Pengertian Dan Manfaat Wonosobo
Wonosobo yaitu kota pegunungan yang konon berasal dari kata Bahasa Jawa “wana” (hutan) dan “saba” (didatangi). Artinya, kota itu berkembang dan meningkat lantaran sejumlah orang (luar) yang datang dan menghuni hutan pengunungan tersebut. Kota ini merupakan salah satu kabapaten yang termasuk dalam Karesidenan Kedu dan menjadi bagian Propinsi Jawa Tengah yang terletak di lereng beberapa gunung dan pegunungan, mirip Gunung Sindoro, Sumbing, Prahu, Bismo, serta pegunungan Telomoyo, Tampomas, serta Songgoriti. Oleh alasannya adalah letaknya di pegunungan itulah, maka kesuburan tanahnya amat tinggi. Kesuburan tanah itu sungguh berpengaruh terhadap kesempatanpertanian dan perkebunan di Wonosobo, sehingga dunia pertanian dan perkebunan ialah sumber penghasilan penting bagi Wonosobo.
Di segi lain Kabupaten Wonosobo memiliki banyak objek rekreasi, di antaranya Dataran Tinggi Dieng, Telaga Warna, Telaga Pengilon dan Gua Semar, Kawah Sikendang, Tuk Bimolukar, Agro Wisata Tambi, Telaga Menjer dan banyak sekali objek wisata lainnya. Selain itu, Wonosobo juga kaya akan kesenian tradisional, sayangnya cuma sekadar ditampilkan pada acara peringatan khusus seperti HUT kemerdekaan RI, perhelatan warga penduduk sekitarnya, dan jarang dijadikan pendukung asset rekreasi setempat.
Keunggulan objek rekreasi alam tersebut, idealnya masih mesti banyak dikembangkan lagi. Terutama, tunjangan masyarakat setempat yang menjadi bab tak terpisahkan dari objek rekreasi tersebut. Salah satu di antaranya yakni atraksi kesenian tradisional yang merupakan bagian dari keperluan integratif penduduk setempat. Sebagai kebutuhan integratif, kesenian tradisional bagi penduduk Wonosobo akan tetap dipertahankan sepanjang kesenian tersebut mampu menampung pandangan, aspirasi, dan ide mereka. Kebutuhan akan pengembangan pariwisata di kawasan ini akan sejalan, kalau didukung dengan persepsi, aspirasi, dan gagasan masyarakat lokal. Dari sinilah perlu ditemukan versi-versi pengembangan atraksi kesenian tradisional yang ada di daerah Wonosobo, sebagai strategi pemahamanan pengetahuan rekreasi penduduk setempat.
Lebih dari itu, kita tahu bahwa kompetisi global menuntut adanya modernisasi di sektor pariwisata. Hal itu perlu dilakukan biar pelancong bersedia berkunjung dan merasa kerasan di kota yang dikunjunginya. Tak terkecuali dengan Kabupaten Wonosobo yang menyimpan objek rekreasi yang lumayan banyak, misalnya Dataran Tinggi Dieng, Telaga Warna, Telaga Pengilon dan Gua Semar, Kawah Sikendang, Tuk Bimolukar, Agro Wisata Tambi, Telaga Menjer dan banyak sekali objek wisata lainnya.
Permasalahan muncul saat pembangunan sektor pariwisata bertahap mengancam keberadaan dan kelestarian budaya setempat. Secara perlahan-lahan tetapi niscaya penduduk akan mengadopsi budaya yang lebih modern yang berasal dari luar budayanya sendiri. Sementara ekspresi budaya seperti kesenian tradisional yang sudah menjadi keperluan integratif masyrakat lokal yang sebetulnya dapat dijadikani asset wisata justru terabaikan.
