close

Pengulangan Tindak Pidana (Recidive)

A. Pengertian

Residive atau pengulangan terjadi jika seseorang yang melaksanakan sebuah tindak kriminal dan sudah dijatuhi pidana dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan aturan tetap atau “in kracht van gewijsde”, kemudian melakukan tindakan melawan hukum lagi. Perbedaannya dengan Concursus Realis yaitu pada Residive sudah ada putusan Pengadilan berbentukpemidanaan yang sudah MKHT sedangkan pada Concursus Realis terdakwa melakukan beberapa perbuatan pidana dan antara tindakan sang satu dengan lainnya belum ada putrusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Residive merupakan argumentasi untuk memperberat pidana yang mau dijatuhkan. Dalam ilmu aturan pidana diketahui ada dua sistem residive ini, yaitu :

Sistim Residive Umum

Menurut tata cara ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindakan melawan hukum apapun dan dijalankan dalam waktu kapan saja, merupakan argumentasi untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Makara tidak diputuskan jenis tindak pidana dan tidak ada daluwarsa dalam residivenya.

Sistem Residive Khusus

Menurut tata cara ini tidak semua jenis pengulangan ialah argumentasi pemberatan pidana. Pemberatan cuma dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan kepada jenis tindak kriminal tertentu dan yang dikerjakan dalam batas waktu tenggang yang tertentu pula.

Dalam KUHP ketentuan mengenai Residive tidak diatur secara lazim dalam “Aturan Umum” Buku I, tetapi dikontrol secara khusus untuk kelompok tindak pidana tertentu baik berbentukkejahatan dalam Buku II maupun pelanggaran dalam Buku III.

Disamping itu di dalam KUHP juga menunjukkan syarat tenggang waktu pengulangan yang tertentu. Kaprikornus dengan demikian KUHP tergolong ke dalam tata cara Residive Khusus, artinya pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan-pengulangan jenis-jenis tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) tertentu saja dan yang dikerjakan dalam tenggang waktu tertentu.

B. Recidive Kejahatan

Dengan dianutnya tata cara Recidive khusus, maka recidive berdasarkan KUHP adalah recidive “kejahatan-kejahatan tertentu”. Mengenai recidive kejahatan-kejahatan tertentu ini KUHP membedakan antara :

  1. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang “sejenis”,
  2. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang termasuk dalam “golongan sejenis”.

Ad. 1 : recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang “sejenis” dikontrol secara tersebar dalam sebelas pasal-pasal tertentu dalam Buku II KUHP yaitu dalam pasal: 137(2), 144(2), 155(2), 161(2), 163(2), 208(2), 216(3), 321(2), 393(2) dan 303 bis (2). Makara ada 11 jenis kejahatan yang jika ada pengulangan menjadi argumentasi pemberatan pidana

Persyaratan recidive disebutkan dalam masing-masing pasal yang bersangkutan, yang pada umumnya disyaratkan sebagai berikut :

  1. Kejahatan yang mesti diulangi harus sama atau sejenis dengan kejahatan yang terdahulu;
  2. Antara kejahatan yang terdahulu dan kejahatan yang diulangi mesti telah ada keputusan hakim berbentukpemidanaan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap;
  3. Si pelaku melakukan kejahatan yang bersangkutan pada waktu mengerjakan pencahariannya (khusus untuk pasal 216, 303 bis dan 393 syarat ini tidak ada)
  4. Pengulangannya dilaksanakan dalam tenggang waktu tertentu yang disebut dalam pasal-pasal terbseut, adalah :

a. 2 tahun semenjak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam pasal 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321), atau

  Teladan Makalah Hukum Budpekerti Wacana Kehidupan Suku Dayak

b. 5 tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam pasal 155, 157, 161, 163, dan 393).

Dengan adanya syarat keputusan hakim yang berbentukpemidanaan dan memiliki kekuatan tetap, maka tidak ada recidive dalam hal :

  1. Keputusan hakim tersebut tidak merupakan pemidanaan, contohnya keputusan yang berupa “pembebasan dari segala tuduhan” (vrisprajk) dan yang berupa “pelepasan dari segala tuntutan” (ontslag) berdasar Pasal 191 KUHAP.
  2. Keputusan hakim terbut masih dapat diubah dengan upaya-upaya hukum yang berlaku (contohnya dengan upaya banding atau kasasi);
  3. Keputusan hakim tersbut berbentukpenetapan (beschikking) misalnya :
  • Keputusan yang menyatakan tidak berwenangnya hakim untuk menilik perkara yang bersangkutan,
  • Keputusan perihal tidak diterimanya permintaan jaksa karena terdakwa tidak melakukan kejahatan.
  • Tidak diterimanya perkara sebab penuntutannya telah daluwarsa.

