Penjelasan Analisis Ekonomi

Penjelasan Analisis Ekonomi 
Investasi dalam aktiva keuangan mampu berbentukinvestasi pribadi maupun investasi tidak langsung. Investasi aktiva eksklusif dapat dikerjakan dengan pembelian eksklusif aktiva keuangan sebuah perusahaan. Sedangkan investasi tidak langsung dilakukan dengan berbelanja saham (surat-surat berguna) dari perusahaan investasi yang diperdagangkan di pasar modal. Beberapa penulis menunjukkan santunan anutan kepada model dalam menganalisis dan menganggap saham dengan ungkapan yang bermacam-macam; Karen (1971) menyebut dengan ungkapan a flow diagram of stock price determination; Husnan (1998) menyebut dengan analisis teknikal; sedangkan Sharpe, Alexander dan Bailey (1999) menyebut dengan istilah the big picture. Dari ketiga analisis tersebut, secara biasa bahwa untuk menganalisis dan menilai harga saham mampu dilakukan dengan mengamati kondisi ekonomi atau keadaan pasar yang terdiri dari variabel makroekonomi maupun keadaan spesifik perusahaan.
Indikator ekonomi yakni salah satu faktor yang tidak mampu dipisahkan dan merupakan bagian penting dari keseluruhan aspek mendasar itu sendiri. Indikator yang berupa Informasi-berita keadaan makro ekonomi dibutuhkan investor untuk melakukan investasi. Kondisi makro ekonomi secara keseluruhan akan mensugesti acara ekonomi masyarakat, usahawan dan investor. Kondisi makro ekonomi yang baik akan membuat iklim investasi yang baik. Beberapa variabel ekonomi nasional yang umumnya digunakan adalah tingkat pertumbuhan ekonomi yang lazimnya dilihat dari Produk Domestik Bruto, tingkat inflasi, tingkat suku bunga, dan nilai tukar rupiah. 
Analisis ekonomi perlu dilaksanakan karena adanya kecenderungan relasi yang berpengaruh antara apa yang terjadi pada lingkungan ekonomi makro dengan kinerja sebuah pasar modal. Perubahan kinerja pasar modal akan mencerminkan apa yang terjadi pada pergantian perekonomian makro. Perubahan kinerja pasar modal tidak mampu dipisahkan dengan pergeseran yang terjadi pada prospek yang aneka macam perusahaan yang ada di pasar yang berikutnya bisa mempengaruhi pedoman kas yang bisa diperoleh dari sebuah perusahaan di kala tiba. Dengan demikian, bila ingin mengestimasi pemikiran kas, bunga atau premi risiko dari sebuah sekuritas maka kita harus mempertimbangkan analisis ekonomi makro.
Produk Domestik Bruto
Produksi domestik bruto (PDB) yaitu penjumlahan seluruh barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara baik oleh perusahaan dalam negeri maupun oleh perusahaan gila yang beroperasi di dalam negara tersebut pada sebuah waktu/ kala tertentu. Pengertian lain dari PDB yang sering disebut juga Produk nasional bruto (PNB) adalah total bikinan barang dan jasa yang dibuat oleh penduduk negara tersebut baik yang berdomisili/ bertempat tinggal di dalam negeri maupun yang berada di mancanegara dalam sebuah abad tertentu. 
Kaitan dengan analisis sekuritas dan perkembangan investasi dapat diterangkan, pertama perkembangan investasi di sebuah negara akan dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi negara tersebut. Kedua, kian baik tingkat perekonomian sebuah negara, maka semakin baik pula tingkat kemakmuran orangnya. Tingkat kemakmuran yang lebih tinggi ini umumnya ditandai dengan adanya peningkatan tingkat pemasukan masyarakatnya. Ketiga, dengan adanya peningkatan pendapatan tersebut, maka akan semakin banyak orang yang mempunyai keunggulan dana, keunggulan dana tersebut dapat dimanfaatkan untuk disimpan dalam bentuk tabungan atau diinvestasikan dalam bentuk surat-surat berharga yang diperdagangkan dalam pasar modal. 
