BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Pemilihan Umum
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan fasilitas perwujudan kedaulatan rakyat dengan tujuan untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis. Sebagaimana diamanatkan di dalam UUD 1945, Pemilu diselenggarakan dengan memedomani asas-asas Pemilu, yakni Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia, serta Jujur dan Adil (Luber dan Jurdil).
Pemilihan kepala negara atau dikenal dengan penyeleksian biasa untuk memilih presiden dan wakilnya, serta menentukan wakil rakyat atau anggota legislatif dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) utamanya di indonesia. Pemilihan umum dibagi menjadi dua, yaitu ada yang diseleksi secara eksklusif dan ada yang dipilih oleh wakil rakyat, adalah MPR.[1]
B. Asas Pemilihan Umum
Sesuai dengan isi Ketetapan MPRS No.XI/MPRS/1966 dan No. XLII/MPRS/1968 perihal pemilu, maka pemilihan umum anggota-anggota tubuh permusyawaratan/ perwakilan rakyat yang dikontrol dengan undang-undang ini bersifat umum, pribadi bebas dan rahasia
Adapun yang dimaksud dengan pemilihan yang bersifat:
- Umum yakni bahwa pada dasarnya semua warga negara indonesia yang memenuhi patokan minimal dalam usia, adalah telah berusia 17 tahun atau telah kawin berhak untuk ikut menentukan dalam pemilihan dan yang sudah berusia 21 tahun berhak memilih.
- Langsung yaitu bahwa rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara pribadi menawarkan suaranya, berdasarkan hati nuraninya tanpa perantara dan tanpa tingkatan.
- Bebas yakni bahwa tiap-tiap warga negara yang berhak menentukan dalam memakai haknya dijamin keamaanannya untuk melakukan penyeleksian berdasarkan hati nuraninya tanpa adanya dampak, tekanan ataupun paksaan dari siapa saja/ dengan apapun juga.
- Rahasia yakni bahwa para pemilih dijamin oleh peraturan, bahwa tidak akan diketahui oleh pihak siapa pun dan dengan jalan apapun, siapa yang dipilihnya. Pemilih memberikan suaranya pada suara-bunyi dengan tidak dapat dimengerti oleh orang lain kepada siapa suaranya diberikan (secret ballot).[2]
C. Tujuan Pemilihan Umum
Dalam merealisasikan penyusunan tata kehidupan yang dijiwai semangat impian revolusi kemerdekaan Republik Indonesia Proklamasi 17 agustus 1945 sebagaimana tersebut dalam pancasila/UUD 1945 maka penyusunan tata kehidupan itu haruslah dilaksanakan dengan jalan pemilihan umum.
Dengan demikian, diadakan penyeleksian lazim itu tidaklah sekedar untuk memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk daalam forum permusyawaratan perwakilan rakyat saja (MPR, DPR, DPRD) dan juga tidak menentukan wakil-wakil untuk menyusun negara baru dengan dasar falsafah negara baru, tetapi suatu pemilihan wakil-wakil rakyat oleh yang membawakan isi hati nurani rakyat dalam melanjutkan usaha mempertahankan dan mengembangkan Kemerdekaan Negara Republik Indonesia bersumber pada proklamasi 17 Agustus 1945 guna menyanggupi dan mengemban amanat Penderitaan Rakyat.
Dari uraian di atas jelaslah, bahwa tujuan utama dari pemilihan biasa menurut undang-undang penyeleksian umum ini yaitu:
- Memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk dalam lengkap permusyawaratan/perwakilan.
- Memilih wakil-wakil rakyat yang menjaga tegak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, negara proklamasi 17 Agustus 1945.
- Memilih wakil rakyat yang hendak menjaga dasar falsafah yakni Pancasila.
- Memilih wakil rakyat yang betul-betul membawakan isi hati nurani rakyat dalam melanjutkan usaha menjaga dan berbagi kemerdekaan Negara Kesatuan RI.
