close

Perspektif Dan Kebijakan Pendidikan Menghadapi Tantangan Global

Perspektif Dan Kebijakan Pendidikan Menghadapi Tantangan Global : Telah kita pahami dalam era milinium ini ciri terutama yaitu terjadinya globalisasi pada setiap aspek kehidupan. Globalisasi mengandung arti terjadinya keterbukaan, kesejagatan, dimana batasan negara tidak lagi menjadi penting. Salah satu yang menjadi isu terkini dan ialah ciri globalisasi ialah adanya persamaan hak. Dalam konteks pendidikan, persamaan hak itu pastinya bermakna bahwa setiap individu berhak menerima pendidikan yang setinggi-tingginya dan sebaik-baiknya tanpa memandang bangsa, ras, latar belakang ekonomi, maupun jenis kelamin. Dengan adanya kesamaan hak ini, terjadi kehidupan yang penuh dengan kompetisi karena dunia sudah menjadi sungguh kompetitif. Karena itu, mau tidak inginsetiap orang harus berupaya untuk menguasai ilmu dan teknologi biar mampu ikut dalam kompetisi, dan bila tidak, maka akan ditinggalkan. 
Terkait dengan itu, pendidikan mesti dapat menjawab tantangan tersebut. Dengan kata lain, pendidikan mesti menyediakan potensi bagi setiap penerima latih untuk menemukan bekal pengetahuan, keahlian, dan nilai-nilai sebagai bekal mereka memasuki kompetisi dunia yang makin hari makin ketat itu. Di samping peluang yang seluas-luasnya ditawarkan, namun yang penting juga ialah memperlihatkan pendidikan yang bermakna (meaningful learning). Karena, hanya dengan pendidikan yang bermakna akseptor bimbing dapat dibekali keahlian hidup, sedangkan pendidikan yang tidak bermakna (meaningless learning) hanya akan menjadi beban hidup.
Sehubungan dengan itu, beberapa persoalan krusial yang perlu dikaji antara lain : pertama, bagaimana pendidikan yang dapat menjawab tantangan di atas mampu dirancang?, dan kedua, dengan adanya persamaan hak dalam mendapatkan pendidikan yang terbaik, bagaimanakah upaya-upaya pendidikan yang dapat mengakomodasi banyak sekali dimensi pembaharuan, sehingga akseptor bimbing menerima peluang pendidikan yang bermutu dalam era global ini?
Paradigma Pendidikan Masa Depan
Pendidikan berwawasan era depan diartikan selaku pendidikan yang dapat menjawab tantangan kala depan, yaitu suatu proses yang mampu melahirkan individu-individu yang berbekal pengetahuan, keahlian, dan nilai-nilai yang dibutuhkan untuk hidup dan berkiprah dalam masa globalisasi. 
Komisi Internasional bagi Pendidikan Abad ke 21 yang dibentuk oleh UNESCO melaporkan bahwa di masa global ini pendidikan dilaksanakan dengan bersandar pada empat pilar pendidikan, yakni learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together (Delors, 1996). Dalam learning to know peserta ajar belajar pengetahuan yang penting sesuai dengan jenjang pendidikan yang disertai. Dalam learning to do peserta bimbing menyebarkan keterampilan dengan memadukan wawasan yang dikuasai dengan latihan (law of practice), sehingga terbentuk suatu keterampilan yang memungkinkan penerima latih memecahkan problem dan tantangan kehidupan. Dalam learning to be, penerima bimbing berguru menjadi individu yang utuh, mengerti arti hidup dan tahu apa yang terbaik dan semestinya dilaksanakan, supaya mampu hidup dengan baik. Dalam learning to live together, penerima latih dapat mengerti arti hidup dengan orang lain, dengan jalan saling menghormati, saling menghargai, serta mengetahui wacana adanya saling ketergantungan (interdependency). Dengan demikian, lewat keempat pilar pendidikan ini diperlukan akseptor didik tumbuh menjadi individu yang utuh, yang menyadari segala hak dan keharusan, serta menguasai ilmu dan teknologi untuk bekal hidupnya.