Tingkat inflasi
Inflasi merupakan sebuah indikator ekonomi makro yang menggambarkan peningkatan harga-harga barang dan jasa dalam suatu abad tertentu. Bagi suatu negara, keadaan perekonomian yang baik lazimnya diwakili dengan tingkat inflasi yang relatif rendah dan terkendali. Penggunaan tingkat inflasi sebagai salah satu indikator mendasar ekonomi ialah untuk mencerminkan tingkat PDB dan PNB ke dalam nilai yang bahwasanya. Nilai PDB dan PNB riil merupakan indikator yang sungguh penting bagi seorang investor dalam membandingkan kesempatan dan resiko investasinya di mancanegara.
Indikator-indikator inflasi yang umumnya dipakai oleh para penanam modal antar lain:
  • Indeks harga produksi atau Producer Price Index (PPI) ialah indeks yang mengukur rata-rata pergantian harga yang diterima oleh produsen domestik untuk setiap output yang dihasilkan dalam setiap tingkat proses bikinan. Data PPI dikumpulkan dari banyak sekali sektor ekonomi utamanya dari sektor manufaktur, pertambangan, dan pertanian. 
  • Indeks harga konsumen atau Consumer Price Index (CPI) yaitu dipakai untuk mengukur rata-rata pergeseran harga eceran dari sekelompok barang dan jasa tertentu. Index CPI dan PPI digunakan oleh seorang Trader selaku indikator untuk mengukur tingkat inflasi yang terjadi. 
  • Neraca pembayaran atau balance of payment yakni sebuah neraca yang terdiri dari keseluruhan kegiatan transaksi perekonomian internasional sebuah negara, baik yang bersifat komersial maupun finansial, dengan negara lain pada suatu masa tertentu. Neraca pembayaran ini merefleksikan seluruh transaksi antara penduduk, pemerintah, dan usahawan dalam negeri dan pihak mancanegara, mirip transaksi ekspor dan impor, investasi portofolio, transaksi antar Bank Sentral, dan lain-lain. Dengan adanya neraca pembayaran ini kita mengetahui kapan suatu negara mengalami surplus maupun defisit. Secara garis besar Balance of Payment dibagi menjadi 2 bab, ialah : 
o Neraca Perdagangan yang ialah selisih antara total ekspor dan impor barang, jasa, dan transfer. Dalam perhitungannya, neraca jual beli ini tidak meliputi transaksi-transaksi asset finansial dan kewajiban (hutang). Data ini merupakan indikator tren jual beli luar negeri yang merupakan fatwa higienis dari total ekspor dan impor barang dan jasa sebagai penerimaan atau penghasilan. Dengan adanya transaksi ekspor maka akan diterima sejumlah uang yang nantinya akan memperbesar permintaan kepada mata uang negara eksportir. Begitu pula sebaliknya pada impor barang dan jasa dimana sejumlah duit mesti dikeluarkan guna membayar barang dan jasa yang diimpor, hal ini akan memperbesar penawaran akan mata uang negara importir. 
o Aliran Modal adalah investasi eksklusif dan investasi tidak eksklusif, dimana pada investasi pribadi, investor dari mancanegara melaksanakan penanaman modal dalam aset riil misalnya saja membangun pabrik, gedung perkantoran dan lain-lain. Investasi ini biasanya bersifat jangka panjang. Sedangkan investasi tidak pribadi dapat dijumpai di dalam investasi instrument keuangan. Misalnya seorang investor melakukan pembelian saham atau obligasi di bursa Indonesia. Maka penanam modal tersebut mesti menukarkan mata uangnya ke rupiah biar dapat membeli saham ataupun obligasi di Indonesia. 
  • Tingkat pengangguran yaitu sebuah indikator yang dapat memperlihatkan gambaran wacana keadaan rill berbagai sektor ekonomi. Indikator ini mampu dijadikan alat untuk mengecek sehat/tidaknya perekonomian suatu negara. Apabila perekonomian berada dalam kondisi baik maka akan tercapai tingkat pengangguran yang rendah. Tetapi jikalau perekonomian dalam kondisi lesu maka tingkat pengangguran pun meningkat. 