Sedangkan fungsi penyeleksian umum yakni :
- Mempertahankan dan menyebarkan sendi-sendi demokrasi di Indonesia
- Mencapai suatu penduduk yang adil dan sejahtera beradasarkan Pancasila
- Menjamin suksesnya perjuangan Orde Baru, ialah tetap tegaknya Pancasila dan dipertahankannya Undang-Undang Dasar 1945.
D. Sejarah Singkat DKPP
Dalam rangka mewujudkan visi pembangunan bangsa melalui kenaikan mutu demokrasi maka diharapkan institusi-institusi negara. untuk mengawal proses penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilu Kada di seluruh Indonesia. Dewan Kehormatan Penyelengara Pemilihan Umum Republik Indonesia atau disingkat DKPPRI ialah forum yang dibentuk dalam praktek demokrasi modern di Indonesia. DKPP ialah produk wacana perbaikan kualitas demokrasi terutama penyelenggara pemilu. Pemilu seakan-akan menjadi beban sejarah politik tersendiri bagi pergantian, bahkan begitu berharganya pemilu dibutuhkan forum khusus yang permanen melaksanakan penegakan arahan etik guna menghasilkan pemilu yang tidak saja luber jurdil tapi merealisasikan proses dan hasil pemimpin yang benar-benarbermartabat.
Keberadaan DKPP bukan merupakan hal gres karena sebelumnya telah ada yang namanya Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DKKPU) semenjak tahun 2008. DKPPU adalah institusi yang difungsikan Undang-undang No. 22 Tahun 2007 ihwal Penyelenggara Pemilu untuk menyelesaikan masalah pelanggaran arahan etik bagi penyelenggara. Namun, wewenangnya tidak begitu berpengaruh, lembaga ini hanya difungsikan mengundang, menyelidiki dan menyidangkan sampai memperlihatkan rekomendasi terhadap KPU dan bersifat Ad Hoc.
DKKPU 2008-2011 dari segi kompetensi keanggotaan cukup baik tetapi dai faktor struktural kurang balance alasannya didominasi oleh penyelenggara pemilu. DKKPU berulang kali dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie dan prestasinya pun lumayan publik termasuk pemerintah dan DPR memperlihatkan apresiasi yang positif. Terobosan memberhentikan beberapa anggota KPUD Provinsi/Kabupaten/Kota. Dari prestasi yang baik dan dengan memperlihatkan tampilan kelembagaan DKKPU yang produktif di mata publik inilah yang kemudian menjadi titik tolak lahirnya institusi DKPP. Pemerintah, dewan perwakilan rakyat, Lembaga Yudikatif, dan lembaga-forum pemantau pemilu sontak mendorong misi mulia ini dengan meningkatkan kapasitas wewenang dan memastikan institusi ini jadi tetap dan tidak hanya menanggulangi isyarat etik pada KPU namun juga bawaslu di tiap tingkatan melalui produk hukum UU No. 15 Tahun 2011 ihwal Penyelenggara Pemilu.
Keberadaan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang hendak menegakkan aba-aba etik penyelenggara Pemilu dipandang cukup penting sehingga disarankan biar dibentuk secara permanen. Berbeda dengan Dewan Kehormatan yang ada sebelumnya. DKPP ialah adonan antara bagian KPU (1 orang), Bawaslu (1 orang), komponen masyarakat (4 orang), dan Partai Politik dengan komposisi terbanyak (9 orang). Adapun 4 orang dari bagian penduduk disarankan oleh dewan perwakilan rakyat (2 orang) dan Presiden (2 orang).
Mencermati komposisi tersebut, terlihat adanya impian partai politik untuk mendominasi dewan kehormatan. Komposisi demikian tidak mempunyai relevansi dalam pembangunan prosedur penegakan adab penyelenggara. DK dengan keanggotaan dari unsur partai politik memberikan adanya kepentingan untuk mengendalikan KPU sehingga mampu menguntungkan kelompok tertentu. DK akan menjadi alat gres untuk mengendalikan penyelenggara.[3]
DKPP secara resmi lahir pada tanggal 12 Juni 2012 dengan komposisi keanggotaa yang cukup membanggakan. Lima anggota DKPP abad 2012-2017 ini berisikan tiga perwakilan unsur dewan perwakilan rakyat adalah Jimly Asshiddiqie, Nur Hidayat Sardini, dan Saut Hamonangan Sirait, Mth, sedangkan komponen pemerintah Abdul Bari Azed dan Velina Singka Subekti, serta dari unsur penyelenggara KPU dan Bawaslu Ida Budhiati, Nelson Simanjuntak.