Dalam Jalal dan Supriadi (2001) disebutkan tiga acuan dasar pengembangan pendidikan di Indonesia dalam abad reformasi untuk menjawab tantangan global, yakni pola filosofis, pola nilai kultural, dan acuan lingkungan strategis.
Acuan filosofis, didasarkan pada abstraksi teladan aturan dan kajian empiris perihal keadaan kini serta idealisasi abad depan. Secara filosofis pendidikan perlu mempunyai karakteristik: (a) mampu menyebarkan kreativitas, kebudayaan, dan peradaban; (b) mendukung diseminasi dan nilai keunggulan, (c) menyebarkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan dan keagamaan; dan (d) berbagi secara berkelanjutan kinerja kreatif dan produktif yang koheren dengan nilai-nilai budpekerti. Kesemua ini tidak terlepas dari impian pembentukan masyarakat Indonesia Baru, yakni apa yang disebut dengan penduduk madani.
Pendidikan kita harus pula mempunyai pola nilai kultural dalam penataan aspek legal. Tata nilai itu sendiri bersifat kompleks dan berjenjang mulai dari jenjang nilai ideal, nilai instrumental, sampai pada nilai operasional. Pada tingkat ideal, contoh pendidikan yaitu pemberdayaan untuk kemandirian dan kelebihan. Pada tingkat instrumental, nilai-nilai yang penting perlu dikembangkan lewat pendidikan yaitu otonomi, kecakapan, kesadaran berdemokrasi, kreativitas, daya saing, estetika, kearifan, etika, harkat, martabat dan kebanggaan. Pada tingkat operasional, pendidikan mesti menanamkan pentingnya perjuangan, sportifitas, kesiapan bersaing, dan sekaligus bekerjasama dan disiplin diri. 
Acuan lingkungan strategis mencakup lingkungan nasional dan lingkungan global. Lingkungan nasional ditandai dengan dua hal yang substansial ialah: masih berlanjutnya krisis dimensional yang menerpa bangsa ini, dan permintaan reformasi secara total yang belum berlangsung secara baik dan maksimal. Lingkungan nasional mencakup pergantian demografis termasuk didalamnya penyebaran masyarakatyang tidak merata dan kesuksesan KB, pengaruh ekonomi yang tidak merata sehingga masyarakatyang berada di bawah garis kemiskinan meningkat, pengaruh sumber kekayaan alam yang pemanfaatannya membutuhkan pengelolaan yang bagus, dampak nilai sosial budaya di periode global ini, dimana hadirnya nilai-nilai baru di penduduk seperti kerja keras, kelebihan, dan ketepatan waktu, dampak politik yang sejak masa reformasi terasa sangat labil, serta imbas ideologi dimana pendidikan ideologi perlu terkait dengan yang universal. Lingkungan nasional yang dikala ini masih dalam suasana reformasi, bertujuan untuk memajukan taraf hidup masyarakat. Secara nasional acuan strategis ini mengandung arti bahwa pendidikan kita harus mampu menjawab tantangan reformasi dan menjinjing negeri ini keluar dari aneka macam krisis. 
Lingkungan global ditandai antara lain dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi sehingga kita tidak mampu menjadi warga lokal dan nasional saja, tetapi juga warga dunia.Lingkungan strategis sangat besar lengan berkuasa bagaimana pendidikan era depan tersebut hendaknya dirancang.
Sebagai implikasi dari globalisasi dan reformasi tersebut, terjadi pergeseran pada paradigma pendidikan. Perubahan tersebut menyangkut, pertama: paradigma proses pendidikan yang berorientasi pada pengajaran dimana guru lebih menjadi pusat informasi, bergeser pada proses pendidikan yang berorientasi pada pembelajaran dimana penerima didik menjadi sumber (student center). Dengan banyaknya sumber mencar ilmu alternatif yang mampu mengambil alih fungsi dan peran guru, maka peran guru bermetamorfosis fasilitator. Kedua, paradigma proses pendidikan tradisional yang berorientasi pada pendekatan klasikal dan format di dalam kelas, bergeser ke versi pembelajaran yang lebih fleksibel, seperti pendidikan dengan metode jarak jauh. Ketiga, kualitas pendidikan menjadi prioritas (mempunyai arti kualitas menjadi internasional). Keempat, kian populernya pendidikan seumur hidup dan kian mencairnya batas antara pendidikan di sekolah dan di luar sekolah. 
