DARI atas tanggul, ia memandang lepas deras arus bengawan yg kelam & bergelombang bagai rambut ibunya. Matanya memicing, memperhatikan luapan air yg perlahan surut. Seperti biasanya, bila luapan air mulai surut, tepian bengawan itu akan dipenuhi kerikil & endapan-endapan pasir basah, yg bila mengering akan tampak menggunduk seperti bukit-bukit kecil di padang gurun.
Ia hapal betul, kapan air akan meluap & kapan akan surut. Dari rumahnya ia mampu mendengar gemuruh air pasang. Sesekian waktu, bila suara gemuruh itu merendah, artinya air sudah surut & ia akan menaiki tanggul di tepian bengawan itu sambil membawa serok & ciduk pasir yg dibuatnya sendiri dr bekas kaleng kotak biskuit.
Selain sebab paling getol, rumahnya pula paling dekat dr bengawan. Makara ia senantiasa dapat menghimpun pasir lebih banyak daripada teman-temanya.
Ia tinggal di tepian bengawan itu bersama ibu & kedua adiknya. Bapaknya hilang ditelan bah besar lima tahun lalu, jasadnya pula tak pernah ditemukan. Tak ada yg tahu, apakah ia masih hidup atau sudah mati. Rumah bambu itulah satu-satunya warisan nenek moyangnya yg turun temurun hidup sebagai penggali pasir. Bengawan & rumah ringkih itu hanya terpisah oleh suatu tanggul tinggi yg terlihat kuat, yg mungkin sudah ada sebelum kakek buyutnya lahir. Tanggul itulah yg saban hari akrab ia naik-turuni. Dari seberang tanggul itulah ia menolong ibunya yg pincang untuk menghidupi kedua adik perempuannya.
Orang-orang memanggilnya Thekhel. Badanya kecil namun tegap & berisi. Kulitnya hitam kusam oleh sengatan matahari & debu-debu pasir. Rambutnya cepak, merah & kering. Usianya belum genap enam belas tahun. Setamat SMP ia sengaja tak melanjutkan sekolah. Ia tahu, ibunya tak mungkin bekerja lebih untuk membiayai sekolahnya. Maka ia putuskan untuk menggeluti berjibaku dgn pasir & kerikil, meneruskan pekerjaan warisan nenek moyangnya.
Satu adiknya, Menik, berumur sepuluh tahun, & satunya lagi, Yanti, gres masuk SD. Dengan kakinya yg pincang sebelah, ibunya cuma bisa melakukan pekerjaan selaku buruh basuh & adakala sebagai tukang ikat bawang di rumah juragan ladang. Bila tak ada pekerjaan, sementara dua adiknya masih sekolah, ibunya selalu menyusulnya turun ke bengawan untuk sekadar membawakan air putih atau makanan kecil yg mampu ia santap dikala beristirahat dr galian pasirnya.
Berapa pun hasil yg ia mampu dr menggali pasir, senantiasa ia serahkan pada ibunya. Ibunya pun tak pernah banyak bicara, kecuali mengucapkan terima kasih. Di antara teman-temannya, sesama penggali pasir, cuma ia yg tak berani macam-macam. Sebenarnya bisa saja ia menyimpan sendiri uang hasil jerih payahnya untuk ditukarkannya dgn rokok atau minuman berbotol yg baunya menyengat itu. Namun, setiap kali teman-temanya mengajaknya pesta kecil-kecilan ia selalu memiliki alasan yg tepat untuk menolak.
Lamat-lamat ia masih mampu mengingat kata-kata bapaknya lima tahun kemudian. Kini ia baru mampu mencerna kata-kata itu betul-betul, “Fakir itu dekat sekali dgn kafir, Lhe, hanya ada dua pilihan bagi orang miskin mirip kita, syukur atau kufur. Kalau kita bersyukur maka derajat kita akan lebih tinggi dibanding orang-orang kaya yg terpelajar bersyukur. Tapi jika kita kufur, derajat kita akan lebih rendah dibandingkan dengan orang kaya yg kufur.”
Di usianya yg masih hijau ia sudah mempunyai banyak sekali pengalaman biru. Hidup serba sederhana sebagai penggali pasir tak pernah membuatnya mengeluh. Hari melaju dr ahad ke bulan & tahun. Hari-harinya tak ada yg baru. Pagi-pagi buta sebelum dunia terbangun ia sudah bangkit. Usai ke surau ia akan cepat-cepat mengganti pakaiannya dgn dengan kaos oblong panjang yg warnanya sudah tak terperinci.