Hal itu menjadikan duduk perkara tersendiri. Kebanyakan turis tiba ke Wonosobo bukan pertama-tama untuk menikmati suasana terbaru, melainkan justru untuk mengenal dan menikmati suasana dan kebudayaan setempat. Maka, jika secara perlahan-lahan kebudayaan setempat tergeser, dapat dipastikan bahwa lama kelamaan Wonosobo akan kehilangan aset untuk disediakan pada para pelancong. Tak ada lagi kekhasan Wonosobo yang dapat dikedepankan untuk mempesona pelancong.
Persoalan tersebut perlu dicari solusinya. Pengembangan pariwisata Wonosobo perlu diarahkan pada pengembangan pariwisata yang berorientasi pada pelestarian budaya. Untuk menciptakan pengembangan pariwisata yang berorientasi pada kelestarian budaya, salah satunya ialah mensinergikan antara objek rekreasi dengan aset kesenian tradisional yang dimiliki oleh kabupaten setempat. Sebab, sebagaian dari atraksi wisata intinya mampu melengkapi daya tarik wisata. Dari sinilah diperlukan revitalisasi kesenian tradisional selaku strategi pemahamanan wawasan rekreasi penduduk setempat. Di samping itu, revitalisasi tersebut juga ialah bentuk pengembangan pariwisata yang memperhatikan kelestarian budaya, mampu diyakini bahwa dari waktu ke waktu Wonosobo akan tetap bisa mempertahankan eksistensinya sebagai kota pariwisata.
Mengidealkan Wonosobo sebagai kota pariwisata, tentu bukan sesuatu yang berlebihan. Predikat kota pariwisata diberikan pada Wonosobo karena sudah usang kota Wonosobo menjadi tempat tujuan pariwisata baik pelancong domestik maupun luar negeri. Dataran tinggi Dieng misalnya, ialah salah satu tujuan rekreasi di Jawa Tengah, yang sungguh unik. Dieng yakni dataran tinggi yang curam dan terjal namun ditanami oleh banyak sekali macam tumbuhan dan sayuran. Sejak dahulu daerah ini diketahui sebagai pusat banyak sekali macam flora dan sayuran. Selain itu, situasi pagi Dieng terasa sangat sejuk dan kita tidak tahu kapan kabut turun yang menciptakan suasana menjadi lebih mistis.
Eksotika panorama tempat ini telah tidak disangsikan lagi, ada banyak objek landscape yang dapat dirasakan. Misalnya, Telaga Warna merupakan salah satu telaga yang paling banyak dikunjungi oleh turis. Di sini wisatawan dapat menikmati tiga macam warna telaga: biru, hijau dan coklat. Selain itu, masih ada telaga lainnya seperti telaga Merdada, Sumurup dan Pengilon.
Selain objek wisata telaga dan panorama, turis bisa menikmati objek arsitektur aejarah. Di sini terdapat situs reruntuhan candi purbakala Hindu yang konon dibangun bersamaan dengan zaman dibangunnya Candi Borobudur, sekitar kurun ke-8 Masehi. Tempat ini, dahulu ialah sentra penyebaran agama Hindu pertama di Jawa Tengah. Para hebat arkeolog percaya komunitas Hindu didataran tinggi Dieng ialah awal lahirnya Dinasti Syailendra yang pada zamannya membangun candi yang monumental dalam sejarah. Selain reruntuhan candi turis juga dapat menemukan reruntuhan sisa-sisa kerajaan masa lampau. Yang unik, candi-candi di sekeliling Dieng ini dinamai tokoh-tokoh pewayangan. Ada empat kelompok candi ialah golongan Candi Dwarawati dan Parikesit, kelompok Candi Dwarawati Timur, kalangan Candi Setyaki, Ontorejo, Petruk, Nala Gareng, dan Nakula-Sadewa, serta kelompok Candi Arjuna, Semar, Sembodro, Puntadewa, dan Srikandi. Kelompok bangunan candi Dieng ini terletak pada ketinggian 2.000 meter di atas permukaan bahari dan ditemukan pada sekitar tahun 1800.