  • Kurs valuta abnormal adalah nilai perbandingan atau bisa juga disebut nilai tukar antara suatu mata duit kepada mata duit yang lain. Kurs ini lazimnya digunakan sebagai indikator utama untuk melihat kekuatan ekonomi ataupun tingkat kestabilan perekonomian sebuah negara. Jika kurs mata duit negara tersebut tidak stabil maka mampu dibilang bahwa perekonomian negara tersebut tidak baik atau sedang mengalami krisis ekonomi. Untuk itu perlu bagi suatu negara untuk memiliki mata uang yang stabil supaya perekonomian negara tersebut dapat berjalan dengan lancar dan membentuk sebuah tren kemajuan. 
  • PSNCR – Public Sector Net Cash Requirement atau kebutuhan tunai sektor publik adalah jumlah uang yang mesti dipinjam pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. Sebab pemerintah kerapkali mengeluarkan lebih dari yang mereka terima dari penerimaan pajak, dan satu-satunya cara untuk memperbesar kekurangannya yaitu dari meminjam. 
  Pemahaman Penawaran (Supplay)
Teori yang dapat menjelaskan fenomena hubungan tingkat inflasi dan return saham pada khususnya dan pasar modal kebanyakan tidak berdasar hanya pada satu sisi. Minimal ada tiga teori yang dapat menerangkan fenomena hubungan tersebut :
1) teori makroekonomi yang dipelopori oleh Fama (1981:545) disatu kubu dan teori Geske dan Roll (1983:856) di kubu lain. Dua teori ini ikut mempertimbangkan dampak variabel ekonomi riil seperti Gross Domestic Product (GDP), jumlah duit beredar, tingkat harga biasa , tingkat bunga dan pajak;
Saham merupakan klaim kepada cash flows yang dihasilkan dari aset riil. Investasi saham menghasilkan returns yang dihitung dari selisih harga pada dua titik waktu yang berbeda dan deviden. Apabila pasar modal efisien, maka ada kekerabatan antara return saham dengan variabel ekonomi riil (Fama, 1991:1609). Ada dua teori makroekonomi yang menjelaskan ihwal kekerabatan harga saham dengan tingkat inflasi, ialah teori yang dipelopori oleh Eugene F. Fama (1981:545) dan teori Geske dan Roll (1983:856). Kedua teori tersebut menyatakan bahwa harga saham adalah indikator yang baik wacana kegiatan ekonomi riil, sehingga return saham dapat dipakai untuk memprediksi perkembangan Gross Domestic Product (GDP) riil, kinerja industri, corporate earnings dan employment.
Teori makroekonomi yang dipelopori oleh Fama (1981:545) mengajukan sebuah proposisi bahwa hubungan negatif antara return saham dan tingkat inflasi adalah alasannya adalah faktor usul duit. Dengan memakai teori undangan duit tradisional, Fama mengklaim bahwa jikalau anticipated GDP rendah berarti ex ante stock riil return rendah. Dengan tingkat penawaran duit yang tetap, anticipated GDP yang rendah ini menyebabkan tingkat harga biasa condong naik atau inflasi. Kaprikornus berdasarkan Fama, penurunan ex ante stock riil return yakni sebuah tanda penurunan GDP. Jika jumlah duit beredar condong tetap maka akan mengakibatkan peningkatan tingkat inflasi.
Geske dan Roll (1983:856) menyaksikan korelasi antara return saham dan tingkat inflasi menurut penawaran uang. Prinsip model Geske-Roll ialah bahwa penurunan anticipated GDP yang berarti penurunan ex ante stock riil return dapat menyebabkan penurunan penerimaan pajak. Jika tingkat pengeluaran pemerintah tetap, penurunan penerimaan pajak ini akan menimbulkan peningkatan defisit budget yang berakibat pada inflasi. Hal ini alasannya adalah pemerintah akan melakukan hutang untuk menutup defisit budget.
2) teori Fisher wacana tingkat bunga yang diaplikasikan pada saham selaku aset yang beresiko, dikembangkan oleh Jaffe dan Mandelker (1976:447);
Irving Fisher mengemukakan bahwa tingkat bunga mampu diuraikan menjadi tingkat bunga riil dan premi resiko inflasi. Berdasarkan asumsi rasionalitas, orang juga akan menginginkan hal yang sama pada return yang lain, atau berlakunya generalisasi Fisher Effect pada semua aset. Jaffe dan Mandelker (1976:450) menyebut hal ini sebagai Generalized Fisher Effect. Jaffe dan Mandelker menguji Fisher Hypothesis pada saham sebagai aset yang beresiko, hal yang sama dikerjakan pula oleh Nelson (1976:471) dan Firth (1979:743). Asumsi yang dipakai Jaffe dan Mandelker dalam memilih anticipated inflation yakni menggunakan Markov Inflationary Expectation dengan beberapa adaptasi. 
