Pengertian Makna Denotatif dan Konotatif
Makna denotatif yaitu makna sebenarnya atau makna yang memang sesuai dengan pengertian yang dikandung oleh kata tersebut. Kata makan artinya memasukkan sesuatu ke dalam lisan, dikunyah, dan ditelan. Arti kata makan tersebut adalah makna denotatif. Makna denotatif disebut juga makna lazim.
Makna konotatif adalah bukan makna bahwasanya. Dengan kata lain, makna kias atau makna tambahan. Contoh kata putih bisa memiliki arti suci atau tulus tetapi juga dapat bermakna menyerah atau polos.
Penggunaan kata mempunyai arti konotatif juga berhubungan dengan nilai rasa, baik nilai rasa rendah maupun tinggi. Contoh kata gerombolan dan kumpulan secara denotatif bermakna sama, yakni kalangan manusia.
Dua pasang kata tersebut meskipun bermakna denotasi sama, tetapi secara konotasi mempunyai nilai rasa yang berlainan. Kata gerombolan memiliki nilai rasa yang rendah, sedangkan kata kumpulan bernilai rasa tinggi.
Kaprikornus, kata gerombolan mempunyai nilai rasa yang lebih rendah bahkan berkonotasi negatif dari kata kumpulan. Hal ini terbukti pada frasa gerombolan pengacau bukan kumpulan pengacau. Masih banyak kata yang secara denotatif mempunyai kesamaan arti, tetapi konotasinya berlawanan nilai rasa.
Beberapa kata bahkan mampu dikonotasikan secara negatif, misalnya kata kebijaksanaan. Kata ini berdasarkan arti yang sebetulnya yaitu kelakuan atau tindakan berakal dalam menghadapi suatu persoalan. Tapi banyak penggunaan kata kebijaksanaan yang menyeleweng dari arti sebetulnya.
Kata kebijaksanaan dikonotasikan dengan permintaan biar permasalahan mampu tanpa kendala. Hal yang serupa terjadi juga pada pemakaian kata pemahaman. Dalam kalimat “Pembagian kompor gas ini memang tidak dipungut bayaran, tapi kami mohon pengertiannya,” kata pemahaman memiliki makna lain yakni, minta imbalan walau sedikit dan sebagainya.
Konotasi juga dapat menawarkan nilai rasa halus dan bernafsu. Untuk sekelompok penduduk pemakai bahasa tertentu, suatu atau beberapa kata mampu bernilai rasa kasar, tetapi pada kelompok masyarakat yang lain dirasakan lazimsaja atau masuk akal saja, misalnya kata laki-bini untuk kalangan masyarakat Melayu dianggap biasa, tetapi untuk kalangan masyarakat intelek dianggap bernafsu.
Kata-kata berkonotasi halus disebut juga dengan istilah ameliorasi dan yang berkonotasi berangasan disebut peyorasi. Kata-kata bernilai rasa halus biasa dipakai pada pemakaian bahasa dalam situasi resmi, sebaliknya kata-kata bernilai rasa bernafsu biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari atau dalam suasana nonformal.
Pada prosa fiksi utamanya cerpen atau novel terkenal, sering terdapat bentuk-bentuk percakapan sehari-hari atau bahasa gaul. Dalam sastra terkenal, pengarang lebih bebas menggunakan kata-kata yang dianggapnya sesuai dengan abjad tokoh.
Dalam bercerita pun, penulis terkenal lebih condong menyajikan bahasa yang segar dan komunikatif sesuai dengan peminat cerpen atau novel yang kebanyakan dari golongan sampaumur. Hal itu juga untuk membangun latar atau situasi yang memang sesuai dengan tema-tema terkenal yang dipilihnya mirip tema wacana cinta, pergaulan dewasa, atau permasalahan di sekolah.
Pada novel atau cerpen sastra, penggunaan bahasa lebih pilih-pilih. Dalam prosa sastra atau sastra klasik, bahasa tergolong menjadi faktor penentu mutu pengarang dan karyanya yang masih menekankan komponen estetika.
Bahasa yang dipergunakan akan menjadi ciri khas tersendiri dari pengarangnya dalam mengolah kisah. Penggunaan bahasa nonformal biasanya terdapat pada tema-tema tertentu yang memang mengusung latar budaya yang sesuai atau untuk percakapan tokoh yang memang mempunyai huruf bicara seperti itu.
Contoh cerpen populer:
“Siang, sepulang sekolah, Olga dan Wina nongkrong di fastfood PI Mall. Olga sibuk membaca formulir penda..aran jadi penyiar di TV Swasta. Sedang Wina mengawalsambil matanya jelalatan ngeceng pemuda-perjaka melalui.