Kawah dataran tinggi Dieng termasuk masih aktif, alasannya masih mengeluarkan welirang panas dan beberapa ada yang beracun. Jika wisatawan terpesona untuk mengunjungi beberapa kawah yang terdapat di daerah ini semestinya menanyakan terhadap masyarakatsekitar, kawah mana saja yang cukup kondusif dikunjungi. Salah satu kawah yang populer yaitu Kawah Candradimuka, yang dinamai menurut dongeng Gatot Kaca dilebur di kawah tersebut. Jalan untuk menuju kawasan ini sangatlah menanjak dan jalan yang berliku sangat tajam.
Di segi lain Kabupaten Wonosobo juga menyimpan sejumlah kesenian tradisonal yang selama ini menjadi kebutuhan integratif penduduk setempat. Sebagai kebutuhan integratif, kesenian tradisional bagi penduduk Wonosobo, akan tetap dipertahankan, sepanjang kesenian tersebut bisa menampung persepsi, aspirasi, dan gagasan mereka. Kebutuhan akan pengembangan pariwisata di wilayah ini akan sejalan, jika disokong dengan pandangan, aspirasi, dan gagasan masyarakat lokal.
Kabupeten Wonosobo memiliki sejumlah kesenian di antaranya, kesenian kuda kepang, lengger, angguk, cepetan, bangilon, bundengan, dan kesenian yang lain. Tari kuda kepang adalah kesenian yang dibawakan oleh tujuh penari, seorang penari selaku pemimpin (plandang) dan enam penari selaku serdadu pengikut. Tari ini menggambarkan legenda Raden Panji Asmara Bangun yang sedang mencari kekasihnya yang berjulukan Sekartaji.
Kesenian Lengger merupakan kesenian yang berasal dari kata “le” panggilan untuk anak pria dan “ger” membuat ricuh atau ramai. Karena memang mulanya tarian lengger dibawakan oleh seorang anak laki-laki yang dirias seperti perempuan. Mengawali Tarian Lengger biasanya dimulai dengan: tarian Gameyong (tarian ucapan selamat datang), tarian Sulasih (tarian memanggil roh bidadari), tarian Kinayakan (tarian yang dibawakan dengan perasaan halus), tarian Bribil (menggambarkan rasa terimakasih), tarian Samiran (menggambarkan wanita yang bersolek karena rasa rindu), tarian Rangu-rangu (pada tarian ini biasanya penari kemasukan roh jahat), tari Kebo Giro (tarian ini bersifat ganas dan kasar), tari Kembang Jeruk (menggambarkan penari kemasukan roh seperti kera), dan diakhiri tarian Gones (tarian ini bersifat lucu).
Tari Angguk, adalah tarian yang gerakannya yang mengangguk-angguk. Dengan kostum wayang orang dan lagu bernafaskan Islam. Tari Cepetan ialah tarian dengan muka para penarinya di corang-coreng (Jawa=cepat-cepot), tetapi dalam perkembangannya tidak lagi di coreng-coreng tapi hanya dengan menggunakan kain epilog. Lagu yang dibawakan berbahasa Indonesia yang kurang tepat dan bernafaskan Islami. Tari Bangilon merupakan tarian keprajuritan dengan kacamata hitam lingkaran selaku ciri khasnya. Untuk mengiringi tarian mereka bernyanyi tolong-menolong yang diambil dari Kitab Barjanji yang disadur sedemikian rupa.
Bundengan ialah bentuk kesenian yang sudah sungguh langka dan mungkin satu-satunya di Wonosobo atau bahkan di Indonesia, alat yang dipakai yakni sebuah koangan (alat untuk menggembala belibis). Koangan itu yang yang dibuat dari pelepah bambu (clumpring bahasa Jawa) serta ijuk dan biasa digunakan untuk menyanyi penggembala ternak belibis, kemudian dalam perkembangannya bisa untuk mengiringi banyak sekali jenis nyanyian pop, dangdut, kasidah dan bahkan mampu mengiringi tarian lengger.
