Meyakini adanya manusia pilihan yang menjadi kekasih Allah yakni salah satu aliran dalam agama Islam. Kekasih Allah atau yang biasa dikenal dengan waliyullah yakni orang-orang terpilih yang mempunyai kedekatan secara khusus dengan Allah subhanahu wata’ala. Mengenai waliyullah ini, Al-Qur’an menjelaskan:
أَلَآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Ingatlah, bergotong-royong wali-wali Allah itu, tidak ada kekalutan kepada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. Yunus: 62).
Waliyullah secara umum berisikan aneka macam macam kategori. Mulai dari wali abdal, wali autad, wali nuqaba’, wali nujaba’, hingga wali qutb al-aqthab. Para waliyullah ini mengemban aneka macam macam peran masing-masing serta diberi keutamaan oleh Allah dengan mempunyai karamah yang berlawanan-beda (Syekh Dliya’uddin Ahmad bin Mushthafa, Jami’ al-Ushul fi al-Auliya, hal. 168).
Jalan yang ditempuh mereka tak lain yakni menggapai ma‘rifatullah. Dalam ilmu tasawwuf, terdapat dua jalan untuk menggapai makrifat ini.
Pertama, suluk. Jalan ini ialah pilihan jalan yang ditempuh secara normal. Seseorang yang mengamalkan laku tasawuf secara tidak eksklusif juga disebut selaku salik.
Kedua, jadzab. Jalan ini yakni jalan khusus yang tidak sembarang orang bisa mengamalkan, cuma orang-orang khusus yang memang terpilih yang dapat menempuh jalan ini.
Dua jalan menuju ma‘rifatullah di atas, secara sederhana diilustrasikan dalam kitab Nasihah al-Murid fi Thariq andal as-Suluk wa at-Tajrid berikut:
اعلم أن الجذب والسلوك مثلهما كالأشجار، شجرة الجذب لها عروق وفروع، وكذلك شجرة السلوك لها عروق وفروع وكلّ عرق وفرع منهما له أثمار. عروق الجذب هي العلوم اللدنية الغيبية، وأثمار فروع الجذب هي أن يكون صاحبها بأمر الله تعالى يقول للشيء كن فيكون والكلّ مواهب وكذلك عروق شجر السلوك تثمر بالعلم الظاهر، وفروعه تثمر بالعمل الظاهري، وإن تفاوت أهل السلوك مع أهل الجذب إلّا أنَّ أهل السلوك عبادتهم من وراء حجاب، وأهل الجذب ما بينهم وبين الله حجاب منه إليهم، ومنهم إليه
“Ketahuilah bahwa jadzab dan suluk itu mirip pepohonan. Pohon jadzab mempunyai akar dan tangkai, begitu pula pohon suluk juga mempunyai akar dan tangkai. Setiap akar dan tangkai dari kedua pohon tersebut memiliki buah. Akar dari pohon jadzab yaitu ilmu laduni yang bersifat ghaib, dan buah dari tangkai pohon jadzab yakni dikala orang yang jadzab mendapat perintah Allah biar mengatakan pada sesuatu kun fa yakun, semuanya murni derma dari Allah. Sedangkan akar dari pohon suluk dapat menciptakan pohon berbuah dengan Ilmu yang dzahir (terlihat ) dan tangkainya berbuah dengan amal yang bersifat dzahir, meski orang yang mengamalkan laku suluk dan orang jadzab berlainan, orang yang mengamalkan laris suluk beribadah di belakang tirai penghalang dari Allah, sedangkan orang jadzab tidak ada di antara mereka dan Allah penghalang apa pun. (Pesan) dari Allah eksklusif pada mereka, dan (ibadah) dari mereka eksklusif tertuju pada Allah” (Syekh ‘Ali bin Abdurrahman bin Muhammad al-Imrani, Nasihah al-Murid fi Thariq jago as-Suluk wa at-Tajrid, Hal. 17)
Berdasarkan tumpuan di atas, orang yang mengamalkan laris suluk masih berada di bawah orang yang telah hingga pada fase jadzab. Jadzab sendiri oleh para ulama didefinisikan dengan pengertian berikut:
الجذبة هي التجلي الإلهي، وفيها يحصل التحقيق بالأسماء الإلهية، والاستشعار بالاسم الصمد
“Jadzab yaitu tampaknya sifat-sifat yang kuasa. Ketika dalam kondisi jadzab, akan betul-betul terlihat secara aktual sifat-sifat Allah dan (seseorang) bisa merasakannya” (Syekh Mahmud Abdur Rauf al-Qasim, al-Kasyf an Haqiqah as-Shufiyyah, juz 1, hal. 244)
Orang yang dalam keadaan jadzab sering kali melakukan perbuatan di luar logika manusia biasa. Sebab apa yang dijalankan oleh mereka dalam keadaan jadzab telah di luar kapasitasnya sebagai manusia.