Pagi-pagi ia akan menaiki tanggul & turun ke tepian bengawan untuk menepuk-nepuk endapan pasir dgn kakinya. Ia mampu menerka-ngira, mana pasir yg bagus & mana pasir yg kurang elok. Bila terdengar bunyi ‘bug’ maka mampu ia tentukan, pasir itu cantik & tak banyak bercampur kerikil. Setelah itu ia akan mulai membuat tanda galian di situ.
Para tengkulak & juragan truk pasir senantiasa tepat waktu memuat pasir-pasirnya. Bila pasir yg ia kumpulkan elok, maka satu baknya mampu dihargai 75 sampai 80 ribu. Namun bila pasir yg ia mampu bercampur lumpur & kerikil, lazimnya para tengkulak cuma akan menghargainya 40 ribu atau terkadang 50 ribu.
Selepas ekspresi dominan penghujan, menjelang kemarau. Ia akan menghimpun banyak duit. Sebab, setelah air bengawan susut, sepanjang tepian bengawan itu akan dipenuhi endapan pasir. Para penduduk akan berbondong-bondong menuruni tanggul, mirip menyambut musim panen. Mereka akan berlomba & berebut menandai galian. Sebab bila sudah ada satu galian, pantang bagi orang lain untuk meneruskan galian di kawasan yg sama.
Bila animo hujan kembali, ia akan banyak menganggur. Sebab luapan bengawan yg deras tak memungkinkannya untuk membuat galian. Bila trend hujan tiba, ia akan banyak menghabiskan waktunya di rumah. Menjagai kedua adiknya, tatkala ibunya pergi ke desa seberang untuk mengambil atau mengantar cucian.
Menganggur sering menjadikannya tak betah. Meski hujan masih mericis, acap kali ia menaiki tanggul dgn gusar. Matanya memicing, mengamati arus bah bengawan yg bergulung-gulung bercampur lumpur & sampah. Ia senantiasa berharap agar air bah tak terlalu besar. Sehingga dua atau tiga hari ke depan ia sudah mampu mengawali galian. Namun, di ekspresi dominan hujan begitu, sebulan sekali saja ia mampu menandai galian, ia sudah beruntung.
Musim hujan, baginya tak ubahnya sebuah ujian. Seperti kemarau panjang bagi para petani. Pada ekspresi dominan penghujan, ia harus banyak bersabar & berdoa. Tatkala bengawan surut pun, ia akan mengalami sedikit kesulitan dlm pekerjaanya. Karena umumnya pasir di tepian bengawan masih dipenuhi air. Sehingga ia harus bekerja ekstra.
Terkadang ia berpikir, barangkali demam isu penghujan memang sengaja diturunkan untuk para penggali pasir, biar mereka rehat barang sejenak. Seperti tatkala Tuhan menciptakan malam untuk istirahat & siang untuk bekerja. Toh, selepas ekspresi dominan penghujan, mereka akan memanen pasir lebih banyak dr biasanya. Pasir-pasir itu memang mirip diciptakan untuk mereka. Meski bertahun-tahun dikeruk, tetapi tak pernah habis, selalu tiba yg gres. Terkadang ia berpikir, entah dr mana hadirnya pasir-pasir itu. Barangkali dr langit yg turun bersama hujan.
Sebenarnya bila dipikir-pikir, trend penghujan tidaklah sekejam itu. Tapi, yg ia keluhkan, ekspresi dominan penghujan kali ini memang sedikit lebih panjang. Buruknya lagi, animo penghujan kali ini tiba sempurna serentak dgn tahun anutan baru. Tatkala kedua adiknya butuh biaya lebih untuk bayar ujian, daftar ulang, buku baru, & tetek bengeknya. Sekilas ia menangkap raut cemas pada wajah ibunya. Uang hasil buruh cuci saja tentu tak cukup, toh saban hari mereka pula butuh makan.
Semalaman ia tak bisa tidur, menimbang-nimbang bagimana melunasi ongkos-biaya sekolah adiknya yg melonjak seperti hantu itu. Matanya masih nyalang, menelanjangi langit-langit rumahnya yg begitu kelam seperti ceruk gua. Sayup-sayup telinganya masih menyimak kemrosak air bah dr balik tanggul, kemerosak yg sedari pagi tak henti-henti. Di antara kemericik hujan yg seperti tak kenal letih, bunyi-suara itu bagai mencibirnya.
