Kata kopi, telah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pengguna bahasa Indonesia tidak pernah ribut dengan kata kopi. Padahal, bila melihat asal-usulnya, tumbuhan kopi bukanlah orisinil Indonesia. Kopi masuk ke Indonesia lewat pemerintah kolonial. Indonesia pernah dijajah oleh Belanda, Prancis, dan Ingris, yang dalam bahasa ketiga penjajah itu tak ada satu pun yang menulis kopi. Dalam bahasa Belanda ditulis koffie, dalam bahasa Prancis ditulis café, dan dalam bahasa Inggris ditulis coffee. Kopi mulai ditanam secara besar-besaran di Priangan, sehingga pergeseran pengucapan menjadi kopi, pastilah terjadi di Priangan, lalu menyebar, dan diserap ke dalam bahasa Sunda, kemudian ke dalam bahasa Indonesia.
Pengaruh kopi pada kehidupan sosial-budaya masyarakat Priangan sangat berpengaruh. Misalnya saat sedang mengkonsumsi kudapan, atau opieun, snack, mirip ranginang, opak, rebus singkong, ubi, atau pisang, biasa disebut ngopi, tidak duduk perkara air yang diminumnya kopi atau teh.
Duka derita pengaruh tanampaksa kopi begitu besar lengan berkuasa terhadap penduduk Priangan. Perkembangan perolehan kopi VOC dari Priangan mampu dibaca dalam buku yang ditulis oleh David Bulbeck dkk. (1998), Southeast Asian Exports Since the 14th Century: Cloves, Pepper, Coffee, and Sugar. Pada tahun 1722 mendapatkan 6 ton, tahun 1723: 36 ton, tahun 1724: 663 ton, tahun 1725: 1.264 ton, tahun 1726: 2.145 ton, tahun 1727: 2.076 ton, dan pada tahun 1728 mendapatkan: 2.021 ton.
Ketika Daendels berkuasa, mulai tahun 1811, mengulang kebijakan pemerintahan sebelumnya, mewajibkan setiap keluarga di Priangan untuk menanam 1.000 batang kopi. Hasilnya, pada tahun 1812, di Priangan terdapat 72 juta batang kopi. Rakyat senantiasa pada posisi yang tidak diuntungkan. Ketika Pemerintah kolonial menekan para Bupati untuk menerima hasil yang optimal, maka para Bupati pun menekan penduduk Priangan untuk makin besar menyetor hasil panen kopinya. Jangan-jangan, istilah ngopi itu ialah perumpamaan kepahitan hidup yang paling dalam, dikala masyarakat diwajibkan menanam kopi seribu pohon setiap keluarga, dan menghasilakan laba yang besar dari kopi, sementara yang menanamnya tidak kebagian kesannya, sehingga tidak mampu membuat cikopi. Kepahitan itu menjadi sindiran yang dibahasakan, “mari ngopi….”, padahal tak ada cikopi-nya.
Hasil kopi yang berlimpah dari pedalaman dan Priangan ini belum secara maksimal menjadi komoditas ekspor. Inilah salah satu yang memberi inspirasi kebijakan politik ekonomi rezim Napoleon Bonaparte di Pulau Jawa antara tahun 1806-1811, yang disertai dengan kemijakan militer. Menurut Djoko Marihandono (2011), Ketika blokade Inggris kepada pelabuhan di Batavia semakin ketat, maka Daendels mencari cara semoga komoditas kopi yang melimpah itu dapat tetap menciptakan keuntungan yang besar. Daendels mencari jalan lain untuk mengapalkan kopi dari Cirebon melalui jalan darat. Namun jalan darat antara Priangan-Cisarua, Bogor melewati puncak belum ada, sehingga pengangkutan kopi antara Priangan-Bogor bukan hal yang gampang. Perjalanan dari Batavia ke Cirebon keadaannya darurat, alasannya adanya bahaya, tantangan, dan hambatan dari para pejuang di bawah pimpinan Bagus Rangin yang militan di kawasan Karawang dan sekitarnya.
Karena sebab itulah sudah mengilhami Daendels untuk memperlebar dan menciptakan jalan darat antara Cisarua, Bogor sampai Cirebon lewat Cianjur, Bandung, Parakanmuncang, Sumedang. Pelabuhan Cirebon menjadi keinginan untuk mengekspor hasil bumi mirip kopi dari pedalaman dan Priangan.
Pada tanggal 25 April 1808 awal dimulainya pembangunan jalan dari Cisarua, Bogor ke Cirebon. Hasil pemetaan yang dipimpin oleh Kolonel von Lutzov, telah menggambarkan keadaan medan, baik ronabumi maupun keadaan batuannya, apakah harus menembus perbukitan, melipir gunung, membongkar watu yang keras, atau di kawasan yang datar. Keadaan medan itu akan menentukan upah per penduduknya. Upah pengerjaan jalan antara Cisarua-Cianjur: 10 ringgit perak per orang, Cianjur-Rajamandala: 4 ringgit perak per orang, Rajamandala-Bandung: 6 ringgit perak per orang, Bandung-Parakanmuncang: 1 ringgit perak per orang, dari Parakanmuncang-Sumedang: 5 ringgit perak per orang, dan dari Sumedang-Karangsambung: 4 ringgit perak per orang.
Bagi yang bekerja antara Parakanmuncang-Sumedang, upah kerjanya lima kali lipat upah kerja di ruas jalan antara Bandung-Parakanmuncang, yang medannya relatif datar dengan tanah yang mesti diratakannya jauh lebih mudah. Keadaan itu berlawanan jauh dengan medan antara Parakanmuncang-Sumedang, yang bebatuannya sungguh keras, terutama di perbukitan batu menjelang Sumedang, di kawasan Cadaspangeran sekarang. Untuk mempercepat penghancuran bukit watu itu, pasukan altileri diperbantukan untuk menembaki batuan itu dengan meriam. 150 orang pekerja ikut menuntaskan pengerjaan jalan di ruas ini dengan upah 5 ringgit perak per orang, ditambah 1 kg beras per hari, dan garam 1 kg per minggu.
Kini, istilah ngopi betul-betul untuk meminum kopi, yang dapat diseruput mulai dari café ber-ac hingga warung kopi di pinggir jalan. Entahlah bagi petani kopinya. Sumber