Kondisi ini mengharuskan pendidikan menerapkan berbagai prinsip yang sangat mendasar seperti penerapan kriteria kualitas sehingga kita mampu berkompetisi dengan dunia global, dan penggunaan banyak sekali cara mencar ilmu dengan mendayagunakan sumber berguru. Bila kita cermati ketiga pola di atas merupakan dasar aturan dan operasional pengembangan pendidikan kurun depan. Dalam pembangunan pendidikan ke depan ini, ketiga teladan itu merupakan dasar dalam menyebarkan cetat biru (blueprint) pendidikan nasional.
Kajian Konsepsional tentang Penjaminan kualitas pendidikan
Dalam rangka pembaharuan tata cara pendidikan nasional sudah ditetapkan visi, misi dan taktik pembangunan pendidikan nasional. Visi pendidikan tersebut adalah terwujudnya metode pendidikan selaku pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berubah menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Terkait dengan visi tersebut telah ditetapkan serangkaian prinsip untuk dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan. 
Salah satu prinsip tersebut adalah bahwa pendidikan diselenggarakan selaku proses pembudayaan dan pemberdayaan penerima bimbing yang berjalan sepanjang hayat, di mana dalam proses tersebut mesti ada pendidik yang menunjukkan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan kesempatandan kreativitas penerima didik. Implikasi dari prinsip ini adalah perubahan paradigma proses pendidikan, ialah dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. 
Paradigma pengajaran yang telah berjalan sejak usang lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentransfer pengetahuan terhadap peserta bimbing. Seperti telah disebutkan pada pendahuluan , cukup umur ini paradigma tersebut telah bergeser menuju paradigma pembelajaran yang menawarkan tugas lebih banyak terhadap akseptor didik untuk berbagi keahlian yang diharapkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk mengadakan proses pendidikan yang didasarkan paradigma gres tersebut, diharapkan teladan dasar bagi setiap satuan pendidikan yang mencakup serangkaian standar dan persyaratan minimal selaku pemikiran, yang ketika ini dikenal dengan delapan standar mutu nasional pendidikan. 
Tujuan standar kualitas pendidikan ditetapkan adalah untuk menjamin kualitas proses transpormasi, kualitas instrumental dan kualitas kelulusan, yang meliputi : (1) kriteria isi, (2) kriteria proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) tolok ukur fasilitas dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) patokan pembiayaan, dan (8) kriteria evaluasi pendidikan. (Bab IX UUSPN). Konsep tersebut di atas dapat diwujudkan pada diagram berikut:
Gambar Keterkaitan antara Aspek-Aspek Standar Mutu

Dalam kaitan dengan itu, Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, sejak tahun 1920an telah mengumandangkan pedoman bahwa pendidikan pada dasarnya yaitu memanusiakan manusia. Untuk itu suasana yang diharapkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, tenggang rasa, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya, tidak ada pendidikan tanpa dasar cinta kasih. Dengan demikian pendidikan hendaknya menolong peserta didik untuk berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, pintar, serta menjadi anggota masyarakat yang berkhasiat. Manusia merdeka yaitu seseorang yang bisa berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiannya dan mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Metode pendidikan yang paling sempurna yakni sistem among ialah metode pembelajaran yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Sementara itu prinsip penyelenggaraan pendidikan perlu didasarkan pada “Ing ngarso sung tulodho, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani”. 
