Pengorbanan Cinta Paling Besar Di Dunia

                                                          THE BIGEST LOVE
                                                TILL THE END OF THE WORLD
Cinta, di banyak waktu dan peluang orang berbeda dalam mengartikannya. Manusia tidak jatuh ke dalam cinta juga tidak keluar darinya. Namun, manusia tumbuh dan besar dalam cinta. Cinta, laksana air yang terus mengalir menyusuri hamparan bumi, dia ibarat udara yang mengisi ruang-ruang kosong.
Cinta, menjinjing sesuatu menjadi lebih baik, menenteng kita untuk berbuat lebih tepat. Cinta juga mengajarkan terhadap kita bagaimana arti sebuah pengorbanan dan memahami betapa besar kekuatan yang dihasilkannya. Dengan cinta dunia yang penat ini terasa indah. Ia juga mengajarkan terhadap kita bagaimana caranya harus jujur dan berkorban, memberi dan menerima, melepas dan mempertahankan.
                                                           THE BIGEST LOVE Pengorbanan Cinta Terbesar di Dunia
Telah banyak tinta sejarah mencatat dongeng-kisah yang menggambarkan betapa dahsyatnya kekuatan cinta. Badung Bondowoso, tidak tanggung-tanggung membangunkan seluruh jin dari tidurnya dan membangun seribu candi untuk Lorojongrang seorang. Sangkuriang pun tak kalah dahsyatnya, diukirnya tanah menjadi telaga dengan bahtera yang megah dalam semalam demi Dayang Sumbi terkasih, yang ternyata ibunya sendiri. Di India, Tajmahal bangunan yang maha megah juga didirikan karena cinta. Di setiap jengkal marmer bangunannya terpahat nama kekasih, buah hati sang raja. Bisa jadi, semua cerita besar dunia, berawal dari cinta.
Cinta yaitu kaki-kaki yang melangkah membangun samudra kebaikan. Cinta ialah tangan-tangan yang merajut hamparan permadani kasih sayang. Cinta ialah hati yang senantiasa berharap dan mewujudkan dunia dan kehidupan yang lebih baik. Dan Islam tidak saja mengagungkan cinta namun menunjukkan pola konkrit dalam kehidupan, melalui kehidupan manusia mulia, Rasulullah tercinta.
Ada sebuah kisah tentang totalitas cinta yang dicontohkan Allah SWT melalui kehidupan Rasul-Nya.
Pagi itu, meski langit telah mulai menguning, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayapnya. Pagi itu Rasulullah dengan bunyi terbata-bata menawarkan petuah, “Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal kepada kalian, Sunnah dan Quran. Barang siapa mencinta sunnahku, mempunyai arti menyayangi aku, dan kelak orang-orang yang mencintaiku akan bahu-membahu masuk surga bersama aku.”
Khutbah singkat Pengorbanan Cinta Terbesar di Dunia itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh memandang sahabatnya satu-persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-beling, Umar dadanya naik turun menahan nafasnya. Usman menghela nafas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. “Rasulullah akan meninggalkan kita semua“, desah hati semua sobat abad itu. Manusia tersayang itu, hampir usai menyelesaikan menunaikan tugasnya. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadlal dengan gesit menangkap Rasulullah yang limbung dikala turun dari mimbar dikala itu, seluruh yang datang di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu bila mungkin.
Matahari semakin meninggi, namun pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat yang membasahi pelepah kurma yang menjadi bantalan tidurnya. Tiba-datang dari luar pintu terdengar seseorang yang berseru mengucapkan salam.
“Bolehkah aku masuk?“ tanyanya.
Tapi Fathimah tidak mengizinkanya masuk.
“Maafkanlah, Ayahku sedang demam”, kata Fathimah yang membalikkan badannya dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali mengawalayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fathimah, “Siapakah itu wahai anakku?“
“Tak tahulah aku ayah, tampaknya baru kali ini aku melihatnya”, tutur Fathimah lembut.
Lalu Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan satu-satu bab parasnya seolah hendak dikenang.
“Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan konferensi di dunia, dialah Malaikat Maut”, kata Rasulullah.
Fathimah pun menahan ledakan tangis. Malaikat Maut sama menghampiri, tetapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut menyertai. Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya telah bersiap di atas langit menyambut ruh kekasih Allah.
“Jibril apa hakku nanti dihadapan Allah nanti?“ tanya Rasulullah dengan suara yang amat lemah.
“Pintu-pintu langit sudah terbuka, para malikat telah menanti ruhmu. Semua nirwana telah terbuka lebar menunggu kedatanganmu”, kata Jibril.
Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
“Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” tanya Jibril lagi.
“Kabarkan kepadaku bagaimana nasib ummatku kelak?” Rasulullah balik bertanya.
“Jangan khawatir, wahai Rasul Allah. Aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku : ‘Kuharamkan nirwana bagi siapa saja, kecuali ummat Muhammad sudah berada di dalamnya”, kata Jibril.
Detik-detik semakin erat saat Malaikat Maut melaksanakan tugasnya. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Tampak seluruh badan Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang.
“Jibril, betapa sakitnya sakarotul ajal ini”, lirih Rasulullah mengaduh.
Fathimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk makin dalam dan Jibril mencampakkan tampang.
“Jijikah engkau melihatku sehingga kau palingkan wajahmu, Jibril?” tanya Rasulullah pada malaikat pengirim wahyu itu.
“Siapakah yang tega melihat kekasih Allah direnggut kematian”, kata Jibril.
Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, sebab sakit yang tak tertahankan lagi.
“Ya, Allah dahsyat nian ajal ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan kepada ummatku”, rintih Rasulullah menahan sakit yang tak terkira.
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu. Ali segera mendekatkan telinganya.
“Uushikum bi sholati wa maa malakat aiy manukum, peliharalah sholat dan santuni orang-orang lemah diantaramu”, desahnya.
Di luar pintu, tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fathimah menutupkan tangan di parasnya dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
“Ummatii….ummatii…ummatii .. (umatku… umatku….) ”
Dan putuslah kembang hidup manusia mulai itu.
KINI MAMPUKAH KITA MENCINTAI BELIAU
BESERTA AJARANNYA
SEPERTI BELIAU MENCINTAI KITA(UMMATNYA)?