Sedangkan kesenian tadisional yang lain di Kabupaten Wonosobo juga lumayan banyak. Ada puluhan kesenian yang sungguh layak untuk dicicipi, contohnya Badutan, Bambu Runcing, Bangilun, Bugisan, Cekak Mondol, Dayakan, Dagelan Punokawan, Madyo Pitutur, Panembromo, Pentulan, Srandul, Thek Ethek Kampling, Turonggo Baras dan sejumlah kesenian tradisional yang telah sungguh langka namun masih tumbuh meningkat di Wonosobo.
Istilah pariwisata berasal dari bahasa Sansekerta, yang mempunyai dua suku kata yakni “pari” (bermakna seluruh, semua atau sarat ) dan “wisata” (memiliki arti perjalanan atau berpergian) (Pambudi, 1998:8). Sehingga, pariwisata dapat diartikan sebagai sesuatu yang bekerjasama dengan perjalanan untuk wisata, pelancongan dan tourism (Pendit., 1967:37). Di Indonesia perumpamaan pariwisata, konon untuk pertamakali digunakan oleh mendiang mantan Presiden Soekarno, dalam sebuah percakapannya selaku padanan dari perumpamaan tourism (Soekadijo, 1997:1).
Terdapat banyak definisi tentang pariwisata, antara lain dibilang bahwa pariwisata ialah, keseluruhan dari gejala-gejala yang ditimbulkan oleh perjalanan, dan pendiaman orang-orang gila, serta penyediaan daerah tinggal sementara, asalkan pendiaman itu tidak tinggal menetap dan tidak memperoleh penghasilan dari aktivitas yang bersifat sementara (Yoeti, 1983:106). Pariwisata mampu juga diterjemahkan selaku aktivitas seseorang yang menyelenggarakan perjalanan untuk kesenangan melancong, sebab rasa ingin tahu, dan alasannya tidak mempunyai pekerjaan lain yang lebih baik dilakukan (Lunberg, 1997:13).
Dalam laporan persoalan dan perspektif pariwisata nasional, dibilang bahwa pariwisata ialah proses bepergian sementara seseorang atau lebih ketempat lain di luar daerah tinggalnya, untuk berbagai kepentingan lain baik ekonomi, sosial, kebudayaan, politik, agama dan kesehatan maupun kepentingan lain yang bersifat sekedar ingin tahu dan menambah pengalaman atau berguru (Dirjen Pariwisata, 1978:40).
Dalam arti luas, pariwisata yaitu kegiatan wisata diluar domisili untuk melepaskan diri dari aktifitas berkala , atau mencari suasana lain. Sebagai suatu aktifitas, pariwisata telah menjadi bagian penting dari keperluan dasar penduduk maju dan sebagian kecil masyarakat negara meningkat (Weber., 2006:1). Dengan adanya aktivitas pariwisata, sering muncul evaluasi akan mengakibatkan ekses-ekses negatif kepada keberadaan nilai-nilai budaya. Akan tetapi, ada juga yang secara obyektif menilai, justru tak sedikit donasi atau pertolongan pariwisata terhadap pelestarian nilai-nilai budaya. Sebab, dengan adanya pariwisata justru akan menumbuhkan hasrat kemajuan kebudayaan asli, bahkan mampu juga membangkitkan kembali komponen-komponen kebudayaan yang telah hampir dilupakan (Soemardjan, 1994:59).
Dalam observasi ini fokus penelitian lebih mengarah terhadap kekerabatan resiprositas antara masyarakat setempat dan acara pariwisata. Masyarakat lokal selain memiliki hak terusan pemanfaatan atas sumberdaya alam yang ada disekitar mereka juga mempunyai potensi yang baik untuk menangkap kesempatan dan mengekspresikan dirinya, demi memberi kontribusi berkembangnya pariwisata di wilayahnya (Rahardjo, 2004:12). Hal itu, didukung usulan Cernea dalam Lindberg K and D E, Hawkins (1995). Diungkapkan, partisipasi setempat menawarkan peluang efektif dalam aktivitas pembangunan. Hal ini mempunyai arti memberi wewenang atau kekuasaan pada masyarakat sebagai bintang film sosial dan bukan subjek pasif untuk mengelola sumberdaya yang ada sesuai dengan kemampuannya.