3) teori yang dikembangkan oleh Bodie (1976:459) yang menilai bahwa saham seharusnya mampu dipakai selaku hedge kepada inflasi.
Masing-masing teori telah dibuktikan secara empirik terutama di negara maju yang memiliki pasar modal mapan.
Telaah teori mengungkapkan bahwa inflasi akan condong mengembangkan biaya produksi dari perusahaan. Berarti margin laba dari perusahaan menjadi lebih rendah dan pengaruh lebih lanjut menjadikan harga sahamnya di bursa imbas menjadi menurun. Jika terjadi demikian, maka penurunan tersebut condong tidak akan berjalan seketika namun lewat proses waktu. Dilihat dari sisi investor, tingginya inflasi akan menghemat nilai keuntungan dan juga menghemat daya beli modal investasinya. Dengan demikian bila angka inflasi naik, maka IHSG akan menurun dan demikian sebaliknya. 
Secara teoretis, investasi pada saham mampu memperlihatkan pertolongan nilai (hedge) yang bagus dari pengaruh inflasi alasannya adalah saham ialah klaim kepada aset-aset riil. Teori tersebut dikemukakan antara lain oleh Bodie (“Common stocks as a hedge against inflation”, Journal of Finance, 31, 459-470, 1976) serta Fama dan Schwert (“Asset returns and inflation”, Journal of Business, 55, 201-231, 1977). Berdasarkan teori tersebut, tingkat pengembalian riil dari saham seharusnya tidak terpengaruh oleh pergeseran harga-harga barang dan jasa.
Berlawanan dengan keinginan dari teori tersebut, realita empiris di Amerika Serikat (AS) menawarkan bahwa inflasi dan tingkat pengembalian investasi pada saham berkorelasi secara negatif dalam arti inflasi yang sungguh tinggi cenderung diikuti dengan tingkat pengembalian investasi pada saham yang rendah.
Kenyataan empiris di AS pada abad 1953-1971 tersebut dikemukakan Fama (“Stock returns, real activity, inflation and money”, American Economic Review, 71, 545-565, 1981). Kenyataan empiris yang bertentangan dengan teori tersebut dijelaskan oleh Fama (1981) dengan menggunakan hipotesa pendekatan (proxy) yang menjelaskan bahwa karena tingkat pengembalian investasi pada saham berkorelasi faktual dengan acara ekonomi riil dan kegiatan ekonomi riil berkorelasi negatif dengan pergantian harga-harga barang dan jasa (inflasi), maka tingkat pengembalian investasi pada saham berkorelasi negatif dengan inflasi. Hipotesa tersebut menyiratkan bahwa tingkat pengembalian investasi pada saham lebih akrab terkait dengan acara ekonomi riil ketimbang dengan inflasi.
Di segi lainnya, studi yang dilaksanakan oleh Spyrou (“Are stocks a good hedge against inflation? Evidence from emerging markets”, Applied Economics, 36, 41-48, 2004) menyimpulkan bahwa di beberapa negara berkembang, selain Indonesia, kenyataan empiris memberikan bahwa pada beberapa emerging stock markets inflasi berkorelasi secara faktual dengan tingkat pengembalian investasi pada saham. Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa dengan tingkat inflasi yang tinggi dapat dibutuhkan tingkat pengembalian investasi pada saham yang tinggi pula. Menurut Spyrou (2004), indikasi tersebut kemungkinan disebabkan oleh relasi konkret antara inflasi dan aktivitas ekonomi riil di banyak emerging countries serta kemungkinan adanya keterkaitan erat antara kebijakan moneter dengan kebijakan sektor riil di negara-negara tersebut
Penelitian empiris di BEJ Indonesia melalui analisis regresi dengan menghubungkan secara eksklusif (dirrect effect) antara inflasi dengan IHSG dalam masa waktu tahun 2003 sampai 2005-2006, ternyata kesudahannya tidak didapatkan bukti yang signifikan bahwa inflasi berpengaruh kepada IHSG. Artinya penurunan IHSG bukan sebab dampak secara pribadi dari peningkatan inflasi. 