Mengingat bahwa pendidikan itu merupakan suatu metode dengan komponen-bagian yang saling berkaitan, maka keseluruhan sistem harus sesuai dengan ketentuan yang diharapkan atau patokan. Untuk itu masing-masing unsur dalam sistem harus pula sesuai dengan patokan yang ditentukan bersama. Hal ini mesti dilakukan dalam kaitan terjadinya penjaminan mutu pendidikan itu sendiri, karena; penjaminan mutu yakni proses penetapan dan pemenuhan persyaratan mutu pengelolaan secara konsisten dan berkesinambungan, sehingga pelanggan, produsen, dan pihak lain yang berkepentingan mendapatkan kepuasan. Bila dikaitkan dengan pengelolaan pendidikan, penjaminan kualitas yang dimaksud adalah proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan pendidikan secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga stakeholders memperoleh kepuasan. Untuk itu, dalam PP 19/2005 delapan tolok ukur tersebut di atas merupakan faktor-aspek yang harus menyanggupi standar kualitas dalam kaitan dengan penjaminan mutu suatu lembaga. Kualifikasi pendidik ialah salah satu Standard yang harus dipenuhi sesuai dengan PP 19/2005. Dengan terpenuhinya kualifikasi pendidik dibutuhkan pengelolaan proses pembelajaran dapat berjalan secara interaktif, inspiratif, menantang, memotivasi dan menggembirakan (I2M3).
Implementasi Kebijakan Pendidikan Berwawasan Masa Depan
Terjadinya perubahan paradigma pendidikan nasional mirip sudah dikupas di depan, mengakibatkan adanya berbagai kebijakan pendidikan yang relevan dengan itu. Beberapa kebijakan yang menonjol, antara lain dalam bidang menajeman pendidikan ialah desentralisasi pendidikan (lewat acara menajemen pendidikan berbasis sekolah), dalam bidang kurikulum yakni kurikulum tingkat satuan pendidikan yang berbasis kompetensi (KTSP), dalam proses pembelajaran ada acara percepatan mencar ilmu (learning accelleration). Kebijakan-kebijakan baru ini perlu menerima perhatian yang serius sampai pada tataran guru sebagai ujung tombak.
a. Menajemen Pendidikan Berbasis Sekolah
Hasil studi yang dikerjakan Bank Dunia, yang diberi judul Education in Indonesia: from Crisis to Recovery (1998) antara lain menciptakan akhir bahwa ada tiga faktor penyebab ketidakefisienan administrasi sekolah, ialah: (1) pada umumnya kepala sekolah, utamanya sekolah negeri memiliki otonomi yang sungguh terbatas dalam menajemen sekolah dan dalam menetapkan alokasi sumber-sumber, (2) banyak kepala sekolah yang mempunyai keahlian yang terbatas dalam menajemen sekolah, (3) partisipasi masyarakat dalam menajemen sekolah sangat terbatas, hal ini antara lain dapat dilihat dari ketidakmampuan kepala sekolah dalam memobilisasi pertolongan penduduk .
Sehubungan dengan itu, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (MPBS), yang dicanangkan semenjak tahun 2000 merupakan respon terhadap keperluan pembiasaan terhadap rancangan demokrasi dan otonomi. Inti dari MPBS yaitu pemberdayaan masyarakat selaku unsur yang penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Jika sebelumnya sekolah seolah-olah merupakan milik pemerintah dalam artian bahwa semua tanggungjawab penyelenggaraannya menjadi beban pemerintah, sekarang penduduk menjadi komponen penting dalam tanggung jawab itu. Dengan pelibatan masyarakat, diperlukan muncul sebuah kesadaran bahwa keberhasilan pendidikan ialah tanggung jawab semua bagian masyarakat dan pemerintah. Sharing ini antara lain telah diwujudkan dalam bentuk Komite Sekolah, dimana didalamnya terlibat penyelenggara sekolah, orangtua murid, maupun bagian penduduk yang lain. Dalam perjalanannya hingga ketika ini, Komite Sekolah telah mulai melakukan fungsinya namun belum maksimal, dan selanjutnya diperlukan berkontribusi yang cukup signifikan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. MPBS dibutuhkan bukan cuma berbagi dalam fungís sebagai penyandang dana, namun pelibatan orangtua dan penduduk dibutuhkan juga terjadi. Di negara-negara maju mirip AS, MPBS sudah lama dikerjakan, koordinasi sekolah dengan orangtua dan masyarakat juga dikerjakan dalam proses pembelajaran. Kedatangan orangtua ke sekolah untuk membantu guru dalam PBM, dokter yang memberi masukan dalam sebuah proyek dalam pelajaran biologi contohnya, bukanlah pemandangan yang gila.