Suasana PI Mall siang itu cukup ramai. Ya, sentra pertokoan memang senantiasa ramai. Ramai oleh remaja. Yang kerjanya hanya window shopping. Ngelihat-lihat barang mewah tanpa punya duit buat beli. Mungkin alasannya memang sudah kekurangan hiburan yang inovatif. Ya, habis mau ngapain lagi? Ada tanah kosong sedikit, langsung dibuat plaza.
Kayaknya rakyat Indonesia itu sejahtera banget. Senang buang-buang duit. Buktinya pusat belanja ada di mana-mana. Sampai ke kawasan terpencil. Padahal kalo diliat-liat, yang bisa beli orangnya yang itu-itu juga. Anak remaja yang lain sih hanya numpang ngase (ngase lho, bukan ngaso! Maksudnya numpang ngademin di-AC).”
Contoh serpihan novel sastra nonpopuler:
“Kabar untuk Sofi”
Betul kamu bilang, Sofi. Kata orang puisi yakni nurani. Demikianlah panyair-penyair di Negeri Bayang sepertimu akan disertai oleh para orang bernurani setiap mereka akan mati.
Katamu, akan ada penyair yang ketika kematiannya, orang tua dan anak muda yang berhati nurani pun akan menangis dan rela menjadi pelayatnya walau sebelumnya tak pernah mengenal biografi si penyair.
Katamu, mereka akan mengantarkan mayit si penggubah kata sampai ke lubang makam. Kau bilang suara doa, untaian puisi, lagu kerakyatan, akan terdengar ketika tanah digali dan bunga-bunga akan segera menyusul. Bunga mawar dan bunga doa untuk kaummu, Sofie terkasih.
Puisi adalah nurani, bisikmu. Demikianlah, kamu percaya kata-kata akan menyusup ke telinga para penghuni kota yang menangis dan tersisih. Yang tertidur akan bangkit, sebab tergugah oleh kata-kata perlawanan dari beberapa untai syair.
Tapi engkau tahu. Betapa syair belum bisa menusuk telinga -telinga para penjaga pintu peradilan dan para pengawal gedung dewan legislatif.
Betapa pasal-pasal di kitab undang-undang negeri Bayang saja telah disulap menjadi untaian kata-kata tak memiliki arti yang orang-orang akan mudah terjebak oleh para pembuat undang-undangnya.
…………………….
(Dikutip dari cerpen Sihar Ramses Simatupang, Kompas, 28 Oktober 2007)
Pada puisi, penggunaan kata berarti denotasi dan konotasi mesti melalui penelaahan pada isi puisi keseluruhan. Diksi atau kata yang dipilih oleh penyair tidak bangun sendiri. Sebuah kata mampu mengandung banyak makna alasannya prinsip kepadatan serta unsur verbal pada puisi.
Penyair dapat saja mengungkapkan perempuan yang dikasihinya dengan ungkapan bernilai rasa agresif seperti istilah betina, tetapi tidak bermakna kekasihnya wanita pembangkang, malahan sebaliknya sebab intensitas kemesraannya. Untuk puisi semua dapat sah-sah saja bergantung pada kemauan dan maksud penulisnya.
Contoh penggalan puisi:
“PAHLAWAN TAK DIKENAL”
Sepuluh tahun yang lalu beliau terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bulat di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
………………………………………………………………….
Oleh: Toto Sudarto Bachtiar
Puisi di atas menggunakan kata berkonotasi halus mirip, terbaring, lubang peluru lingkaran di dadanya, dan senyum beku yang mempunyai arti mati, tertembak dan penuh lapang dada.
Makara, pemakaian kata-kata berkonotasi halus mencerminkan perilaku hormat penyairnya terhadap jagoan yang nrimo mengorbankan jiwa dan raganya untuk membela tanah air.
Bandingkan dengan puisi berikut:
“TAK SEPADAN”
Aku kira:
Beginilah nanti hasilnya
Kau kawin, beranak, dan berbahagia
Sedang saya mengembara serupa Ahasveros.
…………………………………………….
…………………………..
Melayang ingatan ke biniku
Lautan yang belum terduga
Biar lebih kami tujuh tahun bersatu
……………………………..
Perhatikan pecahan puisi Chairuil Anwar: Yang pertama memakai kata-kata berkonotasi berangasan mirip: kawin dan beranak. Dan pada puisi kedua terdapat pemakaian kata bini.
Penggunaan bahasa sehari-hari banyak terdapat pada puisi Mbeling (sebuah fatwa puisi modern yang dimotori oleh Remy Silado).