Beberapa masalah yang terjadi di perkampungan tradisional, aktifitas pariwisata acap kali cuma mengakibatkan masyarakat setempat sebagai hiasan, atau daya tarik yang bersifat eksploitatif. Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi, tidak jarang ekploitasi yang dikerjakan oleh pihak-pihak luar, sedikitpun tidak memberikan bantuan aktual, baik secara ekonomi maupun sosial (Sophian, 1991:36).
Dalam aktivitas pariwisata di Indonesia contohnya, masyarakat setempat kadang kala dalam kegiatan pariwisatanya tidak mendapatkan atau memiliki takaran kuat, dalam memilih bahkan mengontrol acara tersebut (Kompas, 13 Oktober 2004). Ini terlihat dikala kehadiran pelancong, umumnya sudah dikerjakan eksklusif oleh pemandu rekreasi yang bukan warga penduduk setempat. Demikian juga keterlibatan penduduk setempat dalam pariwisata juga lazim diabaikan (Kompas, 21 April 2006).
Contoh menarik yang dilaksanakan Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur dikala mengiklankan perkampungan Suku Osing. Sejak tahun 2002, pemda setempat, saat mengangkat daerah tersebut dengan cara mempekerjakan penduduk tradisional lokal. Sayangnya, ketika sampai pada perhitungan pemasukan Pemerintah Daerah lebih lebih banyak didominasi, mereka mampu meraup untung secara besar-besaran dalam “memasarkan” suku Osing sebagai komoditi pariwisata, sementara penduduk lokal tak menerima laba apa-apa (The Jakarta Post, 10 April 2006).
Masyarakat setempat, utamanya penduduk asli yang bermukim di daerah rekreasi, menjadi salah satu pemain kunci dalam aktivitas pariwisata, karena sesungguhnya merekalah yang hendak menyediakan sebagian besar atraksi sekaligus memilih mutu produk rekreasi (Weber, 2007:23). Hubungan antara turis dengan masyarakat setempat menyebabkan terjadinya proses komodifikasi dan komersialisasi keramahtamahan penduduk setempat (Pitana, 2004:83).
Ada sebagian pendapat, bahwa pada dasarnya keberadaan antara budaya dan pariwisata, ialah dua fenomena yang saling menguntungkan. Di satu sisi dengan adanya potensi pesona budaya maka pariwisata meningkat , apalagi ditunjang dengan pendekatan-pendekatan sosial budaya dalam pengembangan sektor tersebut. Di sisi lain dengan adanya pariwisata, upaya-upaya pelestarian nilai-nilai budaya makin digiatkan dan berkesinambungan, walaupun ada sebuah persepsi negatif bahwa upaya-upaya tersebut berkesan pengeksploitasian secara besar-besaran terhadap pengembangan nilai-nilai budaya itu sendiri (Hutagalung., 2002:18).
Selama ini jika kita mengatakan ihwal pariwisata, kesan pertama yang mau muncul dalam perspektif budaya yakni wacana pengeksploitasian dan komersialiasasi nilai-nilai budaya demi mengeruk keuntungan yang besar dari sektor pariwisata (Swarsi, 1995:3). Pemikiran tersebut oleh James Spillane digolongkan sebagai coutionary, ialah yang menilai bahwa pariwisata menimbulkan aneka macam macam konflik (Spillane,1994:28). Pandangan tersebut tidak dapat disalahkan alasannya intinya budaya dan pariwisata itu sendiri sering dianggap dua aktifitas yang sarat dengan konflik. Kebudayaan dianggap mewakili dogma bersifat tradisional, sedangkan pariwisata dianggap lebih terbaru dan dinamis (Adnyana Manuaba, 1999:2).