b. Kuríkulum Tingkat Satuan Pendidikan
Penggunaan Kuríkulum 1994 di lapangan mengalami berbagai paradoks, antara lain menyangkut universalisasi pendidikan disatu pihak, dan tuntutan akan mutu yang tinggi dipihak lain. Setelah itu, ada upaya pembaharuan kurikulum, dan salah satu upaya ialah pengembangan kurikulum berbasis kompetensi. Dengan kurikulum yang berbasis kompetensi ini, ukuran paling penting keberhasilan peserta didik yakni penguasaan mereka kepada standar kompetensi. Pendekatan kurikulum berbasis kompetensi ini (ketika ini terkenal dengan KTSP), dijalankan melalui identifikasi dan penentuan kesanggupan dasar lulusan/ Standar Kompetensi Lulusan (SKL), yang dijabarkan menjadi Standar Isi (SI) yang menampung, Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Berdasarkan SI tersebut masing-masing Satuan Pendidikan menyusun kurikulumnya dengan menjabarkan menjadi Materi, Pengalaman Belajar, Indikator. Terdapat potensi yang sangat besar sekolah/guru menyebarkan kurikulumnya sendiri (berorientasi pada SI yang sudah ditetapkan dalam Permen Diknas, maupun menyebarkan dan memasukkan kelebihan setempat sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya). 
c. Program Anak Berbakat/Percepatan Belajar
Dalam rangka realisasi pendidikan yang berwawasan kala depan, perhatian mesti diprioritaskan pada pengklasifikasian peserta bimbing sesuai dengan kemampuan, bakat, maupun minat mereka. Ini sungguh penting biar pendidikan yang dibarengi betul-betul memiliki arti. Beberapa progam telah dilaksanakan terkait dengan keadaan akseptor ajar yang variatif ini, yakni lewat metode akreditasi, metode sekolah unggulan, maupun acara biasa plus mirip program akselerasi belajar.
Diketahui bahwa lembaga pendidikan yang ada adalah pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pada jenjang sekolah menengah atas, pendidikan formal dibedakan antara SMA dan Sekolah Menengah kejuruan. Pada hakekatnya di jenjang Sekolah Menengan Atas akseptor latih diberikan pengalaman belajar dalam rangka penguasaan sains, teknologi, dan pengalaman mencar ilmu yang dapat membekali mereka melanjutkan pendidikannya ke PT. Sedangkan pada jenjang SMK penerima asuh diarahkan pada penguasaan keahlian baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang, sehingga tamatan SMK diperlukan pribadi mampu masuk ke dunia kerja.
Perkiraan Ward (dalam Semiawan, 1997) di Indonesia terdapat 1,57 % anak yang berbakat tinggi (highly gifted), dan 10 % yang berbakat sedang (moderately gifted). Kedua kelompok anak ini berbakat akademik (akademic talented) atau keberbakatan intelektual. Anak-anak berbakat ini merupakan aset nasional yang sangat penting, alasannya mereka memiliki interes intelektual dan perspektif abad depan yang jauh lebih baik dari anak pada umumnya, baik secara genetis maupun dalam kecepatan tindakan. Dengan keunggulan ini, diharapkan tenaga dan asumsi mereka mampu menjinjing berbagai pembaharuan dalam bidang keilmuan, maupun pergeseran kearah perbaikan kehidupan penduduk , mirip apa yang sudah dilaksanakan Edison (sang penemu listrik) yang sangat penting bagi kehidupan manusia.