Sebagai ilustrasi, pada simpulan Maret 2004, tingkat inflasi tahunan di Indonesia yakni sebesar 5,11 persen, suatu tingkat yang relatif rendah sepanjang sejarah inflasi di Indonesia semenjak tahun 1997. Sejak selesai Oktober 2003, IHSG telah membukukan kenaikan yang signifikan, dari level 625,55 ke level 735,68 pada simpulan Maret 2004. Pada periode tersebut, tingkat inflasi di Indonesia mulai terkendali dan berada di bawah angka enam persen. Karena kedua hal tersebut terjadi secara serempak, keterkaitan antara inflasi dengan peningkatan IHSG menjadi hal yang menawan untuk dikaji.
Indonesia selaku salah satu negara dalam kalangan emerging countries memiliki kaitan antara inflasi tahunan dan kinerja tahunan indeks saham yang menarik untuk dikaji. Secara keseluruhan dalam era Januari 1997 sampai Maret 2004, IHSG mengalami apresiasi nilai dalam 41 dari 87 bulan yang diperhatikan. Rata-rata tingkat pengembalian investasi pada saham dan tingkat inflasi tahunan dalam kurun tersebut ialah berturut-turut sebesar 5,78 persen dan 17 persen. Pada periode yang sama memperlihatkan bahwa apresiasi nilai IHSG melampaui laju inflasi tahunan dalam delapan dari sepuluh bulan dikala laju inflasi berada di bawah angka empat persen. Ketika laju inflasi tahunan berada di antara empat hingga dengan enam persen, apresiasi nilai IHSG melebihi laju inflasi dalam 13 dari 16 bulan yang diperhatikan. Sedangkan saat laju inflasi tahunan melampaui angka enam persen, apresiasi nilai IHSG hanya melebihi laju inflasi dalam sepuluh dari 61 bulan yang diamati.
Hasil studi yang dlakukan oleh Yuki Indrayadi, ihwal kaitan antara inflasi dan kinerja IHSG dalam kurun Januari 1997 sampai dengan Maret 2004 mengindikasikan bahwa dengan inflasi tahunan sebesar 5,92 persen pada akhir bulan April 2004, investasi pada saham dapat diperlukan untuk menunjukkan tingkat pengembalian yang lebih menawan ketimbang penyimpanan uang di bank. Namun, perlu dikenang bahwa investasi di bursa saham yaitu investasi yang mengandung riesiko, Sebagai teladan, IHSG yang ditutup di level tertinggi baru 818,16 pada tanggal 27 April 2004 mengalami penurunan nilai sebesar 4,71 persen menjadi 779,60 dalam empat hari perdagangan, meskipun laju inflasi masih terkendali di bawah angka enam persen. Terlepas dari lebih sederhananya tata cara yang digunakan dan pendeknya rentang data dalam studi, hasil studi ini mengindikasikan bahwa acuan kinerja bursa saham Indonesia seperti dengan contoh kinerja bursa saham di Amerika Serikat mirip yang dikemukakan oleh Fama (1981) di mana kinerja nyata dari investasi pada saham didorong oleh tingkat inflasi yang terkendali dan meningkatnya aktivitas ekonomi riil. Terlepas dari sentimen negatif kepada saham-saham di BEJ yang disebabkan instabilitas politik menjelang pemilu presiden di bulan Juli 2004, mulai pulihnya aktivitas ekonomi riil Indonesia terlihat dari membaiknya profitabilitas dari emiten-emiten di BEJ pada kuartal pertama tahun 2004.
Namun demikian, sekali lagi, efek inflasi kepada kinerja bursa tidak cuma dilihat pengaruh secara pribadi namun juga harus dilihat pengaruhnya secara tidak eksklusif. Secara metodologis diketahui imbas secara eksklusif (direct effect), dampak secara tidak eksklusif (indirect effect) dan dampak total (total effect). Pengaruh tidak pribadi dalam hal ini ialah inflasi akan berpengaruh pada tingginya suku bunga dan lebih lanjut suku bunga akan besar lengan berkuasa pada kinerja bursa. 