Track Record kelimanya tidak disangsikan Jimly Asshiddiqie contohnya sejak tahun 2008-2011 jadi ketua DKKPU, Nur Hidayat Sardini pernah jadi ketua Panwas Provinsi terbaik di Indonesia, dan pernah pula jadi Ketua Bawaslu, sedangkan Saut Hamonangan Sirait pernah jadi anggota Panwas Provinsi Jateng dan sempat jadi anggota KPU Pusat, sementara Velina Singka Subekti ialah mantan anggota KPU 2004, dan Abdul Bari Azed beberapa kali jadi Dirjen Kemenkumham RI, dan Ida Budhiati mantan anggota KPUD Provinsi Jateng serta Nelson Simanjuntak sebelumnya aktif selaku tenaga asistensi di bawaslu.
Sejak dibuat DKPP pribadi aktif bergerak cepat, inovatif, profesional, dan produktif, tetapi tetap dalam bingkai amanat UU. Kelimanya menyadari betul betapa jalan terjal yang mesti dilalui mereka dalam rangka menegakkan harkat dan martabat politik bangsa khususnya melalui penyelenggara pemilu. Mereka juga berkomitmen terus memajukan kapasitas penyelenggara pemilu dari dimensi SDM dan infrastruktur guna terwujudnya mutu bangsa dalam berdemokrasi dengan tujuan menciptakan pemimpin bangsa yang amanah.
E. Landasan Kerja DKPP
Terdapat beberapa landasan kerja DKPP yang diungkapkan oleh Jimly Asshiddiqie, dalam jurnalnya perihal pengenalan ihwal DKPP untuk penegak hukum, ialah:
- UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- UU No. 15 Tahun 2011 perihal Penyelenggara Pemilihan Umum;
- UU No. 8 Tahun 2012 ihwal Pemilihan Umum;
- Peraturan DKPP, KPU, dan Bawaslu tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum, ialah:
- Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2012 ihwal Kode Etik Penyelenggara Pemilu;
- Peraturan KPU No. 13 Tahun 2012 wacana Kode Etik Penyelenggara Pemilu;
- Peraturan BAWASLU No. 11 Tahun 2012 perihal Kode Etik PenyelenggaraPemilu;
5. Peraturan DKPP Tahun 2012 perihal Pedoman Beracara Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum.[4]
Dalam melakukan asas kepentingan umum, Penyelenggara Pemilu berkewajiban:
- menawarkan gosip dan pendidikan pemilih yang mencerahkan pikiran dan kesadaran pemilih;
- memastikan pemilih memahami secara tepat tentang proses Pemilu;
- Membuka saluran yang luas bagi pemilih dan media untuk berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan Pemilu;
- menciptakan kondisi yang aman bagi pemilih untuk memakai hak pilihnya atau menawarkan suaranya; dan
- memastikan ketersediaan sarana dan prasarana penunjang bagi pemilih yang membutuhkan perlakuan khusus dalam menggunakan dan menyampaikan hak pilihnya. [5]
F. Sekertariat DKPP
Sekretariat DKPP dipimpin oleh kepala sekretariat yang berasal dari PNS, yaitu jabatan struktural eselon II. Kepala sekretariat DKPP bertanggung jawab terhadap DKPP. Kepala sekretariat DKPP diangkat dan diberhentikan dengan keputusan Mendagri atas permintaan DKPP. Calon kepala sekretariat DKPP disarankan oleh DKPP sebanyak 3 orang calon kepada menteri dalam negeri untuk dipilih dan ditetapkan 1 orang oleh Mendagri selaku kepala sekretariat DKPP. Pegawai sekretariat DKPP berasal dari PNS dan tenaga profesional yang diharapkan. Pola organisasi, tata kerja sekretariat dan hak keuangan anggota DKPP ditetapkan dengan Perpres menurut proposal DKPP.