Meski demikian, pantas dibedakan antara orang yang melakukan hal-hal abnormal (khâriq al-âdah) alasannya memang betul-betul jadzab dengan orang yang hanya akal-akalan jadzab. Untuk menandai perbedaan dua orang ini cukup sederhana, yaitu dengan cara melihat tingkah laris orang tersebut sesudah kondisi tersadar. Jika ketika kondisi wajar , beliau senantiasa berdzikir dan beribadah serta menjauhi hal-hal duniawi yang bersifat profan, maka mampu ditentukan keganjilan yang ia lakukan yakni berangkat dari maqam jadzab.
Sebaliknya, jika seseorang setelah dalam kondisi normal justru lebih mendekatkan diri pada hal-hal yang bersifat duniawi dan bahagia mendekat dengan orang-orang yang memiliki ambisi duniawi, maka mampu ditentukan keanehan yang dia lakukan bukanlah bermula dari kondisi jadzab, namun cuma sebatas tipu muslihat yang dilakukannya untuk menarik minatorang lain. Perbedaan dua karakteristik ini seperti yang digambarkan dalam pembahasan menari saat berdzikir yang diterangkan dalam kitab Zad al-Muslim fi ma Ittafaqa ‘alaihi al-Bukhari wa Muslim:
واعلم أن الرقص فى حال الذكر ليس من الشرع ولا من المروءة ولم يعذر فيه الّا الفرد النادر من أهل الأحوال والجذب وله عند القوم علامة يميزون بها بين ما كان منه عن جذب حقيقي وبين ما كان عن تلاعب وتلبيس على الناس فقد قالوا إنّ المجذوب إذا كان بعد الصحو يوجد معرضا عن الدنيا وأهلها مقبلا على ذكر الله وعبادته فهذا جذبه حقيقي ويعذر فى رقصه وإذا كان بعد الصحو من تجاذبه ورقصه يوجد مقبلا على الدنيا متأنسا بأهلها لا فرق بينه وبينهم فى الأحوال واللهو فهو متلاعب كاذب فى دعوى جذبه صاحب رقص ولعب فهو ممن اتّخذ دينه هزوا ولعبا
“Ketahuilah bahwa menari pada dikala berdzikir bukan bab dari aliran syariat dan bukan bagian dari budi pekerti yang bagus. Tindakan tersebut tidak dapat dijadikan argumentasi untuk dibenarkan oleh siapa saja kecuali bagi orang khusus dari golongan orang jadzab. Menurut sebagian golongan (ulama sufi) jadzab memiliki gejala tertentu yang membedakan antara tindakan jadzab yang hakiki dan langkah-langkah yang berangkat dari main-main dan muslihat di hadapan insan.
Mereka berkata bahwa orang yang jadzab saat setelah sadar ia berpaling dari dunia dan menghadap untuk berdzikir pada Allah dan beribadah kepada-Nya, maka sikap jadzabnya yaitu perilaku jadzab yang sungguhan, tindakannya menari saat berdzikir dianggap udzur. Sedangkan dikala sesudah sadar dari jadzab dan selesai menari saat dzikir, seseorang lantas menghadap pada dunia dan merasa senang berjumpa dengan orang yang tergiur dengan dunia, hingga tidak ada perbedaan antara dirinya dan orang yang tergiur dengan dunia dalam tindakan dan perilaku main-mainnya, maka dia yakni orang yang coba-coba dan bohong atas klaim kejadzabannya saat menari dan bersenda gurau, dia yakni bagian dari orang yang mengakibatkan agamanya selaku permainan dan senda gurau” (Syekh Muhammad Habibullah bin Abdullah as-Syinqithi, Zad al-Muslim fi ma Ittafaqa ‘alaihi al-Bukhari wa Muslim, juz 3, hal. 155)
Dengan demikian mampu ditarik kesimpulan bahwa jadzab adalah suatu keadaan dikala seseorang telah lepas dalam kapasitasnya selaku insan karena terlihat secara terperinci padanya sifat-sifat Allah (tajalli), segala ketaknormalan perbuatan yang dijalankan dalam keadaan jadzab bermula dari isyarat Allah. Orang yang sudah hingga pada maqam jadzab ini biasa dikenal dengan istilah majdzub. Sedangkan masyarakat mengenal orang yang sudah sampai pada maqam ini dengan istilah wali jadzab atau wali majdzub.
Wallohu A’lam