Sesuai dengan eksistensi kedua kalangan ini selaku kelompok yang ”berlawanan” dengan anak normal lainnya, dan sesuai pula dengan misi pendidikan untuk menawarkan potensi pendidikan yang sebaik-baiknya bagi mereka, maka kelompok ini perlu mendapatkan pendidikan yang dapat mengakomodasi kelebihan mereka. Program untuk mereka mampu berbentukpendidikan khusus, atau pendidikan umum untuk anak berbakat (saat ini dikenal dengan acara kelas percepatan). Berkaitan dengan itu, beberapa asumsi yang mendasari alasan kenapa anak berbakat perlu menerima pendidikan yang berlainan dengan belum dewasa yang lain, yaitu : (a) anak berbakat secara kualitatif berlainan dengan anak lainnya, (b) pendidikan khusus bagi mereka sungguh menguntungkan, alasannya sesuai dengan kemampuan mereka, (c) suatu program harus dilakukan menurut versi instruksional yang terarah, (d) program anak berbakat mesti lebih menekankan perkembangan kreativitas dan proses berpikir tingkat tinggi, (e) metode pembelajaran bagi anak berbakat lebih berorientasi pada pendekatan induktif.
Pendidikan anak berbakat mesti diwarnai oleh pengutamaan pada aktivitas intelektual, kecepatan dan tingkat kompleksitas sesuai dengan kemampuan yang tinggi. Sehubungan dengan itu, bila belum dewasa berbakat ditangani dengan acara akselerasi, maka ada dua hal penting yang mesti dipertimbangkan, ialah: (a) dalam acara akselerasi, beban mencar ilmu yang oleh anak-anak biasa mampu teratasi dalam tiga tahun, maka oleh anak-anak berbakat ini hanya diharapkan waktu dua tahun. Ini bermakna terjadi proses percepatan dalam mencar ilmu, (b) percepatan ini juga mesti mengandung arti kualitatif, yakni bahwa aktivitas mencar ilmu mereka ditekankan pada kegiatan intelektual tinggi. Hal ini terkait dengan realita bahwa, dalam perilaku intelektual, faktor teoretis dan tingkat abstraksi anak-anak berbakat menunjukkan karakteristik mental yang bagus dalam melihat korelasi yang berarti, tanggap mengaitkan asosiasi logis, gampang mengadaptasikan prinsip absurd kesituasi nyata, serta bisa menggeneralisasikan. 
Metode mencar ilmu yang berkaitan ialah sistem penemuan (discovery learning) seperti yang dikembangkan oleh Piaget dan Bruner, dan metode induktif. Dalam discovery learning faktor kognitif meningkat lewat penemuan dan pengembangan hipotesis, bukan dengan cara duduk, membisu, dengar, dan catat. Discovery learning memberikan tantangan bagi kemampuan berpikir absurd yang tinggi, dan pelibatan secara aktif dalam memperoleh tanggapan dan tantangan tersebut. Dengan cara ini, terjadilah penanjakan dinamis dari kehidupan mental yang disebut eskalasi (Semiawan,1997).
Pembelajaran kognitif induktif dideskripsikan lewat empat ungkapan, adalah: (a) inquiry, (b) persoalan solving, (c) discovery learning, dan (d) scientific method. Pembelajaran induktif memiliki rasional yang kuat untuk memajukan: (a) penggunaan inteligensia secara optimal dengan mempergunakan fungsi kedua cuilan otak secara sarat , (b) kesanggupan siswa untuk mengarahkan diri dan tanggungjawab untuk menemukan kemajuan dalam mencapai target jangka panjang dan jangka pendek, (c) kesanggupan untuk mensintesiskan berita, desain, dan membuat generalisasi, dan (d) kesanggupan mentransper berguru dalam suasana berlainan.
d. Pembelajaran Berpusat Pada Siswa dan Pembelajaran yang Konstruktivis
Menurut sejarahnya, pembelajaran yang berpusat pada akseptor didik (untuk berikutnya, disebut juga Student-Centered Learning, disingkat SCL) lahir pada permulaan kala ke-20, adalah pada dikala orang-orang mulai meyakini bahwa pendidikan harus memperhitungkan peserta latih selaku bagian aktif dalam proses inkuiri, yaitu proses memecahkan problem yang dihadapinya sendiri. Di bawah dampak perspektif pendidikan yang disebut Progressive Education (lahir di Amerika Serikat) yang meyakini bahwa pengalaman pribadi adalah inti dari belajar, para pendukung Progressive Education menentang pembelajaran yang menilai bahwa penerima didik selaku kantong kosong yang gres berisi bila diisi oleh guru (teori Tabula Rasa). Bagi pendidikan progresif, peran guru yaitu sebagai fasilitator dan pemandu dalam proses pemecahan duduk perkara penerima asuh.