G. Anggaran
Anggaran belanja KPU, KPU Propinsi/Kabupaten/Kota, Bawaslu, DKPP, Sekjen KPU, Sekretariat KPU Propinsi/Kabupaten/Kota, sekretariat Bawaslu serta sekretariat DKPP bersumber dari APBN. Pendanaan penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD dan Pilpres dianggarkan dalam APBN. Sekjen KPU mengoordinasikan pendanaan penyelenggaraan pemilu yang dilakukan KPU, KPU Propinsi beserta jajaran dibawahnya. Sekjen Bawaslu mengoordinasikan budget belanja Bawaslu, Panwaslu Propinsi dan jajaran dibawahnya. Sedangkan kepala sekretariatan DKPP mengoordinasikan budget belanja DKPP. Pendanaan penyelenggaraan Pemilukada dianggarkan dalam APBD. Kedudukan keuangan tersebut diatur dalam peraturan presiden.
H. Tugas dan Wewenang DKPP dalam Melakukan Pengawasan Kepada Penyelenggara Pemilu
Berdasarkan ketentuan UU wacana Pemilu, dalam penyelenggaraan pemilihan lazim terdapat 3 fungsi yang saling berkaitan yang diinstitusionalisasikan dalam 3 kelembagaan, adalah KPU, Bawaslu, dan DKPP. DKPP atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum bukan forum penyelenggara pemilu, namun tugas dan kewenangannya terkait dengan para pejabat penyelenggara pemilu.
Lembaga penyelenggara pemilu berdasarkan Pasal 23E Undang-Undang Dasar 1945 ialah “komisi pemilihan biasa ”, tetapi oleh undang-undang dijabarkan menjadi terbagi ke dalam 2 kelembagaan yang terpisah dan masing-masing bersifat independen, ialah “Komisi Peilihan Umum” atau KPU, dan “Badan Pengawas Pemilihan Umum” atau BAWASLU (Bawaslu).
Tugas dan kewenangan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum) berhubungan dengan orang per orang pejabat penyelenggara penyeleksian biasa , baik KPU maupun Bawaslu. Dalam arti sempit, KPU hanya terdiri atas para komisioner di tingkat sentra, provinsi, dan di tingkat kabupaten/kota. Demikian pula dalam arti sempit, Bawaslu hanya terdiri atas pimpinan atau anggota Bawaslu tingkat sentra dan Bawaslu tingkat provinsi.
Namun, dalam arti luas, penyelenggara pemilihan umum itu, baik dalam lingkungan KPU maupun Bawaslu, menyangkut pula para peran yang melakukan pekerjaan secara tetap ataupun yang melakukan pekerjaan secara tidak tetap atau adhoc.
Didalam Pasal 110 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum menerangkan bahwa DKPP menyusun dan menetapkan satu instruksi etik untuk menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, serta Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.
DKPP memiliki peran dan wewenang untuk menegakkan dan menjaga kemandirian, intregitas, dan kredibilitas penyelenggara Pemilu. Secara lebih spesifik, DKPP dibentuk untuk mengusut, megadili, dan menetapkan pengaduan/laporan dugaan pelanggaran aba-aba etik yang dilaksanakan anggota KPU, anggota Bawaslu, dan jajaran di bawahnya.
[6]Mekanisme pemberhentian pejabat penyelenggara penyeleksian lazim (pemilu) dinyatakan tidak menjadi wewenang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ini alasannya DKPP ialah forum yang cuma berwenang memutus masalah pelanggaran isyarat etik dan bukan masalah administrasi.