Pada syarat keempat diatas ditegaskan bahwa ketika pengulangan dijumlah sejak adanya putusan hakim yang berkekuatan tetap. Jadi tidak disyaratkan apakah jenis pidana yang dijatuhkan oleh hakim sebelumnya dan tidak pula disyaratkan apakah pidana yang dijatuhkan itu sudah dilakukan atau belum baik semuanya atau sebagian.

Mengenai pemberatan pidana dalam sistem recidive kejahatan yang sejenis ini berlainan-beda, yakni :

  1. Dapat diberikan pidana komplemen berbentukpelarangan atau pencabutan hak untuk menjalankan mata pencahariannya (untuk delik-delik yang pengulangannya dijalankan pada waktu melaksanakan mata pencahariannya);
  2. Pidananya dapat ditambah sepertiga (khusus untuk delik dalam pasal 216); pasal 216 ayat 3 hanya menyebut “pidana” saja yang berarti bahaya pidana penjara atau denda yang disebut dalam pasal 216 ayat 1 mampu ditambah sepertiga.
  3. Pidana penjaranya dapat dilipatkan dua kali, ialah khusus untuk pasal 393 dari 4 bulan 2 ahad menjadi 9 bulan penjara.

Ad. 2 : Recidive kepada kejahatan-kejahatn tertentu yang masuk dalam satu “golongan jenis” dikontrol dalam pasal 486, 487, 488KUHP

Adapun persayaratan recidive berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut sebagai berikut :

  Kekerasan Politik Seksualitas, Konstruksi Sosial Untuk Mengakses Ekonomi Politik

1. Kejahatan yang diulangi mesti tergolong dalam satu kalangan jenis dengan kejahatan yang pertama atau terdahulu.

Kelompok jenis kejahatan yang dimaksud adalah :

  • Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 486 yang pada umumnya kejahatan harta benda dan pemalsuan, misalnya: Pemalsuan mata uang (244-248), pemalsuan surat (263-264), pencurian (362, 363, 365), pemerasan (368), pengancaman (369), penggelapan (372, 374, 375) , penipuan (378), kejahatan jabatan (415, 417, 425, 432), penadahan (480, 481)
  • Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 487 kebanyakan tentang kejahatan terhadap orang.
  • Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 488 pada umumnya tentang kejahatan penghinaan dan yang berafiliasi dengan penerbitan/percetakan.

Dengan adanya kalangan jenis kejatan-kejahatan mirip dikemukakan diatas, maka tidak mampu dikatakan ada recidive bila seseorang yang melakukan pencurian biasa (362) lalu melakukan delik lagi yang berupa penganiayaan (351) ataupun penghinaan (310) sebab masing-masing delik itu masuk dalam kelompok jenis kejahatan yang berlainan-beda.

Pada umumnya kejahatan-kejahatan ringan tidak dimasukkan selaku bantalan an adanya recidive, misalnyya pencurian ringan (364) penggelapan ringan (373), penipuan ringan (379), dan penadahan ringan (482) tidak dimasukkan dalam kelompok pasal 486 kitab undang-undang hukum pidana. Begitupula pulapenganiayaan ringan ringan (352) tidak dimasukkan pula dalam kelompok 487 KUHP. Tidak dimasukkannya kejahatan ringan dalam kitab undang-undang hukum pidana bekerjsama dapat dimaklumi, tetapi anehnya didalam golongan kejahatan pasal 488 KUHP, penghinaan ringan (315) dimasukkan.

Menarik pula untuk diperhatikan bahwa didalam Pasal 487 (kelompok jenis kejahatan eksklusif orang) tidak disebutkan delik maker dalam PAsal 104 dan semua delik kesusilaan (pasal 281-303) contohnya perkosaan (285), perdagangan wanita (297), pengguguran (299), dan perjudian (303).

