diperhitungkan, begitu pikir Komedian Kita.

Maka, untuk tetap bisa berdagang, pelawak kita mulai berani meraup bahan yg sebelumnya jarang ia pakai, yakni lelucon-banyolan beraroma RA-SA. Lelucon itu memang riskan, namun begitu jadi, karenanya kadang menakjubkan. Orang bilang, meledak. Bikin hati deg-degan. Seperti bermain taruhan. Lagi pula, menurut pelawak kita, sesekali ambil banyolan beraroma RA-SA tak jadi persoalan selama tak melebihi batas. Maka, yg terjadi terjadilah.

*****

Ketika banyolan itu disuguhkan, ledakan dr kepuasan konsumen memang muncul. Namun, beberapa waktu kemudian, orang-orang yg tersinggung mulai menghujat & melabrak pelawak kita dengan-cara terperinci-terangan. Lapak jualan lelucon pelawak kita kukut telah diporakporandakan para pihak yg tersinggung itu.

Komedian kita minta maaf kesana-kemari, tetapi apa boleh buat, komedian kita lupa, lawakan-banyolan itu timbul dr liang paling fantastis di kepala manusia: ekspresi. Dan lelucon apa pun, kalau telah terlompat dr liang itu, tak mampu dimasukkan kembali. Itu lebih buruk dr muntahan. Bahkan muntahan mampu ditelan lagi. Tapi, kata-kata? Bagaimana cara menelannya?

Semenjak itu, pelawak kita menetapkan untuk istirahat dulu dr membuat dagelan-banyolan. Komedian kita sadar, tak ada yg betul-betul lucu dr lawakan semacam itu. Kalau ia mau, ia mampu saja meraup materi dagelan yg sebetulnya tak pernah habis di dunia ini. Sebagaimana ke-sedihan, yg pula tak pernah kukut dr dunia ini. Hanya saja, pelawak kita merasa perlu belajar lagi, khususnya dlm hal membuka & menutup lisan pada tempatnya.