Donny mengatakan, putusan DKPP terkait pelanggaran etik bersifat akhir dan mengikat. Putusan juga tidak dapat diajukan upaya hukum lain kepada putusan yang dikeluarkan. Menurut dia, hal ini dimaksudkan untuk menjaga kehormatan penyelenggara pemilu.
Pasca putusan yang memberikan sanksi teguran tertulis, pemberhentian sementara, maupun pemberhentian tetap pejabat penyelenggara pemilu yang diduga melanggar arahan etik, maka pelaksanaannya bukan lagi menjadi wewenang DKPP, melainkan KPU dan Bawaslu.
Sementara itu, Anggota Bawaslu Divisi Hukum dan Penindakan Pelanggaran, Endang Wihdatiningtyas mengatakan, wewenang DKPP dalam menunjukkan hukuman pemberhentian kepada pejabat penyelenggara pemilu tidak berlawanan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Sebelumnya, mantan Ketua Panwaslu DKI Jakarta, Ramdansyah, merasa tidak terima dengan putusan DKPP yang memberhentikan pejabat penyelenggara pemilu. DKPP sudah bertindak melebihi wewenangnya.
Maka peran kita adalah bagaimana menyebabkan nilai (value) sebagai sistem norma yang mampu dipercayai oleh semua penduduk dalam kaitan kedatangan keberadaan penyelenggara Pemilu. Menjadikan keberadaan DKPP selaku sebuah instrumen sosial politik dalam metode berbangsa yang mampu menarik perhatian publik atau setiap orang, atau dalam bahasa terbaru disebut the believed capacity of any object to statistfy a human desire. Kita ingin menimbulkan forum DKPP selaku instrumen demokrasi yang mencitrakan dirinya dengan nilai kebaikan bareng tanpa ada keberpihakan.[7]
I. DKPP selaku pengadilan ETIKA.
DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum) merupakan kemajuan lebih lanjut dari lembaga DK-KPU DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum) merupakan perkembangan lebih lanjut dari lembaga DK-KPU (Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum) yang sudah ada sebelumnya yang dikelola berdasarkan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.
Sejak UU No. 22 Tahun 2007, putusan Dewan Kehormatan dinyatakan bersifat tamat dan mengikat, sehingga oleh alasannya adalah itu dapat dikatakan memiliki abjad dan prosedur kerja seperti lembaga peradilan. Oleh alasannya adalah itu, sejak terbentuknya DK-KPU pertama kali pada tahun 2009, dimana pemilihan menjadi ketuanya secara berturut-turut selama tahun 2009 dan 2010, prosedur kerja Dewan Kehormatan ini didesain selaku badan peradilan budpekerti yang menerapkan semua prinsip peradilan modern.
Beberapa prinsip penting yang dipraktikkan dalam penyelenggaraan peradilan etik oleh DK-KPU dan juga oleh Dewan Keormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang ada sekarang, contohnya, adalah prinsip-prinsip ‘audi et alteram partem’, prinsip independensi, imparsialitas, dan transparansi. Dengan diberlakukannya prinsip-prinsip tersebut, maka semua pihak yang terkait dengan masalah wajib didengarkan dalam persidangan yang diselenggarakan secara terbuka, dimana para anggota DKPP bertindak sebagai hakim yang menengahi kontradiksi untuk menangani pertentangan dan memperlihatkan solusi yang adil.
Sebagai pengadilan, para anggota DKPP juga bersikap netral, pasif, dan tidak memanfaatkan masalah-masalah yang timbul untuk popularitas eksklusif. Para anggota tidak boleh menikmati kebanggaan yang timbul dari putusan, dan sebaliknya dihentikan pula tersinggung atau marah sebab dikritik oleh masyarakat yang tidak puas akan putusan DKPP. Pendek kata, selaku forum peradilan adat, DKPP juga mesti menjadi acuan perihal sikap etika dalam mengadakan tata cara peradilan etika yang menyangkut aneka kepentingan yang saling bersitegang antara para penerima pemilu dengan penyelenggara pemilu atau antara penduduk pemilih (voters) dengan penyelenggara pemilu, ataupun di antara sesama penyelenggara pemilu sendiri, terutama antara pegawapemerintah KPU dan aparat Bawaslu.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu memanggil dan menyidangkan perkara praduga pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu selalu berpedoman pada Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum. DKPP berwenang menetapkan dan memutuskan hasil sidang-sidang investigasi melalui rapat pleno anggota DKPP dan memberikan Putusan kepada pihak-pihak terkait utamanya Bawaslu dan KPU untuk ditindaklanjuti. KPU wajib melaksanakan putusan DKPP dan Bawaslu ditugaskan untuk memantau pelaksanaan putusan dimaksud.