Tingkat suku bunga
Salah satu cara pemerintah dalam mengatasi inflasi yakni dengan melakukan kebijakan menaikkan tingkat suku bunga. Tingkat suku bunga ialah ukuran laba investasi yang mampu diperoleh oleh penanam modal dan juga ialah ukuran biaya modal yang harus dikeluarkan oleh perusahaan untuk menggunakan dana dari investor. Hubungan antara tingkat bunga dengan pergerakan harga saham adalah bertentangan. Apabila terjadi kenaikan tingkat suku bunga, maka pergerakan harga saham akan menurun, sebaliknya bila terjadi penurunan tingkat suku bunga, maka harga saham akan naik (Bodie, et.al., 2002) Semakin tinggi tingkat bunga perbankan, akan mengakibatkan penanam modal mengalihkan investasinya pada investasi di perbankan, obligasi atau aset-aset keuangan berpendapatan tetap. Karena investor meminimalkan portofolio saham dengan melepas saham maka supplay saham di bursa saham atau pasar modal berkembangdan selanjutnya akan menyebabkan penurunan harga saham tersebut.
Dari aneka macam faktor ekonomi, untuk dikala ini suku bunga merupakan faktor kunci kepada perkembangan Bursa Efek Jakarta. Pada tingkat suku bunga seperti sekarang ini, merupakan level yang sudah cukup menarik bagi penanam modal untuk menanamkan modalnya pada investasi yang menciptakan bunga. Dilihat dari segi risiko relatif kecil, namun balasannya yang berupa bunga telah cukup menarik untuk dirasakan. Jika suku bunga naik lagi maka akan condong terjadi pengalihan investasi dari bursa imbas terhadap alternatif investasi yang menciptakan bunga. Menariknya investasi dalam bursa saham juga didorong oleh rendahnya suku bunga penyimpanan di perbankan. Suku bunga penyimpanan tersebut dapat dilihat dari dua faktor, yakni nominal dan riil. Suku bunga penyimpanan nominal yakni suku bunga penyimpanan per tahun yang dipublikasikan oleh bank-bank setiap harinya, sedangkan suku bunga penyimpanan riil yaitu suku bunga nominal dikurangi dengan laju inflasi pada saat yang bersangkutan.
Secara teoretis, kalau suku bunga penyimpanan riil di sebuah negara mengalami penurunan, maka investasi di bursa saham menjadi lebih menawan alasannya penanam modal condong untuk mencari tingkat pengembalian yang lebih tinggi.
Hasil penelitian yang dikerjakan oleh Sarwono (2003) memperlihatkan bahwa tingkat suku bunga merupakan variabel yang memiliki imbas kepada harga saham. Begitu pula dengan hasil penelitian yang dikerjakan oleh Okty, (2002) yang menyebutkan bahwa aspek ekstern yang mempunyai dampak besar kepada harga saham yakni tingkat suku bunga dan inflasiHasil penelitian empiris perihal imbas suku bunga kepada IHSG dalam periode waktu tahun 2003 sampai 2004 di BEJ, terdapat bukti yang signifikan bahwa suku bunga kuat negatif kepada IHSG. Semakin tinggi peningkatan suku bunga berarti akan kian melemahkan kinerja BEJ. Angka sensitivitasnya sekitar 0,5 mempunyai arti jikalau suku bunga naik 1% maka indeks harga saham adonan akan turun 0,5%. Sebaliknya kalau suku bunga turun sebesar 1% maka IHSG akan naik sebesar 0,5%. Perubahan lebih lanjut dari suku bunga ialah aspek kunci yang perlu diwaspadai. Dengan mengacu hasil observasi dengan angka sensitivitas 0,5, maka jikalau hingga terjadi suku bunga naik lagi dari 12% menjadi 13% maka cenderung akan terjadi penurunan kinerja bursa efek atau penurunan IHSG kembali posisi menuju 950-an. Namun demikian jika suku bunga membaik atau turun kembali dari 12% ke posisi 11% atau lebih rendah lagi, maka IHSG akan naik kembali menuju posisi 1.100 atau lebih tinggi lagi.