Pengertian Pedoman Mu’Tazilah Dan 5 Iman Aliran Pedoman Mu’Tazilah

Pengertian Pengertian Aliran Mu’tazilah

Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang artinya “memisahkan diri”. Mu’tazilah yaitu salah satu pedoman fatwa dalam Islam yang banyak terpengauruh dengan filsafat barat sehingga berkecenderungan memakai rasio selaku dasar alasan.

Latar belakang hadirnya Aliran Mu’tazilah yakni sebagai respon masalah teologis yang meningkat di kalangan Khawarij dan Mur’jiah balasan adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul sebab mereka berlawanan usulan dengan kelompok Khawarij dan Murjiah perihal sumbangan status kafir terhadap yang berbuat dosa besar. Pada mulanya nama ini di berikan oleh orang dari luar mu’tazilah alasannya adalah pendirinya, Washil bin Atha’, tidak sependapat dan memisahkan diri dari gurunya, Hasan Al-Bashri. Dalam kemajuan berikutnya, nama ini kemudian di setujui oleh pengikut Mu’tazilah dan di gunakan sebagai nama dari bagi pemikiran teologi mereka.
Tokoh pemikiran Mu’tazilah diantaranya yakni Washil bin Atha’, Abu Huzail Al Allaf, Al Nazzam, Abu Hasyim Al Jubba’i.

Doktrin Ajaran Aliran Mu’tazilah

a. Al Tauhid (keesaan Allah)
Ini ialah inti iman madzhab mereka dalam membangun iktikad tentang mustahilnya melihat Allah di darul baka nanti, dan sifat-sifat Allah itu ialah substansi Dzatnya sendiri serta Al Qur`an yaitu makhluq.

Dalam buku Ahmad Hanafi M.A., Theology Islam (Ilmu Kalam) dikutip persepsi al-Asy’ari yang menyebutkan bahwa kaum Mu’tazilah menafsirkan Tauhid sebagai berikut:
“Tuhan itu Esa, tidak ada yang menyamainya, bukan benda (jisim), bukan orang (syakhs), bukan jauhar, bukan pula aradh, tidak berlaku padanya, mustahil mengambil tempat (ruang), tidak bisa disifati dengan sifat-sifat yang ada pada makhluq yang menunjukkan ketidak azalian-Nya. Tidak dibatas, tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan, tidak dapat diraih pancaindera, tidak mampu dilihat mata kepala dan tidak mampu digambarkan logika pikiran. Ia Maha Mengetahui, berkuasa dan hidup, namun tidak seperti orang yang mengenali, orang yang berkuasa dan orang yang hidup cuma Ia sendiri yang Qadim, dan tidak ada yang lain yang Qadim. Tidak ada yang membantu-Nya dalam membuat apa yang diciptakan-Nya dan tidak membikin makhluq alasannya pola yang telah ada apalagi dulu.”

b. Al-‘Adl (keadlilan Tuhan)
Paham keadilan yang dikehendaki Mu’tazilah ialah bahwa Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan tindakan manusia dan manusia dapat menjalankan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya dengan qudrah (kekuasaan) yang ditetapkan Tuhan pada diri insan itu. Tuhan tidak memerintahkan sesuatu kecuali berdasarkan apa yang diinginkan-Nya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak tahu menahu (bebas) dari keburukan-keburukan yang tidak boleh-Nya.

Dengan pemahaman demikian, maka tidaklah adil bagi Tuhan seandainya Ia menyiksa manusia alasannya perbuatan dosanya, sementara tindakan dosanya itu dijalankan alasannya adalah diperintah Tuhan. Tuhan dibilang adil bila menghukum orang yang berbuat buruk atas kemauannya sendiri.

c. Al-Wa’d wa al-wa’id (kesepakatan dan ancaman)
Al-Wa’du Wal-Wa’id (kesepakatan dan ancaman), bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi akad-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam nirwana, dan melaksanakan bahaya-Nya (al wa’id) bagi pelaku dosa besar (meskipun di bawah syirik) biar dimasukkan ke dalam neraka, awet baka di dalamnya, dan dilarang bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah

d. Al-Manzilah bain al Manzilatain (posisi diantara posisi)
Secara harfiah, berarti posisi diantara dua posisi. Menurut Mu’tazilah maksudnya yakni sebuah kawasan antara surga dan neraka selaku konsekwensi dari pemahaman yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar ialah Fasiq; tidak dikatakan beriman dan tidak pula dikatakan kafir, ia tidak berhak dihukumkan Mu’min dan tidak pula dihukumkan Kafir, begitu juga dieksekusi munafiq, alasannya adalah sesungguhnya munafiq berhak dihukumkan kafir seandainya telah dikenali kenifaqkannya. Dan tidaklah yang demikian itu dihukumkan terhadap pelaku dosa besar.

e. Amar ma’ruf nahi mungkar
Dengan berpegang terhadap QS. Ali Imran;104 dan QS. Luqman;17 , mirip halnya golongan lain bahwa perintah untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat jahat yakni wajib ditegakkan. Dalam pandangan Mu’tazilah; dalam kondisi wajar pelaksanaan al-amru bil ma’ruf wan nahyu‘anil munkar itu cukup dengan permintaan saja, tetapi dalam kondisi tertentu perlu kekerasan.

  Sejarah, Pertumbuhan Dan Pendekatan Dalam Studi Islam

Baca juga fatwa-ajaran lainnya disini:

  1. Aliran Qadariyah👈
  2. Aliran Jabariyah👈
  3. Aliran Syi’ah👈
  4. Aliran Murji’ah👈
  5. Aliran Khawarij👈