Ia menoleh, di sebelahnya ibunya sudah terlelap memeluk adiknya yg paling kecil. Tampak terkembang layar kepayahan pada wajah-wajah itu. Adiknya yg satu lagi sudah mendengkur memeluk bantal dgn liur berleleran di pipi. Ia tersenyum simpul. Namun, jauh sekali di dlm hatinya, ada yg menyala-nyala. Sulutan antara kecemasan, kasihan, marah, tak terima, semua melebur & berkobar dlm dadanya. Ia memaksakan matanya untuk terpejam. Ia ingin rehat sejenak, tanpa menimbang-nimbang apa pun. Ia ingin segera tidur.
Seperti biasa, pagi-pagi kencur ia sudah terbangun. Sisa hujan semalam bikin udara sungguh lembab. Tanah-tanah masih becek & berkubang air. Ibunya pun sudah mulai membakar karet sandal untuk menyalakan tungku. Ia duduk di depan tungku, di sebelah ibunya yg sibuk meniupi api. Asap berhamburan. Ibunya terbatuk-batuk.
“Sini, Mak!” ia mengambil alih, dgn segenap tenaga ia menyemburkan tiupan, api pun berkobar memperabukan kayu & kertas-kertas bekas. Ia & ibunya sama-sama diam, wajah mereka terlihat terang & berkilat-kilat oleh pantulan api yg berkobar dr tungku.
“Terakhir kapan, Mak?” sambil membenahi kayu di perapian bibirnya berkeciap lirih, mirip menggumam.
“Yang terakhir kapan, apanya?”
“Bayar uang sekolahnya Menik sama Yanti.”
“Di suratnya sih Sabtu depan, sebab Senin sudah ujian.” Jawab ibunya datar, tanpa ekspresi. Ia bengong, matanya terpaku pada ranting-ranting yg kemeletak terbakar api dlm tungku.
“Sepertinya, saya harus mengawali galian hari ini,” bisiknya lagi.
“Hush! Setelah bapakmu, sudah lama bengawan itu tak menelan korban. Apa ananda tak dengar, suara kemerosak begitu. Air bengawan masih meluap-luap. Tunggu dulu, setidaknya hingga minggu depan.”
“Tapi, kan, duit sekolahnya Menik terakhir Sabtu, Mak.”
“Halah, itu Mak mampu cari utangan nanti.”
“Cari utangan ke mana lagi, Mak?” ia menekankan suaranya, tak terima. Namun ibunya malah memelototinya. Akhirnya ia memilih diam.
Matahari mengapung naik. Sesekali meredup terhalang mendung yg masih menggumpal di rongga langit. Ibunya sudah berangkat ke desa sebelah. Kedua adiknya pula sudah lesat ke sekolah. Tinggal ia seorang diri. Beberapa kali ia menaiki tanggul, untuk menegaskan luapan air sudah mulai surut atau belum.
Semakin siang, bunyi gemuruh dr balik tanggul kian lirih, kian reda. Untuk ke sekian kali ia menaiki tanggul. Ia tersenyum menang. Air mulai surut. Ia memicingkan mata ke sepanjang tepian bengawan. Tampak gundukan pasir basah yg masih bercampur endapan lumpur, berkilat-kilat oleh kedipan matahari. Arakkan mendung pun terlihat memudar. Ia yakin sekali, langit sudah mulai lelah menangis. Air akan kian surut. Ia tersenyum percaya. Sudah terbayang ancang-ancang cerlang dlm kepalanya.
Ia bergegas. Kembali ke rumah untuk ganti kaus, mengambil serok & ciduk pasir. Ia akan segera mengawali galian. Saat itu juga. Ia akan menandai dua atau tiga galian sekaligus. Ia orang pertama yg menuruni tanggul. Artinya, ia bebas memilih perut pasir yg paling elok untuk ia tandai.
Bergelimanglah alamat-alamat baik dlm kepalanya. Ia akan menghimpun pasir-pasir terbaik. Para juragan pasir akan membayarnya lebih. Biaya sekolah Menik & Yanti akan lunas. Ibunya akan tersenyum lepas. Benar-benar sangkaan yg cerlang. Namun, adakah Pemilik Hujan mengiyakan? Tentu ia tak tahu, bahwa nun jauh di sana, di hulu bengawan, bah besar mulai melata. Di sana, hujan turun deras sekali, sudah berhari-hari. Seharusnya ia ingatlah kata-kata ibunya, bahwa sesudah bapaknya, sudah lama sekali bengawan itu tak menelan korban. (*)