Dengan meninjau pasal-pasal yang disebutkan diatas ternyata bahwa dalam tata cara, KUIHP tidak semua kejahatan berat mampu dijadikan sebagai alasan recidive/pengulangan (argumentasi pemberatan pidana)

2. Antara kejahatan yang lalu (yang diulangi) dengan kejahatan yang pertama atau terdahulu, mesti telah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang berkekuatan tetap. Dengan adanya syarat kedua ini, maka tidaklah dapat dikatakan recidive dalam hal putusan hakim tidak berupa pemidanaan atau belum mempunyai kekuatan aturan tetap atau yang berupa beschikking.

3. Pidana yang dijatuhkan hakim terdahulu harus berbentukpidana penjara. Dengan adanya sayarat ini maka tidak ada ganjal an recidive untuk pemberatan pidana bila pidana yang pernah dijatuhkan terdahulu berbentukpidana kurungan atau pidana denda.

4. Ketika melaksanakan pengulangan, tenggang waktunya yaitu :

  1. Belum lewat 5 tahun :
  • Sejak menjalani untuk semuanya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan terdahulu, atau
  • Sejak pidana penjara tersebut sama sekali dihapuskan
  1. Belum lewat batas waktu tenggang daluarasa kewenangan menjalankan pidana penjara yang terdahulu. Misalnya : A pada tahun 1992 dinyatakan bersalah melaksanakan pembunuhan (338) dijhatuhi pidana penjara 8 tahun. Ada beberapa kemungkinan tenggang waktu pengulangan untuk kejahatan yang berikutnya antara lain :
  • Apabila A menjalani semuanya, maka tenggang waktu pengulangannya yaitu sebelum lewat tahun 2005 (perkiraan : 1992 + 8 + 5).
  • Apabila A setelah menjalani sebagian, contohnya 2 tahun, menerima grasi atau pelepasan bersyarat pada tahun 1994, maka batas waktu tenggang penggulangannya yakni sebelum melalui 1999 (perhitungan : 1992 + 2 + 5).
  • Apabila A sesudah menjalani sebagian misalnya 2 tahun pada tahun 1994 melarikan diri, maka batas waktu tenggang penggulanganya adalah sebelum lewat tenggang waktu daluarsa kewenangan melakukan pidana penjara yang terdahulu. Berdasarkan pasal 85 (2) KUHP tenggang waktu daluarsanya dijumlah sejak terdakwa melarikan diri. Kaprikornus batas waktu tenggang recidivenya yaitu sebelum melalui tahun 2010 adalah dihitung mulai tahun 1994 ditambah 16 tahun (tenggang waktu daluarsa kewenangan melaksanakan pidana untuk pasal 338 lihat pasal 84 KUHP)

Dari pola ini dapatlah disimpulkan bahwa batas waktu tenggang recidive mampu lebih dari 5 tahun.

  Metode Politik Ekonomi, Budaya Setempat Tionghoa - Jawa Di Pontianak

C. RECIDEVE PELANGGARAN

Dengan dianutnya tata cara recidive khusus, maka recidive pelanggaran berdasarkan KUHP juga merupakan recidive terhadap pelanggaran-pelanggaran tertentu saja yang disebut dalam Buku III kitab undang-undang hukum pidana.

Ada 14 jenis pelanggaran didalam Buku III KUHP yang bila diulangi mampu merupakan alasan untuk adanya pemberatan pidana, yaitu pelanggaran-pelanggaran terhadap : Pasal : 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, 549 KUHP.

Adapun patokan recidive pelanggaran disebutkan dalam masing-masing pasal yang bersangkutan, yang kebanyakan sebagai berikut :

  1. Pelanggaran yang diulangi mesti sama atau sejenis dengan pelanggaran yang terdahulu, jadi baru mampu dikatakan recidive pelanggaran kalau yang bersangkutan melanggar pasal yang sama.
  2. Harus sudah ada putusan hakim berbentukpemidanaan yang telah berkekuatan aturan tetap untuk pelanggaran yang terdahulu;
  3. Tenggang waktu pengulangannya belum lewat 1 atau 2 tahun sejak adanya putusan pemiudaan yang berkekuatan tetap.

Berdasarkan syarat ketiga ini maka perkiraan tenggang waktu pengulangannya tidak tidak tergantung pada jenis pidana yang pernah dijatuhkan terdahulu dan apakah pidana tersebut sduah dilaksanakan atau belum (seluruh atau sebagian).

* selaku bahan kuliah

S. Maronie