Berdasarkan peran tersebut maka Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu secara legal formal mempunyai wewenang untuk memanggil para pengadu dan teradu yang menurut pengaduan atau laporan disangka melakukan pelanggaran instruksi etik dengan tujuan penyelenggara Pemilu dan pihak terkait lain memperlihatkan penjelasan terkait duduk perkara yang sesungguhnya sekaligus bagi penyelenggara melakukan pembelaan atas tuduhan-tuduhan yang dilimpahkan kepada mereka. [8]
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu berwenang memanggil para pengadu atau pelapor, para saksi, dan atau pihak-pihak lain dengan maksud dimintai informasi termasuk dokumen serta bukti-bukti lain. Dan salah satu wewenang DKPP yang paling menentukan kecenderungan perbaikan mutu Pemilu dari penyelenggara ialah menunjukkan hukuman utamanya bagi penyelenggara Pemilu yang sungguh-sungguh terbukti berdasarkan data dan fakta persidangan mengambarkan melanggar arahan etik.
Sebagai lembaga kehormatan penyelenggara Pemilu yang kedudukannya independen dan bukan ialah alat kelengkapan KPU dan Bawaslu, kedudukan DKPP mandiri dalam mengeluarkan setiap putusan. DKPP mengeluarkan putusan sesudah melakukan verifikasi laporan yang masuk, dengan mengusut para saksi, memerhatikan bukti-bukti dan mengambil putusan dalam rapat pleno. Tidak ada yang salah dengan putusan akhir DKPP, sebab putusan sejenis pun juga telah sering dikeluarkan oleh komisi etik yang lain. Menurutnya, DKPP tidak bermaksud menegasikan pengawasan yang dijalankan oleh KPU maupun Bawaslu, alasannya sesuai ketentuan, DKPP cuma mengatasi pelanggaran kode etik, sedangkan KPU berwenang menindak pelanggaran pemilu.
Senada dengan keterangan pemerintah, Endang Widianingtyas dari Divisi Hukum Bawaslu menganggap, keputusan Bawaslu yang memberhentikan Ramdansyah dari jabatannya sebagai ketua Panwaslu DKI Jakarta pada 16 November 2012, sudah sempurna dan sesuai mekanisme hukum, alasannya adalah hanya menindaklanjuti dan melakukan putusan DKPP yang memerintahkan pemberhentian tersebut.
Pemberhentian kepada Ramdansyah terkait laporan M. Said ihwal iklan perkumpulan pedagang pasar se-Indonesia, Ramdan mengantarkan gugatan tim berhasil salah satu pasangan kandidat ke Polda Metro Jaya. Siapa saja bisa langsung melaporkan ketidaknetralan penyelenggara Pemilu pada DKPP, tidak mesti melalui Bawaslu. Masyarakat biasa mampu langsung ke DKPP,” urainya.
Di lain pihak, Ramdansyah ketika dijumpai Media MK usai persidangan kembali memastikan keberatan atas pemberhentiannya sebagai ketua Panwas DKI Jakarta. Seharusnya DKPP hanya mengeluarkan nasehat dan bukan sebuah putusan yang sifatnya tamat dan mengikat yang menutup haknya untuk menempuh upaya hukum lanjutan. Dalam hal ini, ia sudah mengajukan gugatan ke PTUN yang juga menyebut sudah terjadi kekeliruan hukum, karena DKPP yang bukan lembaga peradilan sudah mengeluarkan putusan yang melampaui kewenangannya