John Dewey adalah penggerak persepsi progresif ini. Dia menegaskan bahwa kelas ialah laboratorium yang memotret kehidupan yang sebetulnya. Dia mengajak guru untuk memakai masalah riil sehari-hari untuk dipecahkan oleh siswa, selaku bahan pembelajaran. Dewey menekankan bahwa pembelajaran yang berarti adalah pembelajaran yang menampung duduk perkara-dilema konkret yang sedang dihadapi, tidak tentang hal-hal yang abstrak bagi siswa. Dewey diketahui dengan filosofi pendidikan learning by doing. Ciri-ciri pembelajaran progresif antara lain, ruang kelas yang dikontrol secara fleksibel, fleksibilitas bagi peserta didik untuk bekerja kelompok maupun perorangan sesuai dengan kebutuhannya, penerima latih ikut berperan dalam menentukan hukum kelas, dan bahan pembelajaran yang kaya dan variatif.
Selain dampak pendidikan progresif, juga ada efek perspektif open classroom yang meyakini bahwa penerima asuh memiliki motivasi intrinsik untuk belajar, dan dorongan dari dalam ini cuma mampu dipuaskan lewat kegiatan eksplorasi dan pemecahan dilema (dilema solving). Pada simpulan tahun 70an, di bawah dampak psikologi kognitif, meningkat perspektif konstruktivisme dalam pembelajaran.
Konstruktivisme memiliki arti bahwa akseptor latih membangun (to construct) pemahamannya perihal dunia. Berbicara perihal konstruktivisme bukanlah berbicara ihwal suatu teknik tertentu dalam pembelajaran, melainkan kita berfikir ihwal proses perolehan wawasan dan asesmennya. Ada dua kata kunci dalam konstruktivisme, yaitu siswa aktif (active) dan menemukan makna (meaning) (Elliott, dkk, 2000); dimana pembelajaran konstruktivis tersebut digambarkan sebagai berikut: Peserta asuh tidak semata-mata merekam atau mengenang materi yang dipelajari, melainkan mengkonstruksi suatu representasi mental yang unik tentang materi tersebut, peran yang akan dipentaskan, memilih informasi yang dianggapnya berkaitan, dan memahami informasi tersebut berdasarkan pengetahuan yang ada padanya, dan kebutuhannya. Peserta asuh menambahkan berita yang diperlukannya tidak selalu dari materi yang disediakan guru/guru. Ini ialah suatu proses yang aktif sebab peserta ajar mesti melakukan aneka macam aktivitas kognitif, afektif, dan psikomotorik agar isu tersebut berarti bagi dirinya (Elliott, 2000; p. 15).
Belakangan, berbagai interpretasi timbul tentang bagaimana konstruksi wawasan itu terwujud pada akseptor bimbing; ada yang menyampaikan bahwa peserta latih itu sendiri bisa membangunnya, tapi ada pula yang menyampaikan bahwa konstruksi pengetahuan terjadi dalam interaksi sosial mirip teman sebaya, dan keluarga. Yang pertama diwakili oleh J. Piaget, yang mengatakan bahwa konstruksi makna terjadi lewat proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah akuisisi wawasan yang cocok dengan yang sudah ada sebelumnya; dan kemudahan yaitu proses akuisisi terhadap hal-hal gres yang belum ada dalam sketsa (pengetahuan yang tersimpan dibenak) yang bersangkutan. Di lain pihak, Vygotsky mengatakan bahwa konstruksi pengetahuan terjadi melalui proses interaksi sosial dengan orang lain yang lebih bisa (dalam istilah Vygotsky: skilled individuals). Diyakini bahwa konstruksi makna akan terjadi jikalau proses akuisisi pengetahuan dikerjakan dalam lingkungan sosial budaya yang cocok.
Dibawah efek perspektif konstruktivis, pembelajaran yang dianggap mampu menjawab tantangan pendidikan global kini ini (pendidikan yang memiliki arti, bukan pendidikan yang membebani hidup) yakni pembelajaran yang berpusat pada penerima bimbing.