Ketakutan-panik ini timbul alasannya menilai dengan adanya acara pariwisata akan menimbulkan terkontaminasinya nilai-nilai budaya orisinil sebuah bangsa. Pengaruh budaya gila yang dibawa oleh para wisatawan, belum lagi timbul kesan dengan adanya pariwisata akan terbantuk kelompok masyarakat vertikal, yakni “yang dilayani dan yang melayani” (Nasikun, 1994:31). Di sinilah persoalan pariwisata merupakan sebuah fenomena kompleks yang multi dimensional, multi approuch (Soemono, 1996:36).
Sesungguhnya, keprihatinan kepada efek pariwisata tidaklah cuma berasal dari kelompok industri pariwisata. Sejak awal tahun 1960-an, beberapa antropolog dan sosiolog telah mulai memperhatikan perubahan-perubahan sosial budaya yang ditimbulkan oleh pariwisata (Picard., 2006:158). Namun gres pada tahun 1974, The Antropological Association mengakibatkan “pariwisata dan pergeseran budaya” selaku tema konferensi tahunannya. Tujuannya yakni mendapatkan pengesahan terhadap bidang pariwisata sebagai penelitian antropologis dan menjadikan observasi terhadap efek-dampaknya antara wisatawan dengan penduduk peserta (Picard., 2006:ibid).
Dengan demikian dapat dibilang bahwa hubungannya antara keterlibatan penduduk lokal yang mempunyai wawasan wisata dengan kegiatan pariwisata intinya harus sinergis. Pada awalnya wisatawan dianggap “tamu” dalam pengertian tradisional, yang disambut dengan keramahtamahan tanpa motif ekonomi. Dengan semakin bertambahnya jumlah wisatawan, maka hubungan bermetamorfosis resiproritas dalam artian ekonomi. Apabila sampai batasan yang mampu ditoleransi oleh penduduk setempat, maka kekerabatan mampu menjadi anomi, dan masyarakat local sudah mulai bernafsu kepada turis, mengarah terhadap eksploitasi dalam setiap interaksi, tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang (Pitana., 2005:83). Untuk itu, kajian perihal keterlibatan masyarakat setempat terhadap industri pariwista di lingkungannya, ialah fenomena penting kepada problem sosial masyarakat ketika ini (Ross., 1998:200).
Dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata di Wonosobo, persoalan komersialisasi budaya akan menjadi persoalan penting. Pemikiran-anutan banyak sekali pihak wacana pariwisata cuma difokuskan pada bagaimana menemukan keuntungan finansial sebesar-besarnya. Akibatnya, motivasi utamanya bukan lagi memelihara dan melestarikan kebudayaan budaya yang dimilikinya melainkan pada pendapatbisnis semata. Jika hal itu terjadi, kebudayaan bisa dimanipulasi demi kepentingan bisnis.
Dalam jangka panjang, masalah pariwisata di Kabupaten Wonosobo perlu adanya keterlibatan penduduk lokal. Kemampuan masyarakat lokal dalam mempertahankan keramahtamahan dan budpekerti kehidupan bermasyarakat menjadi modal penting. Sektor pariwisata pada balasannya sangat diputuskan oleh aset budaya yang mampu ditawarkan pada para wisatawan. Fasilitas yang lengkap, penawaran spesial yang gencar, dan pengalokasian dana untuk membangunan fasilitas fisik pariwisata akan terkesan sia-sia dikala Wonosobo tidak lagi memiliki aset kebudayaan sebagai andalan utama obyek pariwisata. Satu-satu aset yang perlu dikembangkan dalam dunia pariwisata, ialah mengembangkan pemahaman wawasan rekreasi penduduk lokal.
Seperti hasil riset yang sudah peneliti lakukan sebelumnya, keterlibatan penduduk setempat Wonosobo sungguh menentukan kesuksesan acara pembangunan di wilayah tersebut (Irianto, 2004). Demikian juga menyangkut keberadaan kesenian tradisional intinya sungguh efektif dijadikan salah bentuk lisan masyarakat setempat mendukung program pembangunan (seperti acara pariwisata), alasannya adalah kesenian tersebut sudah menjadi keperluan integratif masyarakat pendukungnya (Irianto, 2005).