close

Penjaga Sawah | Cerpen Anak Anton Dwi Ratno

Patuh suka burung. Bulan ini padi di sawah Pak Mukit nyaris panen. Pastilah banyak burung kecil bergerombol makan padi. Padi Pak Mukit mampu gagal panen dilahap burung-burung kecil. Karena itu, Pak Mukit senantiasa minta Patuh membantu menjaga sawah.

“Hai, Patuh!” teriak Pak Mukit dr kejahuan.

Patuh menoleh pada Pak Mukit & berjalan di pematang. Lumpur kering terasa menancap-nancap di kaki, tapi Patuh terbiasa menerjang walau tanpa ganjal kaki. Dengan langkah cekatan, Patuh mendekati Pak Mukit.

“Burungnya berbagai, Pak,” kata Patuh sambil memikul gulungan jala & menenteng sangkar.

“Ya begitulah, Patuh,” sahut Pak Mukit.

Pak Mukit berteriak keras, sehingga gerombolan burung berhamburan di udara. Saat itulah Patuh menuju ke tengah sawah, memasang jala. Setelah jala terhampar di kedua segi sawah, Patuh kembali ke tepi menemani Pak Mukit.

Tak lama kemudian, burung-burung itu kembali mendarat. Beberapa ekor tersangkut di jala. Patuh lari menghampiri jala untuk mengambil & memasukkan burung itu sangkar yg sudah berisi masakan & minum.

Burung itu nanti akan ia kumpulkan di sangkar lebih besar di rumah. Patuh merawat burung itu sampai panen usai. Lalu, ia melepas kembali di alam bebas.

“Kamu sungguh bijaksana, Patuh,” puji Pak Mukit yg tahu kebiasaan Patuh itu. “Selain menolong Bapak mengurai hama burung, ananda pun peduli pada nasib burung-burung itu.”

Patuh tersenyum sambil menggaruk kepala.

“Oh, itu alasannya Ayah. Ayah sering mengingatkan, saya tak boleh menyakiti binatang. Hewan pula berhak hidup, Pak.”

“Wah, benar sekali, Patuh!” ucap Pak Mukit.

“Oh iya, Pak, hama kan tak cuma burung. Bagaimana dgn hama lain?” tanya Patuh.

  Puisi Cinta yang Tak Sampai (Sirna)

“Wereng mampu Bapak atasi. Tikus yg lazimnya keluar malam, Bapak serahkan pada Seno,” jawab Pak Mukit.

“Seno?” tanya Patuh terkejut sekaligus penasaran.

Setahu Patuh di sekitar tempat tinggalnya tak ada yg bernama Seno. Pak Mukit pun sebatang kara. Lantas siapa Seno?

“Ya, Seno. ia yg senantiasa mempertahankan sawah Bapak pada malam hari. Kalau ananda ingin tau, nanti malam datanglah ke tempat tinggal Bapak. Bapak perkenalkan pada Seno,” kata Pak Mukit penuh misteri.

“Wah, mau sekali, Pak!” seru Patuh.

*****


Malam hari, Patuh ke rumah Pak Mukit tak jauh dr sawah. Di sana, Patuh tak menyaksikan orang lain. Hanya Pak Mukit yg sedang duduk di teras sambil menikmati secangkir kopi.

“Eh, Patuh. Silakan duduk,” ucap Pak Mukit. “Sebentar, Bapak bawa Seno kemari.”

Dalam sekejap Pak Mukit masuk rumah. Patuh menanti penuh tanda tanya. Sesaat kemudian Pak Mukit muncul dgn seekor burung hantu nangkring di lengan kanannya. Patuh bangkit.

“Perkenalkan, Patuh. Ini si Seno yg Bapak sebut siang tadi,” kata Pak Mukit.

“Wah! Baru kali ini saya menyaksikan burung sebesar ini, Pak,” seru Patuh.

Seno diam. Matanya yg lebar memandang awas ke sekitar. Patuh sungguh senang menyaksikan. ia mengelus punggung Seno. Meski Patuh orang baru, Seno tak terusik. Burung itu tak bergerak dr lengan Pak Mukit.

Sesudah Patuh puas mengelus Seno, Pak Mukit menggerakkan lengan kanannya. Tiba-tiba Seno mengepakkan sayap, terbang ke ranting pohon tertinggi. Warnanya yg tadi kecokelatan kini terlihat hitam pekat seperti bayang-bayang di ujung ranting pohon trembesi. Lalu Pak Mukit mengajak Patuh ke sawah, memberikan burung kesayangan itu mempertahankan sawah.

  Puisi Lentera Hati - Oleh Zie Qarisa Sasmi

Di sawah, mata Patuh terbelalak menyaksikan Seno terbang-layang di langit gelap mengitari seluruh penjuru sawah. Saat itulah Seno terlihat mengembang dua kali lebih besar dr ukuran tubuhnya. Lalu, Seno kembali hinggap di ujung pohon tertinggi. Mengawasi sawah Pak Mukit.

“Begitulah, Patuh, cara Seno menjaga sawah. Matanya yg tajam terus mengawasi hingga pagi buta. Jika menyaksikan tikus, ia akan segera mengusir,” kata Pak Mukit sambil memandang Seno dr kejauhan.

“Luar biasa, Pak! Saya amat senang mampu mengenal burung secerdik Seno,” ucap Patuh gembira.

*****


Tiba saat panen, hasil panen Pak Mukit melimpah. Pak Mukit memberi Patuh setengah karung beras selaku rasa terima kasih. Sebab, Patuh telah menolong & menemani mempertahankan sawah. Tatkala itu pula, Patuh melepas semua burung kecil tangkapan kembali di alam bebas.